Senin, 28 September 2015

Perekonomian Rakyat Bali Kuna Berdasarkan Data Prasasti Abad XI-XII Masehi.




Ringkasan Sejarah Nasional Indonesia II, 1993

Di dalam salah satu prasasti dari jaman raja Marakatapangkaja terdapat keterangan yang mungkin dapat kita pergunakan untuk menghitung berapa jumlah penduduk Bali pada masa itu, walaupun angka yang akan diperoleh nanti hanyalah merupakan perkiraan belaka. Menurut Prasasti Bila yang berangka tahun 945 Śaka penduduk karāman Bila semula berjumlah 50 kuṛn, tetapi karena kewajiban-kewajiban berat yang dibebankan kepada karāman Bila, maka jumlah tersebut kemudian menyusut menjadi 10 kuṛn (sambadha mājaraken paraspara ni hambanya sakarāman mula 50 kuṛn kwehnya nguni rumuhan ring malama, maśeśa ta ya 10 kuṛn, kunang sangkā ri kabyetanya ring dṛwya haji,mwang buñcang haji magöngadmit). Keterangan ini sangat penting kalau ditinjau dari segi sejarah, sebab dengan keterangan itu kita mengetahui bahwa jumlah penduduk di sebuah karāman pada masa dahulu sebanyak 50 kuṛn (kepala keluarga). Tetapi tentu saja ada juga sebuah karāman yang terdiri dari 100 atau 150 kuṛn. Seandainya setiap kuṛn rata-rata terdiri dari 5 orang, maka penduduk Bila diperkirakan sebanyak 250 jiwa. Selanjutnya di dalam Prasasti Bali pada umumnya disebut nama sebuah desa yang dibebaskan misalnya dari kewajiban-kewajiban tertentu, kemudian juga menyebut nam-nama desa parimaṇḍala yang ada di sekelilingnya. Istilah pinarimaṇḍalacinaturdeśa sangat terkenal di dalam prasasti baik di Jawa maupun di Bali. Artinya sebuah desa mempunyai batas empat buah desa yang ada disekitarnya. Jumlah prasasti yang sudah ditemukan di Bali hingga masa pemerintahan raja Marakatapankaja kira-kira 40 buah dan sampai jaman Anak Wungsu mendekati 70 buah prasasti. Dengan demikian jumlah penduduk Bali pada masa pemerintahan Anak Wungsu (Abad IX M) diperkirakan sebanyak 600x250 = 150.000 jiwa. Kira-kira seratus tahun kemudian sampai masa pemerintahan raja Jayapangus (Abad XII M) jumlah penduduk melonjak menjadi kira-kira 300.000 jiwa. Peledakan penduduk rupa-rupanya terjadi sewaktu orang-orang dari Jawa Timur pindah ke Bali sebagai akibat runtuhnya Majapahit kira-kira sekitar tahun 1500 M.

Umumnya masyarakat Bali sejak jaman dahulu hidup bercocok tanam. Hal ini dapat kita ketahui dari berita-berita yang kita peroleh di dalam prasasti-prasasti, antara lain menyebut sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal (ladang daerah pegunungan) dan kasuwakan (pengairan sawah).

Pengolahan sawah khususnya mendapat perhatian besar dan dirawat sebaik-baiknya seperti halnya para petani pada waktu sekarang. Di dalam Prasasti raja Marakatapankaja (Songan-tambahan) misalnya disebut deretan istilag yang berhubungan dengan cara pengolahan atau penanaman padi, yaitu amabaki, amaluku, atanem, amatun, ahani, anutu. Proses tersebut urutannya sesuai dengan yang dikerjakan oleh para petani pada waktu sekarang, yaitu: mbabaki (pembukaan tanah), lalu mluku (membajak), tanem (menanam padi), matun (menyiangi padi), ani-ani (menuai padi,panen) dan mutu (menumbuk padi). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa sewaktu masa pemerintahan Marakatapankaja dan mungkin juga pada masa sebelum dan sesudahnya, penggarapan sawah telah maju dan tidak jauh berbeda dengan cara pengolahan sawah para petani pada waktu sekarang.
Jenis-jenis tanaman yang sudah dikenal pada masa dahulu antara lain: padi (baik padi gaga, padi sawah maupun huma), nyu atau tirisan (kelapa), pring (bambu), hano (enau), kamiri (kemiri), kapulaga, kasumbha (kesumba), tals (talas), bawang bang (bawang merah), pipakan (jahe), mulaphala (umbi-umbian lainnya, wortel), hartak (kacang hijau), pucang (pinang), jeruk, lunak atau camalagi (asam), pisang atau byu, sarwaphala (buah-buahan), sarwawija (padi-padian), kapas, kapir (kapok randu), damar, dan lainnya.

Selain itu ada jenis kayu-kayuan, yang kadang-kadang merupakan kayu larangan (pohon larangan), antara lain: kamiri (Latin Aleurites triloba Forst), boddhi (Carumbium populifolium), nangka (Artocarpus integrifolia), kembang kuning (Cassiasophora), meṇḍe (Wallichia Horsfieldi), kapulaga (Amonum Cardamomum) dan sebagainya.

Selain hidup bercocok tanam atau bertani rakyat juga memelihara binatang ternak seperti; itik, wḍus (kambing), lembu (sapi), kbo atau karambo (kerbau), asu (anjing), jaran atau asba (kuda), hayam (ayam), manuk (ayam jantan). Selain itu masih ada lagi binatang buruan seperti babi, culung (celeng), pañcayan (?), besara (binatang liar), hayam alas (ayam hutan), putir (merpatih putih), manuk kitiran (tekukur), asu alas (anjing hutan), wuruwuru (merpati) dan lain-lainnya. Untuk pengawasan binatang ternak bersayap ada seorang pejabat yang disebut Tuhānjawa (ketua ternak bersayap).

Kelihatan jelas masyarakat pada masa dahulu gemar juga berburu. Hal ini terbukti dengan adanya pejabat khusus yang tugasnya berhubungan dengan binatang perburuan. Pejabat itu disebut Nayakan buru. Bahkan di dalam prasasti Bukit Cintamani disebut tentang pembuatan bangunan suci di tanah perburuan (bangunen partapanan satra di katahan buru), sedang di dalam prasasti Bwahan dikatakan bahwa orang desa Bwahan yang terletak di pinggir danau (wingkang raṇu) memohon kepada raja agar diperkenankan membeli hutan perburuan raja (alas burwan haji) yang ada dekat desanya untuk tempat penggembalaan sapi dan mencari kayu api (mwang höt ni pamangana ni sapinya, mwang pametanya kayu). Selain itu disebut juga bahwa rakyat desa diijinkan berburu di daerah sekitarnya (parimaṇḍala) tanpa dikenakan dṛbyahaji (iuran,pajak) oleh Nāyakanburu. Juga dalam prasasti Ūgrasenā terdapat keterangan tentang penduduk atau orang yang melakukan kerja bakti buat raja di daerah perburuan raja (anak mabwatthaji di buru).

Agaknya binatang yang paling berharga pada masa dahulu di Bali yaitu jaran atau asba (kuda). Di dalam prasasti-prasasti kuna kuda memang disebut-sebut, bahkan di dalam prasasti Air Hawang diuraikan dengan panjang lebar tentang peternakan kuda dan juga tentang penyilangan kuda (amor ing kuda tinangkalik). Jika ada orang yang melepaskan kuda jantan (kuda lanang) dan kuda betina (kuda wadwan) maka orang itu harus menyerahkan tiga bakul nasi (skul tlung wakul) dengan lauknya (iwakanya) dan lain lain.

Disamping bercocok tanam, berternak dan berburu, di dalam masyarakat Bali kuna dikenal beberapa kelompok pekerja khusus, seperti paṇḍe mas (pandai emas), wṣi (besi), tambra (tembaga) dan kangśa (perunggu). Mereka ini tugasnya membuat perhiasan-perhiasan dari emas, alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian, senjata dan sebagainya. Selain itu ada lagi pekerjaan bangunan seperti uṇḍahagi kayu (tukang kayu), uṇḍahagi batu (tukang batu), uṇḍahagi lancang (tukang perahu) dan uṇḍahagi.undagi pangarung (tukang pembuat terowongan). Jenis pekerjaan lain yaitu mamangkudu (tukang celup warna merah), mangnila (tukang celup warna biru), citrakara (pelukis), amahat (pemahat), gusali (pandai besi) dan sebagainya.

Bidang perdagangan pada masa itu sudah cukup maju, hal ini terbukti di beberapa desa terdapat golongan saudagar yang disebut waṇigrāma (saudagar laki-laki) dan waṇigrāmī (saudagar perempuan). Mereka itu mempunyai kepala atau pejabat yang mengurus semua kepentingannya dan disebut juru waṇigrāma (baṇigrama) dan juru wanigrami. Di dalam prasasti yang lebih tua kelompok pedagang tersebut dinamakan wanyaga (banyaga) dan pimpinannya juru wanyaga. Di dalam prasasti jaman Jayapangus kerapkali sebuah karaman (desa dengan penduduknya) disebut mempunyai hakekat weśyajanma, artinya banyak golongan weśya atau kasta pedagang (apan weśyajanma swajatinikang karaman).

Perdagangan antar pulau juga cukup maju, hal ini dapat kita ketahui dari prasasti Banwa Bharu yang menyebut apabila ada saudagar yang mendarat lalu mati, sebagian miliknya disumbangkan ke kuil Hyang Api, kalau perahunya pecah, kayu-kayunya harus dipakai sebagai pagar kota (desa). Kemudian prasasti Julah menyebutkan jika ada perahu, lañcang, talaka, jukung yang terdampar, maka penduduk desa (anak banwa di julaḥ) boleh menawannya (taban karang) dan harta bendanya disumbangkan untuk bangunan suci de desanya. Sedangkan di dalam prasasti Julah lainnya disebut tentang pedagang-pedagang dari seberang yang datang dengan kapal dan perahu berlabuh di Minasa (banyaga sekeng sabrang jong, bahitra, camuṇḍuk i mānasa). Keterangan ini diperkuat lagi dengan berita yang terdapat di dalam prasasti Lutungan yang menyebut tentang pembelian 30 ekor kerbau oleh raja Anak Wungsu dari Gurun (lawan ikang kbo prāṇa 30 siki, ulih pāduka haji anumbas-i gurun). Menurut perkiraan Goris yang dimaksud Gurun yaitu pulau Lombok. Sampai sekarang di Lombok Selatan masih terletak sebuah desa bernama Gerung. Perlu ditambahkan disini bahwa pada jaman dahulu di Bali telah dikenal beberapa jenis perahu, yaitu : lañcang (sampan), perahu, tumbangan (perahu besar), talaka (sejenis perahu), jong (jung), jukung, bahitra (bahtera) dan lain-lain.

Adapula penyebutan bea cukai, pajak, iuran serta denda yang bermacam-macam yang ditulis pada prasasti masa Anak Wungsu, Jayapangus dan raja-raja lainnya. Penyebutan istilah tersebut umumnya masih menimbbulkan banyak kesulitan untuk menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Pajak-pajak ini diatur oleh raja sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan penduduk. Tetapi dalam kenyataannya bermacam-macam pajak menimbulkan berbagai macam persoalan karena para pemungut pajak (sang mangilāla dṛwāhaji) kadang-kadang berbuat sewenang-wenangnya dengan menaikan jumlah pajaknya. Sebagai contoh misalnya di dalam prasasti raja Jayasakti dan Jayapangus berulangkali disebut penduduk desa yang mengeluh karena tindakan penyelewengan petugas pajak yang berakibat seuasana masyarakat menjadi kacau dan gelisah. Biasanya setelah mereka melapor kepada raja, desa tersebut kemudian dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan para petugas tertentu (pegawai pajak) dilarang memasuki dewa swatāntra tersebut.

Selain itu di dalam prasasti juga disebut berbagai macam kejahatan yang sengaja diperbuat seperti; anumpung (merampas), maling (mencuri), angabet (memukul), anayab (mencuri), amregele (melakukan tindak kekerasan), anghadang (menghadang orang lewat,membegal), nibo (membunuh diam-diam dengan rarun), anluh (menyihir,meneluh), enḍung jiwita (membunuh), ātatāyī (berbuat jahat), duhilaten (menjilat), pādacapala (menendang, kejahatan kaki), aṣṭacapala (memukul, kejahatan tangan), waluh rumambat ing natar (waluh merambat di halaman, mengambil tanah orang lain dengan diam-diam), ḍaṇḍa kodanda (denda,pukulan), wangkai kabunan (bangkai terkena embun), rah kasawur ing dalan (darah tercecer di jalan), mandihalādi (berbuat onar, mencerca) dan lain-lain. Di dalam prasasti Sabhaya dikatakan supaya perbuatan tersebut dilapporkan kepada Iḍa Bhaṭāra disertai hukuman dan dendanya. Dan hal itu tidak boleh diganggu gugat oleh orang-orang yang berkuasa.


Sumber: Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto,1993,Sejarah Nasional Indonesia II,Jakarta:Balai Pustaka,halaman: 346-354.

Kamis, 26 Februari 2015

Bahasa Campa Kuno dan Hubungannya dengan Bahasa Melayu

Bahasa Campa Kuno dan Hubungannya dengan Bahasa Melayu

G.E.Marrison

Kerajaan Campa (abad ke-3 M) merupakan kerajaan yang mendominasi wilayah yang kini letaknya di Vietnam bagian tengah dan tenggara. Seluruh wilayahnya mencakup pesisir pantai, termasuk Indrapura (Mison) dan Vijaya (Binh-dinh), Kauthara (Nha-trang) dan Panduranga (Phan-rang). Kerajaan yang mayoritasnya memuja Hindu Saiva ini meninggalkan beberapa peninggalan arsitektur dan arca dengan prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta dan Champa yang berangka tahun Sakaraja 78 M.

Bukti linguistik hubungan bahasa Indonesia dan Campa juga telah ditelusuri oleh beberapa ahli seperti G.K.Niemann, C.O.Blagden, dan D.W.Blood. Penelitian tersebut berdasrkan studi bahasa modern, yang telah mengungkapkan adanya hubungan bahasa Campa dan Melayu juga bahasa Campa dan bahasa daerah Aceh. Bahasa Campa memiliki unsur turunan bahasa Sansekerta yang juga ditemukan dalam bahasa Indonesia dan juga di beberapa bahasa Mon-Khmer. Di masa selanjutnya pada bahasa Campa modern sudah menyimpang dari bahasa Melayu atas pengaruh bahasa Vietnam dan Mon-Khmer.

Bahasa Campa kuno sangat jelas berhubungan dengan bahasa Melayu daripada bahasa yang digunakan selanjutnya. Oleh karena itu, studi prasasti Campa memiliki pengaruh yang signifikan dengan linguistik komparatif Indonesia.




Prasasti Campa Kuno
 Prasasti ini dipublikasikan oleh G. Coedes pada 1939. Walaupun tidak disertakan penanggalannya, namun prasasti ini sangat mirip dengan prasasti bertanggal dengan bahasa Sanskerta yang dikeluarkan oleh Raja Bhadravarman I dari dinasti kedua yang memerintah hingga abd ke-4 M. Prasasti tersebut dihubungkan dengan sumur di Dong-yen-chau dekat Indrapura, seperti yang tertulis berikut ini:

‘Siddham! Ni yang nāga punya putauv. Ya urāng sepüy di ko, kurun ko jemāy labuh nari svarggah. Ya urang paribhū di ko, kurun saribu thun davam di naraka, dengan tijuh kulo ko.’
‘Fortune! This is the divine serpent of the king. Whoever respect him, for him jewels far from heaven. Whoever insults him, he will remain for a thousand years in hell, with seven generations of his family.’
Teks pendek ini mengacu pada bahasa Melayu dalam tata bahasa maupun kosakatanya, dengan beberapa akar bahasa Sansekerta. Kosakata Sansekerta yang terdiri atas siddham- sangat sering digunakan dalam seruan keberkahan; nāga- ular atau naga; svarggah- surga, paribhu-menghina, naraka –neraka, dan kulo-keluarga. Beberapa kata-kata yang masih digunakan pada bahasa Campa Modern (MC) dan bahasa Melayu (Mal) yaitu:

ni         MC, ni, Mal. Ini
yang    MC,Mal.Id. Keilahian
punya  Mal. Id. Milik
putauv MC, patau, raja. Kata dasar kemungkinan pu- ‘tuan’ dan tau-‘ orang’ sama seperti
bahasa Tagalog, tao ‘orang’.
Ya        MC,ya, Mal., yang, “dengan siapa”.
Urāng  MC, urang, rang, Mal. Orang
Sepüy   Mendekati kata ‘menghormati’. Mal. sepui ‘meniup lembut, sopan, hormat’.
Di        MC, Mal.id. ‘ke,di’.
Ko        Bahasa Jawa iku, ‘itu’
Kurun  MC, krün ‘melihat, mengetahui’. Pada konteks teks diartikan ‘mengenai’
Jemāy  MC, jemai ‘perhiasan’, Indonesia, jambi ‘buah pinang’.
Labuh  MC,id. ‘jatuh’, Mal. Laboh ‘menerjunkan jangkar’.
Nari     Mal. Dari
Saribu  Mal.Id, seribu
Thun    MC,Id. Mal. Tahun
Davam             MC, dhwa ‘tempat’, Mal. Diam ‘tersisa’
Tijuh    MC,Id. Mal tujoh ‘tujuh’
Dengan            Mal.Id., NC ngan ‘dengan’.


Prasasti dari Dinasti ke-6, 875-991 M
Prasasti yang berasal dari ibukota kerajaan, yaitu Indrapura (Mison) memiliki aliran Hindu Saiwa selain ada juga Buddha Tantrayana. Kaitannya dengan Jawa sangat kental. Prasasti-prasasti berikut mengandung bahsa Campa, yaitu:

  1. Prasasti pertama dari Dong Duong, 797 Sakaraja (875 M). Berbahasa Sansekerta yang menjelaskan pendirian Indrapura oleh Raja Indravarman II dan mencatatkan diujung kalimat daftar lahan di Campa. ( lihat: L. Finot. Les inscriptions de Quang-nam. BEFEO 4, 1904, pp.83-4.)

2.      Prasasti  Bo Mung, 811 Saka (889 M). Donasi Raja Indravarman II pada pendirian pemujaan Siwa, disertai daftar lahan. (lihat: E. Huber. Etudes Indochinoises. BEFEO 11, 1911, p.269.)
3.      Prasasti Pu Thuan, 889 M. Persembahan untuk kuil dengan lahan pemberian Raja Indravarman II. (lihat: Huber,id.p.10.)
4.      Prasasti Ban Lanh, 820 Saka (898 M). Dimaksudkan sebagai perlindungan oleh Raja Jayasimhavarman I pada dua kuil, dengan perpaduan bahasa Sansekerta dan Campa. (lihat: L.Finot,id.pp.99-105)
5.      Prasasti kedua dari Dong Duong, 820 Saka (898 M). Persembahan hadiah untuk kuil dari Putri Rajakula (see: L. Finot,id.p.105.)
6.      Prasasti An Thai, 824 Saka (903 M). Prasasti Budha berbahasa Sansekerta dengan daftar lahan di Campa. (lihat: Huber,id.p.282).
7.      Chau Sa, 825 Saka (904 M). (lihat: Huber.id.p.282; hanya daftar pustaka).
8.      Prasasti Hoa Que, 830 Saka (908 M). Persembahan bagi kuil setelah keberhasilan sebuah ekspedisi; ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Campa. (Huber,id.p.285).
9.      Lao Thanh, 832 Saka (910 M) (Huber,id.p.285; hanya rujukan).
10.  Phu Luong, 83x Saka ( setelah 910 M) (Huber,id.p.283, rujukan).
11.  Nhan Bieu, 833 Saka (911 M). Daftar tanah kuil Devalingesvara di Kummuvel.
12.  Prasasti Ha Trung, 838 Saka (916 M). Daftar panjang sawah-sawah, dengan rincian kategorinya dan batasnya. (huber,id.p.298; rujukan saja.)
13.  Prasasti Lai Trung, 843 Saka (921 M). Kutukan (Huber,id.p.15).
14.  Prasasti Po Klaung Garai, 867 Saka (945 M). Ekspedisi Devaraja, keponakan Paramesvaravarma ke Panduranga. (lihat: L. Finot. Mouvelles inscriptions de Po Kluang Garai. BEFEO 9, 1909,p. 208)
15.  Prasasti Batu di Po Kluang Garai, 872 Saka (950 M). Perbaikan tempat pemujaan setelah pemberontakan. (lihat: Finot,id.p.63).
16.  Prasasti Po Klaung Garai, 894 Saka (972 M). Perbaikan tempat pemujaan. (lihat: Finot,id.pp.205-9).

Data diatas, nomor 1,2,4,6,11, dan 12 semuanya berisi nama lahan. Nomor 1 dan 6 prasasti ditulis menggunakan bahasa Sansekerta kecuali nama lahan. Lahan dalam bahasa Sansekerta adalah ksetram.
    Aso ksetram – ‘lahan anjing’, Jawa asu
   Gamryang ksetram --  , Mal. kemerin
   Jraung apaung salavang ksetram – ‘, Mal. jerong apong selempang
Damanuv vlur candang ksetram – ‘lahan yang merupakan danau ikan tenggiri’,
         Mal. danau balur chandang.
Dandan ksetram vataing tatha ngauk amvil ca patak ksetram – ‘lahan proyek, dengan gundukan pasir dan gundukan garam yang dibagi kedalam kotak’, Mal. dandan ‘dataran’, beting ‘gurun pasir’, petak ‘kotak pembagian sawah’
Nomor 6 terdiri atas lahan: kravauv ksetram ‘lahan kerbau’,Mal. kerbau, glam ‘pohon (Melaleuca), Mal. gelam, duri ‘tanduk’, vyau ‘pisang’, bahasa Bali, biyu, klov huviy ‘akar pohon’, bahasa Jawa telu ‘tiga’, Mal. ubi ‘akar’.

Contoh berikut diambil dari pembukaan pada sisi D prasasti Nhan Bieu (no.11) yang dimulai dengan daftar lahan-lahan di Campa:

‘niy dom huma yang pov ku Devalingesvara di Kumuvvel; huma bhauk purak tluv pluh tijuh galauk, asiy nu sapluh jak; nariy sang urang pagar pinang tuy andap sedang nau patal dandau visesa, sumrang daksina nam pluh galauk, asiy ñu tluv pluh jak.’

‘these are all the fields of the temple of Devalingesvara at Kumuvvel; the ricefield with the raound depression has an area of 37 galauk and produces 10 loads of rice. It stretches from the house of the people of the area garden, up to and including all the lake and on the south bank an area of 60 galauk, producing 30 loads of rice.’

Huma ‘sawah’. Kata yang sama dipakai dalam bahasa Mal. namun mengacu pada sawah
kering.
            Tluv pluh tijuh ‘37’, Mal. tiga puloh tujoh
            Asiy ‘beras’, kata ini sangat mungkin sama dengan Mal. nasi
            ñu  ‘pada, miliknya’, Mal. (...-nya)
            Urang pagar pinang ‘orang yang berada di pagar kebun pohon pinang’
            Dandau ‘danau, Mal. danau
            Sumrang ‘gundukan’, Mal. seberang

Contoh selanjutnya adalah prasasti Phu Thuan (no.3) yang dilanjutkan dengan bahasa Campa:

‘Svasti. Ni kanadhā kuv pu pov tana rayā yang ma..... nau Sri Indravarmmadeva yang sakala rājadhirāja di nagara Campa vriy yāng pov ku Sri Bhāgavakāntesvara matandāh sarvvakaradāna kuv vriy yang niy pov kuv danay sandiy yajamana niy yang niy, kintu karaṇa sandyam yāng niy ngan udakānna, nau hetu ku atat di yajamāna niy.’

‘Siy pu pov tana rayā yang maputau andap niy, siy urāng rayā yang marayā mapaknā tuy tanatap kuv niy, pu pov tana rayā ngan urāng rayā tmuv punya di dalam rājya kuv tra di dalam rājya driy, tra tmuv pada ya pu pov ku Siva.’

‘Vela urāng rayā masuvāk top punya ni di yajamāna ni, vela maklum kany athavā ma....vriy urāng vukan klun driy, urāng rayā nan nau avisi.’

“Fortune!. This is the speech of His Majesty Sri Indravarmmadeva, who reigns continually in the state of Champa and has given for the God Bhagavakantesvara an assigned provision for the God, for the use of the priests of this temple, the maintain worship, with food and drink so that I (atat—am remembered?) in this temple.’

‘Later kings who may reign here, and great men who will prevail here, shall act in accordance with my decree. The kings and the great men will then gain merit in this kingdom and in other kingdoms and with the God Siva.’           

‘If the great men destroy the property of the temple by damaging it, or allowing others to do so, then they shall go to hell.’

Selain kosakata Sansekerta, banyak sekali kata yang dikaitkan dengan bahasa Melayu seperti tana rayā (Mal. tanah raya ‘negara’), vriy (Mal., beri, ‘beri’), siy (Mal. “Si..”), urāng rayā (Mal. orang raya, pemimpin), tmuv (Mal. ‘temu’, bertemu dengan), ngan adalah bahasa Campa kependekan dari bahasa Melayu dengan.

Kanadhā (kanathā), bahasa Sansekerta kathā ‘berjumlah” dengan infix –an, untuk bentuk kata benda abstrak.
Matandāh, ditandai. Prefiks aktif ma- dengan tandāh, “disisikan”, bahasa Malayu tendas, “memotong’.
Maputau “yang berkuasa”, ma- dengan putau “raja”
Marayā, “menguji perintah bawahan”, ma- dengan rayā “agung”
Mapaknā, “yang harus dipatuhi”, mapa-, prefiks ganda, disini dengan kausatif pasif knā, Malayu, kena “mendapatkan”.
Tanatap, “ dekrit”, bahasa Champa tatap dengan infix –an-, Malayu tetap “masih”
Masuvāk, “mengganggu, menghancurkan”,
Makluñ, “menghancurkan”

Prasasti Lai Trung (no.13) merupakan prasasti kutukan yang dibaca sebagai berikut:

‘Siy urāng yang mavāc tuy śanāpa niy, asuv hitam, asuv putih, asuv mirah, asuv pak matā, avista ya nan āśraya inā urāng nan. Niy śakarāja vuh yāp trih catvāra asta.’

‘Any man who dismantles (this inscription), according to the curse, the black dog, the white dog, the red dog and four eyed dog, all of them will haunt that man’s mother. This was erected in the Sakaraja era 843 (921 M).’

Prasasti ini menggunakan bahasa Campa asuv yang digunakan pula pada bahasa Indonesia asu “anjing”. Bahasa Campa pak sejajar dengan bahasa Malayu empat, “empat” dan vuh bukan merupakan pengulangan bentuk dari bahasa Malaysia buboh, “menempatkan”. Bahasa Campa mavāc digunakan dalam bahasa Campa kini wak, “melanggar” dan yap sama dengan yap “menghitung”. śānapa merupakan contoh lain penggunaan bahasa Sansekerta śāpa “kutukan” dengan infix bahasa Campa –an.

Kesimpulan

Seperti yang telah digambarkan secara jelas pada prasasti Campa awal bahasa yang digunakan sangat berkaitan dengan fonologi bahasa Melayu, kosakatanya dan kalimat. Hal ini mencakup membolakbalikan kata lokal pada suku kata akhir dan kecenderungan konsekuen ke arah monosilabisme dan penggunaan sistem afiksisasi lebih sama dengan Mon Khmer daripada bahasa Indonesia dalam penggunaan prefiks dan infiks tapi berbeda dengan sufiks.

Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Campa awal dan pertengahan menggunakan kosakata Sansekerta, mencakup berbagai aksen kata untuk suku kata terakhir yang ditemukan pada bahasa Melayu kuno dan bahasa Jawa kuno dan karakteristik selanjutnya meminjam bahasa Indonesia.

Sumber:
Marrison, G.E, 1975, “The Early Cham Language and Its Relationship to Malay”, in JMBRAS, Vol. 48, part II, 1975, page: 52-59.