Rabu, 30 Januari 2013

Analisis Prasasti

Bagi para Epigraf, prasasti sangat membantu untuk memecahkan misteri yang mungkin tersembunyi. Menurut Prof J.G.de Casparis, prasasti merupakan tulang punggung penulisan sejarah kuno Indonesia [1]. Bukan hanya sebagai suatu tugu penetapan saja, namun prasasti menyimpan beragam konteks sejarah. Prasasti dapat menceritakan kisahnya jika dilalui dengan benar tahapan analisisnya. 

Suatu proses penulisan sejarah wajib melalui beberapa tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiorafi. Heuristik adalah tahapan ketika pencarian data tersebut dimulai, penyeleksian data yang dibutuhkan serta penelusuran berbagai sumber yang dibutuhkan.  Kemudian beralih ke dalam kritik (kritik teks) yang dilakukan secara ekstern dan intern yang mempermasalahkan mengenai keotentikan sumber. Kritik ekstern mempermasalahkan apakah data yang diteliti merupakan data valid ataukah turunan (tinulad) atau palsu, sedangkan kritik intern menyangkut masalah kredibilitas, menguji informasi sesuai dengan kebutuhan peneliti. Interpretasi adalah tahapan yang memberikan penilaian berdasarkan sudut pandang peneliti serta memfokuskan masalah yang diangkat. Tahapan terakhir yaitu historiografi, yang merupakan kumpulan keseluruhan data yang telah diteliti dan dilakukan kajian banding untuk dimasukkan ke dalam kerangka sejarah. Ilmu Epigrafi diterima masuk ke dalam ilmu Arkeologi karena tahapan tersebut juga termasuk tahapan arkeologi, yaitu deskripsi, eksplanasi dan interpretasi. Dalam Arkeologi deskripsi merupakan tahapan penggambaran data secara fisik, pengenalan data yang bersumber pada data yang dilihat secara langsung. Pengolahan data (eksplanasi) merupakan tahap ketika data tersebut mulai dipelajari lebih lanjut, dipilih berdasarkan kebutuhan sesuai metode yang digunakan. Sedangkan tahap interpretasi adalah tahapan ketika permasalahan data tersebut diangkat sesuai sudut pandang yang digunakan peneliti dan kemudian untuk dibandingkan atau disamakan dengan data yang sudah diteliti. Maka hal tersebut memberi kesamaan antara Arkeologi dan Epigrafi, yaitu dalam Deskripsi maka Epigrafi mengenal heuristik, kemudian Pengolahan data maka Epigrafi mengenal kritik intern dan ekstern, sedangkan Interpretasi maka Epigrafi juga mengenal interpretasinya, ditambahkan Historiografi sebagai kesatuan pelengkap dalam merangkai deretan kerangka sejarah di Indonesia.

I.Dasar-dasar Analisis Prasasti:

Deskripsi
  1. Unsur Fisik, data yang diambil berupa bahan, jumlah lempeng (apabila lempengan), ukuran, aksara dan keadaaan prasasti. Bahan yang digunakan umumnya batu andesit dan padas, jikalau logam umumnya menggunakan tembaga, perak, emas dan perunggu serta tanah liat bakar. Jumlah lempeng; pada prasasti dengan lempengan dengan jumlah banyak, pastikan apakah ditulis dikedua sisi atau hanya satu sisi. Umumnya selalu ada nomor lempeng pada setiap pinggirannya. Ukuran; pendataan ukuran meliputi tinggi, lebar serta tebal prasasti (batu) atau panjang dan lebar (logam), foto keseluruhan dan foto kekhasan bagian, hiasan prasasti, jumlah baris tulisan dan bidang penulisan prasasti. Aksara dan bahasa; harap ditelaah dengan teliti mengenai aksara dan bahasa, apakah terdapat kesamaan antara aksara dengan bahasa yang digunakan, kemudian terakhir untuk dilakukan adalah bagaimana keadaan prasasti, dalam kondisi baik atau sudah rusak, jelaskan secara rinci/
  2. Unsur Isi, pada bagian tentukan berdasarkan apa yang diceritakan prasasti, terutama bagian sambadha (sebab daerah tersebut dijadikan sima).

Transkripsi dan Transliterasi

Trasnskripsi dan Transliterasi umumnya sering digunakan dalam mengartikan definisi ini, namun lebih tepat menggunakan transliterasi, yaitu penulisan ulang aksara ke dalam bentuk aksara lain yang sudah dikenal (aksara Latin). Sedangkan Transkripsi lebih cenderung dalam artian, menyalin ulang tanpa ada suatu perubahan.


II. Penyuntingan Prasasti

Setelah dianalisis, prasasti tersebut ibarat diseleksi sesuai kebutuhan peneliti. Apakah semua data yang dikumpulkan memiliki kedudukan yang sama (harus diteliti secara rinci) ataukah hanya sebagian yang dipilih dari sekian banyak data. Mengenai hal salinan atau turunan, pada prasasti tidak sebanyak ditemukan pada naskah, prasasti yang disalin hanya sedikit sekali serta mencantumkan keterangan bahwa prasasti tersebut tinulad (turunan).

Menurut St. Barroroh Baried, penerapan penyuntingan dan edisi teks terhadap prasasti adalah dengan metode edisi naskah tunggal, karena sifat prasasti yang tunggal dan tidak disalin dalam jumlah banyak [2]. 

Metode edisi naskah tunggal:

  1. Edisi Diplomatik; menerbitkan naskah tanpa mengadakan perubahan apapun. Jadi apabila menyunting prasasti tidak perlu perbaikan jikalau ada kesalahan atau penambahan jikalau ada kekurangan.  Keterangan perbaikan dari penulis dan keterangan perubahan dari ahli lain ditulis dalam catatan kaki. (edisi ini adalah yang sering digunakan para Epigraf)
  2. Edisi Standar; menerbitkan naskah dengan mengadakan perbaikan kesalahan kecil dan ketidakkonsistenan, ejaannya disesuaikan dengan ketentuan berlaku. Hal ini menjadikan naskah atau alihaksara prasasti sudah ada dalam tahapan perbaikan dan sempurna (telah berubah dari data awal).
___________
J.G.de Casparis, 1975. Indonesia Palaeography; A History of Writting in Indonesia from the Beginnings to Century AD. 1500, dalam: Handbuch der Orientalistik. Leiden/Koln, E.J.Brill.

Siti Baroroh Baried,dkk, 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Apakah Prasasti itu??


Prasasti Ciaruteun, Kerajaan Tarumanagara, Abad ke-7 Masehi.
Prasasti adalah benda-benda budaya yang bertulisan. Menurut Prof.Dr.Boechari prasasti ialah sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di atas batu atau logam [1]. Jika dilihat secara lebih lanjut prasasti merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh raja atau pejabat tinggi kerajaan, Dr.Hasan Djafar [2]. Di Indonesia prasasti tertua berasal dari abad V Masehi, yaitu yang dikenal dengan Yupa yang berasal dari kerajaan Kutai hingga masa Kolonial abad XIX Masehi. Media prasasti pun bermacam, umumnya terbuat dari batu dan logam (dengan berbagai macam jenis batuan), serta tanduk binatang dan ukiran disebuah dinding bangunan kuno.

Prasasti dibagi ke dalam beberapa periode sesuai sejarah daerah tersebut. Misalnya di Indonesia, dibagi dalam beberapa periode yaitu Klasik meliputi zaman Hindu-Budha, Islam, Cina, dan Kolonial. Masing-masing zaman juga berbeda jenis-jenis aksara, bentuk prasasti, hiasan, dsb. Di Indonesia pada masa klasik, bentuk prasasti awal adalah batu alam (tanpa dibentuk, hanya diratakan permukaan tempat ditulisnya aksara), pada beberapa abad kemudian ketika muncul kerajaan-kerajaan lain, bentuk prasasti pun berubah. Tidak hanya berbentuk natural (batu adanya) namun mulai dipahat setiap pinggirnya, diratakan menjadi bermacam rupa, baik kecil maupun besar. Tak hanya batu, prasasti logam pun mulai muncul pada saat kerajaan abad ke-7 M.



 
 Islam (atas kiri), China (atas kanan), prasasti yang dibentuk (tengah kiri) Klasik (tengah kanan /juga prasasti yang tidak dibentuk), Kolonial (paling bawah).

Isi dari sebuah prasasti zaman Klasik umumnya berkaitan dengan penetapan suatu daerah atau desa menjadi sima, sebagai anugerah raja kepada pejabat yang telah berjasa atau pun untuk keperluan pendirian bangunan suci. Sima adalah sebidang tanah yang terbebas dari pajak atau kewajiban lainnya. Jika ditinjau dari isi, maka prasasti dibagi menjadi: prasasti Sīma, prasasti Jayapattra, prasasti Suddhapattra, piagem, prasasti pada nisan, prasasti masa Kolonial, mantra-mantra Budha dan Hindu.


  1. Prasasti Sīma, yaitu prasasti yang berisi keputusan raja atau pejabat tinggi yang menjadikan suatu daerah menjadi sima.
  2. Prasasti Jayapattra atau Jayasong, berisi keputusan hukum yang diberikan pada pihak yang menang di dalam pengadilan.
  3. Prasasti Sudhhapattra, berisi pelunasan hutang atau proses gadai.
  4. Piagem, ialah prasasti pada masa Islam biasanya ditulis pada lempeng logam tembaga, biasa digunakan pada maklumat Sultan Mataram, Palembang dan Banten. Berisi pemberian anugerah kenaikan pangkat atau pemberian hak istimewa pada pejabat yang telah berjasa pada kerajaan atau pun berisi undang-undang yang harus ditaati suatu daerah.
  5. Prasasti pada nisan, sebagian besar nisan zaman Islam ataupun zaman China. Di zaman Islam biasanya terdapat pada nisan para Sultan, bangsawan dan pejabat tinggi kerajaan yang berisi keterangan: kapan orang tersebut meninggal disertai kutipan ayat Al-Quran. Selain pada nisan, bisa juga ditemukan pada keterangan umum, misalnya pada masjid/istana (kapan masjid/istana tersebut dibuat), meriam (kapan dibuatnya), dan keterangan pada cap kerajaan Islam di berbagai tempat di Nusantara.
  6. Prasasti masa Kolonial, umumnya juga terdapat pada nisan-nisan di kompleks gereja tua, kapan sebuah benteng dibuat, keterangan pada tugu peringatan (misal, tugu peringatan pembelotan Pieter Erberveld di Jakarta). Bisa dilihat lebih banyak contoh di Museum Taman Prasasti, Tanah Abang.
  7. Mantra-mantra Budha dan Hindu.

[1] Boechari,2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta:KPG.

[2] Hasan Djafar, 1991, Seminar Sejarah Nasional IV: Sub Tema Historiografi. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm: 177-216.




Senin, 28 Januari 2013

Mengenal Epigrafi

Epigrafi adalah ilmu mengenai tulisan kuno yang dituliskan pada benda budaya yang berisikan angka maupun tulisan. Umumnya benda budaya yang dimaksud adalah prasasti (baik batu, logam, maupun tulang) ataupun pada dinding bangunan kuno, nisan, dan artefak lain.  Pengertian lain bisa lihat link ini: http://id.wikipedia.org/wiki/Epigrafi



Prof.Dr.Boechari

Kajian epigrafi sangat luas tidak hanya mencakup aksara kuno saja, melainkan hubungan antara prasasti dan raja pada waktu tertentu, kaitan antara prasasti dan benda budaya sezaman, kondisi ekonomi, sosial, religi, teknologi, pendidikan pada waktu tertentu. Benda-benda budaya (benda arkeologi) yang lebih menceritakan banyak hal bila ditambah dengan keterangan yang ada di dalam prasasti (khusus era sejarah). Hal tersebut menambah kuat keterkaitan antara epigrafi dan arkeologi.

Kajian utama Epigrafi adalah prasasti. Prasasti ialah benda budaya yang ditulisi angka ataupun aksara kuno. Menurut ahli Epigrafi Indonesia, Prof.Dr.Boechari, ialah sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di atas batu atau logam [1]. Tidak hanya sebatas mengkaji dan membaca prasasti saja, tugas epigraf meliputi kajian bentuk maupun bahan prasasti, hiasan prasasti, tahun dibuatnya prasasti, raja yang mengeluarkan prasasti, dan isi prasasti yang dapat mengkaji hubungan antara prasasti dengan benda maupun bangunan budaya lainnya.

Epigrafi bak detektif masa lampau yang berada di masa kini. Membuat benda budaya tersebut bercerita banyak tentang apa yang dikandungnya. Tentang bagaimana kehidupan masyarakat pada masa lampau, apa saja yang terjadi, agar dikemudian hari kita tidak menghadapi hal yang sama.Kita dapat mengambil banyak pelajaran dari masa lampau, karena sejarah ada bukan untuk dilupakan, namun sebagai kisah tentang jati diri bangsa serta pembelajaran kita dalam menghadapi persoalan hidup. 

Menurut Boechari, tugas ahli epigrafi sekarang ini tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga meneliti kembali prasasti-prasasti yang baru terbit dalam traskripsi sementara. Kemudian ia harus menerjemahkan prasasti-prasasti tersebut ke dalam bahasa modern sehingga sarjana-sarjana yang lain, terutama ahli-ahli sejarah dapat menggunakan keterangan-keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu [2].



Sumber:
[1]. Boechari,2012,Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti:hlm:4.Jakarta:KPG.
[2]. idem, hlm: 5.