Rabu, 13 Februari 2013

Prasasti di Petirtaan Belahan: Catatan Peristiwa Gerhana Bulan?



Prasasti di Petirtaan Belahan:
Catatan Peristiwa Gerhana Bulan?
Trigangga
(Makalah dipublikasikan dalam acara Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012)

Tahun lalu (2011) penulis melakukan survei ke beberapa situs purbakala di Jawa Timur. Dari beberapa situs yang dikunjungi, ternyata situs candi, atau lebih tepatnya patirthān (pemandian) Belahan yang mendapat perhatian khusus penulis. Petirtaan atau tempat pemandian Belahan terletak di sisi timur lereng Gunung Penanggungan, tepatnya berlokasi di desa Wonosuryo, kecamatan Gempol, kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Posisi astronomis situs ini berada di Lintang Selatan: 7º 36‟ 27”, Bujur Timur: 112º 39‟ 5.04”, dengan ketinggian 336 m dari permukaan laut, dan arah hadap 115º Tenggara. Penduduk setempat menyebut petirtaan Belahan dengan istilah “Sumber Tetek”, karena pada salah satu arca wanita, air mengalir dari kedua payu daranya, sumber air yang tak pernah kering hingga sekarang.

Mata penulis tertuju pada sebuah batu pipih di depan petirtaan tersebut; bentuknya dalam banyak hal mirip dengan prasasti-prasasti batu yang banyak bertebaran di halaman dalam Museum Nasional Jakarta. Bentuknya lebih banyak kemiripannya dengan prasasti-prasasti dari periode Mataram Kuno. Rasa ingin tahu pun timbul lalu mendekat dan mengamati “prasasti” itu dengan seksama. Setelah “dibolak- balik” tetap saja tidak menemukan sebaris tulisan pada batu yang diduga prasasti, yang ada hanya gambar timbul atau relief.
Ternyata penulis selama ini salah menduga bahwa yang namanya prasasti tidak selalu memuat tulisan (walau kadang-kadang ada relief sebagai hiasan) melainkan juga memuat gambar timbul/relief (tetapi bukan sebagai hiasan). Deskripsi prasasti tersebut adalah sebagai berikut: prasasti patah menjadi dua bagian, merusak sedikit relief pada bagian bawah (sisi muka). Berbentuk pipih empat persegi dengan bagian atas membulat, prasasti berdiri pada sebuah lapik berbentuk bunga teratai ganda. Pada sisi muka, sebuah relief bergambar Kala berambut ikal yang memenuhi bidang atas prasasti; Kala ini tanpa tubuh dan kaki, tetapi mempunyai dua tangan yang sedang menggenggam dan menggigit sesuatu berbentuk bulat dan berlubang. Ada tiga mahluk kayangan terbang melayang di sekitar kepala Kala; yang satu berada di atas kepala, dua mahluk lagi berada di bagian bawah. Dua kepala mahluk kayangan ini sepertinya menyatu dengan sesuatu yang berbentuk bulat tadi. Sisi belakang: relief pada sisi ini kurang jelas, mungkin bagian dari rambut Kala yang panjang menjulur hingga menghiasi sisi belakang. Ada hiasan bundar seperti medalion tetapi dipahat cukup dalam. Pada hiasan medalion ada dua lubang, salah satunya tembus hingga ke bulatan berlubang di sisi muka. Kalau diamati prasasti ini mungkin bagian dari pemandian karena adanya lubang tembus yang berfungsi sebagai aliran air.


Sĕngkalan Mĕmĕt (Kronogram)

Kalau itu sebuah prasasti, apa makna dari relief tersebut? Relief itu merupakan Sĕngkalan atau kronogram. Sĕngkalan merupakan salah satu cara untuk menyem-bunyikan maksud, yaitu angka disembunyikan dalam bentuk kata-kata. Sĕngkalan memiliki kemungkinan diformulasikan dalam bentuk gambar, relief, patung, atau ornament. Bentuk tersebut dinamakan sĕngkalan mĕmĕt, sedangkan yang berupa kata-kata disebut sĕngkalan lamba. Rangkaian kata yang dimaksud selalu mengandung kata-kata yang memiliki nilai angka. Nilai angka tersebut ditata secara linear untuk mendapatkan angka tahun yang dikehendaki. Penataan kata tersebut disusun secara terbalik dengan penataan angka tahun yang dimaksud. Contoh sĕngkalan mĕmĕt antara lain terdapat di kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di kraton Yogyakarta terdapat ornamen naga yang menghadap ke timur dan ke barat dengan ekor yang saling melilit. Ornamen tersebut diformulasikan dalam kalimat: dwi naga rasa tunggal („dua naga rasa satu‟). Kata dwi bernilai 2, naga bernilai 8, rasa bernilai 6, dan tunggal bernilai 1. Dengan demikian sĕngkalan tersebut menunjuk angka tahun 1682 (Jawa); menunjukkan tahun berdirinya kraton Yogyakarta, bertepatan dengan tahun 1170 Hijriah, dan tahun 1756 M (Macaryus 2007: 187-190).

Kalimat sebuah sĕngkalan yang baik seharusnya sesuai dengan peristiwa yang diperingati. Sebagai contoh, pembunuhan Raja Jayanagara oleh seorang tabib kerajaan, Ra Tañca, dan selanjutnya Ra Tañca sendiri dibunuh oleh Gajah Mada, diperingati dalam naskah Pararaton dengan sĕngkalan lamba: bhasmi-bhuta-nangani-ratu (“basmi/bunuh, makhluk jahat yang menangani raja”). Artinya, Ra Tanca yang menangani/mengobati raja akhirnya dibunuh). Sĕngkalan itu bermakna: 0 (bhasmi) – 5 (bhuta) – 2 (nangani) – 1 (ratu). Jadi, keseluruhannya menunjukkan angka tahun 1250 Saka, bertepatan dengan tahun 1328 M (Atmodjo 1986:257).

Satu contoh lagi adalah sĕngkalan lamba pada sebuah prasasti yang berasal dari Candi Sukuh, sekarang disimpan di Museum Nasional (nomor inventaris 422a). Pada bagian akhir menyebut titimangsa: …. Sakakalanya goh wiku hanahut butut, 1379 (artinya: …tahun Sakanya „lembu pendeta menggigit ekor‟, 1379). Sĕngkalan itu bermakna : 9 (goh = lembu), 7 (wiku = pendeta), 3 (hanahut = menggigit), 1 (bu[n]tut = ekor). Keseluruhannya menunjukkan angka tahun 1379 Saka (= 1457 M). Sĕngkalan tersebut dipertegas lagi dalam wujud angka Jawa Kuna, 1379 (Muusses 1923: 509)

Berdasarkan itu pula maka sĕngkalan mĕmĕt pada prasasti di petirtaan Belahan ditafsirkan sebagai: Kala (Rahu) anahut Candra atau “Kala (Rahu) menggigit (Dewi) Bulan”, dapat juga dalam kalimat pasif; Candra sinahut Kala (Rahu) atau “(Dewi) Bulan digigit Kala (Rahu). Sĕngkalan itu bermakna: 1 (Candra = Bulan), 3 (sinahut = digigit) 9 (Kala Rahu). Angka keseluruhan menunjukkan angka tahun 931 Saka atau 1009 M. Sĕngkalan mĕmĕt tersebut menunjukkan peristiwa yang terjadi pada tahun tertentu, yaitu peristiwa gerhana Bulan. Mengapa gerhana Bulan? Bukan gerhana Matahari? Padahal relief pada batu prasasti itu menunjukkan dua mahluk kayangan, Surya (Matahari) dan Candra (Bulan), yang kepalanya berbentuk piringan bundar itu digigit Kala Rahu.

Kaitan Sĕngkalan Mĕmĕt dengan Mitologi

Syahdan, ketika para dewa berhasil merebut guci berisi air kehidupan (amĕrta) dari tangan para raksasa pada waktu pengadukan lautan susu (Samudramanthana), mereka berpesta pora minum air kehidupan. Tetapi diam-diam seorang raksasa, Kala Rahu, ikut berbaur di antara para dewa hendak mencicipi air kehidupan. Gerak-geriknya ini segera diketahui oleh Dewi Ratih yang kemudian memberitahu Dewa Wisnu. Segera Dewa Wisnu menarik busur dengan anak panah diarahkan ke leher Kala Rahu. Anak panah melesat mengenai leher Kala Rahu dan putus seketika. Tubuh raksasa ambruk ke bumi, namun kepalanya yang sempat menenggak air kehidupan melayang ke angkasa. Kepala yang hidup itulah yang kemudian marah dan setiap saat meneror ingin menelan Dewi Ratih (Bulan), sehingga terjadi gerhana. Untuk mengalihkan perhatian Kala Rahu, masyarakat Jawa dan Bali biasanya memukul-mukul kentongan/lesung agar ia mengurungkan niatnya menelan Bulan. Kalaupun Bulan berhasil ditelan oleh Kala Rahu, tentunya ia akan keluar lagi melalui leher yang putus itu.

Jadi jelaslah kaitan antara sĕngkalan mĕmĕt pada prasasti tersebut dengan mitologi di atas, yaitu suatu catatan peringatan terjadinya gerhana Bulan. Relief pada prasasti itu sangat cocok dengan uraian cerita sampingan dari Samudramanthana. Pada relief itu jelas menggambarkan Kala Rahu yang menangkap dan menggigit hendak menelan dua mahluk kayangan yang kepalanya berbentuk bulat seperti piringan Bulan dan Matahari. Mereka adalah Dewi Candra dan Dewa Surya, yang ketika ditelan oleh Kala Rahu mengakibatkan terjadi gerhana Bulan dan Matahari. Tetapi, gerhana Bulan tidak mungkin datangnya bersamaan dengan gerhana Matahari seperti yang digambarkan pada relief tersebut. Biasanya, pada saat tertentu bila terjadi gerhana Bulan 14-15 hari kemudian terjadi gerhana Matahari, atau sebaliknya.


Kapankah Peristiwa Gerhana Terjadi?

Menurut astronomi Hindu ada sembilan planet (nawagraha) yang mengelilingi Bumi (faham geosentris), yaitu Aditya (Matahari), Candra (Bulan), Manggala (Mars), Budha (Merkurius), Brhaspati (Yupiter), Sukra (Venus), Sani (Saturnus), Rahu (simpul naik), dan Ketu (simpul turun). Rahu dan Ketu, dapat dikatakan “planet semu” karena tercipta dari perpotongan garis-garis edar Matahari (ekliptik) dan Bulan. Oleh karena Matahari dan Bulan mengitari Bumi dalam posisi miring (membentuk sudut 5º 9‟) maka terciptalah dua titik potong atau simpul (nodes), yaitu „simpul naik‟ (ascending node) dan „simpul turun‟ (descending node). Kedua titik simpul inilah yang pada waktu tertentu menghasilkan gerhana Matahari dan Bulan, dan pada saat itu Rahu dan Ketu dapat dilihat sedang “menelan” Matahari atau Bulan, dan langit pun menjadi gelap.

Oleh karena kemiringan garis edar Bulan terhadap garis edar Matahari (ekliptika) cukup besar, maka maksimal terjadi gerhana dalam setahun adalah 7 kali; 4 kali gerhana Matahari dan 3 kali gerhana Bulan. Tetapi peluang untuk mengalami gerhana Matahari total di suatu tempat lebih kecil daripada mengalami gerhana Bulan total. Gerhana Matahari Total hanya dapat disaksikan di tempat-tempat yang dilalui bayangan Bulan, dan peluang untuk mengalami peristiwa yang sama amat langka. Contohnya, gerhana Matahari Total yang pernah melewati candi Borobudur pada 11 Juni 1983, itu akan terjadi lagi sekitar 360 tahun kemudian. Beda dari gerhana Bulan Total di mana separuh tempat di belahan Bumi yang mengalami gelap (malam hari) dapat menyaksi-kan gerhana Bulan dalam waktu yang berbeda. Gerhana Bulan akan berulang di tempat yang sama tapi dalam waktu yang berbeda (sekitar 8 jam) setelah berlangsung 18 tahun 10 hari.

Jadi, peristiwa apa yang terjadi pada tahun 931 Saka (1009 M) di petirtaan Belahan, seperti tergambarkan pada relief prasasti tersebut? Sepanjang tahun 1009 itu telah terjadi 6 kali gehana; 4 kali gerhana Matahari dan 2 kali gerhana Bulan. Keempat peristiwa gerhana Matahari itu tidak dapat dilihat di wilayah Indonesia, apalagi di lokasi petirtaan Belahan. Sedangkan dari 2 peristiwa gerhana Bulan Total yang dapat dilihat di Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian barat, adalah gerhana Bulan yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 1009. Gerhana Bulan sudah mulai menjelang fajar pukul 04:08 di ufuk barat dan mencapai klimaks gerhana parsial pada pukul 04:56. Pada waktu itu Matahari belum terbit di ufuk timur walau langit sudah kelihatan sedikit terang. Barulah 10 menit kemudian Bulan purnama yang sebagian masih tertutup bayangan inti (umbra) Bumi terbenam di ufuk barat, sebaliknya Matahari terbit di ufuk timur pukul 05:16. Puncak gehana Bulan total terjadi pukul 06:00 pagi. Bulan baru benar-benar keluar dari bayangan Bumi (akhir gerhana) pada pukul 08:45 waktu setempat.

Menandai Pembangunan Petirtaan Belahan?

Ada beberapa sarjana yang berpendapat tentang waktu pembangunan petirtaan Belahan. Th. A Resink (1968:6) pernah mengemukakan pendapat bahwa pemandian Belahan berasal dari masa pemerintahan Pu Sindok (abad ke-10). Pendapatnya cukup masuk akal karena sekitar 300 meter di bawah Belahan terdapat sebuah prasasti dari masa pemerintahan Sindok, yaitu prasasti Cunggrang tahun 929 M. Di dalam prasasti itu disebutkan tentang Sang Hyang Tirtha Pañcuran di Pawitra. Tirtha Pañcuran (air pancuran) inilah yang diidentifikasikan sebagai pemandian Belahan.

Sarjana-sarjana yang lain berpendapat bahwa candi Belahan dibangun sekitar tahun 971 Saka atau 1049 M, berdasarkan pada lempengan batu dengan ukiran relief yang menunjukkan kronogram (Bernet Kempers 1959: 69-70; Kinney, dkk 2003: 63-67). Ketika Raja Airlangga sudah selesai menunaikan pembagian kerajaan menjadi dua, Janggala dan Panjalu, kepada kedua anaknya yang berebut kekuasaan, Ia mulai mengundurkan diri secara total dari singgasana menjadi pendeta. Sebelum itu, tahun 1042 M, ia pernah mengundurkan diri dari pemerintahan menjadi pendeta dengan gelar Aji Paduka Mpungku Sang Pinakacatraning Bhuwana. Tetapi karena konflik internal kerajaan belum mereda Aji Paduka Mpungku kembali memegang tampuk pimpinan kerajaan. Tak lama Airlangga menjadi pendeta (wiku), ia pun wafat tahun 1049 dan dimuliakan sebagai Dewa Wisnu. Arca Wisnu (perwujudan Airlangga) naik Garuda yang konon dulu berdiri di antara dewi Sri dan Laksmi di pemandian Belahan sekarang disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto. Akan tetapi, jika diperhatikan lebih lanjut, arca Wisnu naik Garuda itu terlalu besar untuk diletakkan di lapik antara kedua arca dewi tersebut, juga tidak masuk dalam relung dinding belakang yang dangkal dan sempit.

Pendapat lain lagi menyatakan bahwa petirtaan Belahan bukan dibangun pada periode abad X atau XI Masehi. Apabila diperhatikan dari sudut seni arca, kedua arca dewi yang masih ada di Belahan sejatinya bukan memperlihatkan arca-arca dari abad X atau abad XI, arca-arca tersebut justru menyimpan ciri gaya seni arca yang lebih muda. Ciri-ciri arca sebagaimana yang dimiliki dua arca dewi di Belahan adalah hal yang lazim dijumpai pada arca-arca zaman Majapahit (abad XIV). Arca-arca tersebut walaupun sebagai arca pancuran memperlihatkan sikap kaku seperti halnya arca-arca perwujudan yang menggambarkan tokoh yang telah meninggal. Arca perwujudan adalah khas Majapahit, arca digambarkan dengan kedua tangan terjulur di samping tubuh, dalam sikap anjalimudra atau dyanamudra di depan dada. Dalam hal dua arca dewi di Belahan keduanya memiliki tangan kanan dan kiri dengan sikap simetris. Kedua arca tersebut sejatinya menggambarkan arca Dewi Parwati, sakti Siwa Mahadewa, bukan Sri dan bukan pula Laksmi. Dalam ikonografi Hindu, dewi yang digambarkan bertangan empat hanyalah Dewi Parwati sebagai dewi tertinggi, bukan dewi-dewi lainnya. Menilik gaya seni arca yang sepenuhnya bergaya Majapahit, maka dapat disimpulkan bahwa mungkin petirtaan Belahan dibangun dalam era Majapahit (Agus Aris Munandar, 2011).

Tetapi pendapat-pendapat di atas tidak sesuai dengan „pesan‟ prasasti berupa sĕngkalan mĕmĕt, yang berada di depan petirtaan tersebut dan mungkin sekali menjadi bagian darinya mengingat ada saluran untuk mengalirkan air pada prasasti itu. Jadi, petirtaan Belahan dibangun sesuai dengan “pesan relief” pada prasasti, yaitu tahun 931 Saka, atau sesuai peristiwa gerhana Bulan yang terekam pada tanggal 7 Oktober 1009. Tahun pembangunan petirtaan Belahan masuk dalam masa pemerintahan Raja Dharmmawangsa Tĕguh Anantawikrama, 8 tahun sebelum kerajaannya hancur lebur diserang oleh Haji Wurawari dari Lwaram. Ketika pembangunan pemandian tersebut, Airlangga yang diperkirakan lahir tahun 1000 M masih berusia muda (kanak-kanak). Adakah kemungkinan pembangunan petirtaan Belahan, dalam hal ini perbaikan atau perluasan, berlanjut hingga periode Majapahit? Jika benar ada, mengapa pembangunan petirtaan Belahan tidak terlihat signifkan seperti pembangunan kompleks percandian Panataran yang dibangun dalam periode abad XII – XIV (Kadiri – Majapahit)?

REFERENSI
Atmodjo, M.M. Sukarto K. 1986. “Prasasti Batu Gunung Namil”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV: Iia. Aspek Sosial-Budaya, hal. 250 – 263. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bernet Kempers, A.J., 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Chevalley, Patrick, Peter Dean, John Sunderland. Cartes du Ciel (Sky Charts), Free Software, version 3.62150, 2012/03/03, 14:56:51.
Kinney, Ann R, Marijke J. Klokke, Lydia Kieven. 2003. Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java. University of Hawaii Press.
Macaryus, Sudartomo., 2007. “Sengkalan; Tinjauan Struktur dan Isi”, dalam Sintesis vol.5 No.2, Oktober 2007.
Mardiwarsito, L., 1990. Kamus Jawa Kuna – Indonesia (cetakan IV). Ende (Flores): Nusa Indah.
Munandar, Agus Aris, 2011. “Patirthan di Pawitra: Jalatunda dan Belahan”, dalam blog Djulianto S, hurahura.wordpress.com/2011/01/01/patirthan-di-pawitra-jalatunda-dan-belahan.
Muusses, Martha A.,Dr. 1923. “De Soekoeh – Opschriften”, dalam Tijdschrift Bataviasch Genootschap, deel LXVII, hal. 496 – 514.
Resink, Th.A., 1968. “Belahan or Myth Dispelled”, Indonesia, Ithaca, New York: Modern Indonesia Project, Cornell University. No.6 (Oktober): 2 – 37.
Sumadio, Bambang (penyunting), 1984. Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar