Rabu, 27 Maret 2013

Aksara



Harimurti Kridalaksana dan Hermina Sutami



Bahasa merupakan sistem tanda bunyi yang digunakan oleh pemakainya untuk berkomunikasi dan untuk pelbagai keperluan lainnya [bahasa lisan]. Bahasa juga memiliki wujud tulis yang merupakan hasil perkembangan budaya, yakni bahasa tulis. Dengan demikian, bahasa mempunyai dua wahana untuk mewujudkannya, yaitu bunyi dan tulisan.

Tulisan berada dalam suatu sistem yang disebut sistem tulisan atau aksara. Gelb (1952:12) mengatakan bahwa tulisan adalah “a system of human intercommunication by means of conventional visble marks [..]” atau ‘sebuah sistem komunikasi antarmanusia yang menggunakan sarana konvensional yang bersifat visual’. Sebagai sebuah sistem, aksara mencakup aturan menulis, urutan abjad, cara melafalkan abjad, struktur karakter dan sebagainya.


Asal Mula dan Perkembangan Aksara

Aksara tidak muncul dengan sendirinya di muka bumi ini, tetapi diciptakan oleh manusia seiring dengan berkembangnya kebudayaan. Penemuan atau bukti arkeologislah yang mendukung pernyataan para ahli tentang asal mula penyebaran, perkembangan dari aksara yang sudah berumur ribuan tahun.

Masa Praaksara

Bilamana dan oleh siapa tulisan diciptakan belum diketahui secara pasti karena belum ditemukan bukti tertulisnya. Dalam masyarakat beredar legenda tentang asal-muasal tulisan. Penduduk India mempercayai bahwa Ganesha (dewa kebijaksanaan berbentuk gajah) adalah pencipta tulisan. Diceritakan bahwa ia mematahkan sebuah taringnya untuk digunakan sebagai alat menulis kitab suci Veda disamping mengajarkan secara lisan. Masyarakat Mesir percaya bahwa Dewa Thoth menciptakan tulisan untuk Raja Thamus (Coulmas,1989:5). Pada kedua masyarakat itu timbul anggapan bahwa penciptaan tulisan berada di luar kemampuan manusia sehingga harus diciptakan oleh dewa. Hampir sama dengan kedua masyarakat di atas, di Cina beredar legenda yang mengatakan tulisan diciptakan oleh manusia, bukan dewa. Namun manusia itu pun bernama Cang Jie-bukan sembarang manusia, melainkan pejabat kaisar. Bahkan, ada yang mengatakan ia seorang kaisar, hidup sekitar dua abad sebelum Masehi. Masyarakat Cina percaya bahwa kaisar adalah utusan dewa. Jadi, anggapan ketiga masyarakat kuno ini tidak jauh berbeda.

Timbulah pertanyaan,bagaimana manusia kuno mengingat suatu peristiwa. Para peneliti melakukan penelitian terhadap gambar-gambar di atas batu, batu karang, kayu, tulang binatang dari suku-suku Timur Tengah, suku-suku Indian di Amerika, Afrika, Eropa dan Cina. Ternyata gambar-gambar tersebut merekam suatu peristiwa. Gambar-gambar ini belum dapat disebut tulisan karena tidak merupakan bagian dari suatu sistem tanda yang konvensional. Gambar itu hanya dimengerti oleh orang tertentu saja, yaitu si penggambar dan orang-orang di sekitarnya yang bersama-sama mengalami peristiwa yang dilukiskan dalam gambar tersebut. Walaupun belum dikategorikan sebagai tulisan, gambar-gambar ini digunakan untuk berkomunikasi. Gambar-gambar yang digunakan sebagai sarana untuk mengingat sesuatu dikatakan mempunyai fungsi mneminik (mnemonic function). Di samping gambar, alat pengingat (mnemonic device) lainnya adalah tali bersimpul, kulit kerang, batu koral, dsb. Benda-benda itulah yang digunakan masyarakat primitif sebelum mereka mengenal tulisan.


Masa Aksara

Masa ini merupakan kelanjutan dari masa praaksara. Menurut hasil penelitian, aksara bersumber dari tiga daerah peradaban dunia, yaitu lembanh Sungai Nil, dua lembah sungai di Mesopotamia dan lembah Sungai Kuning di Cina. Di Mesopotamia hidup orang Sumeria dengan aksara pakunya, di lembah sungai Nil hidup orang Mesir dengan aksara hieroglif dan di lembah Sungai Kuning di Cina hidup suku Han dengan aksara han. Ketiga akasara tertua di dunia ini diperkirakan sudah ada di dunia sejak 3.000 tahun lebih sebelum Masehi. Walaupun usia ketiga aksara itu tidak jauh berbeda, para ahli memperkirakan tidak ada hubungan antara aksara paku, hieroglif dan aksara han. Hieroglif diperkirakan berasal dari aksara paku mengingat usianya tidak jauh berbeda. Ketiga aksara ini menurunkan aksara-aksara yang ada di dunia.

Aksara Paku
Aksara tertua ini berasal dari Mesopotamia di lembah Sungai Tigris dan Efrat. Aksara paku berbentuk seperti paku, ditulis di atas tanah liat. Pada awalnya aksara in berbentuk gambar (piktogram), kemudian berubah bentuk menjadi seperti paku. Aksara ini digunakan sebagai wahana tulis bahasa Sumeria. Setelah bahasa Sumeria mati, aksara itu digunakan oleh bahasa Akadia, kemudian bahasa Babilonia, Asiria, Siria, Elamit, Huria, Persia Tua dan Hittie.

Dokumen pertama yang ditemukan menggunakan tulisan paku bertanggal sekitar tahun 3000 SM. Demikian pentingnya aksara tersebut sampai-sampai para ahli astronomi Babilonia masih menggunakannya sampai pertengahan abad pertama Masehi. Dengan perekonomian dan perdagangan yang begitu maju, aksara paku menjadi alat penting dalam pencatatan dokumen jual beli, kontrak, sensus, pajak, kegiatan birokrasi pemerintahan, dsb. Di bawah ini dapat dilihat perbandingan huruf paku dari berbentuk gambar (piktogram) sampai berbentuk paku (Coulmas, 1989:74).



Sistem tulisan Sumeria ini diserap oleh bangsa Persia (600-400 SM), tetapi bukan untuk  menggambarkan benda atau gagasan (ideogram), melainkan untuk menggambarkan suku kata. Dengan demikian aksara ini dari piktogram dan ideogram berubah menjadi aksara silabis. Di bawah ini bentuk huruf paku beserta bunyinya di dalam suku kata (Coulmas, 1989:87).



Aksara Hieroglif
Aksara ini berasal dari Mesir. Contoh hieroglif berbentuk gambar dari suatu benda atau suatu perbuatan (Coulmas,1989:62).



Perbedaan waktu kemunculan hieroglif dengan aksara paku tidak terlalu jauh. Diperkirakan hieroglif berasal dari aksara paku, karena kemudian di Mesir juga berkembang aksara silabis. Hieroglif Mesir ini menurunkan aksara Semit kuna yang mempunyai dua cabang: semit utara dan semit selatan. Salah satu anak cabang aksara semit utara menurunkan aksara fenesia yang ebrsifat silabis, yang digunakan bangsa Fenesia yang hidup di pantai timur Laut Tengah (sekarang Lebanon). Pada sekitar tahun 1500 sebelum Masehi, dibuat 22 suku kata dari aksara fenesia. Dalam sistem itu, setiap tanda melambangkan satu konsonan yang diikuti oleh suatu vokal.

Aksara fenesia menurunkan aksara Yunanio yang mempengaruhi timbulnya aksara latin. Aksara Yunani dan latin masih menunjukkan kemiripannya dengan aksara semit kuna. Beberapa modifikasi terhadap aksara semit kuna yang bersifat silabis menghasilkan aksara Yunani yang bersifat alfabetis. Pada aksara Yunani ini satu huruf mewakili satu konsonan atau vokal. Kemiripan antara huruf Yunani, Latin, dan semit kuna dapat dengan mudah dikenali dari bentuknya.

Aksara Yunani diserap oleh orang Romawi yang menghasilkan aksara latin yang juga bersifat alfabetis. Pada abad-abad pertama Masehi aksara latin menyebar ke seluruh dunia dan sampai di Indonesia sekitar abad ke-16 M bersamaan dengan penyebaran agama Kristen. Aksara latin inilah yang digunakan dalam bahasa Indonesia.

Di samping aksara fenesia yang menurunkan aksara Yunani, cabang lain dari aksara semit utara adalah aksara aramea. Aksara ini antara lain menurunkan aksara brahmi yang mempunyai cabang bernama aksara pallawa yang digunakan di India selatan pada abad ke-4 M. Aksara pallawa menyebar ke Nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Hindu dan Buddha. Aksara Pallawa berasal dari India selatan dengan bahasanya bernama Sansekerta. Masuknya bahasa Sansekerta ke Nusantara tampak dari banyaknya kata serapan dalam bahasa Indonesia. Bagi bahasa daerah, pengaruh itu tampak di bidang aksaranya. Beberapa bahasa daerah seperti Jawa, Bali, Batak, Rejang, dan Bugis menggunakan aksara pallawa sebagai wujud bahasa tulisannya.



Aksara Han
Aksara ketiga yang menurunkan apa yang kita kenak dengan huruf kanji adalah aksara han. Aksara han digunakan oleh suku Han (mayoritas penduduk RRC) yang pada masa primitif mendiami lembah Sungai Kuning. Bukti tertua tentang aksara Han yang berbentuk gambar (piktogram) ditemukan dekat Distrik An Yang, Provinsi Henan. Tempat ini diperkirakan merupakan ibu kota Dinasti Shang (tahun 1600-1066 SM). Berdasarkan bukti tersebut, para ahli memperkirakan bahwa aksara han sudah ada pada Dinasti Shang, atau bahkan lebih awal lagi, yakni pada Dinasti Xia, sekitar abad ke-21 sebelum Masehi. Legenda tentang pencipta karakter bernama Cang Jie mengatakan umur karakter han berkisar sekitar 5.000-6.000 tahun yang lalu. Aksara han kuno ditulis di atas kulit penyu dan tulang lembu. Tulisan pada kedua jenis benda itu berisi ramalan tentang bencana alam, penentuan baik-buruknya peruntungan, dsb.

Dalam perkembangan selanjutnya, aksara han mengalami evolusi dari aksara han kuno yang bentuknya menyerupai benda yang ditirunya sampai menjadi aksara han yang hanya terdiri atas guratan-guratan tidak beraturan.

Aksara han tidak terlepas dari bahasanya, yakni bahasa Han. Bahasa Han menyebar ke negeri tetangganya. Ini dibuktikan dengan banyaknya kata serapan pada bahasa-bahasa di sekitarnya, antara lain bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa itu. Namun, aksara han tidak menyebar ke barat dan selatan, tetapi kearah timur, yakni Jepang dan Korea. Akan tetapi, Vietnam yang terletak di selatan ternyata juga menyerap aksaranya.

Aksara ini masuk ke Jepang sekitar abad ke-5 ketika terjadi kontak budaya dan perdagangan antara kedua negeri itu (Gelb,1952:159). Namun, menurut legenda Jepang, aksara itu dibawa oleh sarjana Korea bernama Wani. Bukti yang dapat dipercayai mengatakan bahwa pada abad ke-7 Masehi, aksara Han sudah digunakan secara luas di Jepang (Coulmas, 1989:122-123). Setelah diserap oleh orang Jepang, aksara itu berubah nama menjadi kanji.

Kalau di Cina karakter han merupakan satu-satunya aksara yang digunakan dalam tulis-menulis, Jepang masih memiliki dua aksara lain yang juga berasal dari Cina, yakni katakana dan hiragana. Kedua aksara ini juga berasal dari Cina dan bersifat silabis. Katakana berasal dari bagian karakter han jenis kaishu ‘aksara baku’ dalam bentuk rumit yang juga ditemukan pada masa sekarang di Taiwan. Adapun katakana digunakan untuk menuliskan nama-nama asing ke dalam bahasa Jepang. Hiragana berasal dari akasara Han jenis caoshu ‘aksara rumput’ yang secara sekilas tampak seperti rumput ilalang dan biasa digunakan pada kaligrafi.



Aksara Han menyebar terus ke timur ke arah Korea pada abad ke-7 M. Di Korea nama aksara han berubah menjadi hanja. Di samping itu Korea masih memiliki aksara berupa abjad latin yang dinamakan han’gul. Aksara han juga menyebar ke tenggara negara Vietnam. Di negeri itu aksara han diberi nama Chu nom. Dokumen yang ditemukan menyebutkan bahwa sejak tahun 1343 dokumen ditulis dengan menggunakan aksara han (Coulmas, 1989:113-135).

Acuan:
Florian Coulmas,1989. The Writing Systems of the World. Oxford: Basil Blackwell.
I.J.Gelb,1952. A Study of Writing: The Foundations of Grammatology. London: Routledge and Kegan Paul, Ltd.


Kushartanti (et.al) (peny.), 2005.
Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: GPU. 
hlm: 65-87.

Senin, 25 Maret 2013

Sistem Keamanan Lingkungan Masyarakat Jawa Kuno



Boechari
(sekelumit ringkasan dalam artikel Perbanditan di Jawa Kuno dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)




Sepanjang sejarah Tanah Air kita di zaman klasik tidak dikenal kekuasaan terpusat. Kerajaan-kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Panjalu, Jaṅgala, Kadiri, Singhasari dan Majapahit terbagi ke dalam apa yang di dalam zaman Mataram Islam disebut nagaragung atau nagari ageng dan wilayah mancanagara dan wilayah pesisir (Soemarsid Moertono,1968). Wilayah nagaragung dibagi sebagai ‘daerah lungguh’ bagi putra mahkota dan putra-putra raja yang lain, terutama yang aktif di dalam pemerintahan dan bagi para pejabat tinggi kerajaan. Sedang daerah mancanegara dikuasai oleh para rakai, pamgat dan para samya haji yang merupakan penguasa-penguasa daerah secara turun temurun dan tidak harus kerabat dekat sri maharaja sendiri.

Putra mahkota, para pangeran yang lain dan para pejabat tinggi kerajaan hampir selalu ada di ibu kota kerajaan, karena memang mempunyai dalem di sana. Pengurusan daerah lungguhnya diserahkan kepada aparat pemerintah daerah yang terdiri atas patiḥ, wahuta, para juru atau tūhan, parujar dan paṅuran. Sedang para penguasa daerah selalu ada di daerah kekuasaaan masing-masing dan hanya sekali atau dua kali dalam setahun mereka itu menghadap śrī mahārāja untuk menyerahkan hasil pajak. Mungkin juga jika ada masalah yang tidak dapat dipecahkannya sendiri, ia datang ke pusat kerajaan menghadap raja atau pejabat yang diberi wewenang oleh raja. Di wilayah kekuasaannya mereka juga dibantu oleh aparat pemerintahan daerah yang terdiri atas patiḥ, wahuta, para juru atau tūhan, parujar dan paṅuran.

Kesatuan teritorial terkecil adalah desa (wanua karaman) dan mungkin juga dukuh (anak in wanua). Pemerintahan desa dilakukan oleh para rama atau kabayan, yang rupa-rupanya dipilih untuk masa tertentu. Gambaran itu kami simpulkan dari adanya istilah rāma mageman atau managam kon dan rāma marata; menurut hemat kami yang terakhir itu ialah para rāma yang berakhir masa jabatannya dan tidak dipilih lagi, tetapi masih diikutsertakan dalam kerapatan desa. Para rāma itu mendapat tanah ‘bengkok’ (lmaḥ karaman atau sawaḥ karaman). Di antara para rāma itu mungkin sekali tūha wanua dianggap sebagai primus inter pares. Pendapat kami yang terakhir itu baru kami dasarkan atas arti istilah tūha wanua saja, yaitu ‘tua-tua desa’. Jenis jabatan rāma di desa yang satu tidak sama dengan desa yang lain, tergantung dari keadaan geografi dan ekologi desa yang bersangkutan. Desa yang tidak mempunyai wilayah hutan tentu tidak mempunyai seorang tūha alas dan tūha buru; desa yang tidak dilalui sungai dan karenanya tidak perlu mengurusi jembatan tentu tidak mempunyai hulu wuattan; sedang desa di dataran rendah yang luas daerah persawahannya dan tergantung dari pengairan sering mempunyai lebih dari seorang hulu air. Jumlah rāma di suatu desa juga tidak sama dengan di desa yang lain; tergantung dari luas desanya dan jumlah penduduknya.

Berita Cina dari zaman dinasti Song (Songshi) mengatakan bahwa “panglima angkatan perang mendapat gaji sepulah tail emas tiap setengah tahun; ada 30.000 prajurit yang juga menerima gaji setengah tahun sekali, sesuai dengan pangkat masing-masing” (Groveneveldt, 1960:17). Menurut hemat kami yang dimaksud di dalam berita Songshi itu adalah pasukan yang ada di dalam pusat kerajaan; yang terdiri atas “pasukan pengawal’ raja, pasukan putra mahkota dan pangeran-pangeran lain dan pasukan para pejabat tinggi kerajaan. Di dalam prasasti-parasasti pasukan pengawal raja itu dimasukkan ke dalam kelompok maṅilāla drawya haji, yang terdiri atas para magalah (pasukan yang bersenjatakan tombak), mamanah (pasukan yang bersenjatakan panah) dan magaṇḍi (pasukan yang bersenjatakan gaṇḍi, yaitu semacam palu godam?). Dalam cerita Songshi dikatakan bahwa mereka mendapat gaji setengah tahun sekali, keterangan itu sesuai dengan pengelompokkan yang menurut hemat kami bukan kelompok ‘pemungut pajak’, melainkan ‘abdi dalem yang menikmati kekayaan raja’, dalam arti ‘menerima gaji pada waktu-waktu tertentu’ (Boechari,1977 [2]).

Jika kemudian berita Mingshi mengatakan bahwa sewaktu menghadapi pasukan Monggol dan pasukan Wijaya, raja Kalang (=Gelaṅ-gelaṅ= Jayakatwaṅ) di Daha dapat mengerahkan lebih dari seratus ribu tentara (Groneveldt,1960:24), jumlah itu meliputi pula pasukan-pasukan para sāmya haji di sekitar bhūmi Kadiri yang sengaja datang mengikuti ‘tuan’nya para penguasa daerah (para rakai, pamgat, sāmya haji dan para bhaṭṭāra) mempunyai tentara masing-masing.

Berdasarkan hasil penelitian sementara atas pola-pola pemukiman di zaman klasik berdasarkan adanya berbagai macam tinggalan arkeologis yang pernah dilakukan oleh Sdr. Bambang Budi Utomo,S.S dan Sdr. Moendardjito,S.S. di daerah Jawa Tengah. Terlihat bahwa daerah yang padat penduduknya ialah daerah-daerah aliran sungai, terutama di daerah Tempuran. Dari peta pola pemukiman sebagai hasil penelitian tersebut dan mengingat kepadatan penduduk di Jawa pada zaman klasik, kami dapat membayangkan bahwa ada daerah yang relatif padat penduduknya yang terpisah dari daerah lain yang juga padat penduduknya oleh suatu daerah hutan belantara. Sekalipun mungkin sekali ada jalan yang menghubungkan daerah-daerah itu seperti yang terungkap dari prasasti Baliṅawan, Kaladi, dan Mantyāsih, tetapi karena jarang terpakai maka mungkin sekali pada waktu-waktu tertentu telah penuh dengan semak belukar lagi.

Keadaan semacam itu, ditambah dengan otonomi yang amat luas yang dinikmati oleh para penguasa daerah dan imobilitas ‘tentara kerajaan di Pusat’, serta perumusan istilah katiban waṅkai kabunan, yaitu “[jika ada] mayat diletakan oleh penjahat yang membunuh orang di desa lain di waktu malam, sedang pemilik tanah tempat mayat itu diletakkan tidak mengetahuinya, maka si pemilik tanah itu harus dikenai denda; jika ia melihat orang meletakkan mayat di tanahnya, padahal ia diam saja dan mayat itu tergeletak di situ sampai pagi hari, ia dikenai denda dua laksa oleh raja; semua penduduk desa ikut dikenai denda, itulah yang namanya katmu waṅkay kābunan” (Jonker,1885:49), membayangkan kepada kita bahwa setiap pejabat desa (rāma) bertanggungjwab atas keamanan di desanya masing-masing.

Jadi, para rama (pejabat) itulah yang memimpin dan mengatur giliran warganya untuk melakukan ronda malam dan penjagaan demi keamanan desanya. Kejahatan-kejahatan mulai dari yang kecil seperti pencurian sampai kepada yang lebih berat seperti pembegalan dan perampokan harus dapat diatasi oleh para rāma dan segenap warga desanya. Jika ada gerombolan rampok, garong atau kecu yang masuk desa maka para penjaga keamanan yang bertugas pada malam itu tentunya membunyikan kentongan untuk membangunkan semua laki-laki dewasa di desa itu unuk siap siaga menghalau gerombolan yang menyerbu desa itu. Mungkin juga bunyi kentongan itu dimaksudkan untuk menarik perhatian desa-desa tetangga (wanua i tpi siriṅ) untuk datang membantu.
Tetapi ada kalanya para rama dan penduduk suatu desa merasa tidak sanggup menghadapi gerombolan bandit-bandit karena mungkin pemimpin gerombolan itu terkenal sebagai orang yang sakti karena memiliki azimat, senjata khusus atau ilmu kebatinan yang ampuh. Dalam  hal semacam ini para rama dapat minta bantuan pejabat desa tetangga atau aparat pemerintah daerah yang membawahi desa yang bersangkutan tanpa perlu minta bantuan pemerintah pusat, seperti yang terungkap dari prasasti Baliṅawan dan prasasti Mantyāsih.

Sistem keamanan lingkungan yang berlaku seperti diatas tidak saja ditujukan untuk menanggulangi masalah perbanditan, tetapi juga untuk menghadapi ‘pemberontak-pemberontak terhadap kekuasaan pemerintah pusat’. Kasus semacam itu ternyata banyak kita jumpai dari masa pemerintahan raja Dharmawaṃśa Airlaṅga dan masa Kadiri, suatu masa di mana kepemimpinan śrī mahārāja tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari semua sāmya haji. Penetapan desa-desa tertentu sebagai sīma karena telah berjasa menghalau musuh dan berhasil sebagai ‘desa peyangga’ di perbatasan diperingati antara lain di dalam prasasti Cane tahun 943 Śaka (OJO,LVIII), Baru tahun 952 Śaka (OJO,LX), Turun Hyaṅ A tahun [9]58 Śaka (OJO,LXIV), Maleṅa tahun 974 Śaka, Garaman tahun 975 Śaka, Turun Hyaṅ B tahun [97]6 Śaka, Sukun tahun 1083 Śaka, Jariṅ tahun 1103 Śaka (OJO,LXXI), Kemulan tahun 1116 Śaka (OJO,LXXIII) dan Horren (Stutterheim,1933a). Di dalam prasasti Horren itu, yang hanya ditemukan lempengan keduanya saja di daerah Campurdarat (Kediri), disebutkan datangnya śatru suṇḍa. Apakah yang dimaksudkan dengan śatru suṇḍa itu musuh dari Jawa Barat dan jika benar demikian apakah pasukan Sunda itu pernah menyerbu sampai ke daerah Kediri atau selempengan prasasti Horren itu mengalami transformasi yaitu terbawa dari daerah Banyumas, Pekalongan atau Kedu sampai ke daerah Kediri, hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

Jadi jelaslah bahwa kerajaan-kerajaan kuno mempunyai institusi pengadilan. Memang para petugas ‘siskamling’ tidak boleh main hakim sendiri apabila mereka itu menangkap seorang pencuri atau perampok. Para penjahat itu harus dihadapkan ke sidang pengadilan dan di situ diputuskan apakah mereka itu cukup dikenai denda atau harus dijatuhi hukuman mati. Banyak istilah-istilah di dalam naskah-naskah hukum itu yang berkenaan dengan masalah perbanditan. Sebagai contoh dapat disebut añjarah (merampok), yang dapat dilakukan seorang diri atau bermai-ramai. Jika hanya seorang yang menjarah ia dikenai denda 20.000, tetapi jika orang banyak yang menjarah, masing-masing dikenai denda maksimum, yaitu 160.000 (tiban wekasin denda 160.000). Istilah yang lain adalah anumpu, yaitu membunuh sepasang suami-istri di waktu malam untuk dirampas harta bendanya. Ambaranaṅ ialah membakar rumah-rumah disuatu desa dan penghuninya yang lari keluar dibunuh, jika ada harta titipan yang ikut terbakar lalu dilaporkan kepada penguasa dengan bukti-bukti pemilikannya, semua orang yang ikut ambaranaṅ masing-masing dikenakan denda 48.000 dan mengembalikan harta titipan yang terbakar itu lima kali lipat nilainya.

Contoh-contoh diatas diambil dari naskah Adhigama saja, yang meliputi tindakan ambaraṅan, dimasukan ke dalam kelompok aṣṭaduṣṭa, yang terdiri atas aṅrañcab, aṅremak, ambegal, aṅetal, aṅgampol, aṅamuk, ambaranaṅ dan aṅrampas. Tetapi dalam naskah Kuṭāra Mānawa yang telah diterbitkan sebagai disertasi oleh J.C.G Jonker (Jonker,1885, Slamet Muljana,1967) lain lagi yang disebut aṣṭaduṣṭa itu, yaitu: membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa, melukai orang yang tidak berdosa, makan bersama seorang pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat persembunyian kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh.

Naskah-naskah hukum dan sejenisnya, seperti naskah-naskah tentang ketatanegaraan dan kedudukan raja, tingkah laku para rokhaniawan, hak dan kewajiban kawula, hukum perkawinan (Nawa Śāsaniṅ Ratu, Rṣiśāsasna, Śewaśāsana, Śewakadharma, Kramaniṅ Alakirabi), dll. Dapat menambah banyak sekali pengetahuan kita tentang berbagai segi kehidupan nenek moyang kita, yang akan melengkapi gambaran yang kita peroleh dari prasasti-prasasti dan artefak-artefak lain yang biasa kita garap hingga sekarang.


Acuan:
Groeneveldt,1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya compiled from Chinese Source. Jakarta: Bhatara. [Terbitan ulang berdasarkan edisi 1880 dengan perubahan judul.]
J.C.G.Jonker,1885. Een Oud-Javaansch Wetboek. Vergeleken met Indische Rechtbronnen. Disertasi Leiden.
Slamet Muljana,1967. Perundang-Undangan Madjapahit. Djakarta: Bhatara.
Soemarsaid Moertono,1968. State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Periode, 16th to 19th Century. Ithaca, New York, Southest Asia Program Departement of Asian Studies, Cornell University. [Monograph Series no.43, Modern Indonesia Project.] Cetakan ulang tahun 1974 dan 2009.








Selasa, 05 Maret 2013

Perbanditan di Jawa Kuno



Boechari
(artikel diambil dari buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)


Naskah-naskah hukum dari kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia menggambarkan bahwa masyarakat Jawa Kuna bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tentram dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan. Dari naskah Pūrwādhigama diketahui bahwa sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam delapan belas jenis kejahatan yang disebut aṣṭadaśawyawahāra, yaitu tan kasahuraniṅ pihutaṅ (tidak membayar kembali hutang), tan kawehaniṅ patuwāwa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan dṛwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihiṅ kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama, atau persengketaan antara kompanyon), karuddhaniṅ huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehaniṅ upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa riṅ samaya (ingkar janji), alarambeknyan pamelinya (pembatalan taransaksi jual beli), wiwādaniṅ pinaṅwaken mwaṅ maṅwan (persengketaan antara pemilik ternak dan pemggembalanya), kahucapaniṅ wates (persengketaan mengenai batas-batas tanah), daṇdaniṅ saharṣa wākparuṣya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawṛttiniṅ maliṅ (pencurian), ulaḥ sāhasa (tindak kekerasan), ulaḥ tan yogya riṅ laki strī (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumaniṅ dṛwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan praṇi dan totohan tan praṇi (taruhan dan perjudian) (van Naerssen, 1941b).

Secara umum prasasti yang menyebut denda-denda atas segala tindak pidana dan perdata sebagai salah satu sumber dana kerajaan dengan istilah sukhaduḥkha adalah prasasti Saṅsaṅ (907 M), kemudian prasasti Saṅguran (928 M) merinci sukhaduḥkha itu sebagai berikut: mayaṅ tan pawwaḥ ‘bunga pinang atau bunga kelapa yang tidak menjadi buah’, walū rumambat iṅ natar ‘waluh atau labu yang menjalar di halaman, wipati waṅkay kābunan ‘kejatuhan mayat yang terkena embun’, rāh kasawur iṅ dalan ‘darah yang terhambur di jalan’, wākcapala ‘memaki-maki’, dūhilaten ‘menuduh’, hidu kasirat ‘meludahi’, hastacapala ‘memukul dengan tangan’, mamijilaken turuḥniṅ kikir ‘mengeluarkan senjata tajam’, mamūk ‘mengamuk’, mamumpaṅ ‘suatu tindak kekerasan terhadap wanita’, lūdan [1], tūtan [2], ḍaṇḍa kuḍaṇḍa ‘pukul memukul’, bhaṇḍihalādi [3].

Dari daftar diatas tampak bahwa prasasti-prasasti tidak menyebut keseluruhan aṣṭadaśawyawahāra, tetapi hanya taṅ kasahuraniṅ pihutaṅ, kahucapaniṅ wates, saharṣa wākparuṣya dan ulaḥ sāhasa. Sebagian besar dari jenis kejahatan yang disebut di dalam prasasti itu dapat digolongkan ke dalam ulaḥ sāhasa.

Di dalam prasasti Baliṅawan (891 M), prasasti Mantyāsih (907 M), prasasti Kaladi (909 M), prasasti Sukun (1161 M) dan prasasti Kamalagyan (1037 M) didapatkan keterangan bahwa:

Prasasti Baliṅawan: dikisahkan bahwa sebab daerah tersebut dijadikan sīma karena rakyat desa Baliṅawan dan dukuh-dukuhnya merasa ketakutan karena (keadaan) tegalan tersebut yang menyebabkan mereka menderita dan melarat karena senantiasa harus membayar denda atas rāh kasawur dan waṅkai kabunan. Mereka mengajukan permohonan kepada Rakryān Kanuruhan melalui tiga orang patih yang membawahi  desa Baliṅawan. Permohonan itu dikabulkan agar daerah tersebut dijadikan sīma, agar keamanan di jalan terjamin, dan rakyat desa Baliṅawan dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.

Rakyat desa Baliṅawan terlalu sering harus membayar denda rāh kasawur dan waṅkai kabunan. Dengan perkataan lain di desa itu sering terjadi perkelahian yang menumpahkan darah dan pembunuhan yang tidak diketahui siapa pelakunya. Dapat dibayangkan bahwa sering kali warga menemukan darah berceceran di jalan dan sesosok mayat tergeletak di tegalan di Gurubhakti di waktu pagi. Oleh karena wilayah tersebut masuk wilayah desa Baliṅawan maka rakyat desa itulah yang pertama-tama harus bertangungjawab dan harus dikenakan denda.

Apa motif perkelahian dan pembunuhan itu sama sekali tidak disebut dalam prasasti. Tetapi karena disebutkan bahwa tujuan penetapan sīma itu ialah penjagalan di jalan besar supaya rakyat desa Baliṅawan tidak lagi merasa ketakutan, dapatlah disimpulkan bahwa di sini kita berhadapan dengan kasus pembegalan, perampokan yang diserai pembunuhan dan penusukan/ pembacokan.

Prasasti Mantyāsih; memperingati anugerah sīma dari raja Balituṅ, sebabnya para kelima patih telah berjasa mengerahkan tenaga rakyat pada waktu perkawinan raja dan pada waktu pemujaan terhadap bhaṭāra di Malaṅkuśeśwara, di Puteśwara, di Kutusan, di Śilābhedeśwara dan di Tuleśwara setiap tahunnya dan karena pada suatu ketika rakyat desa Kuniṅ merasa ketakutan dan kelima patih itu diberi tugas untuk menjaga keamanan di jalan. Disini dapat disimpulkan bahwa kasus ini berkaitan dengan kasus pembegalan atau perampokan.

Prasasti Kaladi; adapun sebab daerah tersebut menjadi sīma adalah karena semula ada hutan araṇan yang memisahkan (desa-desa) yang menyebabkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapatkan serangan dari Mariwuṅ yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka (diputuskanlah) untuk disetujui bersama hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.

Hal ini dengan jelas menunjukkan kasus pembegalan yang terjadi pada pedagang dan para nelayan yang melewati hutan araṇan yang memisahkan desa Gayām dan Pyapya. Para pembegal diketahui berasal dari Mariwuṅ. Selesai melakukan aksinya para pembegal itu menghilang masuk ke hutan araṇan sebelum kembali ke desanya. Mungkin sekali para pembegal itu tidak segan-segan untuk melukai atau bahkan membunuh korbannya yang berani memberikan perlawanan, sehingga dapat dipahami mengapa penduduk menjadi ketakutan.

Boleh jadi desa Mariwuṅ termasuk wilayah watak yang lain, sehingga kalaupun pembegalan itu dilaporkan sampai kepada Samgat Bawaṅ dan Saṅ Pamgat memerintahkan aparatnya untuk menangkap pembegal itu, mereka tidak dapat berbuat apa-apa jika para penjahat itu telah kembali ke desanya.

Kasus-kasus di dalam tiga prasasti di atas kiranya jelas tidak dapat dikategorikan ke dalam apa yang oleh E.J.Hobsbawm (1972) disebut “perbanditan sosial”, tetapi ke dalam pembegalan, perampokanyang merupakan tindak kriminalitas biasa, lebih-lebih kalau dipandang dari sudut mereka yang menjadi korban. Jadi kemungkinan para pembegal dari desa Mariwun itu lebih banyak kemungkinannya merupakan bandit-bandit biasa.

Prasasti lainnya yaitu prasasti Sukun (1161M) dijelaskan bahwa raja Sri Jayamrta mendengar ketaatan (penduduk) desa Sukun yang telah berusaha sekuat tenaga dan menjadi pemimpin dalam membela Śri Mahārāja dengan memerangi musuh kabuyutan. Karena itu turunlah perintah raja untuk memberi hak-hak istimewa kepada desa Sukun. Yang menjadi masalah ialah siapa yang menjadi musuh. Jika tidak diadakan perubahan sedikit pun maka menurut struktur kalimatnya kabuyutan itulah yang memberontak. Tetapi jika kalimat itu ditafsirkan lumaga śatruni kabuyutan maka ada pihak yang memusuhi dan menyerang kabuyutan itu.

Adanya sekelompok orang yang dengan sengaja hendak menghancurkan bendungan yang baru saja selesai dibangun dengan swadaya masyarakat dan campur tangan raja di dapatkan di dalam prasasti Kamalagyan (1036 M). Di dalam prasasti ini diceritakan bahwa raja Dharmawangśa Airlaṅga telah turun tangan untuk membangun bendungan di Wariṅin Sapta di wilayah penduduk desa Kamalagyan dengan tujuan menyelamatkan desa-desa di sebelah hilir, yaitu desa Lasun, Paliñjuwan, Sijanatyesan, Pañjigantiṅ, Tālan, Daśapaṅkah dan Paṅkaja dan semua jenis sīma yang terutama diantaranya ialah sīma bagi Saṅ Hyaṅ Dharma di īśanabhawana yang bernama Surapura. Itulah desa-desa dan sīma yang selalu ditimpa banjir dan terendam sawah-sawahnya jika Bengawan (brantas) meluap di Wariṅin Sapta yang menyebabkan hancurnya semua sawah dan berkurangnya pajak yang masuk. Tidak hanya sekali dua kali penduduk membendung luapan Bengawan di Wariṅin Sapta itu, tetapi tidak pernah berhasil. Tetapi kemudian raja memikirkan keselamatan bendungan itu selanjutnya, karena ia menyadari akan banyaknya orang yang (sengaja) hendak menghancurkan bangunan untuk kepentingan umum itu.

Sumber-sumber prasasti, naskah-naskah hukum dan berita-berita asing tidak mengungkapkan siapa-siapa yang menajdi pencuri, pembegal, perampok, garong atau kecu. Memang banyak kemungkinannya, seperti budak-budak yang melarikan diri dari tuannya, penduduk desa yang tidak mempunyai tanah pertanian, petani-petani gurem, atau orang-orang yang memang dasarnya mursal (recalcitrant). Kelompok terakhir itu memang selalu ada pada bangsa apa pun juga dan kapan pun juga (Hobsbawm,1972:33).

Dengan demikian dapat dipahami mengapa di zaman klasik ada juga kasus-kasus ‘minifundisme’ atau bahkan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai lahan pertanian, yang dengan sendirinya kebanyakan hanyalah menjadi buruh musiman. Di waktu tidak ada pekerjaan, orang-orang semacam itulah yang mudah terbawa ke dalam tindak kriminal, seperti mencuri, membegal atau berkelompok menjadi perampok, garong atau kecu.

Perbanditan memang biasa merajalela di daerah-daerah terpencil, di daerah perbukitan, di perhutanan atau di daerah muara sungai yang berdelta (Hobsbawm,1972:21), lebih-lebih kalau daerah tersebut ada jalan perdagangan.


Catatan:

[1]. Lūdan; berdasarkan arti katanya dapat diperkirakan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan itu adalah seperti dalam Kuṭāra Mānawa yaitu ‘barang siapa dalam perkelahian tidak berhasil menang, tetapi malah kalah dari lawannya dan akhirnya lari mengungsi ke dalam rumah dalam kejaran lawannya, kemudian mati terbunuh oleh yang mengejar” (Slamet Muljana, 1967,ps.255).
[2]. Belum ditemukan perumusannya.
[3]. Bhaṇḍihalādi; sebetulnya kata yang sering dijumpai dalam prasasti-prasasti adalah maṇḍihalādi. Di dalam kamus, kata maṇḍi diartikan merugikan, berbahaya, membahayakan secara magis. Mungkin yang dimaksud adalah kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis?, belum diketahui pasti.


Daftar Acuan:

E.J. Hobsbawm, 1972. Bandits. Harmondsworth: Penguin Books (A Pelican book).
F.H. van Naerssen,1941b, “De Aṣṭadaśawyawahāra in het Oudhavaansch”, BKI 100, 357-376. English translation by Eva Hooykaas, “The Aṣṭadaśavyavahāra in Old Javanese”, JGIS 15 (1956),111-132.
Slamet Muljana, 1967, Perundang-Undangan Madjapahit. Djakarta: Bhratara.


Boechari 
2012.Melacak Sejarah Kuna Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: KPG.