Jumat, 08 Februari 2013

Epigrafi=Sejarah Kuno?


EPIGRAFI = SEJARAH KUNO?
Prof. Dr. Noerhadi Magetsari
(Makalah dipublikasikan dalam acara Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012)

I.
Dalam rangka memperingati Prof. Boechari melalui peluncuran kumpulan-kumpulan karangannya, artikel ini akan mempermasalahkan apakah anggapan selama ini yang memperlakukan epigrafi sekaligus juga sejarah kuno masih seyogyanya dipertahankan.1] Sebagaimana diketahui, baik epigrafi maupun sejarah kuno, dalam kurikulum Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya sejak pendiriannya pada tahun 1942 sebagai Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, memang tidak terpisahkan. Keduanya merupakan kesatuan dan menjadi salah satu kekhususan dalam Departemen Arkeologi. Prof. Boechari merupakan mahasiswa bangsa Indonesia pertama yang mengambil kekhususan epigrafi di Universitas Indonesia,2 dan yang menekuninya sampai akhir hayatnya. Sesungguhnya Prof. Boechari memiliki pendahulu, yaitu alumnus Universitas Leiden (1938), Prof. Dr. Poerbatjaraka. Namun demikian, Prof. Dr. Poerbatjaraka tidak secara khusus menekuni epigrafi, melainkan juga filologi.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, masalah sejarah terutama berkenaan dengan masalah penulisannya, atau historiografi. Hal ini disebabkan oleh karena historiografilah yang akan menentukan bagaimana sejarah itu hendak disampaikan. Apakah akan disampaikan sebagai sejarah nasional, sejarah kebangsaaan, ataukah sebagai sejarah hasil kajian ilmiah. Demikian pula apakah akan disampaikan sebagai sejarah sosial atau politik, yang kesemuanya itu ditentukan oleh historiografi. Mengenai hal ini akan dibicarakan lebih lanjut kemudian. Tanpa kejelasan dan ketajaman akan pengertian historiografi, maka akan terdapat kerancuan antara berbagai arah penulisan tersebut di atas, dalam arti tidak terdapat perbedaan dalam penulisannya, antara sejarah kebangsaan dari sejarah hasil pengkajian ilmiah.

Sesungguhnya, pada waktu menerima permintaan untuk ikut berbicara dalam acara ini, saya sempat merasa ragu, oleh karena saya bukanlah seorang ahli epigrafi, sedangkan sejarah kuno pun bukan bidang keilmuan saya. Namun demikian, di sisi lain, saya pun berkeinginan untuk ikut meramaikan peluncuran buku kumpulan karangan Prof. Boechari. Sebagai jalan tengah, maka karangan ini akan membahas hubungan epigrafi dengan sejarah kuno dari perspektif historiografi. Dalam memilih permasalahan ini saya terinspirasi oleh teori Berg tentang Javaansche geschiedscrijving (1938 dan 1959).

Kebetulan, karangan Prof. Boechari tentang historiografi yang berjudul “Epigrafi dan historiografi Indonesia” dimuat dalam buku An Introduction to Indonesian Historiography yang salah seorang editornya adalah ayah saya. Oleh karena itu kesempatan ini pun sekaligus ingin saya pergunakan pula untuk mengenang  beliau. Atas dasar itu maka kajian akan dimulai dari bagaimana pendapat Prof Boechari tentang historiografi sejarah kuno Indonesia dalam hubungannya dengan epigrafi.

II.
Prof. Boechari membuka karangannya dengan menyatakan bahwa:

“Jika berbicara tentang sejarah kuno Indonesia, dengan sendirinya kita teringat akan karya N.J. Krom, Hindoe-Javaansche Geschiedenis (HJG). . . . yang sampai kini dapat dianggap sebagai satu-satunya buku referensi mengenai sejarah kuno Indonesia”. (1995:39).

Walaupun dalam pernyataannya ini hanya dinyatakan bahwa HJG masih tetap merupakan buku referensi sejarah kuno Indonesia, namun sesunnguhnya bagi beliau Krom dan bukunya itu memiliki makna lebih dari itu, yaitu yang berkenaan dengan historiografinya. Tentang hal ini beliau, dengan mengutip pendapat de Casparis, menyatakan:

“Kalau isi buku Krom itu diteliti, segera terlihat bahwa kita dihadapkan pada sebuah analisis yang berbeda sekali dari apa yang terdapat dalam buku sejarah konvensional. Di dalamnya kita sering menemukan pembahasan tentang tafsiran sebuah kata tertentu di dalam prasasti atau sumber sejarah lainnya, . . . . yang selanjutnya dipakai oleh Krom untuk menarik kesimpulan-kesimpulannya dengan hati-hati. Namun, tak jarang pula ia tidak menarik kesimpulan sama sekali”. (1995:39)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam historiografinya Krom telah menerapkan sebuah metode yang berbeda dari metode historiografi konvensional, yaitu metode interpretasi. Namun demikian, secara tidak langsung ditunjukkan pula bahwa dalam menerapkan metode ini tidak membuat Krom tanpa mengalami kesulitan dalam menarik kesimpulan. Kesulitan yang dihadapi Krom itu dapat diketahui dari pernyataan bahwa ia tidak jarang pada akhir analisisnya tidak menyimpulkan sama sekali hasil interpretasinya.

Di bagian lain dari karangannya itu, Prof. Boechari menunjukkan konsekuensi yang mengacaukan historiografi yang disusun berdasarkan atas hasil dari penerapan metode interpretasi terhadap kata tertentu itu: “apabila suatu teori disusun berdasarkan tanggal yang dibaca dengan salah, itu hasilnya ialah kekacauan”. (1995:43).

“Suatu contoh ialah prasasti di balik patung Camunḍi di Adimulyo (Singasari). Tanggalnya, yang memang terdapat di bagian yang rusak, semula dibaca oleh Goris dan Stutterheim sebagai tahun 1254 Çaka. Maka Stutterheim mengaitkan prasasti itu dengan Ratu Tribhuvanâ dari Majapahit dan dengan pertempuran-pertempuran di Sadeng dan Kĕta yang terjadi di bawah pemerintahannya.” (1995: 43)

Selanjutnya Prof. Boechari secara lebih rinci menguraikan tentang apa yang dimaksudkannya dengan kekacauan itu:

“Semua teori itu menjadi berantakan setelah Damais berhasil menetapkan bahwa tanggal yang tepat ialah 1214 Çaka, dan prasasti itu dikaitkan dengan dengan Raja Kĕrtanĕgara.” (1995: 43)

Di samping disebabkan oleh perbedaan interpretasi dalam membaca angka, kekacauan itu pun disebabkan pula oleh perbedaan dalam interpretasi membaca kata, sebagaimana dikatakannya:

“Bahkan setelah ada beberapa bagian tambahan melengkapi prasasti itu, kian jelaslah bahwa prasasti itu tidak ada kaitannya dengan pertempuran Sadeng, karena bagian yang menurut rekonstruksi Stutterheim berbunyi mawuyung yi sa (deng) seharusnya dibaca sakala-dwipâ tara” (1995: 43).


Kekacauan yang demikian itu mudah dimengerti mengingat keadaan prasasti itu sendiri, yang seperti dikatakan Prof. Boechari:

“Ada beberapa kesulitan inheren dalam menjalankan tugas tersebut. Pertama prasasti-prasasti itu banyak yang dalam keadaan rusak, terutama yang tertulis di atas batu, sehingga sulit membacanya. Tetapi bagaimanapun juga, sekalipun berbekal ketekunan, ia sering menghadapi bagian-bagian prasasti yang tidak dapat dibaca lagi. Terjemahan naskah mendatangkan kesulitan lain. Pengetahuan kita tentang bahasa-bahasa yang dipakai dalam prasasti belum memadai untuk menangkap arti teks itu sepenuhnya.” (1995: 41)



Di dalam menghadapi kondisi yang demikian ini, maka Prof. Boechari merumuskan tugas ahli epigrafi sebagai berikut:

“Tugas ahli epigrafi sekarang ini bukan hanya mempelajari prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga mengkaji kembali semua prasasti yang telah diterbitkan transkripsi sementaranya, lalu menerjemahkan prasasti-prasasti itu ke dalam bahasa modern agar sarjana lain, terutatama sejarawan, dapat memanfaatkan keterangan yang terdapat di dalamnya.” (1995: 41)

III.
Menilik kutipan terakhir itu, Prof. Boechari menempatkan prasasti dalam kedudukan sebagai sumber sejarah, sedangkan ahli epigrafi bertugas untuk mengalih aksarakan teks yang tertulis di dalamnya serta kemudian menerjemahkan bahasa yang dipakai ke dalam bahasa modern. Adapun tugas selanjutnya, antara lain menulis sejarah, diserahkan kepada ahli sejarah. Dengan demikian maka, menurut Prof. Boechari, ahli epigrafi tidak menulis sejarah, melainkan mempersiapkan sumber sejarah agar dapat dipakai oleh ahli sejarah.

Dalam konteks kesejarahan, kedudukan prasasti sebagai sumber sejarah itu dapat dianalogikan dengan arsip. Hakekat arsip, menurut archival science atau archivistik, merupakan peristiwa yang dengan sendirinya telah berlalu sehingga telah mengalami pembekuan. Adapun tugas ahli kearsipan adalah membuat peristiwa itu cair kembali, sehingga dapat menjadi bermakna dalam masa sekarang. Dengan demikian, maka tugasnya adalah mengubah masa lampau menjadi masa kini, dengan cara menjadikan yang statis menjadi dinamis.

Dalam rangka pemikiran yang demikian inilah maka sesungguhnya muncul permasalahan hakekat prasasti itu. Apakah prasasti itu sebuah sumber sejarah atau merupakan sebuah historiografi. Dalam menghadapi permasalahan ini, maka menarik kiranya untuk disimak pendapat Berg, yang juga disinggung Prof. Boechari, walaupun dalam konteks yang berbeda, yaitu yang berkenaan dengan “historiografi” dalam HJG Krom. Sebagaimana diketahui, Krom dalam menyusun HJG, khususnya yang berkenaan dengan sejarah Singasari dan Majapahit mempergunakan Pararaton dan Nâgarakṛtâgama karya Prapañca sebagai sumbernya.

Berbeda dari Prof. Boechari, Berg (1938) justru menyangsikan penggunaan Pararaton dan Nâgarakṛtâgama dan prasasti oleh Krom sebagai sumber sejarah. Menurut Berg kedua kitab itu lebih merupakan sebuah kitab keagamaan yang ditujukan untuk kelanggengan dinasti yang sedang memerintah, daripada kitab yang melukiskan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sehingga ia cenderung untuk meragukan penggunaannya sebagai fakta atau bukti sejarah, sebagaimana Krom melakukannya. Atas dasar itu maka ia lebih cenderung untuk memperlakukannya sebagai sebuah “historical literary magic‟ (1962: 205), sebuah historiografi yang khas Jawa. Mudah dimengerti bahwa dengan memperlakukan kedua kitab itu secara demikian (1938, 1959), maka kedudukannya sebagai sumber sejarah dengan sendirinya patut diragukan. Masalahnya adalah apakah sebuah sumber penelitian yang ditulis dalam bentuk historiografi itu isinya dapat diperlakukan sebagai fakta sejarah. Apa yang menarik dari Berg adalah bahwa dalam ia menulis sendiri sejarah kuno Indonesia, ia menerapkan teori historiografi Jawa yang dikembangkannya, seperti misalnya Het Rijk van de Vijfvoudige Buddha yang telah disebut di atas, di antara karya-karyanya yang lain.

Pada kesempatan ini patut diingat kiranya bahwa sesungguhnya, ahli sejarah pertama yang menemukan dan kemudian memperkenalkannya kepada komunitas ilmiah dunia akan keberadaan kekhasan historiografi di Nusantara itu adalah Husein Djajadiningrat (1913). Beliau melakukannya dalam tahun 1913 dan yang mengajukannya sebagai disertasi.


IV.
Setelah membicarakan masalah epigrafi, maka sampailah kita pada pembicaraan tentang sejarah kuno. Pertama marilah kita simak terlebih dahulu pendapat Prof. Boechari.

“Seorang sejarawan tidak dapat mengharapkan bahwa semua prasasti memuat keterangan lengkap seperti “batu Calcutta‟ atau prasasti dari Gunung Butak. Ia harus membangun cerita sejarahnya dari sejumlah fakta yang tersebar dalam berbagai prasasti, sebagaimana burung membangun sarangnya dengan menghubungkan beberapa titik pada dahan yang terpisah-pisah.” (1995: 51)

Dari kutipan di atas, secara tegas Prof. Boechari telah memperlakukan prasasti sebagai sebuah fakta sejarah. Dengan demikian maka tugas ahli sejarah adalah menghubungkan fakta-fakta yang diperolehnya melalui pembacaan aksara dan penerjemahan teks yang digoreskan dalam prasasti. Melalui konsep sejarah kuno sebagaimana yang dianut oleh Prof. Boechari, maka tidaklah mengherankan apabila ahli epigrafi di Indonesia, dapat sekaligus juga menjadi ahli sejarah kuno.

Bagaimana apabila masalah tersebut di atas ditinjau dari sudut historiografi, yang patut disayangkan luput dari perhatian Prof. Boechari. Beliau hanya menyimpulkan : ”Dalam alinea-alinea tersebut, dengan singkat penulis telah mencoba membicarakan epigrafi dan mencoba memberikan usulan bagaimana epigrafi dapat membantu historiografi Indonesia kuno.” (1995: 56). Dengan demikian maka Prof. Boechari mendudukkan epigrafi sebagai ilmu bantu sejarah, khususnya sejarah kuno dan secara lebih khusus lagi sejarah kuno Indonesia. Sebagai konsekuensinya maka prasasti dengan demikian saja diperlakukan sebagai fakta sejarah, sedangkan historiografi digambarkan sebagai metode merangkai berbagai fakta tersebut. Mungkin metodologi yang dianut sedemikian ini menjadikan beliau tidak lagi menyinggung masalah historiografi sebagai historiografi. Di sisi lain, historiografi sebagai historiografi sesungguhnya telah dikaji oleh seorang ahli filsafat sejarah Italia, Benedetto Croce (1921) yang hidup sejaman dengan Krom. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya baik ahli sejarah, filsafat maupun ahli-ahli ilmu sosial dan budaya lainnya, sedikit banyak tidak terlepas dari penggunaan fakta sejarah dan bahan bukti yang diolah untuk mendukung penalaran, sudut pandang maupun teori yang mereka kembangkan. Historiografi sebagai sebuah bidang ilmu tidak memiliki sebuah metode akan tetapi mengembangkan tradisi yang berlain-lainan, sehingga banyak menimbulkan ketidak samaan pendapat dalam memandang peran sejarah. Di antara tradisi-tradisi itu, sepanjang perjalanan sejarahnya, dapat dikenali berkembangnya dua tradisi yang saling bertentangan dalam pendekatannya. Pertama yang bermaksud untuk menjadikan sejarah “scientific” dengan menekankan penerapan metode dan teknik analisis fakta sejarah secara ketat (Collingwood, 1956; Dray, 1964). Di lain fihak sisi ahli sejarah yang tidak hanya melihat pentingnya penerapan metode dan teknik yang ketat melainkan juga mengutamakan aspek “humanity”.

Penerapan metode sejarah menunjukkan bahwa pendekatan induktif lebih banyak diterapkan daripada metode deduktif, demikian pula yang spesifik atau individual lebih banyak diteliti daripada yang bersifat umum. Dari penerapan yang demikian itu maka terlihat bahwa sesungguhnya setiap periode dan konteks sejarah memiliki penjelasan sendiri tentang penalaran dan sebab tentang mengapa suatu peristiwa itu terjadi. Oleh karenanya setiap peristiwa sejarah harus diperlakukan sebagai keunikan sesuai dengan periode dan konteksnya yang spesifik, sehingga dengan demikian tidak mungkin digenaralisasi.

Tradisi historiografi yang terdekat dengan tradisi yang pertama adalah tradisi Annales (Clark, 1985), melalui kajiannya terhadap bukti sejarah dapat mengungkapkan tingkat generalisasi tertentu. Atas dasar ini maka Tradisi Annales dikenal sebagai aliran historiografi yang empiris-analitis. Adapun tujuan dari aliran ini adalah bagaimana memahami masa lampau. Namun demikian pengertian memahami yang dianut aliran ini hanya merupakan suatu tahapan untuk mencapai explanasi kausal. Untuk mencapai tujuan ini maka diperlukan penerapan seperangkat metode dalam mengumpulkan dan menganalisis data sejarah. Menurut pemahaman aliran ini, hanya dengan cara demikianlah sejarah dapat menjadi ilmiah (scientific), dan dengan demikian menjadi lebih bermartabat. Hal ini disebabkan oleh karena konteks Prancis menganggap bahwa pemahaman atas sejarah merupakan landasan bagi pemahaman lebih lanjut tentang kemanusiaan (humanity).

Adapun aliran yang kedua adalah tradisi historiografi yang menerapkan metode kritik dan pendekatan dengan perspektif hermeneutik. Sebagai konsekuensi metodologisnya, aliran ini beranggapan bahwa tidaklah mungkin untuk dapat memahami masa lampau secra langsung, tanpa perantaraan interpretasi yang didasarkan atas perspektif dan konteks masa kini. Hal ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa untuk memahami fakta yang terekam di dalamnya haruslah terlebih dahulu memahami konteks budayanya. Walaupun bagaimana proses perekaman itu menyangkut bagaimana kebudayaan itu memandang dunianya serta fakta-fakta yang ada di dalamnya.

Sebagaimana telah diutarakan, mengembangkan pengertian memahami dangan mengkaitkannya dengan explanasi kausal. Sebalikanya, perspektif hermeneutik mengembangkan makna pemahaman menjadi lebih luas dari sekedar explanasi kausal. Masalahnya adalah bahwa untuk menerangkan sebuah fenomena tidak cukup hanya dengan mengungkapkan hubungan kausalitasnya. Guna dapat memperoleh pemahaman yang benar perlu diketahui terlebih dahulu mengapa kausalitas itu terjadi. Pemahaman tentang suatu fenomena tidak dapat diperoleh melalui pengetahuan yang instan, melainkan harus senantiasa dilakukan melalui proses eksplanasi tentang antar hubungan yang terjadi. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pengertian pemahaman menurut perspektif hermeneutik adalah pemahaman tentang explanasi antar hubungan, dan bukan sekedar hubungan kausal.

Pada akhirnya tentang historiografi dapat disimpulkan bahwa guna dapat melukiskan berbagai peristiwa dan dengan demikian juga sejarah memerlukan metode untuk mengkaji kumpulan berbagai fakta empiris dan pengulangan terjadinya kejadian-kejadian yang sama. Namun demikian hanya melalui pendekatan ini belum dapat diperoleh pemahaman dalam arti yang sebenarnya. Guna dapat memperolehnya masih diperlukan interpretasi. Dalam hal ini perlu diingat bahwa interpretasi sendiri sesungguhnya mengandung bias perspektif yang diakibatkan oleh pengalaman masa lampau, minat, dan nilai. Namun demikian bias ini dapat diatasi dengan cara terus menerus mempermasalahkan kejadian-kejadian yang sama, serta menguji kesamaan-kesamaan yang dapat dikenali dengan kecualian-kecualian yang kiranya dapat menghambat pemerolehan pemahaman yang baru.

V.
Setelah memperhatikan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai akibat dari pengabaian terhadap peran historiografi dalam penulisan sejarah kuno maka epigrafi seolah-olah sama dengan sejarah kuno atau sejarah kuno sama dengan epigrafi. Sementara itu historiografi telah berkembang dan memiliki beberapa tradisi yang tujuannya adalah memahami masa lampau. Namun demikian, walaupun pemahaman itu harus diperoleh melalui metode interpretasi yang bias dalam perspektif serta bersifat subyektif, dan oleh karena itu perlu didahului dengan penerapan metode science yang ketat, untuk kemudian mengalami pengujian kembali.

Melalui penerapan historiografi, terlepas dari tradisi historiografi apa, mudah-mudahan akan dapat diungkapkan pemahaman baru tentang berbagai peristiwa, dan pemahaman baru tentang terjadinya pengulangan kejadian yang sama, sehingga dapat diperoleh pengetahuan tentang masa lampau, pengetahuan tentang kekhasan tiap periode kesejarahan, atau pengetahuan tentang kejadian yang sama dan terjadi secara berulang-ulang, misalnya. Kemungkinan akan memperoleh hasil yang demikian ini memperkuat atau mengaskan pernyataan di atas, yang mengatakan bahwa pemahaman tentang masa lampau tidak dapat dilakukan dengan pengetahuan yang instan terhadap fakta sejarah, melainkan mutlak diperlukan penerapan metode “antara‟ yaitu interpretasi.

Dalam konteks epigrafi, maka apabila prasasti diperlakukan sebagai representasi fakta sejarah masa lampau, maka terhadapnya tidak dapat dipahami melalui interpretasi kata demi kata. Hal ini disebabkan oleh karena prasasti merupakan proses bekuan dari peristiwa, sehingga unit analisisnya pun seyogyanya juga peristiwa dan bukan kata. Dengan demikian maka metode interpretasi yang diterapkan tidak terbatas pada kata, melainkan kata dalam konteks. Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Boechari sendiri, melalu penerapan interpretasi instan ini, Krom tidak dapat mengambil kesimpulan, padahal tujuan historiografi adalah memperoleh pemahaman tentang masa lampau untuk pada akhirnya menguasai pengetahuan baru tentang kemanusiaan. Dalam kesempatan ini saya hanya dapat menyampaikan bahwa perlu penajaman konsep tentang apakah prasasti itu merupakan fakta sejarah atau sebuah bekuan tentang peristiwa masa lampau.

1 Artikel ini disampaikan pada Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia, pada tanggal 5 Desember 2012, di Kampus Universitas Indoneia,Depok 2 Mahasiswa pertama di bidang ini adalah J.G. de Casparis yang mempertahankan disertasinya yang berjudul Inscripties uit de Çailendra Tijd, pada tahun 1950.
2. Mahasiswa pertama di bidang ini adalah J.G. de Casparis yang mempertahankan disertasinya yang berjudul Inscripties uit de Cailendra Tijd, pada tahun 1950.


Kepustakaan
Berg, C.C. 1938 “Javaanse Geschiedschrijving”, dalam Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie. 1951 De evolutie der Javaanse geschiedschrijving. 1962 Het Rijk van de Vijfvoudige Buddha. Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Werenschappen Afd Letterkunde. Nieuwe Reeks, LXIX. No.7. Amsterdam.
Boechari 1995 “Epigrafi dan Historiografi Indonesia”, dalam Soedjatmoko, dkk. (eds), Historiografi Indonesia. Sebuah Pengantar. Diterjemahkan oleh Mien Joebhaar. Jakarta. Hlm. 39-57.
Clark, Stuart 1985 “The Annales Historians”, dalam Quentin Skinner, The Return of Grand Theory in Human Sciences. Cambridge.
Collingwood, R.G. 1956 The Idea of History. London: Oxford University Press.
Croce, B. 1921 Theory & History of Historiography. Diterjemahkan dari Bahasa Itali oleh Douglas Ainslie. Londin.
Djajadiningrat, Husein 1913 Critische beschouwing van de Sadjarah Bantĕn. Harlem.
Dray, William H. 1964 Philosophy of History. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Krom, N.J. 1931 Hindoe-Javaansche Geschiedenis. „s-Gravenhage.
Skinner Quentin, 1985 The Return of Grand Theory in Human Sciences. Cambridge.
Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J. Resink, and G. McT. Kahin (eds) 1965 An Introduction to Indonesian Historiography Ithaca, New York. 1995 Historiografi Indonesia. Sebuah Pengantar. Diterjemahkan oleh Mien Joebhaar. Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar