Rabu, 15 Mei 2013

Candi dan Lingkungannya



Boechari


Prasasti tidak semata-mata memberikan data historis kepada kita, tetapi lebih banyak lagi data kemasyarakatan, keekonomian dan keagamaan (Boechari,1977:1). Begitupula keterangan tentang percanadian di dalam prasasti-prasasti yang belum dimanfaatkan oleh para ahli arkeologi. Bahwa di dalam prasasti terdapat bermacam-macam istilah untuk menyebut bangunan suci memang sudah pernah dikemukakan, meskipun belum diketahui dengan pasti bangunan suci sejenis apa yang dimaksudkan dengan masing-masing istilah itu (Soekmono,1974; Boechari,1976:10). Tetapi bahwa ada beberapa prasasti yang menyebut kelompok empat atau lima bangunan suci yang harus dipuja oleh satu desa atau satu daerah, belum pernah ada arkeolog yang menelaahnya.

Di dalam prasasti Mantyasih (829 Saka) disebutkan bahwa lima orang patih di Mantyāsih mendapat anugerah sīma dari raja Rakai Watukura Dyah Balituṅ. Adapun sebabnya karena mereka itu memperoleh anugerah raja, antara lain karena mereka tidak melalaikan pemujaan di bangunan suci di Malaṅkuśeśwara, Pūteśwara, Kutusan, Śilābhedeśwara dan Tuleśwara setiap tahunnya. Jadi ada lima bangunan suci yang menjadi tanggungan para patih di Mantyāsih. Begitupula dalam prasasti Kanuruhan I dan II (865 Śaka) ada empat bangunan suci di Wuraṇḍuṅan yang disebut dharma kahyaṅan, yaitu saṅ hyaṅ mahulun, saṅ hyaṅ paṅawan, saṅ hyaṅ kaswaban dan saṅ hyaṅ kagotran. Di dalam prasasti Baru (952 Śaka) juga disebutkan ada empat bangunan suci di mana para pejabat desa Baru harus mengadakan kebaktian, yaitu saṅ hyaṅ huwān, saṅ hyaṅ ḍepur, saṅ hyaṅ kawyĕlan dan saṅ hyaṅ roh.

Dari keterangan-keterangan di atas dapat kiranya disimpulkan bahwa masyarakat Bali sampai sekarang mengenal suatu sistem perpuraan. Menurut R.Goris di tiap desa dan tiap kerajaan lama di Bali terdapat tiga pura pokok, yaitu pura puseh, pura bale agung dan pura dalem dan beberapa macam pura lagi (Goris, 1960). Dari data prasasti dapat diungkapkan apa saja yang diharapkan ada disekitar suatu candi.

Di dalam berbagai prasasti terdapat istilah punpunan dan aṅśa untuk menyebut sīma. Dari prasasti Tuhañaru (1245 Saka) dapat disimpulkan bahwa punpunan ialah sīma yang letaknya dekat dengan bangunan sucinya, sedangkan aṅśa adalah sīma yang letaknya jauh dari bangunan sucinya. Dari prasasti Tuhañaru jelas bahwa pulau Jawa yang ada di sekitar pusat kerajaan atau keraton Majapahit disebut punpunan, sedang pulau-pulau yang lain yang jauh dari pusat kerajaan disebut aṅśa. Baik punpunan maupun aṅśa mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap bangunan suci, antara lain menghasilkan biaya-biaya bagi pelaksanaan upacara-upacara keagamaan di dalamnya.

Penjelasan dari beberapa prasasti seperti prasasti Kwak I (801 Śaka), Prasasti Taji (823 Śaka), prasasti Sugih Manek (837 Śaka), prasasti Gulung-gulung (851 Śaka), prasasti Cuṅgraṅ (851 Śaka), prasasti Kudadu (1216 Śaka), prasasti Sukamṛta (1218 Śaka) menunjukkan bahwa suatu sīma tidak bebas sama sekali dari bermacam-macam pungutan. Bedanya dengan tanah-tanah biasa ialah bahwa hasil pungutan atau pajak dan denda-denda dari tanah biasa masuk ke perbendaharaan kerajaan, sedang hasil berbagai macam pungutan atau pajak dan denda-denda dari tanah sīma digunakan untuk berbagai macam keperluan bagi bangunan suci, antara lain untuk biaya pelaksanaan berbagai macam saji-sajian dan upacara pemujaan terhadap bhaṭāra di dalamnya dan untuk pemeliharaan bangunan.

Dari beberapa prasasti tersebut yang berisi keterangan mengenai kewajiban-kewajiban sima terhadap bangunan suci dan sumber-sumber penghasilan sima itu terbayang adanya organisasi keagamaan dan organisasi sipil yang mengelola suatu bangunan suci dan simanya. Memang ada prasasti yang menyebut adanya orang-orang yang harus mengelola suatu bangunan suci dan bertempat tinggal di dekatnya. Sebagai contoh pada prasasti Kañcana (782 Śaka), prasasti Taji (823 Śaka) dan prasasti Gandhakuti (964 Śaka). Diantara bangunan-bangunan suci yang disebut dalam tiga prasasti itu yang jelas merupakan candi adalah bangunan yang disebut dalam prasasti Kañcana. Prasasti Taji menyebut kabikuan, tempat tinggal para bhikṣu, tanpa gambaran bahwa kabikuan itu berdekatan dengan candi. Sedang dharma Gandhakuṭi di Kambang Śrī tidak jelas jenis bangunannya. Dan dari keetrangan di dalam tiga prasasti itu ternyata bahwa yang ditempatkan di dalam lingkungan bangunan suci dan berkewajiban mengelolanya, bukanlah orang-orang dari kasta brāhmaṇa. Paduka Mpunku i Boddhimimba yang anaknya ditempatkan di dalam lingkungan prasāda di Bunur Lor, sekalipun ia seorang pendeta, disebut kṣatriya. Demikian pula halnya dengan mereka yang ditempatkan di dalam kabikuan di Taji dan di dharma Gandhakuṭi di Kambang Śrī (Boechari,1962:5).

Keterangan bahwa adanya pendeta di dalam lingkungan suatu candi berasal dari prasasti Palah (1119 Śaka) dan bangunan suci di Palah diidentifikasikan dengan candi Panataran. Kemudian prasasti Kalasan (700 Śaka) mengandung keterangan yang samar-samar tentang adanya bhikṣu-bhikṣu yang bertempat tinggal di sekitar candi. Di dalam prasasti Śaṅkara juga disebutkan anugerah tanah kepada bhikṣusaṃgha setelah raja membangun prasāda untuk melepas nazarnya. Ada lagi yang diharapkan bertempat tinggal di dekat bangunan suci yaitu budak atau hamba yang dijelaskan dalam prasasti Kāñjuruhan (682 Śaka) yang menyebutkan persembahan raja Dewasiṃha kepada bangunan suci untuk pemujaan Agastya berupa sejumlah laki-laki dan perempuan dan juga prasasti yang mungkin berasal dari Dieng menyebutkan antara lain duapuluh orang hamba dan sepuluh ekor kerbau.

candi Prambanan

candi Panataran



Dari uraian tersebut tergambar bahwa suatu candi biasanya mempunyai tanah-tanah perdikan, berupa sawah, ladang, kebun, pagagan, taman, padang rumput, bukit dan lembah, rawa-rawa dan tepian. Juga bahwa di suatu candi biasa dipersembahkan saji-sajian dan dilakukan upacara-upacara keagamaan setiap hari, setiap bulan, dua kali setahun dan setahun sekali. Dari gambaran tersebut dapatlah diharapkan adanya pemukiman di sekitar candi, baik pemukiman penduduk biasa yang bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah perdikan dan mereka yang berkewajiban mengelolanya, maupun tempat tinggal para pendeta yang mengurus dan memimpin upacara-upacara keagamaan dan tempat tinggal budak-budak yang mungkin berkewajiban untuk merawat bangunan candi dan apa yang ada di sekitarnya. Dan dapat pula diharapkan adanya tempat-tempat melakukan upacara keagamaan dengan segenap persiapannya.

Dari beberapa ekskavasi yang telah dilakukan di sekitar candi Borobudur, Bowongan, Kalasan, Prambanan, Ratu Baka, dan sekitar Candi Jawi membenarkan gambaran yang diperoleh dari data epigrafis. Yang ada di dalam prasasti dan yang mungkin berguna dalam hubungan ini ialah keterangan bahwa pada waktu suatu daerah atau desa atau sebidang tanah ditetapkan menjadi sīma, maka desa-desa sekelilingnya mengirimkan wakil-wakil untuk hadir sebagai saksi pada upacara peresmiannya. Disini kami menemukan dua pola pemukiman pokok dengan dijumpainya istilah pañaturdeśa dan paṅaṣṭadeśa, yaitu bahwa suatu desa dikelilingi oleh empat desa yang tentunya terletak di arah empat penjuru mata angin atau oleh delapan desa yang terletak di arah delapan penjuru mata angin. Ada juga yang desa sekelilingnya tiga, lima, enam atau kelipatannya. Tetapi untuk jumlah itu tidak dijumpai istilahnya di dalam prasasti.


Akhirnya perlu juga dipertimbangkan pengembangan palinologi. Mungkin ilmu ini dapat membantu kita menemukan lokasi sawah, ladang, kebun dan taman-taman dari suatu candi dan menemukan jenis-jenis tanaman apa yang ditanam di kebun dan bunga-bunga apa saja yang merupakan pilihan  utama untuk ditanam di tanam-tanam di sekitar candi.


Boechari, 2012
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. 
Jakarta: KPG
hlm: 273-290

Rabu, 08 Mei 2013

Prasasti Logam: antara Indonesia dan India



Vernika Hapri

Prasasti logam tidak seperti prasasti batu yang hanya dikeluarkan satu setiap ada keputusan dari seorang raja. Prasasti logam yang umumnya terbuat dari tembaga ini berjumlah beberapa lembar lempeng bahkan puluhan. Hal tersebut dikarenakan media lempeng yang terbatas untuk menulis. Namun berkat hadirnya prasasti logam ini, kekreatifan para citralekha pun kian terbuka luas, dengan disisipkannya nomor lempeng untuk menentukan urutan pembacaan lempengnya, keahlian seni ukir aksara yang kian diperindah, adanya berbagai media tulis seperti perunggu, tembaga dan emas, serta hiasan atau ukiran gambar yang dipahatkan pada lempeng prasasti. Ukuran lempeng prasasti umumnya berkisar 40 x 30 cm atau lebih kecil 1) yang memuat dari empat baris hingga kurang lebih sepuluh baris tulisan, bahkan ada yang lebih.  Ditulis umumnya dikedua sisi (recto dan verso).

prasasti tembaga

prasasti emas
prasasti perunggu

Beberapa prasasti lempeng juga digunakan sebagai prasasti tinulad (turunan) yaitu prasasti yang pernah dibuat dan ditulis kembali pada saat yang berbeda dengan beberapa perubahan. Umumnya berisi penetapan sima seperti prasasti batu, juga tentang keputusan peradilan (jayapatra) 2).

Di India prasasti logam juga terdiri atas puluhan lempeng, namun mereka dikaitkan dengan satu cincin besar yang diatas cincin itu terdapat cap kerajaan yang mengeluarkan prasasti tersebut. Hal ini tidak ditemukan di Indonesia (mungkin belum ditemukan), hanya saja telah diketahui pasti bahwa ada beberapa prasasti yang terdapat lubang kecil di pinggirannya. Kemungkinan lubang tersebut merupakan tempat kaitan prasasti. Belum ditemukannya kaitan prasasti di Indonesia karena kemungkinan bahan kaitan tersebut beruapa bahan yang mudah rapuh. Di India, bahan kaitan prasasti juga sama seperti bahan pembuatan prasasti. Contoh terkenal adalah prasasti Tiruvalankadu masa pemerintahan Raja Rajendra Chola I.

Prasasti Tiruvalankadu ditemukan dalam jumlah 57 lempeng dengan dua kaitan berstempel. Ke-57 lempeng tersebut terbagi atas tiga kelompok, yaitu kelompok I yang terdiri atas tiga lempeng berisi kalimat berbahasa Sansekerta, kelompok II terdiri atas 22 lempeng berisi atas anugrah raja di Tamil umumnya dan kelompok III terdiri atas 33 lempeng berisi para peyumbang dana dari kaum Brahmana, candi-candi yang dibuat serta pelayanan lainnya. Kelompok I berat 3 lempeng mencapai 3,4 kg dengan ukuran masing-masing lempeng 42x24 cm dengan tebal 0,13 cm. Kelompok II berat 22 lempang mencapai 34,07 kg dengan ukuran masing-masing lempeng 42 x 22,9 cm dan 35 x 22,9 cm dengan ketebalan 0,13 cm. Kelompok III berat 32 lempeng mencapai 44,70 kg, ukuran lempeng berbeda-beda mulai dari 41,4 x 22,9 cm, 40,7 x 20,3 cm, dan 38,6 x 21 cm dengan ketebalan antara 0,1-0,5 cm. Sedangkan berat keseluruhan kaitan yang berbentuk cincin besar beserta stempel mencapai 7,5 kg dengan diameter stempel 18 cm 3)

prasasti Karandai/Tiruvalankadu
cincin kaitan dengan beberapa lempeng logam prasasti
(foto: Emmanuel Francis)

(bagian atas) lambang raja pada cincin kaitan prasasti Karandai/Tiruvalankadu
(foto: Emmanuel Francis)

Stempel tersebut terdiri atas beberapa gambar yaitu harimau Chōḷa yang sedang mengaum (membuka mulutnya) sambil duduk, dibelakangnya terdapat tiang lampu, panji (bendera), belati dengan ujung menancap tanah dan galah, didepannya terdapat sepasang ikan (lambang Pāṇḍya) yang membelakangi tiang lampu, panji, belati dan galah, diatas keduanya terdapat payung (chhatra) yang diapit sabetan lalat (chauri), dibawah keduanya (kanan ke kiri) terdapat swastika, babi hutan, kursi yang sangat mungkin adalah singgasana dan gendang. Babi hutan merupakan lambang Chālukya. Lambang tersebut dibingkai dengan lingkaran yang disisipi tulisan yang melingkari stempel berbunyi:

Rājad-rājanya-makuṭa-śrēṇi-ratnēshu śāsanam
ētad-Rājēndra-chōḷasya Parakēsarivarmmaṇaḥ 4)
“ini adalah keputusan Parakēsarivarmman Rājēndrachōḷa (yang lahir) dalam kilauan permata dari keturunan mahkota kerajaan”

Di Indonesia memang jarang ditemukan lubang pada prasasti seperti kebanyakan yang ada pada prasasti logam di India. Beberapa contohnya ialah prasasti E.14 yang kini disimpan di Museum Nasional yang berasal dari daerah Temanggung, Jawa Tengah, dibagian tengah atas ada lubang kecil 5). Kemudian prasasti E.18 yaitu prasasti Landa (Kwak V/Mulak IV) yang kini disimpan di Museum Nasional yang berasal dari desa Ngabean, Magelang yang dibagian pinggir kiri ada lubang kecil 6).

prasasti Pamintihan
(foto: Arlo Griffiths)
prasasti Marinci


Sedangkan prasasti logam yang berhias pun jarang ditemukan, hanya beberapa prasasti logam saja seperti prasasti Marinci (E.49) yang kini disimpan di Museum Nasional berasal dari desa Princi, Malang dengan hiasan Garuḍa? Atau kakak tua? 7). Prasasti Pamintihan (E.88a) yang kini disimpan di Museum Nasional dari desa Sendang Sedati, Bojonegoro di lempeng pertama terdapat ukiran seekor burung yang sedang terbang mengembangkan sayapnya, diatas pohon yang penuh buah dan untaian bunga. Pohon ini tumbuh dari sebuah jambangan besar berbentuk bunga teratai yang sedang mekar 8).

Di India Selatan di daerah Chennai ditemukan prasasti yang berukirkan babi hutan yang  merupakan lambang raja Chālukya, juga prasasti logam Mainamati yang terpengaruh Bengal pun ditemukan ukiran hiasan sapi berpunuk. Kesimpulan yang dapat diambil ialah walaupun kebudayaan India sangat berpengaruh besar terhadap masa Indonesia kuno, namun kebudayaan Indonesia kuna masih menyisakan ciri-ciri pembeda antara Indonesia dan India, baik aksara, ragam prasasi logam, serta hiasan pada prasasti.

prasasti Mainamati
(foto: Arlo Griffiths)

prasasti Chennai, India Selatan
(foto: Emmanuel Francis)



Catatan:
1) berdasarkan beragam ukuran prasasti logam dalam buku Prasasti Koleksi Museum Nasional, jilid I.
2). Prasasti Koleksi Museum Nasional, hlm: 52.
3).  K.G.Krishnan, 1984: 1-3
4) --, hlm: 4-5
5)--, hlm: 56
7). --, hlm: 111
8). __-, hlm: 179

Daftar Acuan:
K.G.Krishnan, 1984. Karandai Tamil Sangam Plates of Rajendrachola I. New Delhi: Archaeological Survey of India.
Museum Nasional, 1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional, jilid I. Proyek Pengembangan Museum Nasional.






Kamis, 02 Mei 2013

Kegunaan Prasasti Sebagai Sumber Penulisan Sejarah Kuna dan Sumber Data Ikonografi



Ratnaesih Maulana


Prasasti selain memberikan keterangan bagi penulisan sejarah, juga dapat memberi keterangan yang tercermin dari penyebutan dewa-dewa yang juga sangat berguna bagi penelitian ikonografi.

Keterangan yang berkenaan dengan penyebutan dewa-dewa itu dapat kita peroleh dari prasasti antara lain pada bagian:
  •           Seruan atau pujaan, yang terdapat baik pada awal maupun akhir
  •           Kutukan atau sapatha


Seruan atau pujaan

Seruan atau pujaan terhadap dewa kita dapatkan pada awal atau akhir prasasti. Dari sebutan dewa yang diseru kita dapat menduga agama apa yang dianut raja atau pejabat yang memerintahkan pembuatan prasasti. Formulasi seruan maupun penempatannya dalam prasasti mengisyaratkan bahwa dewa yang bersangkutan mempunyai peranan pemberi restu terhadap keseluruhan kegiatan yang diperingati dengan prasasti tersebut (Maulana, 1992:187). Kenyataan ini dapat berarti bahwa dewa yang diseru mungkin dianggap dewa tertinggi, tetapi mungkin pula ia semata-mata dianggap dewa terpenting untuk peristiwa yang bersangkutan saja (Sedyawati, 1983:16). Sedyawati juga mengemukakan bahwa di antara dewa-dewa yang paling sering diseru pada awal prasasti adalah Siwa. Rumusan yang paling sederhana dari seruan kepadanya ialah “Om namasśiwanya”. Prasasti tertua yang memuat rumusan seruan seperti tersebut adalah prasasti Dieng III (OJO XCVI), yang diperkirakan dari abad VIII M, sedang yang termuda adalah prasasti Sarwwadharma (OJO LXXIX) dari tahun 1269 M. Sezaman dengan prasasti Dieng III, yang berisi seruan dan deskripsi dewa-dewa Hindu; Siwa, Wisnu dan Brahma adalah prasasti Canggal dari tahun 732 M. Prasasti ini memberi keterangan bentuk dan laksana dewa Siwa, Wisnu dan Brahma seperti berikut:


  • ....
  • Sang dewa Bhawa (Siwa), matahari bagi kegelapan hidup ini sangat dihormati oleh sekalian dewa-dewa, sambil mengatupkan kedua telapak tangannya bagaikan gelombang sungai Gangga, yang tubuhnya bersinar karena dilumuri oleh abu, yang menyinari kalung ular(nya), semoga Siwa memberikan kebahagiaan yang abadi
  • Semoga sepasang kaki dewa bermata tiga (Siwa) yang indah bagaikan bunga teratai, yang selalu dipuja oleh para resi yang terkemuka yang merunduk memuja agar memperoleh surganya, yang dicium oleh dewa-dewa dan lainnya, bagaikan kumbang yang mencium bunga teratai, semoga kedua kaki sang bermata tiga memberi keselamatan yang abadi kepadamu
  • Semoga dewa bermata tiga yang berambut ikal berhiaskan bulan sabit, karena sifatnya yang luhur dan kuasa, menjadikan sumber keajaiban yang besar-besar, selalu menakjubkan. Ia yang memberi ketenangan dengan meninggalkan segala benda yang ada, sangat dikagumi oleh para Yogin. Ia yang dengan tubuh berjumlah delapan (astatanu) selalu memelihara dunia tidak untuk kepentingan sendiri, tetapi karena belas kasihnya, semoga tryambaka melindungimu
  • Semoga sang jagad-guru (Brahma) yang termulia raja pendeta dari sekalian para pendeta; yang kedua kakinya seperti bunga teratai; dihormati oleh para dewa; yang memberi kesenangan, kebajikan dan kebaikan (di dalam dunia ini); yang mengikat tatacara manusia dengan tiang yang sangat teguh, yakni kitab-kitab Weda; yang (memakai) mahkota tinggi berkilau-kilau seperti nyala api (kilauan itu) terpancar dari badannya yang bersinar seperti emas; moga-moga dewa svayambhu (Brahma) yang sangat berkuasa itu memberi kesempurnaan kepada kamu sekalian.
  • Semoga sang dewa Wisnu yang terbaring di atas ular naga, yang didampingi oleh parameswarinya, Dewi Sri, Ia (Wisnu) yang karena kuatnya bersamadi hingga merah matanya seperti bunga teratai sangat dihormati para dewa karena pertolongannya, memberi kebahagiaan kepada kamu sekalian
  • ......

           (Poerbatjaraka, 1952:44; Hariani Santiko,1992:89-90)

Dalam agama Saiwa, dikenal adanya delapan tubuh Siwa (astanu atau astamūrti) yang berada di mana-mana. Kedelapan tubuh Siwa ini adalah ravi-yajamāna-pañcamahabhuta. Ravi terdiri dari matahari dan bulan, sedangkan yajamāna adalah orang yang mengadakan upacara korban dan pañcamahabhuta terdiri dari api, air, tanah, udara dan angin (Gonda,1970:35,40-41, Santiko, 1992:90-92). Hal ini menunjukkan bahwa Siwa sebagai dewa tertinggi berada dimana-mana, di seluruh alam semesta dan dalam diri manusia yang disini diwakili oleh yajamāna. Keterangan tentang keberadaan Siwa dalam bentuknya sebagai astatanu dapat kita temukan dalam prasasti Canggal bait 4 tersebut.

http://wilwatiktamuseum.files.wordpress.com/2011/12/arca-emas-12.jpg


Kutukan atau Sapatha

Dalam sapatha para dewata yang diseru ditampilkan sebagai saksi dan pemberi hukuman kepada barang siapa yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam prasasti yang bersangkutan. Isi bagian pertama sapatha pada prasasti sangat menarik untuk disimak, karena dewa-dewa yang diseru pertama bukanlah dewa utma Hindu (Siwa, Wisnu, Brahma), melainkan Baprakeśvara, Hari Candana, Agasti (Agastya) Maharesi. Selain itu diseru pula kelompok yaksa, raksasa, pisaca, pretasura, garuda, gandharwa. Makhluk-makhluk ini dilihat dari sudut ikonometri tidak dari satu golongan. Mereka diseru dalam satu kelompok mungkin karena kedudukan yang sama, yaitu berada di antara golongan dewa dan manusia serta dikenal sebagai makhluk “setengah dewa” (Rao, 1968:540-550).

apsara dan gandharwa
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzPuXkXMBLY7gBOGUOJqFtfZxC1hapWm3rA9csIM_f9ek5OybwWDBV44ndDlpEKORs-VM8F9kDzhfKBqUa0knhMieOkvquJw8NRlEYBI706U2AzAkUu_NEu-9jOI2KIOgFwEnELyjmuMhP/s1600/relif6.jpg

Dewa-dewa pelindung mata angin yang disebut sebagai dewa-dewa Lokapāla di Jawa mempunyai kedudukan cukup penting. Dewa-dewa Lokapāla ini kita dapatkan tidak hanya dalam prasasti, tetapi juga dalam kitab-kitab kesusastraan Jawa Kuno dan relief candi. Dewa-dewa Lokapāla yang terdapat dalam kutukan adalah dewa-dewa kelompok empat (catur atau catvari Lokapāla), yang terdiri dari Yama, Kuvera, Varuna, dan Vasava (Indra). Nama Vasava bagi Indra dalam kelompok catur Lokapāla di Jawa kurang lazim di pakai (Santiko:82-83).


Dewa Indra
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/d/d8/Indra_bronze.jpg/220px-Indra_bronze.jpg


Dewa Kuvera
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/a/ae/Kubera_java.jpg/275px-Kubera_java.jpg



Selain catur Lokapāla kita mengenal juga para dewa penjaga mata angin kelompok delapan, yakni Indra, Agni, Yama, Nairrta, Varuna, Vayu, Kuvera dan Isana. Indra, raja dari segala dewa menjadi penjaga matahari terbit, dari daerah timur (Gupta, 1972:49). Menurut kitab Amsumadbhedāgama, Indra digambarkan tampan, mengenakan kirīṭāmakuṭa, pakaiannya berhiaskan permata. Di sebelah kiri Indra duduk Indrani, saktinya yang digambarkan membawa nilotpala. Indra digambarkan berperut buncit, duduk atau berdiri di atas simhāsana atau duduk di atas gajah Airavata. Kedua tangannya masing-masing membawa sakti dan aṅkuśa atau vajra dan aṅkuśa (Rao,1968:519, Banerjea, 1974:523).

Agni yang merupakan kelahiran bagi api dunia, menjaga mata angin sebelah tenggara. Menurut kitab Harivarmsa, Agni digambarkan mengenakan pakaian hitam, membawa panji-panji yang mengeluarkan asap (dhumaketu), cakra dan tombak yang menyala (Rao, 1968:522).

Yama, dewa yang menguasai arah mata angin selatan. Dalam kitab Viṣṇudharmottara, Yama di gambarkan bertangan empat yang masing-masing membawa danda, khaḍga, triśula dan akṣamālā. Mengenakan pakaian warna kuning keemasan. Di sebelah kanan Yama dilukiskan Kala dalam sikap ugra sambil memegang pāsa (Rao, 1968:526).

Nairrta, ppenjaga mata angin sebelah barat daya (Sastri, 1916: 243). Menurut kitab Visnudharmottara, Nairrta digambarkan dalam wujud menakutkan, mata melotot, mulut terbuka, rambut berdiri. Mengenakan perhiasan, ebrkalung rangkaian bunga. Digambarkan duduk di atas keledai sambil membawa khaḍga dan kheṭaka. Nairrta dilukiskan duduk dikeliligi oleh apsara dan raksasa (Rao, 1968: 528).

Varuna, penjaga arah mata angin sebelah barat, anak laki-laki Aditi. Mengenakan pakaian warna putih dihiasi seperangkat permata dengan kalung mutiara, memakai payung putih. Varuna digambarkan berperut buncit, di kiri Varuna terdapat panji-panji bergambar ikan. Di atas paha kiri duduk Gauri dan Yamuna. Vahanā Varuna berupa kereta perang yang ditarik oleh tujuh ekor angsa. Digambarkan bertangan empat, masing-masing memegang padmā, paśā, saṅkha dan ratnapatra.

Vayu, sebagai dewa arah mata angin barat laut. Menurut kitab Amsumabhedāgama Vayu digambarkan bertangan dua, masing-masing membawa dhvāja dan paśā. Mengendarai mṛga atau duduk di atas simhāsana (Sahai, 1975:54).

Arah mata angin sebelah utara daru Vāstupurusa dilindungi oleh Kuvera dan biasanya digambarkan sebagai Soma, raja dari Naksatras. Kuvera merupakan dewa kemakmuran. Menurut kitab Visnudharmottara, Kuvera digambar mengenakan ‘baju baja’, berkumis dan bertaring. Badannya digambarkan agak besar, perut buncit, duduk diatas padmapitha atau mengendarai kereta perang yang dikendali seorang laki-laki. Kadang-kdang digambarkan di atas bahu seorang laki-laki (Rao, 1968:536).

Isāna, penguasa mata angin timur laut, yang bagaikan matahari dengan sinar-sinarnya. Isāna merupakan raja dari semua daerah. Digambarkan memakai jatāmakuta dan svetajnanopavita. Pada dahinya terdapat mata ketiga, mempunyai dua tangan yang masing-masing memegang trisūla dan kapāla (Rao, 1968:536).

Disamping para dewa Lokapala dalam prasasti juga diseru hyang Pañcakusika yang berjumlah lima, yaitu Kusika, Garga, Metri, Kurusya, dan Patañjala. Pada mulanya mereka merupakan murid Siwa Lakulisa, nemun kemudian kedudukan kelima murid tersebut terangkat sejajar dengan golongan dewa (Hooykaas, 1974:132, Sedyawati, 1985:433, Santiko, 1992:83). Di India tokoh Pañcakusika merupakan tokoh sejarah, sedang menurut sumber-sumber Jawa-Bali merupakan tokoh-tokoh kedewataan yang diseru sebagai saksi atas perbuatan manusia (Hooykaas, 1974:132). Empat dari kelima tokoh Pañcakusika, yaitu Kusika, Garga, Metri dan Kurusya merupakan tokoh sejarah dan bertindak sebagai guru-guru aliran Siwa-Pasupata (Bhandarkar, 1913:118).

Disamping Pañcakusila juga diseru Mahākāla dan Nandīśvara, yaitu dua penjaga pintu gerbang ke tempat tinggal Siwa berwujud raksasa. Mereka bertugas menjaga Siwa yang sedang melakukan tapa brata di gunung Meru (Poerbatjaraka, 1931:12). Dalam pengarcaannya di India, Mahākāla dan Nandīśvara di gambarkan dalam bentuk śānta atau ugra (Battacharya, 1924:20).

Selain itu terdapat pula nama Sad-vināyaka. Menurut dugaan Sedyawati (1985:194), (Sad) Vināyana Nāgarāja merupakan sebutan untuk seorang tokoh, yaitu Gaṇeṣa. Sedyawati berpendapat bahwa Nāgarāja dan Sad-Vināyaka merupakan nama satu tokoh dan Sad-Vināyaka diartikan sebagai “Raja Gajah” yaitu Gaṇeṣa (Sedyawati, 1985:194). Namun hal tersebut disangkal Santiko karena tidak ada satu sumber pn baik di India maupun Jawa yang menghubungkan nāgarāja dengan gaṇeṣa. Santiko berdasarkan keterangan kitab Vāmana Purāna menghubungkan tokoh Nāgarāja dengan Bhairava yang menguasai daerah sebelah barat (1992:84-85). Juga berdasarkan pada isi kutukan prasasti, antara lain prasasti Waharu (KO VII) dan prasasti Gunung Butak. Dikatakan bahwa ketika Sang Akarug mengucapkan sapatha, maka dia menghadap ke krodha desa. Krodha desa adalah daerah yang terletak di antara arah barat dan barat daya.

Satu-satunya dewi yang diseru dalam kutukan prasasti adalah Durgā devi. Di India, Durgā dikenal sebagai pembunuh Mahisa dan sebagai seorang dewi yang di puja-puja di daerah pegunungan Vindhya dengan sesajian anggur, daging dan korban binatang (Radhakrisnan, 1929:487). Di India, Durgā umumnya digambarkan bertangan 4,6,8, atau lebih, mempunyai mata ke-3. Dia digambarkan sebagai wanita cantik, memakai mahkota berbentuk karandamakuta, serta memakai perhiasan yang mewah. Dilukiskan berdiri di atas padmāsana atau di atas kerbau, terkadang mengendarai singa. Di Jawa umumnya, Durga digambakan berdiri di atas punggung kerbau yang terbaring ke arah kiri. Tangan kanan depannya menarik ekor kerbau dan tangan kiri depannya menarik rambut asura. Tangan kanan dan kiri belakang masing-masing membawa senjata berupa cakra, saṅkha, dhanu, khaḍga, trisūla, aṅkuśa, khetaka, dan sara (Boeles, 1942:41). Digambarkan sangat cantik bertangan 2,4,6,8, atau 10.

Durga Mahisasuramardhini
http://images.metmuseum.org/CRDImages/as/web-large/DP253391.jpg

Pada prasasti di Jawa Barat, misalnya prasasti Sanghyang Tapak 952 Saka, Siwa diseru tanpa Brahma maupun Visnu. Pada prasasti-prasasti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti prasasti Wuatan Tija, prasasti Rukam, prasasti Sugih Manek, prasasti Waharu II, prasasti Gilikan I, prasasti Turyyan dan prasasti Poh Dulur, Siva diseru bersama-sama dengan Brahma dan Wisnu, diseru dalam satu garis dan satu kelompok:
24....bhatāra i śrī baprakeśvara brahmā viṣṇu mahādeva ravi śaśi kṣiti jala pavana25 kutāsana yajāmānākāsa kālamṛtyu gana bhūta sandyādvaya ahorātri yama baruna kuvera bāsava yaksa26... (Brandes, 1913:40).
Selain para dewa diseru pula dalam kutukan yaitu pañcamahābhūta, yakni 5 materi dasar dari 8 materi dasar Siwa astamūrti (Santiko, 1992:90092). Pañcamahābhūta atau lima materi dasar yang menjadi dasar dari alam semesta ini termasuk manusia, yaitu: tanah (pṛthivī, kṣiti, lemah), api (teja, hutāsana, apuy), air (jala, apah, vvay), angin (bayu, pāvana), ruang (ākāsa). Lima aspek atau materi dasar tersebut ditambah matahari (ravi), bulan (śaśi) dan yajamāna (peyelenggara upacara agama).

Selain penting untuk penulisan ikonografi, prasasti juga penting untuk penelitian kepurbakalaan Indonesia, khususnya Jawa.




Laporan Penelitian Universitas Indonesia
Diterbitkan oleh: Universitas Indonesia
1993/1994