Rabu, 29 Oktober 2014

TIGA PRASASTI MASA BALITUNG


Titi Surti Nastiti, Dyah Wijaya Dewi, dan Richadiana Kartakusuma
1982
(foto: Arlo Griffiths)


I. PENDAHULUAN
          Prasasti yang akan dibicarakan dalam karangan ini adalah prasasti-prasasti dari masa pemerintahan raja Dyaḥ Balitung (820-832 Śaka)[1], seluruhnya berjumlah tiga buah. Pertama, prasasti Luītan yang berangka tahun 823 Śaka; kedua, prasasti Paṅgumulan A dan B yang berangka tahun 824 Śaka dan 825 Śaka; ketiga, prasasti Rukam yang berangka tahun 829 Śaka.



1.1.            Prasasti Luītan
          Prasasti Luītan ditemukan pada tahun 1977 oleh seorang Guru Sekolah Dasar Pasanggrahan bernama Warguyono, di desa Pasanggrahan, kecamatan Kesugihan, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Prasasti ini memuat keterangan tentang pengaduan penduduk desa Luītan yang termasuk wilayah Kapung kepada Rākryan Mapatiḥ i Hino pu Daksa Śri Bāhubajrapratipakṣakṣaya, sehubungan dengan sawah yang diukur oleh pemungut pajak tidak sesuai dengan luas yang sebenarnya. Selain itu masalah yang menarik dari prasasti Luītan adalah:
a. Pajak
b. Penyelewengan Pejabat Kerajaan.
1.2.            Prasasti Paṅgumulan
          Prasasti Paṅgumulan memuat dua peristiwa sekaligus, yaitu peristiwa yang terjadi pada tahun 824 Śaka. Isinya mengenai Rakryān i Wantil pu Pālaka bersama istrinya Dyaḥ Prasāda dan ketiga orang anaknya pu Palaku, pu Gowinda dan pu Waṅi Tamuy meresmikan desa Paṅgumulan yang semula termasuk wilayah Puluwatu menjadi sima karena diharuskan memelihara bangunan suci di Kinawuhan. Sedangkan peristiwa kedua terjadi pada tahun 825 Śaka, ketika Rakryān i Wantil pu Pālaka bersama istri serta ketiga anaknya menebus tanah milik para rāma di Paṅgumulan yang semula digadaikan. Adapun permasalahan yang terkandung di dalamnya antara lain:


a. Lokasi desa Paṅgumulan
b. Pasĕk-pasĕk
c. Bhaṭāra dan bhaṭārī di Kinawuhan
d. Struktur Perpasaran
e. Upacara


Alih aksara prasasti Paṅgumulan merupakan pembacaan ulang dari koreksi terhadap F.D.K. Bosch yang pernah membuat alih aksara serta sedikit kupasannya dalam "De Oorkonden van Kembang Aroem", OV (B), 1925: 41-49.



1.3.            Prasasti Rukam
          Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 Śaka ditemukan pada tahun 1975, di desa Petarongan, kecamatan Parakan, kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.Isinya mengenai peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryān Sañjīwana karena desa tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api. Kemudian penduduk desa Rukam diberi kewajiban untuk memelihara bangunan suci yang ada di Limwung.


Seperti halnya prasasti Luītan dan prasasti Paṅgumulan A dan B, di dalam prasasti Rukam pun terdapat masalah-masalah menarik lainnya, yaitu:


a. Letusan gunung api
b. Identitas Rakryan Sañjīwana
c. Lokasi desa Rukam
d. Upacara
e. Penyebutan pomahan haji i kḍu



II.  TINJAUAN SINGKAT SEJARAH DYAḤ BALITUNG
          Nama Dyaḥ Balitung dikenal sebagai salah satu dari raja-raja yang bertahta pada periode Mataram Kuno. Di antara raja-raja yang memerintah masa itu, Dyaḥ Balitung termasuk raja yang banyak mengeluarkan prasasti setelah Rakai Kayuwangi pu Lokapāla (778-804 Śaka). Sampai saat ini telah ditemukan 38 buah prasasti dari masa pemerintahan Dyaḥ Balitung (820-832 Śaka). Akan tetapi walaupun demikian belum dapat mengungkapkan secara lengkap sejarah di masa pemerintahannya yang hanya 12 tahun. Dari prasasti-prasasti tersebut, maka dapat diketahui bahwa Dyaḥ Balitung mempunyai empat gelar, yaitu:


1. Rake Watukura Dyaḥ Balitung Śrī Dharmmodaya Mahāśambhu,
2. Rakai Watukura Dyaḥ Balitung Śrī Iśwarakeśawasamarortungga,
3. Rake Watukura Dyaḥ Balitung Śrī Iśwarakeśawotsawatungga,
4. Janardanottungga Dyaḥ Balitung.
Gelar rakai Dyaḥ Balitung menunjukkan bahwa ia seorang pangeran dari Kedu Selatan, yaitu dari daerah Watukura. Sampai saat ini nama dan letak Watukura tidak mengalami perubahan, yakni di tepi sungai Bogowonto, di kewedanaan Purwodadi, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah (Poerbatjaraka, 1933: 514-520).


Keterangan yang dianggap jelas mengenai identitas Dyaḥ Balitung dapat diketahui dari salah satu prasastinya, yaitu prasasti Mantyāsiḥ yang berangka tahun 829 Śaka. Di dalam prasasti itu disebutkan raja-raja Mataram Kuno yang pernah memerintah, yaitu:


1. Rakai Mataram Sang Ratu Sañjaya
2. Śrī Mahārāja Rakai Panangkaran
3. Śrī Mahārāja Rakai Panunggalan
4. Śrī Mahārāja Rakai Warak
5. Śrī Mahārāja Rakai Garung
6. Śrī Mahārāja Rakai Pikatan
7. Śrī Mahārāja Rakai Kayuwangi
8. Śrī Mahārāja Rakai Watuhumalang
lalu diikuti oleh raja yang mengeluarkan prasasti, Śrī Mahārāja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung Śrī Dharmmodaya Mahāśambhu.
Menurut B.J.O. Schrieke, raja-raja yang menunjukkan suatu silsilah, seperti halnya Airlangga dalam prasasti Pucangan (963 Śaka) dan Raden Wijaya dalam prasasti Kudadu (1216 Saka), sebenarnya tidak berhak penuh atas tahta kerajaan (Schrieke, 1957). Dan dalam kenyataannya Dyaḥ Balitung naik tahta karena perkawinannya, seperti yang disebutkan dalam prasasti Mantyāsiḥ. Karena dari prasasti itu diketahui bahwa pada saat Dyaḥ Balitung menikah, ia masih bergelar haji atau raja bawahan bukan srī mahārāja seperti yang disebutkan setelah ia mengeluarkan prasasti Mantyāsiḥ. Selain itu, di dalam prasasti Panunggalan (818 Śaka) [2] disebutkan bahwa Haji Rakai Watuhumalang memberi anugerah kepada ḍapunta di kabikuan Panunggalan atas hak perdikan daerah mereka. Jika benar Dyaḥ Balitung anak dari Rakai Watuhumalang, maka dapat disimpulkan bahwa Dyaḥ Balitung itu hanya anak seorang haji, bukan anak śrī mahārāja seperti yang tercantum di dalam prasasti Mantyāsiḥ. Lagipula di antara keempat gelarnya, Dyaḥ Balitung memakai kata dharmma (dharmmodaya mahāśambhu). Mengenai raja yang memakai gelar dharmma ini, R.M.Ng. Poerbatjaraka me[4]nafsirkan bahwa raja yang memakai gelar demikian itu adalah raja yang naik tahta karena perkawinan (Poerbatjaraka, 1930: 171-183).
Kasus Dyaḥ Balitung ini sama dengan kasus yang terjadi pada Airlangga dan Raden Wijaya. Hanya Airlangga maupun Raden Wijaya, di dalam prasastinya menyebutkan perkawinannya dengan putri raja yag memerintah sebelumnya. Sedangkan Dyaḥ Balitung tidak memberi keterangan dengan putri siapakah ia menikah? Seandainya perkawinan itu tidak mempunyai arti yang penting dalam kehidupan Dyaḥ Balitung selanjutnya, tentunya tidak akan disebut-sebut dalam prasasti Mantyāsiḥ.       
Mengenai Dyaḥ Balitung bukan ahli waris yang sah, mungkin dapat disimpulkan dari kedudukan Dakṣa di dalam pemerintahannya. Dakṣa mempunyai kedudukan tertinggi setelah Dyaḥ Balitung, yaitu sebagai Rakryān Mahāmantri i Hino atau putera mahkota. Adapun gelar lengkapnya ialah Rakryān Mahāmantri/Mapatiḥ i Hino Śrī Dakṣottama Bāhubajrapratipakṣakṣaya.        
Bagaimana sebenarnya hubungan Dyaḥ Balitung dengan Dakṣa? Menurut tambo dari dinasti Hsin-T'ang-Shu, raja dari Ho-Ling tinggal di kota She-P'o, tetapi salah seorang leluhurnya yang bernama Ki-Yen memindahkan ibukota kerajaan ke sebelah timur Po-Lu-Kia-Seu. Di sekitarnya ada 28 buah kerajaan kecil, dan tidak ada di antaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan, yang terutama adalah Ta-Tso-Kan-Hiung (Groeneveldt, 1876: 13). Istilah Ta-Tso-Kan-Hiung oleh Boechari ditafsirkan sebagai "Dakṣa, saudara atau kakak (raja) yang gagah berani". Jadi dapat diartikan bahwa Dakṣa adalah saudara Dyaḥ Balitung. Mengingat Dyaḥ Balitung sebenarnya bukanlah orang yang berhak atas tahta, dan ia dapat naik tahta karena perkawinan, mungkin sekali bahwa Dakṣa adalah saudara dari istri Dyaḥ Balitung (Boechari, 1965: 53-54; 1968: 7–20; Bambang Soemadio, 1977:901).         
Berita dari prasasti Kubu-kubu (827 Śaka) menyebutkan Dyaḥ Balitung sebagai teman dari Dakṣa[3]. Mungkin dari keterangan ini dapat diperoleh gambaran bahwa Dyaḥ Balitung dengan Dakṣa merupakan teman sepermainan sejak kecil, dan hal ini bisa terjadi apabila Dyaḥ Balitung termasuk anggota kerabat raja yang dekat. Kemudian setelah meningkat dewasa Dyaḥ Balitung menikah dengan putri raja yang memerintah, yang mungkin berkedudukan sebagai putri mahkota dan ia adalah kakak Dakṣa.   
Bagaimana pun pendapat di muka hanyalah merupakan dugaan sementara yang masih harus diteliti lebih lanjut. Selain itu juga mungkin di masa-masa mendatang akan ditemukan lagi prasasti dari masa pemerintahan Dyaḥ Balitung, sehingga dapat memberi data yang lebih lengkap untuk mengungkapkan sejarah pada masa itu, baik sejarah politik maupun sejarah sosial-ekonominya.

III. TERJEMAHAN
3.1. PRASASTI LUĪTAN
1. Selamat! telah lewat tahun Śaka 823 tahun, bulan Caitra[1] tanggal 10 Śuklapaksa[2], pada hari Was (paringkelan), Kaliwuan (pasaran) dan hari Kamis (menurut perhitungan 7 hari)[3], bintang Sathabiṣa[4], yoga: lndra[5]. Pada waktu itu penduduk desa Luītan yang termasuk wilayah Kapuŋ2. berdatang sembah kepada Rakryān Mapatiḥ i Hino[6], mengadukan bahwa sawah yang dikerjakannya tidak sanggup memenuhi bagian (yang diwajibkan), karena sempitnya yang dianggap satu tampaḥ[7]. (Maka) diperintahkan supaya diukur kembali oleh Rakryān Ma-3. patiḥ i Hino dan Rakryān i Pagarwṣi. Yang diberi tugas mengukur (kembali) adalah saŋ wahuta hyaŋ kudur[8] dan pembantu dari Rakryān i Pagarwṣi. Sesungguhnyalah bahwa sempit tampaḥnya tidak dapat memenuhi satu setengah4. setiap satu tampaḥnya[9], dan tidak sanggup mempunyai enam budak[10]. Maka dikabulkan permohonan dari kepala desa itu untuk mengerjakan sawah (seluas) 1 lamwit 7 tampaḥ, dan dapat mempunyai empat budak. Karena memang demikianlah perkiraannya setelah diukur kembali.5. Pejabat desa mempersembahkan persembahan kepada Rakryān Mapatiḥ i Hino pu Dakṣa Śrī Bāhubajrapratipakṣakṣaya, Rake Pagarwṣi pu Wira, Rake Sirikan pu Wariga6. Rake Wka pu Kutak, Samgat Tiruan pu Śiwāstra, semua diberi emas 1 suwarṇa masing-masing. Samgat Wadihati (bernama) pu Dapit diberi (persembahan berupa) emas 8 māsa, Aṅinaṅin[11] (bernama) pu Parigi dan Saŋ7. Babahan diberi emas 4 māsa masing-masing. Saŋ tuhān[12] dari Ayam Tĕas, (tuhān dari) Miramiraḥ (bernama) pu Rayuŋ dan dilengkapi oleh (tuhān dari) Halaran (yaitu) saŋ Dhanada diberi emas 4 māsa masing-masing. Makudur[13]8. saŋ tgaŋrāt diberi persembahan (berupa) emas 4 māsa. Saŋ wahuta hyaŋ (kudur) diberi emas 4 māsa. Samgat mawanua (yang bernama) pu Kuśala, penduduk desa Kataṅgaran yang termasuk wilayah Kataṅgaran9. diberi persembahan (berupa) emas 9 suwarṇa dan 8 māsa. Tuhān dari para nāyaka[14] dari desa Kapuŋ (bernama) saŋ Mahantara, tuhan ni Lampuran (bernama) saŋ Karaṇa, tuhān dari para wadua rarai[15] saŋ Tamuy, tuhān dari para penari topeng10. (bernama) saŋ Lage, manuṅgu[16] (bernama) saŋ Dhanaki, semua diberi persembahan (berupa) emas 4 māsa masing-masing. Wahuta dari Kapuŋ (bernama) si Kelaśa dan si Gupai diberi persembahan (berupa) emas 8 māsa masing-masing.11. Para pejabat desa Luītan yang menerima prasasti (yaitu) si Bahud ayahnya Kadal, dilengkapi (oleh) si Gupta ayahnya Poṣṭi. Winkas[17] (bernama) si Prabha ayahnya Buddhyanta. Juru bicara (bernama) si Tguḥ ayahnya12. Codhya. Wariga[18] (bernama) si Bes ayahnya Wahu. Rāma maratā[19] (adalah) si Kamwaŋ ayahnya Radha, si Mitra ayahnya Rumpun, si Wara ayahnya Lĕmĕḥ, si Makara ayahnya Taraju, si Puñjaŋ ayahnya Saban.13. Yang menulis prasasti (adalah) jurutulis dari (samgat) Tiruan (yaitu) jurutulis dari Sumaṅka dan Panawuṅan, keduanya diberi persembahan (berupa) emas 4 māsa.

[30]

3.2. PRASASTI PAṄGUMULAN A DAN B


I. 1 . / / Selamat! tahun Śaka telah berlangsung 824 tahun, bulan Poṣa, tanggal 10 paro gelap, pada hari tuŋlai (paringkelan), kaliwuan (pasaran) dan hari senin (menurut perhitungan 7 hari), kedudukan planet di selatan, bintang Jaiṣṭa, (di bawah naungan): dewa Mitra, yoga: Sukarmmā[20]. Pada waktu itu Rakryān2. i Wantil pu Pālaka, penduduk desa Wuatan Sugiḥ yang termasuk wilayah Puluwatu, dengan istrinya Dyaḥ Prasāda, serta ketiga anaknya: pu Palaku, pu Gowinda, pu Waṅi Tamuy, membatasi śīma[21] desa Paṅ-3. gumulan yang termasuk wilayah Puluwatu termasuk .... kabikuannya[22], yang mempunyai kewajiban kerja bakti 4 masā[23], sawah para nāyaka (seluas) 7 tampaḥ. 1 katik dan patilek dari hutan 1 māsa perak[24]. Tujuannya membatasi śīma yaitu sebagai jasa mereka (bagi)4. bhaṭāra dan bhaṭārī di Kinawuhan. Tidak termasuki hendaknya oleh segala macam maṅilāla drabya haji[25] (yaitu): tikasan[26], rumwān[27], manimpiki[28], paranakan[29], kriŋ[30], paḍammapuy[31], maṅhuri[32], airhaji[33], tapahaji[34],5. tuha dagaŋ[35], wanua i dalam[36], kataṅgaran[37], pinilai[38], mapaḍahi[39], maṅiduŋ[40], hulun haji[41] dan lain sebagainya. Semuanya tidak ada yang diperkenankan datang ke sana. Hanya bhaṭāra dan bhaṭārī semata-mata yang menguasai6. semua dari sukha duhkha[42]nya semua. Yang mendapat perintah untuk mempersiapkan pembatasan śīma itu adalah Saŋ Pamagat Pikatan (bernama) Dapunta Kośiki, penduduk desa Haji Kabikuan di Pamĕhaṅan dan Saŋ Pa-7. magat Manuṅkuli (bernama) Saŋ Brahmāśakti. Mereka memberikan persembahan, sebagai ketentuan pada waktu membatasi śīma sejak dahulu kala. (Yaitu) kepada Rakryān Mapatiḥ i Hino pu Dakṣa Saŋ Bāhubajrapratipakṣakṣaya, Rake Halu pu8. Bwalu Saŋ Sangrāmadurandhara, Rakai Sirikan pu Wariga Saŋ Samarabikrānta, Rakai Wka pu Kutak, Rake Pagarwsi pu Wīrabikrama, Saŋ Pamagat Tiruan pu Asaṅā Saŋ Śiwa Astra, penguasa9. desa yang diberi batas (ialah) Saŋ Pamagat Puluwatu (bernama) pu Kunir Saŋ Winīta, penduduk desa cukulan yang termasuk wilayah Tilimpik, mereka semua diberi persembahan berupa bebed[43] jenis gañjarpātra sisi satu setel dan cincin emas10. satu buah yang beratnya 1 suwarṇa masing-masing / / lstri Saŋ (Pamagat) Puluwatu (bernama) pu Babi, penduduk desa Babahan di Puluwatu, diberi tapih sehelai dan cincin emas satu buah yang beratnya 8 māsa/ / Rakai11. halaran (bernama) pu Basu, rake palarhyaŋ (bernama) pu Puñjaŋ, dalinan (bernama) pu Gālatha, wlahan (bernama) pu Dhepu, maṅhuri (bernama) pu Cakra, paṅkur (bernama) pu Rañjan, tawān (bernama) pu Wāra, tirip (bernama) pu Kṛṣṇa, wadihati (bernama) pu Ḍapit, ma-12. kudur (bernama) pu Sambṛda, mereka semua diberi persembahan (berupa) bebed jenis raṅga satu setel dan cincin emas satu buah yang beratnya 8 māsa masing-masing/ / (Bagi) pengundang saŋhyaŋ kudur[44] (disediakan) bebed satu setel dan emas 4 māsa.

[31] 13. Saŋ tuhān dari Wadihati dua (orang), yaitu (saŋ tuhān) dari Miramiraḥ (bernama) si Rayuŋ (dan) dilengkapi (oleh) saŋ (tuhān dari) Halaran (bernama) si Rahula, penduduk desa Paŋramuan yang termasuk wilayah Wadihati, saŋ tuhān dari Makudur dua (orang), yaitu saŋ (tuhān dari) Asampañjaŋ (bernama) si Dharmma dan saŋ (tuhān dari) Taṅkil14. Sugiḥ (bernama) si Manikṣa, penduduk desa Mantyāsiḥ yang termasuk wilayah Makudur, semua diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 4 māsa masing-masing/ / Untuk (saŋ) Wadihati yang pergi memberi batas (śīma) adalah saŋ Wurukuy (bernama) si Maṅa-15. sū[45], penduduk desa Paṇḍamuan (yang termasuk wilayah) Wadihati dan untuk (saŋ) Makudur (yang pergi memberi batas) adalah saŋ Kamalagyan (bernama) si Lalita[46], penduduk desa Palikĕt yang termasuk wilayah Makudur, semua diberi persembahan (berupa) bebed dua setel dan emas 8 māsa, ter-16. masuk ongkos jalan masing-masing[47] / / Demikian pula dengan para juru bicara semua, (yaitu) juru bicara dari (Rakryān Mapatiḥ i) Hino (yang berkedudukan) di Kaṇḍamuhi (bernama) si Tuṅgaŋ, penduduk desa Gunuṅan yang termasuk wilayah Taṅkilan; juru tulis dari (Rakryān Mapatiḥ i Hino yang berkedudukan) di Watu Warani


II.1. (bernama) si Manĕsĕr, penduduk desa Tamaliṅgaŋ yang termasuk wilayah Sirikan, juru bicara dari (rakai) Halu (yang berkedudukan) di Wiṣaga (bernama) si Wīryya, penduduk desa Pakalaŋkyaṅan yang termasuk wilayah Pagarwṣi; juru bicara dari (rakai) Sirikan (yang berkedudukan) di Hujuŋ Galuḥ (bernama) si Agra, penduduk desa2. Siṅha yang termasuk wilayah Hino; juru tulis (dari Rakai Sirikan yang berkedudukan di) Dharmmasinta (bernama) si Parbwata, penduduk desa Limus yang termasuk wilayah Puluwatu; juru bicara dari (rakai) Wka (yang berkedudukan) di Wiridiḥ (bernama) si Daṇu, penduduk desa Skar Tān yang termasuk wilayah Layuwataŋ; jurutulis (dari rakai Wka yang berkedudukan di) Halaŋ3. Manuk (bernama) si Gowinda, penduduk desa Tṅaḥ yang termasuk wilayah Wurutuṅgal, juru bicara dari (saŋ pamagat) Tiruan (yang berkedudukan) di Sumuḍan (bernama) si Bhāsura, penduduk desa Wuṅkudu yang termasuk wilayah Kilipan, semuanya diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas4. 4 māsa masing-masing/ / Juru bicara dari (rakai) halaran (yang berkedudukan) di Wijanta[48), penduduk desa Talumpuk di Sumiṅkar yang termasuk wilayah Kaṇḍuh. Tuhān dari para nāyaka di Puluwatu (bernama) si Samadhi (penduduk) desa Paṅaruhan, pandai tembaga5. dan tuhān iŋ lampuran[49] (bernama) si Dhaniti, penduduk desa Wukulan yang termasuk wilayah Tilimpik. Juru bicara dari maṅhuri (berkedudukan) di Ranuī (bernama) si Samodaya, penduduk desa Siṅhapura yang termasuk wilayah Halu Madāŋ; juru bicara dari paṅkur6. (berkedudukan) di Dadalan (bernama) si Dhyāna, penduduk desa Rilam yang termasuk wilayah Aluhur, juru bicara dari tawan (berkedudukan) di Ḍāluk (bernama) si Kṛṣṇa, penduduk desa Srai yang termasuk wilayah Hampuṅan; juru bicara dari tirip (berkedudukan) di Paṅadagan (bernama) si Sinha,

[31] 7. penduduk desa Paraŋmaŋjahijjahit, semua diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 2 māsa masing-masing/ / Pituŋtuŋ[50] dari juru bicara saŋ mānak[51] (berkedudukan di) Lua (bernama) si Barubuḥ dengan si Waru, semuanya penduduk desa8. Ralua yang termasuk wilayah Wurutuṅgal. (Yang berkedudukan di) Wuatan Pai (bernama) si Kbĕl penduduk desa Wuatan Pai yang termasuk wilayah Watuhumalaŋ, diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 1 māsa masing-masing/ / Patih dari Puluwatu 3 (orang) yaitu:9. (dari desa) Māmas (bernama) si Tirisan ayahnya Yoga dan (dari desa) Tajyāṅin (bernama) si Kaṇḍi ayahnya Lucira, tuŋgu duruŋ[52]nya (bernama) si Śarana ayahnya Gawul, semua diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 2 māsa masing-masing/ /10. Juru bicara dari patih (bernama) si Kañcil ayahnya Caṇḍi diberi bebed sehelai dan emas 1 māsa/ / Wahuta[53] dari Puluwatu 3 (orang), yaitu: (dari desa) Airhijo (bernama) si Dras ayahnya Wariṅin, tuŋgū duruŋnya (bernama) si Baīśakha [recte Baiśākha] ayahnya Tuṣṭa, wahuta winkas11. wkas[54] (bernama) si Katis, diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 2 māsa masing-masing/ / Wahuta lampuran[55] (bernama) si Bhadra dengan pihujuŋ[56]nya berjumlah 5 orang[57], semua diberi persembahan (berupa) bebed12. sehelai dan emas 1 māsa masing-masing/ / Rāma māgaman[58] (dari) desa yang diberi batas, yaitu desa Paṅgumulan, pada waktu itu berjumlah 6 orang, yaitu kalaŋ maṅuwu[59] (bernama) si Piṅul ayahnya Ūda, gusti[60] (bernama) si Atag ayahnya Raṅga, winkas (bernama) si Wu-13. dal ayahnya Ḍemoḥ, tuha banua[61] (bernama) si Guṇa ayahnya Ḍayaŋ, rāma matuha[62] (bernama) si Wlaŋ ayahnya Go, pembuat batu śīma[63] (bernama) si Śru ayahnya Bukaŋ berasal dari Ḍihyaŋ, diberi persembahan (berupa) bebed satu setel14. (dan) emas 2 māsa masing-masing/ / (Rāma) māgaman lainnya (berjumlah) 7 orang, yaitu kalaŋ tuŋgū durun[64] (bernama) si Tuḍe ayahnya Baiśākha, huluwras[65] (bernama) Dapunta Biṅuŋ, tuha wĕrĕh[66] (bernama) si Brit (dan) si Kṭul ayahnya Mahĕar, wadahu-15. ma[67] 2 (orang), yaitu si Plat ayahnya Dharmma dan si Uñja ayahnya Gamwoḥ, si Doho ayahnya Ramya, si Raṅgĕl ayahnya Tugan, si Kaladhara ayahnya Udāyaṇa, si Moṅoh ayahnya Tarum[68], semua diberi persem-16. bahan (berupa) bebed satu setel dan emas 1 māsa masing-masing/ / Para pemuda berjumlah 18 orang, yaitu si Bloṇḍo, si Karan, si Dayaṇa, si Plat, si Mugā, si Kuṇḍu, si Glo, si Aleŋ, si Bahu, si Glar,17. si Limbu, si Tuṅgū, si Tiḍu, si Gwarī, si Kawĕl, si Balubu, si Bṅal dan si Drawĕŋ, semua diberi persembahan (berupa) bebed sehelai dan emas 1 kupang masing-masing/ / Raiṇanta saŋ matuha[69], yaitu si Turuk ibunya ṇaṅga,18. si Taḍaḥ ibunya Bai, si Rumpuŋ ibunya Ḍaimoḥ, diberi persembahan (berupa) sehelai tapih dan satu kampit[70] masing-masing/ / Ibu-ibu lainnya yang ikut berjumlah 15 orang, yaitu: si Gawī ibunya Kṛṣṇa, si Magya ibunya Śryan, si Kuḍuk ibunya

[33]
IIIa.1. Rampuan, si Wrut ibunya Tugan, si Kinaŋ ibunya Barubuḥ, si Dakī ibunya Mahĕar, si Turukan ibunya Tarum, si Haryya ibunya Ramya, si Balyaḥ ibunya Gamwo, si Puñjaŋ ibunya Gamwais, si Lamyat ibunya Dhani, si Ḍayaŋ ibunya Dayana,2. si Dita ibunya Bireḍis, si Kutil ibunya Go, si Tugan ibunya Wḍai, (semuanya) berjumlah 15 orang, (mereka) diberi persembahan (berupa) sehelai tapih masing-masing/ / Para pemudi, yaitu si Mahyaŋ, si Tagĕs, si Rikha, si Sojara, si Wi-3. doḥ, si Rampwas, si Kaḍya (dan) si Camme, (semuanya) berjumlah 8 orang, (mereka) diberi persembahan (berupa) perak 4 māsa masing-masing/ / Pada waktu itu orang dari desa-desa perbatasan[71] yang ikut menjadi saksi adalah patih dari Hino, patih (dari) Kulumpaŋ (bernama) si Puñjaŋ4. ayahnya Śrī, patih dari Tiru Rāṇu 2 (orang), yaitu patih Paṇḍawutan (bernama) si Pryaṅka ayahnya Kurutug dengan si Parama ayahnya Wulakan, semua diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 2 māsa masing-masing/ / Rāma[72] dari desa-desa perbatasan yang ikut5. (menjadi) saksi adalah dari (desa) Suru yang termasuk wilayah Hino, kalaŋ[73]nya (bernama) si Pagar kakeknya Mahū, juru bicaranya (bernama) si Tahil ayahnya Waris. Dari (desa) Tguhan yang termasuk wilayah Liṅgaŋ, yaitu gusti (bernama) si Suŋlit ayahnya Ptĕŋ, juru bicaranya (bernama) si Haliŋ ayahnya Jaluk. Dari (desa) Purud yang termasuk wilayah Garantuṅan,6. yaitu pandai kayu (bernama) si Taji ayahnya Swāmi, juru bicaranya (bernama) si Junĕt. Dari (desa) Pāstamwir, yaitu kalaŋ (bernama) si Guṇakāra ayahnya Jaluk, juru bicaranya (bernama) si Uŋḍa ayahnya Kisik. Dari (desa) Kinawuhan yang termasuk wilayah Hino, yaitu gusti (bernama) si Bandĕŋ kakeknya Ajī, juru bicaranya7. (bernama) si Tuḍu. Dari (desa) Waṅun Amwĕk yang termasuk wilayah Paṅaruhan Pandai, yaitu rāma matuha (bernama) si Pyul ayahnya Śuddhi, juru bicaranya (bernama) si Juluŋ. Dari (desa) Muṅgu Wuatan yang termasuk wilayah Laṇḍa Tamwir, yaitu rāma matuha (bernama) si Waduā ayahnya Impĕn. Jumlah desa-desa per-8. batasan yang ikut menjadi saksi (ada) 9 termasuk saŋ patih, orangnya berjumlah 10, semua diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 2 māsa masing-masing/ / Juru bicaranya berjumlah 6 orang (mereka) diberi persembahan (berupa) bebed9. sehelai dan emas 1 māsa masing-masing/ / Saji-sajian pada waktu membatasi śīma (adalah) bebed untuk saŋhyaŋ Brahmā[74] satu setel dan emas 4 māsa, 1 kapak, 1 kapak perimbas (beliung kecil), 1 beliung, 1 sabit, 1 tombak pendek,10. 4 linggis, 1 parang, 1 sekop kecil, 1 tombak, 1 pisau, 1 alat pemotong kuku, 1 jarum, 1 baki, 1 besi, 1 lampu, 2 perangkat tempat sayur, 1 pundi-pundi, sekarung beras, (mata uang) besi 10 ikat[75], seekor kambing, 1 kepala (kerbau)[76],11. 1 kumol[77], 4 nasi dinyun[78], 1 pinggan, sepasang pasiliḥ galuḥ[79], 5 tempat air, beras 1 bejana, 4 ekor ayam, 4 butir telur dan paṅcopācara yang terdiri dari bunga, kawittha[80], dīpa[81], kemenyan dan bedak wangi/ / Setelah mereka semua selesai ma-

[34] 12. kan, (mereka) berpindah (tempat duduk), memakai kawittha (dan) memakai bunga[82], duduklah mereka di lapangan berkeliling menghadap saŋhyaŋ kudur[83] dan saŋhyaŋ śīma watu kulumpaŋ[84] di bawah balairung (yang terletak) di tengah lapangan. (Adapun) susunan duduk mereka (adalah sebagai berikut):13. saŋ pamagat Pikatan, rake Wantil (pu Palaka), samagat Manuṅkuli bertempat di sebelah utara menghadap ke selatan. Saŋ wahuta hyaŋ kudur dengan para juru bicara semuanya bertempat di sebelah barat menghadap ke timur.14. Saŋ wahuta, patih dan para rāma serta penduduk desa perbatasan, semuanya bertempat di sebelah selatan menghadap ke utara. Mulailah saŋ makudur bersumpah, menyumpah, mengutuk (sambil) memotong kepala ayam dilan-15. daskan pada susu(k) kulumpaŋ[85] seraya membantingkan telur pada saŋhyaŋ watu śīma (lalu) menyalakan saŋhyaŋ brahmā di (atas) batu yang dijadikan batas. Seperti ayam mati tidak akan hidup kembali, rupanya seperti telur yang hancur menjadi seratus bagian, seperti16. api membakar kayu segenggaman, hilang hangus tidak tenang (seperti) abu yang tertiup angin, Demikianlah (nasib) orang (atau) siapa saja yang mengusik-usik desa (di) Paṅgumulan ini yang dijadikan śīma (oleh) rakai Wantil (pu Pālaka).17. (Yang) dibatasi oleh (saŋhyaŋ) kudur dan bawahan (dari) rakryān mapatiḥ. Demikian kutukan saŋ makudur yang didengar oleh saŋ wahuta, patih dan para pejabat desa (serta) penduduk desa semua. Mereka menyembah kepada saŋhyaŋ watu śīma18. kulumpaŋ, mempersembahkan baktinya serta ketaatannya. Begitu juga mereka semua menambah kepada daun mereka memakan jenis-jenis makanan: nasi matiman (?), menumpuk ikan yang diasinkan (seperti) ikan asin kakap, ikan asin kaḍiwas[86], ruma–19. han[87], layarlayar[88], udang, halahala[89] dan telur. Adapun yang dijadikan sayur disediakan dua ekor lembu dan seekor kambing (yang) dijadikan masakan, sama enaknya dengan amwil lamwil (?) kasyan (?) kwĕlan (?), piniṅka (?). Sayuran20. ada rumwarumwaḥ[90], kuluban[91], ḍuḍutan[92], tetis[93]. Adapun minuman keras yang diminum ada tuak, siddhu[94] ada jātirasa[95] dan air kelapa. Adapun (yang) akan ditarikan ada mapaḍahi[96], marĕggaŋ[97] (bernama) si Catu ayahnya Kriyā, mabrĕkuk[98] (bernama) si


IIIb.1. Warā ayahnya Bhoga. (Mereka) diberi sehelai bebed dan emas 1 māsa masing-masing/ / Mūlapañjut[99] 4 orang, yaitu si Mā ayahnya Kutil, si Maṅol, si Sāgara, si Mandon, diberi emas 1 māsa masing-masing. Mulawuai[100]2. (bernama) si Māri diberi emas 1 kupang pelawak (bernama) si Paracan diberi perak 4 māsa. Penjual beras yang lewat (pada tempat upacara) dihadang, orang dari Tuṅgalaṅin (yang) menuju pasar di Siṇḍiṅan berjumlah 4 orang, yaitu si3. Antyan, si Rampal, si Surat dan si Arani. Tuluŋ tutu[101] dari (desa) Tiru Rāṇu dan dari (desa) Sarupsu berjumlah 3 orang, yaitu si Biddhi, si Kyaiŋ, si Goḍa, masing-masing diberi perak 1 kupang// Makan dan minumlah saŋ patih, wahuta dan

[35] 4. para rāma serta ibu-ibu dengan penduduk desa semua, pria-wanita, tua-muda ikut berganti-ganti, tidak ada yang ketinggalan, semuanya makan, minum, menari dan meminum tuak sampai senang hati mereka. Demikianlah5. nyatanya sudah bersih tidak bercela, tetap teguh desa di Paṅgumulan yang termasuk wilayah Puluwatu, yang diberi batas oleh saŋ wahuta hyaŋ kudur dengan para para juru bicara semua, agar śīma rakryān i Wantil pu Pālaka6. dengan istrinya Dyaḥ Prasāda serta ketiga anaknya, yaitu pu Palaku, pu Gowinda dan pu Waṅi Tamuy, (sebagai) jasa mereka bagi bhaṭāra dan bhaṭārī di Kinawuhan, (akan) tetap teguh sampai akhir jaman. Apabila ada orang merusak, ba-7. rang siapa (yang) mengusikusik ini tanah perdikan di desa Paṅgumulan yang termasuk wilayah Puluwatu, apalagi jika melenyapkannya, seperti lamanya bulan berada di angkasa menerangi dunia, akan demikian lamanya menemui8. pañcamahāpātaka[102]. Penulis prasasti ialah (si Manĕsĕr dari) Watu Warani, (si Parbwata dari) Dharmmasinta (dan si Gowinda dari) Halaŋmanuk/ / o / / Selamat! tahun Śaka telah berlangsung 825 tahun, bulan Bhadrawāda, tanggal 4 paro-gelap, pada hari Wurukuŋ (paringkelan), kaliwuan (pasaran)9. hari senin (perhitungan 7 hari)[103]. Pada waktu itu Rakryān i Wantil pu Pālaka suami istri dengan istrinya Dyaḥ Prasāda serta ketiga orang anaknya, yaitu pu Palaku, pu Gowinda dan Dyaḥ Waṅi Tamuy menebus10. tanah para rāma di Paṅgumulan yang tergadai, (berupa) kebun bernama di Siddhayoga. Dan sawah di Panilman dibeli seharga tiga kāti perak dari Ḍapunta Prabhu11. dan Ḍapunta Kaca. Yang menerima perak itu saŋ tuha kalaŋ[104] dari Paṅgumulan (bernama) si Tuḍai ayahnya Be, saŋ gusti (bernama) si Bloṇḍo, winkas (bernama) si Wudĕl ayahnya12. Daimoḥ, rāma maratā (bernama) pu Dharmmī, pu Ramanī, si Uñju, si Tiḍu, saŋ huluwras (bernama) si Ratni, jātaka[105] (bernama) si Sunī. Saksi dalam hal ini adalah saŋ marhyaŋ saŋ daksina[106] (bernama)13. Ḍapunta Mūrtti, pasiṅir[107] (bernama) si Glo ayahnya Kucū, Dapunta Tiwī. Penulis (prasasti) adalah saŋ Karamwa.

[36]


3.3. PRASASTI RUKAM
1. Selamat! tahun Śaka telah berjalan 829 tahun, bulan Kārttika, tanggal 10 paro terang, pada hari: Mawulu (paringkelan), Pahing (pasaran), hari Senin (menurut perhitungan 7 hari), bintang Śatabhiṣa, (di bawah naungan): dewa Baruṇa, yoga: Wṛddhi. Pada waktu itu perintah Śrī Mahārāja Rake Watukura Dyaḥ Balituŋ Śrī Dharmmodaya Mahāśambhu2. turun kepada (Rakryān) Mahāmantri i Hino Śrī Dakṣottama Bāhubajra Pratipakṣakṣaya, memerintahkan agar desa Rukam yang termasuk wilayah kutagara atau negeri ageng, yang telah hancur oleh letusan gunung dijadikan daerah perdikan bagi neneknya raja, yaitu Rakryān Sañjiwana. Dan hendaknya dipersembahkan kepada dharmmanya (Rakryān Sañjiwana)[108] di Limwuŋ dan hendaknya mem-3. buat kamulān[109] (di Rukam). Pendapatan (daerah Rukam yang berjumlah) 5 dhārana perak dan 5 māsa pilih mas, (supaya) diberikan untuk pemeliharaan parhyaṅan[110] yang terletak di Limwuŋ; sebagai buñcaŋ hajinya[111] adalah memelihara kamulān (tersebut). Kemudian seluruh petani[112] desa Rukam memohon perlindungan kepadanya terhadap orang-orang yang semula sering mengganggu keamanan[113] daerah itu. Tidak termasuki oleh4. segala macam maṅilala dṛbya haji (yaitu) kriŋ, padam, maŋrumbe[114], paranakan, tapa haji, air haji, maṅhuri, tuha dagaŋ, manimpiki, limus galuḥ[115], rataji[116], paṅaruhan[117], kataṅgaran, pinilai, mapaḍahi, maṅiduŋ, hulun haji, dan sebagainya.5. Segala sesuatu yang termasuk maṅilala dṛbya haji tidak berhak (lagi) masuk ke sana, hanya bhaṭāra di parhyaṅan di Limwuŋ sajalah yang berdaulat atas seluruh sukhaduhkanya. (Sebagai tanda terima kasihnya) maka penduduk desa Rukam memberi persembahan kepada para pejabat yang turut mengukuhkan penetapan daerah perdikan. (Yaitu) kepada Rakryān Mapatiḥ i Hino6. Śrī Dakṣottama Bāhubajra Pratipakṣakṣaya (diberi persembahan berupa) bebed jenis gañjarpatra sepasang dan emas murni[118] (sejumlah) 1 suwarna dan 4 māsa. Rakryān i Halu pu Wirawikrama, Rakryān i Sirikan pu Wariga Samarawikrānta, Rakryān i Wka pu Kutak, semua diberi per-7. sembahan (berupa) bebed jenis kalyaga sepasang dan emas 1 suwarṇa masing-masing. Samgat tiruan pu Asaṅa Saŋ Śiwāstra diberi persembahan (berupa) bebed jenis pinilay sepasang dan emas 1 suwarṇa. Rake halaran pu Kiwiŋ, (rake) palarhyaŋ[119] pu Puñjaŋ, dalinan saŋ Sukha8. paṅgil, maṅhuri pu Cakra, paṅkur pu Siwadhyana, hañaṅan pu Suryya, tirip pu Kṛṣṇa,[120] wadihati pu Dapit (dan) makudur pu Samwṛda[121], semuanya diberi persembahan (berupa) bebed sepasang dan emas 8 māsa masing-masing. (untuk) mengundang saŋhyaŋ kudur (disediakan)9. bebed sepasang (dan) emas 4 māsa. Juru dari Wadihati 2 (orang yaitu) juru dari desa Miramiraḥ (bernama) pu Rayuŋ, penduduk desa Miramiraḥ yang termasuk wilayah Wadihati, dilengkapi (oleh juru dari) Halaran (bernama) pu Dhanada, penduduk desa Pandamuan yang berstatus sebagai sīma wadihati[122]. Juru dari makudur 2 (orang yaitu) juru dari desa Taṅkil–10. sugiḥ (bernama) pu Manike, penduduk desa Mantyāsiḥ yang termasuk wilayah Makudur, dilengkapi (oleh juru dari) Maṇḍyāṅin, penduduk desa Kahaṅattan yang termasuk wilayah Hamĕas, semuanya diberi persembahan (berupa) bebed sepasang dan emas 4 māsa masing-masing.

[37] 11. Semua juru bicara (yaitu) juru bicara dari (Rakryān Mapatiḥ) i Hino (yang berkedudukan di) Kaṇḍamuhi (bernama) saŋ Brahmīśāna, penduduk desa Gunuŋṅan yang termasuk wilayah Taṅkilan; juru tulis (dari Rakryān Mapatiḥ i Hino yang berkedudukan di) Watu Waraṇi (bernama) pu Manisar, penduduk desa Tamaliṅgaŋ yang termasuk wilayah Sirikan; juru bicara dari (Rakai) Halu (yang berkedudukan di)12. Wisaga (bernama) pu Damodara, penduduk desa Paṇḍawuttan yang termasuk wilayah Tiru Raṇu; juru bicara dari (Rakai) Sirikan (yang berkedudukan di) Hujuŋ Galuḥ (bernama) pu Ayuddha, penduduk desa Turuwanban yang termasuk wilayah Tiru Raṇu; juru tulis dari (Rakai) Sirikan (yang berkedudukan di) Dharmmasinta (bernama) Rabuaḥ, penduduk desa Pās yang ter-13. masuk wilayah Pās; juru bicara dari (Rakai) Wka (yang berkedudukan di) Wiridiḥ (bernama) pu Ḍaṇu, penduduk desa Skar Tāl yang termasuk wilayah Layuwataŋ; juru tulis dari (Rakai Wka yang berkedudukan di) Halaŋmanuk (bernama) pu Gowinda, penduduk desa Wanua Tṅaḥ yang termasuk wilayah Wurusiki; juru bicara dari (Saŋ Pamgat) Tiruan (yang berkedudukan di) Sumuḍan (bernama) Ḍapunta14. Katimamaŋ, penduduk desa Wuṅkuḍu yang termasuk wilayah Kilipan, semuanya diberi persembahan (berupa) bebed sepasang dan emas 4 māsa masing-masing. Juru bicara dari (Rakai) Halaran (yang berkedudukan di) Rawanu (bernama) pu Watu, penduduk desa Hinapit yang termasuk wilayah Wka; juru bicara dari da-15. linan (yang berkedudukan di) Waryya (bernama) pu Laksana, penduduk desa Wuatan yang termasuk wilayah Dalinan; juru bicara dari palarhyaŋ (yang berkedudukan di) Tumapal (bernama) pu Baka, penduduk desa Tuṅgu Manoṅan; juru bicara dari maṅhuri (yang berkedudukan di) Ranuī (bernama) pu Gupura, penduduk desa Hinapit16. yang termasuk wilayah Wka; juru bicara dari paṅkur (yang berkedudukan di) Dadalan (bernama) pu Samodaya, penduduk desa Siṅhapura yang termasuk wilayah Mamrati; juru bicara dari hañaṅan (yang berkedudukan di) Raluk (bernama) pu Turuy, penduduk desa Ralua yang termasuk wilayah Wurusiki;17. Juru bicara dari tirip (yang berkedudukan di) Rapaḍaŋ (bernama) pu Raghū, penduduk desa Ugihan yang termasuk wilayah Dalinan, semuanya diberi persembahan (berupa) bebed sepasang dan emas 2 māsa masing-masing. Pihujuŋ dari saŋ manāk (yang berkedudukan di) Paṅkur dan Lua (bernama) si Raṅhal,18. penduduk desa Ralua yang termasuk wilayah Dalinan; (pihujuŋ) dari hañaṅan (yang berkedudukan di) Muṅgi (bernama) si Masusū, penduduk desa Muṅgi (yang berstatus sebagai) daerah perdikan; (pihujuŋ) dari tirip (yang berkedudukan di) Panawuṅan (bernama) si Laṅka, penduduk desa Watuantan yang termasuk wilayah Watuantan, semua diberi persembahan19. (berupa) bebed sepasang dan emas 1 māsa masing-masing. Yang memberi batas dari Wadihati (bernama) pu Gutay, penduduk desa Miramiraḥ yang termasuk wilayah Wadihati; (yang memberi batas) dari Makudur (berkedudukan di) Relam (bernama) pu Phālguṇa, penduduk desa20. Hopra yang termasuk wilayah Pikatan, (semua) diberi (persembahan berupa) bebed 2 pasang dan emas 8 māsa masing-masing termasuk ongkos jalannya. Pejabat desa dari desa perbatasan (yaitu)

[38] dari Patapān yang termasuk wilayah kḍu (adalah) kalima[123] (bernama) si Dawa ayahnya Dewara dengan juru bicara (bernama) si Hyun ayahnya Mupu, (mereka) diberi21. persembahan (berupa) bebed sepasang dan emas 4 māsa masing-masing, dari desa Pamigaran yang termasuk wilayah Patapān (adalah) kalima (bernama) si Gahata ayahnya Simpiḥ dengan gusti (bernama) si Śiwangīta ayahnya Satyaka, (mereka) diberi persembahan (berupa) bebed sepasang dan perak22. 4 māsa masing-masing. Dari desa Mantyāsiḥ yang termasuk wilayah Patapān (adalah) kalima (bernama) si Puñjaŋ ayahnya Bahad, dengan gusti (bernama) si Kara ayahnya Labdha, (mereka) diberi persembahan (berupa) bebed sepasang dan perak 4 māsa masing-masing. Dari desa Wūn Galuḥ yang termasuk wilayah23. Sikhalān (adalah) kalima (bernama) si Pĕgiŋ ayahnya Hawaŋ dengan marhyaŋ (bernama) si Gaḍagan ayahnya Katwan, (mereka) diberi persembahan (berupa) bebed sepasang dan perak 4 māsa masing-masing. Dari desa Wunut yang termasuk wilayah Patapān (adalah) kalima (bernama) si Waṅun24. ayahnya Panimuan dan winkas (bernama) si Mamwaŋ ayahnya Dhanañjaya, (mereka) diberi persembahan (berupa) bebed sepasang dan perak 4 māsa masing-masing. Dari Wuat Gunuŋ yang termasuk wilayah Patapān (adalah) si Gandhara kakeknya Udara, si Raka ayahnya25. Seti, (mereka) diberi bebed sepasang dan perak 4 māsa masing-masing. Dari desa Wuṅkalanak (adalah) si Wada ayahnya Kisala dengan gusti (bernama) si Kĕtĕŋ ayahnya Suddhī, (mereka) diberi bebed sepasang dan perak 4 māsa masing-masing. Tuha paḍahi (bernama) si Kaca ayahnya Kara26. diberi bebed sepasang dan perak 4 māsa. Penunggu (penjaga) tempat tinggal raja di Kḍu[124] (bernama) si Dewara ayahnya Satya diberi bebed sehelai dan perak 4 māsa. Rāma Kabayan[125] desa Rukam (adalah) si Ṭarĕ ayahnya Binuḥ (dan) istrinya27. si Kuruḥ, si Haritā ayahnya Maṅgala (dan) istrinya si Kīlyan, si Jwalĕ ayahnya Sawit (dan) istrinya si Aṅgini, si Naṅgal ayahnya Muṅgu (dan) istrinya si Inaŋ, si Pṛm ayahnya Patmi (dan) istrinya.28. si Buyu, si Buyu ayahnya Gawita (dan) istrinya si Sundaḥ, si Jimū ayahnya Bisistrī (dan) istrinya si Dhinū, si Suddhīra ayahnya si Suddhama, si - - wu ayahnya Biniśrī (dan)


IIA1. istrinya si Nalī, si Nala ayahnya Bikramī (dan) istrinya si Suddhī, si Tĕnnā ayahnya Citra, si Kĕṇḍoŋ ayahnya Citta (dan) istrinya si Laṅkū, si Waha ayahnya Jalī, si Aṅga ayahnya Gayahita (dan) istrinya si Kati, saŋ Kutis ayahnya2. Kaṇṭara (dan) istrinya si Payanī, si Bheda (dan) istrinya si Ḍaya, si Laṇḍun ayahnya Soma (dan) istrinya si Sudi, si Mahi ayahnya Paṇḍawa, si Gĕñjaŋ ayahnya Dhawala (dan) istrinya si Geṣṭi, si Kaṭuŋ ayahnya Priyā-3. di, semua diberi persembahan (berapa) bebed sepasang dan emas 1 māsa masing-masing. Saji yang diperuntukkan bagi pelaksanaan penetapan sima (yaitu saji untuk) saŋhyaŋ brahmā (berupa) se-

[39] pasang bebed dan emas 1 māsa, (untuk) saŋhyaŋ kulumpaŋ (berupa) bebed 4 pasang dan emas 4 masa, 4 bejana4. berisi beras, (mata uang) besi 4 ikat. Segala macam benda yang terbuat dari besi (yaitu) kapak, kapak perimbas (beliung kecil), beliung, sabit, tampilan[126], 4 linggis, 4 tatah, parang, keris, tombak, pisau, pamajhā[127], kampit, jarum, segala macam benda yang terbuat dari tembaga (yaitu)5. dandang, talam, paliwtan[128], padyussan[129], obor, seperangkat tempat sayur, seperangkat tempat minum. (Semua benda-benda tersebut) diwujudkan dengan emas (sejumlah) 2suwarṇa 1 māsa dan 1 kupang. Seekor kambing, 1 kepala, 1 kumol, beras 1 pada, (mata uang) besi 10 ikat,6. 2 pras linimaran[130], 5 nasi dinyun, 4 ekor ayam, 4 butir telur, pasiliḥ galuḥ dengan pañcopācara. Setelah semua saji siap, kemudian semuanya menyantap hidangan, saŋ wahuta kudur dengan pengikut Rakryān Mapatiḥ (i Hino),7. saŋ paṅuraŋ[131] dengan wahuta patih dan pejabat desa perbatasan, para pejabat desa (dan) para ibu semua yang desanya dibatasi, penduduk (dan) pendeta (desa Rukam). Semuanya disuguhi hidangan yang tersaji di hamparan. Hidangan yang dimakan berupa: nasi paripūrnṇa[132], makanan yang telah di tim[133]8. bertumpuk-tumpuk, haraŋ-haraŋ, daging kakap, kaḍiwas, ikan duri, daging hañaŋ (?), kawan-kawan (?), rumahan, lalar-layar, hala-hala, udang, gabus; makanan yang dikeringkan, telur, kepiting; demikian juga sayur (yang dibuat dari) daging kerbau, (daging) sapi9. (daging) babi, semua (makanan) yang disukai (hadirin) dijadikan masakan serba lezat. Ada amwil lamwil (?), lalap mentah, kasya-kasyan (?), sayur, rumwarumwah, kulubkuluban, ḍuḍutan, tetis.10. Demikian pula (jenis-jenis) minuman (keras seperti) tuak, siddhū, ciñca. Setelah selesai (hadirin) menyantap (hidangan), beralihlah (mereka semua) untuk berdandan memakai bedak kuning dan bunga. Maka pada pukul 6 siang[134] berangkat mereka semua, duduk di atas tanah mengitari lapangan menghadap kepada11. saŋhyaŋ wuṅkal sīma dan kulumpaŋ yang diletakkan di bawah balairung. Mulailah saŋ makudur berseru (mengucapkan) kutukan (sambil) memotong leher ayam (serta) membantingkan telur pada batu sima, (disertai dengan) menghamburkan abu di hadapan12. bawahan Rakryān Mapatiḥ (i Hino), para pejabat desa yang dibatasi, pejabat desa dari desa perbatasan (dan seluruh hadirin) semuanya. Demikian katanya: 'Wahai para dewa yang bertahta di Baprakeśwara[135], Brahmā, Wiṣṇu, Mahādewa, Candrāditya, Kṣiṭi [recte: Kṣiti], Jala, Pawana, Hūtaśana [recte: Hutāśana], Yajamāna,13. Ākāśa, Kālamṛtyu, Gaṇabhūta, Sahananta, Sandhyādwaya, Ahorātra, Yama, Baruṇa, Kuwera, Bāsawa, Yakṣa, Rākṣasa, Piśaca, Ganabhūta, Rama, Dewata, Pretāsura, Gandharwwa, Graha, Kinnara,14. Widyādhara, Dewaputra, Nandīśwara, Mahākāla, Nāgārāja, Wināyaka[136], serta seluruh dewata utama yang (memberi) kebahagiaan dan menjaga keraton Śrī Māhāraja di tanah Jawa. Engkau memasuki hati orang semua tidak

[40] 15. kuasa ditahan. Bila ada yang berani merusak (dan) mengganggu sima ini, apalagi yang (hendak) menghancurkannya, tusuklah hatinya, sobeklah perutnya, lepaskanlah pahungnya[137], keluarkan isi perutnya, tamparlah kedua pipinya16. berulangulang, bila ia pergi ke hutan hendaknya menjadi mangsa patukan ular, (dan pula) menjadi mangsa harimau. Semoga menjadi putaran (dari) kemarahan dewa-dewa, bila berjalan di tegalan disambar petir, dipatahkan dan ditelan oleh raksasa (bernama) si Pamuṅuan[138]17. Wahai dewata Hyaŋ Kusika, Gargga, Metrī, Kurusya (dan) Pātāñjala[139], jagalah ia di Utara, Selatan, Barat (dan) Timur, lemparkanlah ia ke angkasa, jika ada yang berani mengganggu sima Rakryān Sañjīwana18. matikan ia dan enyahkan oleh semua dewata, jatuhkanlah ia ke dalam lautan yang besar, tenggelamkan ke dalam bendungan dan tarik sampai ke dasarnya hingga ia mati disantap buaya. Demikianlah ia akan mati. Bila ada orang yang berani merusak dan19. mengganggu sima ini, (berilah) ia penderitaan oleh dewata, jangan diberi ampun. Hancurkan dan liputilah dengan kesengsaraan, pulangkanlah ke neraka, jatuhkanlah ke (neraka) Mahārorawa[140], bila ada orang yang berani mengindahkan perintah raja" Setelah (selesai saŋ makudur mengutuk),20. maka menyembahlah (seluruh hadirin seperti) patih, wahuta, pejabat desa dari desa perbatasan, pejabat desa yang telah dibatasi, laki-laki, perempuan semuanya kepada saŋhyaŋ watu sima dan kulumpaŋ. Kemudian mereka menambah (makanan) pada daunnya[141]. (Setelah itu) mereka menari21. berjoget, bersuka ria bersama. Demikianlah tandanya (bahwa) desa Rukam telah selesai dikukuhkan menjadi daerah perdikan oleh Rakryān Sañjīwana, neneknda raja, yang akan mempersembahkan dharmmanya di22. Limwuŋ serta hendaknya memperbaiki kamulān di desa Rukam. Adapun orang-orang yang diberi perintah oleh Rakryān Sañjīwana untuk melaksanakan pematokan (batas daerah perdikan ialah) juru dari pejabat sipil di wilayah Sañjīwana (yang bernama) Dapunta Amwri, penduduk desa Kĕnĕr yang termasuk wilayah Kĕnĕr,23. samgat Matĕṅĕr, Daṅ Ācāryya[142] (bernama) Uttamāṅga, penduduk desa di Mataram (di lingkungan) parhyaṅan raja.

[41]
3.4. Catatan pada terjemahan:
1. Bulan caitra adalah bulan pertama dari perhitungan tahun Śaka. Adapun urutannya adalah sebagai berikut: 1. caitra. 2. Waisāka, 3. Jyeṣtha. 4. Āsādha. 5. Srawaṇa. 6. Bhadrawāda. 7. Asuji, 8. Kārtika, 9. Mārgaśira, 10. Posya, 11. Māgha dan 12. Phālguṇa (De Casparis 1978: 48).
2. Dalam sistim penanggalan Jawa Kuna, setiap bulan dibagi dalam dua pakṣa yang setiap paksanya terdiri dari 15 hari, yaitu suklapakṣa (paro terang) mulai tanggal 1 s/d 15 dan kṛṣṇapakṣa (paro gelap) mulai tanggal 16 s/d 30.
3. Ada 3 macam wāra yang dikenal dalam prasasti, yaitu saptawāra (satu minggu yang terdiri dari 7 hari) yakni A = Āditya, SO = Soma, ANG = Anggara, BU = Budha, WR = Wrhaspati, SU = Sukra, SA = Sanaiśara; sadwāra (satu minggu terdiri dari 6 hari) yaitu TU = Tunglai, HA = Hariyang, WU = Wurukung, PA = Paniruan, WA = Was, MA = Mawulu dan pañcawāra (satu minggu yang terdiri dari 5 hari) yaitu PA = Pahing, PO = Pon, WA = Wagai, KA = Kaliwuan, U = Umanis atau MA  = Manis (Damais, 1955: 252-253).
4. Ada 27 bintang yang menjadi dasar dalam penulisan prasasti (Pigeaud, 1925: 282).
5. Yoga adalah waktu selama pergerakan yang bersamaan dari bulan dan matahari sama dengan garis bujur 13°20' (De casparis, 1978: 22).
6. Rakryān mapatiḥ i hino adalah putra mahkota (Boechari, 1975-1976).
7. Tampaḥ adalah satuan ukuran luas untuk menghitung luas sawah. Satuan yang lebih besar dari tampah adalah lamwit, sedangkan yang lebih kecil dari tampah adalah suku.
8. Saŋ wahuta hyaŋ kudur ialah salah seorang pembantu saŋ pamagat makudur yang memimpin upacara penetapan sima. Di dalam prasasti Paṅgumulan, saŋ wahuta hyaŋ kudur dapat menggantikan kedudukan saŋ makudur dalam menjalankan upacara tersebut (prasasti Paṅgumulan A: lllb.5).
9. Tampah yang dipakai mengukur lebih kecil dari tampah yang seharusnya (tampah haji), sehingga setiap 1 tampah haji tersebut dihitung 1 1/2 tampah oleh pejabat pemungut pajak.
10. Kaṭik di dalam kamus berarti kawan, pelayan atau penjaga kuda. Akan tetapi di dalam prasasti, kata kaṭik selalu dihubungkan dengan penghasilan tanah, maka ada kemungkinan kaṭik ini adalah budak/orang yang mengurusi atau menggarap tanah/sawah.
11. Aṅinaṅin termasuk golongan maṅilala drawya haji tapi apa tugas dan kewajibannya belum diketahui.
12. Tuhān adalah pemimpin kelompok dari pembantu-pembantu rendahan yang berada di bawah perintah rakai atau pamagat (De Casparis, 1956: 226-228 cat. 61 s/d 65). Kadang-kadang tuhan diganti dengan juru.
13. (Saŋ pamagat) Makudur adalah pejabat yang bertugas memimpin upacara di dalam upacara penetapan sima (Boechari, 1957: 35).
14. Biasanya kata nāyaka selalu dihubungkan dengan pratyaya. Oleh karena itu, De Casparis membedakan nāyaka sebagai orang yang bertugas mengurusi kekayaan orang yang masih hidup dan pratyaya adalah orang yang mengurusi harta peninggalan dari orang yang telah mati (De Casparis,[42]1956: 228 cat. 67). Sedangkan Boechari dalam salah satu kuliahnya menyebutkan bahwa nāyaka adalah orang yang memimpin pejabat-pejabat sipil kerajaan dan pratyaya adalah orang yang mengurusi segala macam penghasilan kerajaan.
15.  Wadua rarai adalah pasukan yang terdiri dari para pemuda (Mardiwasito, 1978: 267-268).
16. Mungkin sama dengan pejabat tuŋgu duruŋ, yaitu penjaga lumbung padi atau hanya sebagai penunggu sawah.
17. Winkas adalah pejabat desa yang tugasnya membawa berita atau perintah dari desanya.
18. Wariga ialah ahli perbintangan.
19. Rāma maratā adalah orang yang tadinya mempunyai tugas tertentu tapi kemudian "pensiun" karena sudah tua (De Casparis, 1956: 216 cat. 23).
20. Menurut L.Ch. Damais sama dengan tanggal 27 Desember tahun 902 Masehi (Damais, 1955: 42).
21. Sima adalah daerah yang dianugerahkan raja sebagai daerah perdikan kepada seorang pejabat ataupun pada penduduk desa yang telah berjasa kepada kerajaan. Atau daerah perdikan untuk kepentingan suatu bangunan suci.
22. Seperti yang telah dijelaskan pada catatan alih aksara, bahwa bagian yang kosong itu memang dengan sengaja dihilangkan oleh penulisnya. Dengan demikian untuk terjemahannya dibaca sebagai termasuk kabikuannya.
23. Dari berbagai prasasti diketahui bahwa ukuran berat untuk (mata uang) emas adalah kā, su, mā, ku dan sā, yang merupakan singkatan dari kāti, suwarna, māsa, kupang dan sātak. Sedangkan untuk (mata uang) perak terdiri dari: kā, dhā dan mā (kāti, dhārana dan māsa).
24. Menurut arti harafiah patilek berarti matinya bulan (pati = mati dan lek = bulan). Mungkin yang dimaksud dengan patilek dari hutan ialah pajak yang diambil setiap bulan dari orang-orang yang mempunyai penghasilan dari hutan.
25. Maṅilala drabya haji adalah abdi dalem keraton yang tidak mendapat daerah lungguh, sehingga hidupnya tergantung dari gaji yang diambil dari perbendaharaan kerajaan (Boechari, 1977: 13).
26. Tikasan termasuk golongan maṅilāla drabya haji, tetapi apa tugas dan kewajibannya belum diketahui.
27. Stutterheim menghubungkan kata rumwān atau rumban dengan kata ĕmban dalam bahasa Jawa Baru yang berarti mendukung atau dapat diartikan pula dengan inang pengasuh. Akan tetapi Stutterheim mengartikannya dengan mendukung, sehingga ia menduga bahwa rumwān itu adalah tempat untuk merangkum atau mendukung batu permata (Stutterheim, 1925: 256). Karena rumwān dimasukkan ke dalam daftar maṅilāla drabya haji, maka ada kemungkinan yang dimaksud dengan rumwān adalah pembuat ĕmbanan batu permata di dalam lingkungan istana.
28. Manimpiki adalah orang yang menciptakan sesuatu yang indah seperti dalang, tukang ukir. Ia termasuk salah seorang maṅilāla drabya haji (Stutterheim, 1925: 250).
29. Apakah yang dimaksud dengan paranakan di sini sama dengan peranakan dalam bahasa Jawa Baru atau dalam bahasa Sunda sekarang, yang berarti anak hasil perkawinan dari dua bangsa yang berbeda. Bisa jadi yang dimaksud dengan paranakan di sini adalah anak dari hasil perkawinan campuran antara dua kasta yang berbeda dan hidup di dalam lingkungan istana.[43]
30. Kriŋ merupakan pejabat maṅiIāla drabya haji yang berhubungan erat dengan paṅuraŋ. Tetapi apa tugas dan kewajibannya belum jelas (De Casparis, 1956: 238 cat. 165).
31. Van der Tuuk menghubungkan paḍammapuy dengan kata pamadam apuy, artinya denda yang dikenakan kepada orang yang melakukan pembakaran terhadap milik raja (Van der Tuuk IV: 167-168, Stutterheim, 1925: 247). Tetapi karena paḍammapuy dimasukkan ke dalam daftar maṅilāla drabya haji, maka besar kemungkinannya paḍammapuy adalah petugas khusus yang menarik denda kepada orang-orang yang melakukan pembakaran (D.S. Setyawardhani, 1980: 76 cat. 71).
32. Maṅhuri ialah petugas kerajaan yang mempunyai kewajiban membaca dan menulis surat (Stutterheim, 1925: 254-255). Selain maṅhuri, ada jabatan lain yang disebut saŋ pamagat maṅhuri, akan tetapi tugas dan kewajibannya jauh berbeda. Saŋ pamgat maṅhuri termasuk dalam pejabat keagamaan.
33. Stutterheim menterjemahkan airhaji sebagai orang-orang yang melindungi atau mengurusi pertapaan, para brahmana dan sebagainya (Stutterheim, 1925: 250). Di dalam kitab Nāgarakṛtagāma dijumpai pejabat yang disebut mantri her-haji (Nāg. LXXV: 2: 4), yaitu pejabat yang mempunyai tugas memelihara semua pertapaan (Slametmulyana, 1979: 311). Mungkin yang dimaksudkan dengan airhaji ini sama dengan mantri herhaji.
34. Apa kewajiban dan tugas dari tapahaji masih belum jelas. De Casparis beranggapan bahwa tapahaji sangat erat hubungannya dengan airhaji karena selalu disebutkan bersama-sama (De Casparis, 1956: 238 cat. 165).
35. Tuha dagaŋ adalah orang-orang mengkoordinir para pedagang.
36. Wanua i dalĕm, kadang-kadang disebut sebagai watak i dalĕm, watĕk i jro atau wargga i dalĕm adalah para abdi raja yang bekerja di dalam lingkungan tembok istana. Yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain: juru paḍahi, widu, maṅiduŋ, paṇḍak, pujut, arawaṇasta (rawaṇasta), mapayuŋan dan jaṅgi (Ayatrohaedi, 1978: 193).
37. Kataṅgaran ialah juru masak (Stutterheim, 1925a: 250). Karena kataṅgaran termasuk golongan maṅilāla drabya haji, maka lebih cenderung bila kataṅgaran ini adalah juru masak istana yang digaji dari kas kerajaan.
38. Pinilai atau disebut juga dengan pini(ŋ)lai adalah penabuh gamelan istana. Pinilai itu sendiri berarti penabuh (Stutterheim, 1925: 250).
39. Mapaḍahi adalah penabuh gendang (Kunst, 1927: 10). Tapi berhubung mapaḍahi di sini termasuk dalam daftar maṅilāla drabya haji, maka ia adalah orang yang bekerja sebagai penabuh gendang di istana. Ini dibedakan dengan mapadahi yang terdapat pada prasasti Paṅgumulan baris IIIa. 20. Di sini mapadahi berarti penabuh gendang yang mungkin harus membayar pajak dari hasil pekerjaannya itu.
40. Maṅiduŋ adalah penyanyi kidung istana, karena ia dimasukkan ke dalam maṅilāla drabya haji.
41. Hulun haji adalah orang/budak yang dimiliki raja.
42. Yang dimaksud dengan suhka duḥkha yaitu segala macam tindak pidana yang terjadi di dalam lingkungan daerah perdikan yang dikenakan hukum denda (Boechari, 1977: 14).[44]
43. Di dalam beberapa prasasti biasanya dibedakan antara wdihan untuk laki-laki dan kain untuk perempuan. Satuan yang dipakai untuk wḍihan adalah yugala (disingkat dengan yu) yang berarti satu setel atau sepasang. Tetapi ada kalanya wḍihan yang diberikan tidak satu setel melainkan hanya sehelai. Sedangkan untuk kain dipergunakan satuan wlaḥ atau hlai yang berarti helai. Untuk membedakan wḍihan dan kain, maka di sini saya mempergunakan istilah-istilah bebed untuk kata wḍihan dan tapih untuk kata kain.
44. Saŋhyaŋ kudur merupakan suatu 'kekuatan gaib' yang sengaja didatangkan untuk mengukuhkan sumpah dan kutukan yang diucapkan oleh saŋ pamagat makudur atau wahuta hyaŋ kudur ketika upacara sedang berlangsung.
45. Tidak diketahui apa jabatan dari si Maṅasu, karena pada prasasti hanya disebutkan nama tempatnya saja.
46. Sama halnya dengan di atas, di sinipun hanya disebutkan nama tempatnya saja, sehingga tidak diketahui apa jabatannya.
47. Keterangan tentang ongkos jalan yang diberikan ketika upacara berlangsung memang terdapat di dalam beberapa prasasti. Misalnya dalam prasasti Kayu Ara Hiwaŋ (823 Śaka) pada lempeng a.13 dijumpai kalimat: hop paṅaṅkat paŋunsuŋ saŋ makudur saŋ dalukpu tanak rama ni lacira kaki muḍiṇ anak wanua i taji watak haji. Pada baris selanjutnya (a. 14-15) ditemui kalimat sebagai berikut: hop paṅaṅkat paŋunsuŋ tuhān ni kanayakān i watu tihaŋ raka waskar [tēl [recte: tāl] pu pudraka anak wanua i kasugihan watak dagihan (Brandes, 1913: 27-28). Di dalam prasasti Poḥ (827 Śaka) malah dijumpai keterangan yang lebih lengkap lagi mengenai ongkos jalan ini. Di sini disebutkan mengenai orang-orang yang mendapat ongkos jalan untuk pergi ke tempat upacara dan pulang dari tempat upacara penatapan śima[fn. *: lihat Stutterheim dalam INI, hal. 5 no. II.3 (kahop paṅaṅkat panuŋsuŋ muaŋ saŋu nira mulih iŋ sowaŋ sowaŋ).]
48. Di sini tidak disebutkan nama orangnya, mungkin penulis prasasti lupa menuliskannya.49. Tuhan iŋ lampuran merupakan nama suatu jabatan, hanya apa tugas dan kewajibannya belum diketahui.
50. Dari beberapa prasasti dapat dilihat bahwa pituŋtuŋ atau pihujuŋ bukanlah suatu jabatan yang tinggi. Pada umumnya ditemukan sebagai bawahan dari seorang parujar atau wahuta.
51. Pada beberapa prasasti didapat keterangan bahwa saŋ mānak ini terdiri dari paṅkur, tawān dan tirip. Antara lain dalam prasasti Saŋsaŋ (829 Śaka) disebutkan: la.7. tan katamāna da saŋ mānak paṅkur ta(wa)n tirip (Van Naerssen, 1937: 441-444). Di samping itu dijumpai pula prasasti yang menyebutkan saŋ mana(k) katrini atau saŋ mānak katiga seperti yang tercantum di dalam prasasti Poḥ (827 Śaka). Mengenai tugas dan kewajiban dari paṅkur, tawān dan tirip, De Casparis dengan alasan-alasan yang terperinci sampai pada kesimpulan bahwa paṅkur, tawān dan tirip adalah pejabat-pejabat kerajaan yang tugas pokoknya ialah melakukan pengawasan agar perintah raja dilaksanakan dengan baik (De Casparis, 1956: 220-221 cat. 48).
52. Mungkin yang dimaksud dengan tuŋgu duruŋ adalah penjaga lumbung padi. Di dalam kamus van der Tuuk ditemukan kata duruŋ yang berarti lumbung padi (van der Tuuk 11: 431).[45]
53. Pada prasasti Paṅgumulan ditemukan bermacam-macam wahuta, antara lain wahuta winkas wkas, wahuta lampuran, wahuta hyaŋ kudur. Akan tetapi apa tugas dan fungsi dari seorang wahuta belum diketahui.
54. Di dalam kamus wkas berarti akhir, bekas, tinggal, pesan dan lain sebagainya. Mungkin yang dimaksud dengan winkas wkas adalah pejabat desa yang bertugas sebagai pembawa berita atau perintah dari desanya. Hanya apa yang dimaksud dengan wahuta winkas wkas belum dapat diterangkan di sini.
55. Belum jelas apa tugas dan kewajiban dari wahuta lampuran.
56. Lihat pada catatan no. 50.
57. Dalam hal ini kata prāṇa diterjemahkan dengan jumlah orang. Sebenarnya artiprāṇa itu sendiri adalah nafas atau jiwa. Akan tetapi umumnya kata prāṇa dihubungkan dengan penghitungan benda-benda bernyawa.
58. Rāma māgaman ialah pejabat desa yang masih memegang jabatannya.
59. Kalaŋ maṅuwu adalah tukang kayu yang membuat perkemahan/kubu, yang berasal dari kata kalaŋ = tukang dan maṅuwu (makuwu) = orang yang membuat perkemahan/kubu.
60. Gusti merupakan nama suatu jabatan. Sedangkan tugas dan kewajibannya masih belum jelas.
61. Mereka yang dipandang sebagai orang yang paling tua di desanya (Boechari, 1957: 68-69 cat. 39).
62. Di dalam kamus van der Tuuk ditemukan kata rāma tuha yang artinya mertua laki-laki (Van der Tuuk II: 552). Tetapi di sini tidak mungkin rāma matuha diterjemahkan seperti di muka, karena mereka itu termasuk dalam golongan rāma māgaman. Mungkin yang dimaksud dengan rāma matuha adalah pejabat desa yang telah lanjut usianya; ia hanya berfungsi sebagai penasehat saja karena dianggap telah berpengalaman.
63. Karena penetapan daerah perdikan itu menyangkut perubahan status atas sebidang tanah, maka batas sangat diperlukan. Biasanya batas ini dibuat dari batu yang berfungsi sebagai patok. Batu patok inilah yang disebut di dalam prasasti sebagai watu śīma atau saŋhyaŋ watu śīma atau saŋhyaŋ tĕas (Timbul Haryono, 1978). Akan tetapi apakah pembuat batu śīma ini harus dari daerah tertentu, yaitu dari daerah Ḍihyaŋ (Dieng) yang dianggap sebagai tempat suci? Untuk mengetahui hal ini lebih lanjut diperlukan penelitian dan mengadakan perbandingan dengan prasasti-prasasti lain.
64. Apakah jabatan yang bernama kalaŋ tuŋgū duruŋ ini merupakan satu jabatan ataukah dua jabatan yang dipegang oleh satu orang. Kalau memang nama satu jabatan, maka belum jelas apa tugas dan kewajibannya. Hanya dapat diketahui bahwa kalaŋ tuŋgū duruŋ itu termasuk salah seorang pejabat desa yang masih memegang jabatannya (rāma māgaman). Tetapi jika kalaŋ tuŋgū duruŋ merupakan dua jabatan yang dipegang oleh satu orang, maka orang itu bekerja rangkap, yaitu sebagai kalaŋ (lihat pada cat. 73) dan sebagai tuŋgū duruŋ (penjaga lumbung padi).
65. Huluwras adalah pejabat desa yang mengurusi persediaan beras untuk seluruh desa (De Casparis, 1956: 243 cat. 205).[45]
66. Tuha wĕrĕh adalah pemimpin kelompok pemuda-pemuda dari suatu desa (Boechari, 1957: 70 cat. 45).
67. Apa yang dimaksudkan dengan wadahuma masih belum jelas. Demikian pula dengan tugas dan kewajibannya tidak diketahui.
68. Di dalam prasasti disebutkan bahwa jumlah māgaman ada tujuh orang. Tetapi setelah dihitung ternyata semuanya berjumlah 10 orang.
69. Mungkin yang dimaksud dengan raiṇanta saŋ matuha adalah ibu-ibu yang dianggap paling tua di desa tersebut.
70. Kata kampit masih belum jelas artinya. Tetapi yang menarik perhatian adalah orang yang menerima kampit ini selalu perempuan. Selain di dalam prasasti Paṅgumulan ditemukan pula pada prasasti Poleṅan (798 Śaka).
71. Siriṅ secara harafiah berarti batas, tepi. Di sini saya menterjemahkan kata siriṅan dengan desa-desa perbatasan. Umumnya siriṅan disebut dengan istilah wanua i tpi siriŋ yang artinya desa yang terletak di tepi atau desa yang letaknya di perbatasan.
72. Rāma ialah pejabat/penguasa desa. Rāma berasal dari kata ama = ayah yang mendapat partikel penentu untuk menghormat (ra). Ini dibedakan dengan kata rama yang berarti ayah.
73. Kalaŋ adalah sebutan bagi orang-orang yang mengerjakan kayu dalam arti seluas-luasnya (Soeripto, 1929: 4 cat. 2).
74. Soekmono dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan saŋhyaŋ brahmā pada prasasti adalah dewa Brahma (Soekmono, 1977: 230-231). Akan tetapi dari prasasti Paṅgumulan kita mendapatkan suatu bukti bahwa yang dimaksud dengan saŋhyaŋ brahmā adalah api pemujaan (IIIa. 16. saŋhyaŋ brahmā tumunui ikaŋ kayu saka gegöṅan). Di dalam upacara penetapan śīma api pemujaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting.
75. Kata wsi ikat oleh Stutterheim ditafsirkan sebagai uang kepeng. Tiap ikat ada limapuluh mata uang besi, dalam bahasa Jawa Baru dikenal dengan seket (saikat) = lima puluh. Jadi wsi ikat 10 sama dengan limaratus mata uang besi (Stutterheim, 1940: 23). Di dalam prasasti Wukajana (tidak berangka tahun), terdapat keterangan bahwa wsi dipakai untuk sawur-sawur[fn. *:  Prasasti Wukajana II.A.7: ..... paṅisi tamwakur pinakasawur-sawur saŋ maṅuyut wĕas kukusan 1 wsi ikat 1 dan seterusnya (van  Naerssen, 1937: 444).]. Sedangkan dari prasasti Poleṅan (798 Śaka) terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa wsi ini dibagikan kepada anak laki-laki dan perempuan[fn. **:  Prasasti Poleṅan IVa.5:   ..... // anuŋ winaihan wsi rarai laki laki. anakbi. kwaiḥ nikanaŋ wsi dinūmakan rikanaŋ ikat 100 (Boechari, 1957: 42).]. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan wsi di sini adalah mata uang dari besi. Seperti yang masih berlaku sampai sekarang, uang yang dipergunakan untuk sawur adalah uang logam.
76. Di dalam prasasti Wukajana II. A.8 dijumpai kata taṇḍa niŋ kbo (Van Naerssen, 1937: 444) dan di dalam Kawi oorkonden I.3.16 dijumpai kata taṇḍas niŋ haḍaṅan (Cohen Stuart, 1875: 6).
77. Apa yang dimaksud dengan kumol belum diketahui.[47]
78. Istilah dinyun tidak dapat disamakan dengan jun dalam bahasa Jawa Baru yang berarti tempat air atau gentong dari tanah liat. Dari prasasti Wukajana terdapat keterangan bahwa jun ini terbuat dari tembaga. Mungkin dapat disamakan dengan dandang dalam bahasa Jawa Baru (Boechari, 1976: 18 cat. 17).
79. Mungkin yang dimaksud dengan pasiliḥ galuḥ adalah sejenis kain dengan motif galuḥ atau permata (Stutterheim, 1940: 23).
80. Kawittha adalah sajenis boreh atau bedak wangi (De Casparis, 1956: 327 cat. 81; Stutterheim, 1940: 23).
81. Dīpa adalah sejenis lampu yang dipergunakan sebagai alat upacara (Ratnadi, 1975: 45 dan 53-55).
82. Lihat skripsi Sdri. Ratnadi yang menggambarkan bagaimana berlangsungnya upacara di Bali (Ratnadi,1975: 64-69).
83. Lihat pada cat. 44.
84. Kata kulumpaŋ mengingatkan kita kepada kata lumpang di dalam bahasa Jawa Baru, yaitu tempat untuk menumbuk padi yang terbuat dari batu dan mempunyai lubang di tengahnya. Mungkinkah yang dimaksud dengan kulumpaŋ ini adalah yoni, yang bentuknya menyerupai lumpang.
85. Susuk kulumpaŋ adalah batu patok atau susuk yang dipasang/dimasukkan ke dalam sebuah batu alas yang berlubang di tengahnya (yoni).
86. Sejenis ikan laut.
87. Di daerah cirebon, istilah rumahan masih dipakai untuk menyebut ikan kembung.
88. Dalam kamus Mardiwarsito, layarlayar berarti cumi-cumi. Tetapi pada umumnya dalam prasasti untuk cumi-cumi dipergunakan istilah ĕnus yang juga masih dipakai dalam bahasa Jawa Baru. Jika ditinjau dari sudut etimologi, kemungkinan besar yang dimaksud dengan layarlayar ini adalah penyebutan untuk ikan layur atau mungkin juga "ikan terbang".
89. Karena dimasukkan ke dalam golongan ikan, mungkin halahala juga adalah nama sejenis ikan.
90. Dilihat dari konteksnya, kata rumwarumwaḥ mempunyai arti yang sama dengan rumbah di dalam bahasa Sunda yaitu lalap.
91. Kuluban adalah lalap yang telah dimasak/direbus.
92. Ḍuḍutan adalah sejenis lalap mentah yang diambil dengan cara di'dudut' atau dicabut dengan akar-akarnya. Misalnya: selada, genjer.
93. Sejenis sambal atau petis (?).
94. Sejenis minuman keras.
95. Sama dengan di atas, jātirasa pun merupakan sejenis minuman keras.
96. Mapaḍahi adalah penabuh gendang (Kunst, 1927: 10).
97. Marĕggaŋ adalah pemimpin dari para penabuh gamelan (Kunst, 1927: 11).
98. Mabrĕkuk ialah juru kemong (Kunst, 1927: 11).[48]
99. Di dalam kamus Mardiwarsito kata mūla berarti permulaan, sedangkan pañjut berarti lampu. Jadi yang dimaksud dengan mūlapañjut adalah orang yang bertugas menyiapkan lampu pada waktu upacara penetapan śīma.
100. Mūlawuai ialah orang yang tugasnya menyediakan air selama upacara berlangsung. Berasal dari kata mūla = permulaan dan wuai = air).
101. Tuluŋ tutu adalah orang-orang yang menolong menumbuk padi untuk keperluan upacara penetapan śima.
102. Pañcamāhāpataka ialah lima macam dosa besar. Dari prasasti Mantyāsiḥ yang berangka tahun 829 Śaka (Brandes, 1913: 242; Stutterheim, 1927) dapat diketahui bahwa perbuatan yang termasuk ke dalam pañcamāhāpataka adalah:a. membunuh seorang brahmana,b. melakukan lamwukanyā (?),c.  durhaka kepada guru,d. membunuh janin dan e. berhubungan dengan orang yang melakukan keempat kejahatan di atas.
103. Sama dengan tanggal 13 September tahun 903 Masehi (Damais, 1955: 177).
104. Tuha kalaŋ ialah pemimpin dari tukang kayu.
105. Jātaka ialah pendeta yang mempelajari tentang perhitungan-perhitungan astrologi yang dihubungkan dengan kelahiran (Stutterheim, 1934: 87 cat. 5).
106. Belum jelas apa yang dimaksud dengan saŋ marhyaŋ saŋ dakṣiṇa. Menurut Stutterheim, marhyaŋ berarti penjaga bangunan suci (Stutterheim, 1934: 101). Sedangkan dakṣiṇa mempunyai beberapa arti, antara lain kanan, selatan. Mungkin yang dimaksud dengan saŋ marhyaŋ saŋ dakṣiṇa ialah penjaga bangunan suci yang bertempat di Selatan.
107. Belum diketahui apa tugas dan kewajiban dari seorang pasiṅir.
108. Dharmma mempunyai arti yang bermacam-macam, antara lain jasa, kewajiban, hukum, pertapaan. Berdasarkan konteks kalimatnya, dharmma di sini diterjemahkan dengan kewajiban.
109. Stutterheim menghubungkan kata kamulān dengan kata kamalir yang artinya sama dengan tratag, yaitu bangunan yang letaknya di tepi laut atau sungai, sedangkan kamulān merupakan arti yang sebaliknya yaitu rumah tinggal. Karena itu menurut Stutterheim, kamulan seharusnya ditulis dengan umah kamulān, yaitu salah satu tugas mula yang berkewajiban menjaga keamanan (Stutterheim, 1934: 285). Setelah melihat uraian tersebut, maka mungkin yang dimaksud dengan kamulān adalah bangunan yang diperuntukkan bagi penjaga keamanan atau semacam pos jaga.
110. Parhyaṅan berasal dari kata hyaŋ yang diberi imbuhan pa-an. Kata hyaŋ sendiri berarti dewa atau suci. Dengan demikian parhyaṅan berarti tempat (para) dewa, yaitu bangunan suci atau candi (Zoetmulder, 1950: 104; Wojowasito, 1970: 326).
111. Kata buñcaŋ haji merupakan sinonim dari buat haji atau gawai haji, yaitu kerja bakti rakyat untuk raja. Dari konteks kalimatnya buñcaŋ haji lebih tepat jika diartikan dengan kewajiban untuk memelihara kamulān.[49]
112. Arti kata samahala di dalam kalimat ini berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu mehala yang ber-arti bajak atau luku. Umumnya bajak dipakai oleh para petani, karena itu di sini kata samahala diterjemahkan dengan (para) petani (Monier Williams, 1970).
113. Berbeda dengan sebelumnya, kata samahala di sini berasal dari bahasa Jawa Kuna, yaitu berasal dari kata sama dan hala yang berarti jahat. Sedangkan kata mehala itu sendiri berarti perbuatan jahat atau perbuatan yang tidak benar (Juynboll, 1923: 658). Oleh karena itu kata samahala di dalam kalimat ini diterjemahkan dengan "orang yang mengganggu keamanan".
114. Juynboll menafsirkan maŋrumbai dengan orang yang pekerjaannya memuja dan berdoa" (Juynboll, 1923: 475), sedangkan Stutterheim mengartikannya sebagai tukang bunga atau ukiran (Stutterheim, 1925: 231). Di dalam bahasa Sunda terdapat kata rumbe-rumbe, yaitu semacam hiasan yang biasanya ditempatkan pada tepi kain atau bahan lainnya.
115. Limus Galuḥ oleh Stutterheim diduga berasal dari kata lus (= halus), sedangkan galuḥ dihubungkan dengan mpu galuḥ atau nadindharna (Sansekerta) yang berarti tukang emas. Di dalam bahasa Jawa disebut wong anggaluḥ atau tukang membuat emas atau lus (permata, sebab kata lus menunjukkan pada sesuatu yang halus). Di Bali, empu Galuh adalah seorang brahmana yang berasal dari Majapahit yang kemudian mendirikan pertukangan. Pada prasasti Sendang Sedati disebut poḥ galuḥ (Stutterheim, 1925: 248, Bosch, 1922: 26).
116. Rataji berasal dari kata taji. Dalam hubungannya dengan sabungan ayam, taji adalah semacam pisau kecil yang diikatkan pada kaki ayam sabung (Stutterheim, 1925: 240). Menurut Boechari rataji berhubungan dengan tempat penyabungan ayam yang didirikan dengan seijin ratu. Rataji adalah orang yang bertugas mengurus dan membuat taji serta memungut pajak dari sabungan ayam tersebut (Boechari, 1958).
117. Paṅaruhan adalah tukang emas (Stutterheim, 1925: 248).
118. Stutterheim di dalam prasasti Poh menterjemahkan emas pagĕḥ sebagai emas murni (Stutterheim, 1940: 8).
119. Palarhyaŋ atau paṅgilhyaŋ berasal dari kata palar atau paṅgil yang berarti memanggil, mencari, mengharapkan (Mardiwarsito, 1978: 222), dan kata hyaŋ berarti dewa. Oleh sebab itu jabatan ini diartikan sebagai pejabat yang 'memanggil dewa, mencari dewa atau mengharapkan dewa'. Dari arti katanya jabatan palarhyaŋ atau paṅghilhyaŋ berhubungan dengan keagamaan (Boechari, 1977: 8, De Casparis, 1956: 220-221). Dengan demikian dapat diketahui bahwa paṅgilhyaŋ adalah pejabat keagamaan, tetapi kedudukannya di dalam hirarki belum diketahui.
120. Paṅkur, hañaṅan (tāwan [recte: tawān]), tirip selalu disebut bersamaan. Dalam prasasti Kalasan (700 Śaka), ketiga pejabat itu disebut sebagai ādeśaśastrin, deśādhyakṣa dan mahāpurusa [recte: mahāpuruṣa]. Di dalam beberapa prasasti, ketiga jabatan ini disebut dengan saŋ māna katriṇī atau disebut dengan saŋ manāk saja. Menurut De Casparis tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan agar perintah raja dilaksanakan (De Casparis, 1956: 220-221).
121. Jabatan wadihati dan makudur dengan gelar saŋ pamgat atau samgat. Di dalam pelbagai prasasti kedua pejabat ini selalu bertindak sebagai pemimpin upacara penetapan daerah perdikan. Saŋ pamgat makudur bertugas sebagai orang yang mengucapkan sumpah sambil memotong ayam

[50] dan membantingkan telur di atas watu sima, sedangkan wadihati yang mempunyai sinonim dengan ayam tĕas, belum diketahui tugas yang sebenarnya (Boechari, 1977: 8).
122. Sengaja tidak diterjemahkan, karena dapat diartikan bahwa desa Paṇḍamuan itu merupakan daerah perdikan milik Wadihati.
123. Apa tugas dan kewajiban kalima belum jelas. Boechari dalam salah satu kuliahnya pernah menerangkan bahwa desa pada jaman dahulu umumnya terdiri dari beberapa kelompok desa, yang merupakan sistim pemukiman yang disebut moñcopat dan moñcolimo. Moñcopat adalah desa yang dikelilingi oleh 4 buah desa yang masing-masing terletak di ke-4 penjuru mata angin, sedangkan moñcolimo adalah kelipatan dari moncopat, yaitu suatu desa yang dikelilingi oleh 8 desa. Dalam hal ini kalima merupakan kepalanya, jadi jabatan ini setarap dengan jabatan per-bekel sekarang.
124. Kata makmit berasal dari kata kmit atau kĕmit yang artinya jaga atau tunggu; ditambah awalan ma. Jadi yang dimaksudkan dengan kalimat di sini adalah "orang yang bertugas menunggu (menjaga) perumahan raja".
125. Pigeaud menterjemahkan rāma kabayan dengan pembantu, asisten (Pigeaud, 1963: 198). Sedangkan Juynboll menyalinnya dengan pesuruh (Juynboll, 1923: 113). Namun sejauh ini belum ditemukan penjelasan yang lebih memuaskan, apa tugas dari rāma kabayan sebenarnya? Di Bali, kabayan bertugas untuk menjaga dan mengurus bangunan suci, umumnya dari kasta sudra. Tugas ini dilakukan turun temurun, yaitu mengelola laba pura untuk membiayai pemeliharaan bangunan suci. Menurut seorang informan, Anak Agung Ngurah Tara Wiguna, jabatan ini masih dipakai di Wangaya, Bali. Sedangkan di Jawa, kabayan masih dipergunakan untuk menyebut penjaga desa.
126. Tampilan adalah sejenis beliung (Mardiwarsito, 1978: 843). Akan tetapi Juynboll menyebutnya sebagai parang (Juynboll, 1923: 231). Hanya jika diterjemahkan dengan parang, maka apa be-danya dengan wankyul?
127. Di Bali pamajhā merupakan salah satu alat tukang kayu, terbuat dari besi yang dimasukkan ke dalam kayu yang telah dilubangi tengahnya. Alat ini dipergunakan untuk menghaluskan kayu (ketam). Dalam bahasa Jawa disebut pasah sedangkan dalam bahasa Sunda disebut sugu.
128. Menurut arti katanya paliwtan adalah alat untuk menanak nasi atau alat untuk merebus (Juynboll, 1923: 501; Pigeaud, 1963: 211). Ada dua kemungkinan penggunaan dari paliwtan ini, yaitu alat yang dipergunakan untuk menanak nasi sebelum dimasukkan ke dalam dandang dan alat yang dipakai untuk membuat nasi liwet.
129. Padyussan berasal dari kata dyus atau adus (Jawa) yang berarti mandi. Jadi mungkin yang dimaksud dengan padyussan adalah semacam alat yang dipergunakan untuk mandi.
130. Pras artinya baki, pinggan atau bejana yang diperuntukan bagi persajian (Mardiwarsito, 1978: 247; Juynboll, 1923: 389). Linimaran berasal dari kata limaran, artinya diberi daun kelor (Jansz, 1906: 482). Mungkinkah yang dimaksud dengan prās linimaran adalah pinggan yang dihiasi daun kelor? Dalam pada itu Hooykaas dan van Leeuwen Boomkamp menjelaskan bahwa pras adalah sesajian yang terdiri dari seekor ayam panggang (bakar) diletakkan di atas tumpukar nasi dan kacang tanah (Van Leeuwen Boomkamp, 1961: 29, 53).[51]
131. Paṅuraŋ adalah jabatan yang sering disebut bersama-sama dengan kriŋ. Tapi apa tugas dan kewajibannya belum diketahui dengan pasti.
132. Skul paripurṇna adalah nasi (yang) lengkap. Mungkin nasi yang dimaksudkan adalah nasi tumpeng yang sering disediakan pada waktu upacara selamatan.
133. Tim-an matumpuk-tumpuk artinya yang dimasak bertumpuk-tumpuk (melimpah-ruah).
134. Zoetmulder membagi satu hari dalam 16 tabĕh dan satu tabĕh sama dengan 90 menit sekarang (Zoetmulder, 1974: 190). Berdasarkan perbandingan antara Zoetmulder dengan Pigeaud, Riboet Darmosoetopo telah menyusun tabel. Ia menyebutkan bahwa tabĕh nĕm dahulu sama dengan pukul 3 sekarang (Riboet Darmosoetopo, 1980: 517). Kata ranina memberi petunjuk bahwa yang dimaksud dengan tabĕh nĕm pada prasasti Rukam adalah pukul 3 siang.
135. Di dalam prasasti raja Mulawarman (abad ke-4) istilah ini disebut dengan Waprakeśwara, yaitu tempat suci yang digunakan untuk memuliakan 3 dewa besar (Brahma, Wisnu dan Siwa). Biasanya di tempat tersebut didirikan candi untuk ketiga dewa itu (Poerbatjaraka, 1925: 5). Menurut penjelasan dari Soewadji Sjafei, di Kamboja baprakeśwara merupakan salah satu unsur pemujaan, tempat suci, api suci atau pun raja yang dipuja.
136. Dewa-dewa yang disebutkan di dalam prasasti Rukam ternyata tidak sesuai dengan urutan yang semestinya. Oleh sebab itu di sini disusun berdasarkan uraian Edi Sedyawati Hadimulyo, sebagai berikut: Brahmā, dikenal sebagai dewa pencipta (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 46). Wiṣṇu, sebagai dewa pemelihara (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 342). (Śiwa) Mahādewa adalah salah satu sebutan dewa Siwa yang paling populer sebagai dewa tertinggi, juga merupakan sebutan dalam bentuknya sebagai rudra (Dowson, 1928: 34). Disebutkan Siwa sebagai Mahadewa dalam prasasti Rukam adalah sebagai iṣṭadewata, yaitu dewa pujaan khusus seseorang atau dipuja sebagai dewa tertinggi (Edy Sedyawati Hadimulyo, 1978: 39). Hinduisme di Jawa cenderung kepada aliran Saiwa, dan aliran ini sudah terlebih dahulu menempati arus kuat dalam alam pikiran orang Jawa pada masa itu (Edy Sedyawati Hadimulyo, 1978: 39). Di samping dewa-dewa Trimurti, adapula dewa-dewa yang digolongkan ke dalam keluarga dewa-dewa, yaitu: Wināyaka, nama lain untuk Ganesa sebagai dewa pembawa kebijaksanaan. la adalah putra dewa Siwa dengan Parwati (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 339). Dewaputra artinya putra para dewa. Di dalam hal ini mungkin yang dimaksudkan adalah putra dari ketiga dewa Trimurti. Kemudian disusul dengan dewa-dewa pendamping Siwa, karena di sini iṣṭadewatanya adalah dewa Siwa, yaitu: Mahākāla sebagai penguasa waktu. Selain itu juga merupakan salah satu unsur atau bentuk dewa Siwa sebagai dewa penghancur (Dowson, 1928: 167). Selanjutnya adalah dewa-dewa yang berkedudukan sebagai dewa pariwara, yaitu dewa-dewa yang mengelilingi dewa tertinggi.
Pariwara secara garis besar dapat dikelompokkan dalam 2 bagian:
A. Pariwara besar terdiri dari dewa-dewa sebagai berikut: Candrāditya berasal dari gabungan dua kata, yaitu candra dan aditya. Candra adalah nama lain dari Soma sebagai dewa bulan atau nama hari dari planet. Sedangkan aditya adalah sebutan lain untuk Suryya atau dewa matahari (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 4, 55).[52]Dewa-dewa Lokapala yang terdiri atas: Kuwera atau Kubera. Pada jaman Wedic awal ia merupakan kepala dari mahluk-mahluk jahat, tetapi setelah ada pemujaan kepada Trimurti, maka ia menjadi salah satu dewa lokapala yang menguasa mata angin sebelah utara. Oleh karena di utara biasanya banyak gunung-gunung yang mengandung barang-barang tambang dan mineral, maka Kuwera di anggap sebagai dewa ke-kayaan (Ion, 1967).Baruṇa. Pada masa Wedic awal ia merupakan pencipta dan penggerak dari alam semesta, tapi kemudian Baruna dikenal sebagai salah satu dewa lokapala yang menguasai mata angin sebelah barat. Baruṇa juga dipuja sebagai dewa laut (Dowson, 1928: 43). Bāsawa adalah dewa lokapala yang menguasai mata angin sebelah timur.Yama dikenal sebagai dewa kematian. la juga sebagai salah satu dewa lokapala yang menguasai arah mata angin sebelah selatan (Kramrisch, 1946: 12).
B. Pariwara kecil, terdiri dari:Para Kinnara; nama dari yaksa yang berlaku pada tirthankara ke-15 disimbolkan sebagai matsya, yang memakai atribut trisiras (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 137).Gandharwa adalah dewa yang mengetahui dan membuka rahasia surga dan langit. la juga merupakan personifikasi dari api matahari (Dowson, 1928: 99).Widyādhara sebagai pembawa kebijaksanaan yang mempunyai kekuatan mistik, ia digambarkan sebagai manusia. Widyādhara dijadikan dari udara dan bertugas melayani dewa lndra. Mahluk ini sering dipahatkan pada relief-relief candi (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 336). Gaṇabhūta adalah anak buah dari dewa Siwa di bawah pimpinan Ganesa (Dowson, 1928: 390). Hutāśana adalah sebutan lain untuk dewa api atau Agni. Dewa ini merupakan salah satu dewa tertua dan obyek sakral yang sangat penting di dalam pemujaan Hindu. la diwujudkan dalam 3 bentuk, yaitu langit sebagai cahaya matahari, di udara sebagai sinar, dan di bumi sebagai dewa api (lons, 1967).Jala, artinya air (Wojowasito, 1970: 108). Mungkin yang dimaksudkan adalah dewa penguasa air.Ākāśa adalah sebutan lain untuk Dyaus sebagai dewa langit. la termasuk ke dalam golongan dewa-dewa awal, tetapi pada masa selanjutnya ia sering muncul bersama-sama dengan Pertiwi (Dowson, 1928: 69).Pawana adalah nama lain dari Bayu atau dewa angin (Dowson, 1928: 351). Kṣiṭi [recte: Kṣiti] adalah nama lain dari Pertiwi sebagai dewa bumi atau dewa tanah (Dowson, 1928: 188). Rāma merupakan penjelmaan dari awatara Wisnu yang ke-7 dan manifestasi dari planet Sūryya. Perwujudannya sebagai raja di dunia adalah untuk menghancurkan Rahwana (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 235).Dalam prasasti Rukam disebutkan pula gejala alam yang dipersonifikasikan, seperti: (Nava)graha yang terdiri dari 9 planet dewa, yakni Ravi (Suryya), Candra (bulan), Manggala (Mars), Buddha (Mercury), Brahsapati (Jupiter), Sukra (Venus), Sani (Saturnus), Rahu (mahluk penguasa atas), dan Ketu (mahluk penguasa bawah).[53]Yajamāna berasal dari kata Sansakerta Yaj yang artinya kurban (Monier Williams, 1970: 850). Yajamāna di sini berhubungan dengan unsur pemujaan di dalam agama Hindu. Kalāmṛtyu adalah dewa kematian. Di Bali dikenal Mretunjaya sebagai dewa kematian. Ahoratra artinya hari, siang atau malam (Wojowasito, 1970: 34). Suatu gejala alam yang di-personifikasikan.Sandhyādwaya artinya waktu senja yang dua (Wojowasito, 1970: 292). Seperti juga Ahoratra, Sandhyādwaya pun merupakan gejala alam yang dipersonifikasikan, yaitu gabungan waktu dari pagi-malam-fajar-senja.Selanjutnya disebutkan mahluk-mahluk penghuni bawah tanah, yaitu: Nāgarāja sebutan untuk raja naga ataupun nama dari seekor ular dalam bentuk mahluk halus, identik dengan Mahoraga dan naga dewa (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 188). Yakṣa. Di dalam mitologi Hindu dikenal sebagai keturunan dari Kasyapa dan Khasa. Semula ia dianggap sebagai dewa lokal yang tinggal di hutan-hutan dan gunung-gunung dan juga sebagai penjaga kekayaan (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 350).Rakṣasa ialah sejenis mahluk keturunan dari Kasyapa dan Khasa. la juga dianggap sebagai kepala setan (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 234).Pretāsura berasal dari kata Preta dan Asura. Preta. adalah sejenis hantu yang suka mengganggu, antara lain di kuburan-kuburan dan tempat lainnya. la digambarkan sebagai mahluk yang kurus tapi berperut gendut. Sedangkan Asura sendiri adalah suatu istilah yang dipergunakan oleh para dewa untuk menyebut musuhnya. la adalah kepala dari para setan, termasuk di dalamnya Daitya, Kasyapa (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 28, 228).Piśāca disebut sebagai mahluk pemakan ikan mentah atau sejenis setan dan mahluk halus yang jahat. la dipuja oleh roh dari para pembunuh dan penjahat. Bentuk badannya digambarkan sebagai mahluk berbadan kurus (Van Lohuizen-de Leeuw, 1976: 221).
137. Kata pahung belum diketahui artinya.
138. Kata wuil tidak ditemukan di dalam kamus Jawa Kuna, tetapi yang ada adalah kata wwil atau wii yang artinya rakṣasa (Wojowasito, 1970: 272).
139. Hyaŋ Kusika, Gargga, Metrī, Kurusya dan Pātāñjala adalah murid lakulin, yaitu seorang brahmana yang merupakan inkarnasi dari Vasudeva (Bhandarkar, 1913: 116). Adapula yang menyebut bahwa Kusika, Gargga, Metrī, Kurusya dan Pātāñjala adalah murid Vasudeva yang karena kekuatan yoganya menjadi lakulin dan mereka mengajarkan pasupata yoganya dengan debu dan abu (Farquhar, 1967: 146-147). Sedangkan Sarkar mengatakan bahwa Kurusya, Gargga, Metrī dan Pātānñjala adalah murid lakulisa, yang di dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna selalu disebut pada bagian sumpah (Sarkar, 1967: 637-646).
140. Mahārorawa adalah salah satu dari ke-8 nama neraka. Adapun nama dari ke-8 neraka itu adalah: Sañjiwa, Kalasuta, Saṅghata, Roruwa, Mahārorawa, Tapa(na), Mahāpata(na) dan Avici (Coedes dan Archaimbault, 1973: 29).
141. Sebagaimana kebiasaan orang Jawa sekarang, umumnya apabila pulang dari suatu selamatan, mereka membawa pulang makanan di dalam suatu tempat yang telah dilapisi dengan daun terlebih [54]dahulu. Kemungkinan besar yang dimaksudkan dengan menambah daunnya adalah mbrekat (Jawa) seperti yang lazim sekarang. Menurut Boechari, ungkapan tersebut mengandung arti bahwa para hadirin membungkus apa yang masih tersisa dari hidangan yang disuguhkan untuk dibawa pulang (Boechari, 1977: 21).
142. Daṅ Ācāryya adalah pejabat keagamaan. Di Bali Daṅ Ācāryya bertugas memimpin upacara keagamaan di dalam kehidupan sehari-hari.[55]

KEPUSTAKAAN
Ayatrohaedi,1978 Kamus lstilah Arkeologi. Jakarta: Proyek Penerbitan Bahasa dan Sastra lndonesia dan Daerah. Bambang Soemadio, dkk. (peny.),1976 Sejarah Nasional lndonesia, jilid II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bhandarkar, R.G.1913 Vaisnavism, Saivism and Minon Religious System. Grundriss III/6, Strassburg. Boechari,1957 Tembaga Tulis Polengan dari jaman Rakai Kayuwangi. Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 1965 "Rakryān Mahāmantri i Hino Śrī Sanggramawijaya Dharmmaprāsadottunggadewi" Laporan Kongres ilmu Pengetahuan Nasional, Kedua 1962, VI, Seksi D (Seksi Sastra dan Budaya) Djakarta, Madjelis Ilmu Pengetahuan lndonesia: 53-84. 1968 "Rakryān Mahāmantri i Hino: A Study on the Highest Dignitary of Ancient Java up the 13th century A. D.", Journal of the Historical Society University of Singapore: 7-20. 1975-1976 "Rakryān Mahāmantri i Hino. A Study on Highest court Dignitary of Ancient Java up to the 13th century A.D.", Seri Publikasi ilmiah no. 2 Fakultas Sastra Universitas lndonesia: 61-111. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 1976 "Some considerations of the Problem of the Shift of Mataram's centre of Goverment from central to East Java in the 10th century A.D.", Bulletin of the Research Centre of Archaeology No. 10 Jakarta: Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional Departemen P & K. 1977 "Epigrafi dan Sejarah Indonesia", Majalah Arkeologi th. I No. 2: 1-40. Jakarta: Lembaga Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Bosch, F.D.K. 1922 "De oorkonde van Sedang Sedati", OV Bijlage B: 22-27. 1935 "De oorkonde van Kembang Aroem", OV Bijlage B: 41-49. Brandes, J.L.A.  "oud-javaansche oorkonden, nagelaten transcripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes, uitgegeven door N.J. Krom", VBG LX. de Casparis, J.G. 1956 "Selected Inscriptions from the 7th to 9th Century A.D.", Prasasti lndonesia ll. Bandung: Masa Baru.[56]1975 lndonesian Palaeography. Leiden/Köln: E.J. Brill. 1978 lndonesian Chronology. Leiden/Köln: E.J. Brill. Coedes, G. et Archaimbault 1973 "Les Trois Mondes (Traibhumi Brah R 'van), PEPEO vol. XXXlX: 29. Paris. Cohen Stuart, A.B.1875 Kawi Dorkonden in Facsimile met inleidingen transcriptie. Leiden: E.J. Brill. Damais, L.Ch. 1955 "Étude d'Épigraphie lndonésienne lV Discussion de la date des lnscriptions"BEFEO XLVll. Dowson, John, M.R.A.S. 1928 A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion, Geography, History and literature. London. Dwi Sardjuningsih Setyawardhani,1980 Prasasti Hantang. Skripsi Sarjana Arkeologi Pakultas Sastra Universitas lndonesia. Farquhar, J.N.1920 "An outline of the Religion Literature of lndia", OUP: 146 – 147.Groeneveldt, W.P. 1876 "Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources", VBG XXXlX: 13. 1960 Historical Notes on lndonesia and Malaya. Compiled from Chinese Sources. Jakarta. Hadimulyo, Edy Sedyawati,1978 "Permasalahan Telaah Ikonografi dari Sumber Jawa Kuna", Majalah Arkeologi th II No. I (4): 38-45. lons, Veronica,1967 lndian Mythology. London: Paul Hamlyn. Jansz, P.A.1906 Javaansch-Nederlandsch Woordenboek. Bandung: 's-Gravenhage, 3 jilid. Juynboll, H.H.,1923 Oudjavaansch-Nederlandsche Woordenlijst. Leiden: E.J. Brill. Kramrisch, Stella,1946 The Hindu Temple. University of Calcutta. Kunst, Jaap,1927 Hindoe-Javaansch Mu^iek lnstrumenten Speciaal die van Oost Java. Batavia: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunst en Wetenschappen. van Leeuwen-Boompkamp,1961 Ritual Purification of a Balinese Temple. The Hague Martinus Nijhoff.[57] van Lohuizen-de Leeuw, J.E.,1976 Studies in South Asian Culture. Leiden: E.J. Brill. Mardiwarsito, L.,1978 Kamus Jawa Kuno-lndonesia. Ende-Flores: Nusa lndah. Monier-Williams, Monier,1970 A Sanskrit-English Dictionary. Oxford: Clarendon Press. van Naerssen, F.H.,1937 "Twee Koperen oorkonden van Balitung in het Koloniaal lnstituut te Amsterdam", BKI XCV: 441–461. Pigeaud, Th.G.Th. 1925 "Een Stuk over Sterrenkunde uit het Anggastyaparwa, het Nakṣatrarupa", TBG LXX: 283-297. 196O–1963 Java in the Fourteenth Century. A Study in Cultural History. The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. The Hague Martinus Nijhoff. 5 vols. Poerbatjaraka, R.M.Ng.,1930 "De Naam Dharmawangca", TBG LXX: 171-183.,1933 "Enkele oude Plaatsnamen", TBG LXXll: 514-516.,1952 Riwayat lndonesia l. Djakarta: Pembangunan. Ratnadi, I Gusti Agung Ayu,1975 Alat-alat upacara pada Relief Candi Borobudur. Skripsi Sarjana Sastra Jurusan Ilmu-ilmu Sejarah Seksi Arkeologi Fakultas Sastra Universitas lndonesia. Riboet Darmosoetopo,1980 "Ukuran dan Satuan", Pertemuan ilmiah Arkeologi I: 505-522. Sarkar, Himansu Bhusan,1938 "Copper-Plates of Kembang Aroem 824 Saka", JGIS V: 31-50. 1967 "The Evolution of the Siwa Buddha Cult in Java", Journal of indian History,XLV/III No. 135: 637–646. Schrieke, B.J.O. 1975 "Ruler and Realm in Early Java", Indonesian Sociological Studies, part two. Bandung: The Hague. Slametmulyana,1979 Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Soekmono,1977 Candi Pungsidan Pengertiannya. Disertasi. Stutterheim, W.F.,1925 "Eenoorkonde op Koper uit het Singasarische", TBG LXV: 208-281. 1927 "Een Belangrijke oorkonde uit de Kedoe", TBG LXVll: 172-215.[58] 1934 "Beschreven Lingga van Krapyak", TBG LXXIV: 85-93. 1940 "Oorkonde van Balitung uit 905 A.D. (Randoesari I)", INI: 3-28. Timbul Haryono,1978 Gambaran Tentang upacara Penetapan Sima. Paper untuk Penataran Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada. van der Tuuk, H.N.1897-1912 Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek. Batavia: Landsdrukkerij, 4 jilid. Zoetmulder, P.J.,1950 De Taal van net Adiparwa. Een Grammaticale Studie van het Oudjavaansch. Uitgegeven met Steun van de Kementrian Pendidikan dan Pengajaran R.I. Bandung. 1974 Kalangwan A survey of old Javanese literature, The Hague Martinus Nijhoff.[59]
DAFTAR SINGKATAN
BEFEO: Bulletin de l'École Francaise d'Etrême Orient. Paris, Hanoi, Saigon. École Française d'Extrême–Orient. BKl: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Uitgegeven door het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land– en Volkenkunde, 's Gravenhage, Leiden. INI: lnscripties van Nederlandsch-lndië. Afl. I. Uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootsehap van Kunsten en Wetenschappen. JGIS: The Journal of the Greater lndia Society. Calcutta. Nāg.: Prapañca, Nāgarakṛtāgama. OJO: Oud-Javaansche Oorkonden. Nagelaten transcripties van wijlen Dr J.L.A. Brandes, uitgegeven door Dr N.J. Krom. Batavia, Albrecht & Co., 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff. 1913 (VBG lX). OV: Oudheidkundig Verslag van de Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-lndië. Uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Weltevreden, Albrecht & Co., 's Hage, Martinus Nijhoff. PEFEO: Publication de l'École Francaise d'Extrême Orient, Paris. Pras. lnd. II: Prasasti lndonesia II. Dinas Penerbitan Republik lndonesia, Bandung. TBG: Tijdschrift voor lndische Taal–, Land en Volkenkunde. Uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. VBG: Varhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia, Albrecht & Co., 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff.[60]
SUMMARY
The three inscriptions from the reign of Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (820–832 Śaka) consisted of the inscriptions of Luītan (823 Śaka), Paṅgumulan (824 Śaka dan 825 Śaka), and Rukam (829 Śaka).Two of the three inscriptions i.e. those of Luītan and Rukam are new discoveries. But on examining the content of Bosch's reading on the Paṅgumulan inscription it is immediately clearthat we are faced with a different transcription. Luītan inscription stated that the village of Luītan protested against the government about the tax on agriculture and requested the government to observe the tax. Paṅgumulan inscription explained about the lands problems, and the Rukam inscription stated that Rakryan Sañjīwana was the grand-mother of Rakai Watukura Dyaḥ Balitung. The inscriptions are very interesting because they provided much information on the social-economic or political life of ancient Mataram.[61]







[1] Untuk selanjutnya akan dipakai tarikh Śaka. Apabila ingin mengetahul tarikh Masehinya, maka harus ditambah 78 tahun. kecuali bila prasasti tersebut dikeluarkan pada bulan Māgha, bulan Phālguṇa atau pada tanggal 10 Suklapakṣa (paro-terang) sampai tanggal 15 Kṛṣṇapakṣa (paro–gelap) bulan Posya. Dalam hal ini harus ditambahkan 79 tahun (Damais, 1955: 249).
[2] Angka tahun yang tertera di dalam prasasti Panunggalan adalah 808 Śaka, tetapi ternyata angka tahun tersebut tidak cocok dengan unsur penanggalan lainnya. Setelah diperbaiki oleh L.Ch. Damais, angka tahun itu seharusnya 818 Śaka (Damais, 1955: 168-169).
[3] Kalimat itu terdapat pada lempeng Va.4 yang berbunyi: rowaŋ haii Vb.1. rakryān hino pu daksa//]