Senin, 28 September 2015

Perekonomian Rakyat Bali Kuna Berdasarkan Data Prasasti Abad XI-XII Masehi.




Ringkasan Sejarah Nasional Indonesia II, 1993

Di dalam salah satu prasasti dari jaman raja Marakatapangkaja terdapat keterangan yang mungkin dapat kita pergunakan untuk menghitung berapa jumlah penduduk Bali pada masa itu, walaupun angka yang akan diperoleh nanti hanyalah merupakan perkiraan belaka. Menurut Prasasti Bila yang berangka tahun 945 Śaka penduduk karāman Bila semula berjumlah 50 kuṛn, tetapi karena kewajiban-kewajiban berat yang dibebankan kepada karāman Bila, maka jumlah tersebut kemudian menyusut menjadi 10 kuṛn (sambadha mājaraken paraspara ni hambanya sakarāman mula 50 kuṛn kwehnya nguni rumuhan ring malama, maśeśa ta ya 10 kuṛn, kunang sangkā ri kabyetanya ring dṛwya haji,mwang buñcang haji magöngadmit). Keterangan ini sangat penting kalau ditinjau dari segi sejarah, sebab dengan keterangan itu kita mengetahui bahwa jumlah penduduk di sebuah karāman pada masa dahulu sebanyak 50 kuṛn (kepala keluarga). Tetapi tentu saja ada juga sebuah karāman yang terdiri dari 100 atau 150 kuṛn. Seandainya setiap kuṛn rata-rata terdiri dari 5 orang, maka penduduk Bila diperkirakan sebanyak 250 jiwa. Selanjutnya di dalam Prasasti Bali pada umumnya disebut nama sebuah desa yang dibebaskan misalnya dari kewajiban-kewajiban tertentu, kemudian juga menyebut nam-nama desa parimaṇḍala yang ada di sekelilingnya. Istilah pinarimaṇḍalacinaturdeśa sangat terkenal di dalam prasasti baik di Jawa maupun di Bali. Artinya sebuah desa mempunyai batas empat buah desa yang ada disekitarnya. Jumlah prasasti yang sudah ditemukan di Bali hingga masa pemerintahan raja Marakatapankaja kira-kira 40 buah dan sampai jaman Anak Wungsu mendekati 70 buah prasasti. Dengan demikian jumlah penduduk Bali pada masa pemerintahan Anak Wungsu (Abad IX M) diperkirakan sebanyak 600x250 = 150.000 jiwa. Kira-kira seratus tahun kemudian sampai masa pemerintahan raja Jayapangus (Abad XII M) jumlah penduduk melonjak menjadi kira-kira 300.000 jiwa. Peledakan penduduk rupa-rupanya terjadi sewaktu orang-orang dari Jawa Timur pindah ke Bali sebagai akibat runtuhnya Majapahit kira-kira sekitar tahun 1500 M.

Umumnya masyarakat Bali sejak jaman dahulu hidup bercocok tanam. Hal ini dapat kita ketahui dari berita-berita yang kita peroleh di dalam prasasti-prasasti, antara lain menyebut sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal (ladang daerah pegunungan) dan kasuwakan (pengairan sawah).

Pengolahan sawah khususnya mendapat perhatian besar dan dirawat sebaik-baiknya seperti halnya para petani pada waktu sekarang. Di dalam Prasasti raja Marakatapankaja (Songan-tambahan) misalnya disebut deretan istilag yang berhubungan dengan cara pengolahan atau penanaman padi, yaitu amabaki, amaluku, atanem, amatun, ahani, anutu. Proses tersebut urutannya sesuai dengan yang dikerjakan oleh para petani pada waktu sekarang, yaitu: mbabaki (pembukaan tanah), lalu mluku (membajak), tanem (menanam padi), matun (menyiangi padi), ani-ani (menuai padi,panen) dan mutu (menumbuk padi). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa sewaktu masa pemerintahan Marakatapankaja dan mungkin juga pada masa sebelum dan sesudahnya, penggarapan sawah telah maju dan tidak jauh berbeda dengan cara pengolahan sawah para petani pada waktu sekarang.
Jenis-jenis tanaman yang sudah dikenal pada masa dahulu antara lain: padi (baik padi gaga, padi sawah maupun huma), nyu atau tirisan (kelapa), pring (bambu), hano (enau), kamiri (kemiri), kapulaga, kasumbha (kesumba), tals (talas), bawang bang (bawang merah), pipakan (jahe), mulaphala (umbi-umbian lainnya, wortel), hartak (kacang hijau), pucang (pinang), jeruk, lunak atau camalagi (asam), pisang atau byu, sarwaphala (buah-buahan), sarwawija (padi-padian), kapas, kapir (kapok randu), damar, dan lainnya.

Selain itu ada jenis kayu-kayuan, yang kadang-kadang merupakan kayu larangan (pohon larangan), antara lain: kamiri (Latin Aleurites triloba Forst), boddhi (Carumbium populifolium), nangka (Artocarpus integrifolia), kembang kuning (Cassiasophora), meṇḍe (Wallichia Horsfieldi), kapulaga (Amonum Cardamomum) dan sebagainya.

Selain hidup bercocok tanam atau bertani rakyat juga memelihara binatang ternak seperti; itik, wḍus (kambing), lembu (sapi), kbo atau karambo (kerbau), asu (anjing), jaran atau asba (kuda), hayam (ayam), manuk (ayam jantan). Selain itu masih ada lagi binatang buruan seperti babi, culung (celeng), pañcayan (?), besara (binatang liar), hayam alas (ayam hutan), putir (merpatih putih), manuk kitiran (tekukur), asu alas (anjing hutan), wuruwuru (merpati) dan lain-lainnya. Untuk pengawasan binatang ternak bersayap ada seorang pejabat yang disebut Tuhānjawa (ketua ternak bersayap).

Kelihatan jelas masyarakat pada masa dahulu gemar juga berburu. Hal ini terbukti dengan adanya pejabat khusus yang tugasnya berhubungan dengan binatang perburuan. Pejabat itu disebut Nayakan buru. Bahkan di dalam prasasti Bukit Cintamani disebut tentang pembuatan bangunan suci di tanah perburuan (bangunen partapanan satra di katahan buru), sedang di dalam prasasti Bwahan dikatakan bahwa orang desa Bwahan yang terletak di pinggir danau (wingkang raṇu) memohon kepada raja agar diperkenankan membeli hutan perburuan raja (alas burwan haji) yang ada dekat desanya untuk tempat penggembalaan sapi dan mencari kayu api (mwang höt ni pamangana ni sapinya, mwang pametanya kayu). Selain itu disebut juga bahwa rakyat desa diijinkan berburu di daerah sekitarnya (parimaṇḍala) tanpa dikenakan dṛbyahaji (iuran,pajak) oleh Nāyakanburu. Juga dalam prasasti Ūgrasenā terdapat keterangan tentang penduduk atau orang yang melakukan kerja bakti buat raja di daerah perburuan raja (anak mabwatthaji di buru).

Agaknya binatang yang paling berharga pada masa dahulu di Bali yaitu jaran atau asba (kuda). Di dalam prasasti-prasasti kuna kuda memang disebut-sebut, bahkan di dalam prasasti Air Hawang diuraikan dengan panjang lebar tentang peternakan kuda dan juga tentang penyilangan kuda (amor ing kuda tinangkalik). Jika ada orang yang melepaskan kuda jantan (kuda lanang) dan kuda betina (kuda wadwan) maka orang itu harus menyerahkan tiga bakul nasi (skul tlung wakul) dengan lauknya (iwakanya) dan lain lain.

Disamping bercocok tanam, berternak dan berburu, di dalam masyarakat Bali kuna dikenal beberapa kelompok pekerja khusus, seperti paṇḍe mas (pandai emas), wṣi (besi), tambra (tembaga) dan kangśa (perunggu). Mereka ini tugasnya membuat perhiasan-perhiasan dari emas, alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian, senjata dan sebagainya. Selain itu ada lagi pekerjaan bangunan seperti uṇḍahagi kayu (tukang kayu), uṇḍahagi batu (tukang batu), uṇḍahagi lancang (tukang perahu) dan uṇḍahagi.undagi pangarung (tukang pembuat terowongan). Jenis pekerjaan lain yaitu mamangkudu (tukang celup warna merah), mangnila (tukang celup warna biru), citrakara (pelukis), amahat (pemahat), gusali (pandai besi) dan sebagainya.

Bidang perdagangan pada masa itu sudah cukup maju, hal ini terbukti di beberapa desa terdapat golongan saudagar yang disebut waṇigrāma (saudagar laki-laki) dan waṇigrāmī (saudagar perempuan). Mereka itu mempunyai kepala atau pejabat yang mengurus semua kepentingannya dan disebut juru waṇigrāma (baṇigrama) dan juru wanigrami. Di dalam prasasti yang lebih tua kelompok pedagang tersebut dinamakan wanyaga (banyaga) dan pimpinannya juru wanyaga. Di dalam prasasti jaman Jayapangus kerapkali sebuah karaman (desa dengan penduduknya) disebut mempunyai hakekat weśyajanma, artinya banyak golongan weśya atau kasta pedagang (apan weśyajanma swajatinikang karaman).

Perdagangan antar pulau juga cukup maju, hal ini dapat kita ketahui dari prasasti Banwa Bharu yang menyebut apabila ada saudagar yang mendarat lalu mati, sebagian miliknya disumbangkan ke kuil Hyang Api, kalau perahunya pecah, kayu-kayunya harus dipakai sebagai pagar kota (desa). Kemudian prasasti Julah menyebutkan jika ada perahu, lañcang, talaka, jukung yang terdampar, maka penduduk desa (anak banwa di julaḥ) boleh menawannya (taban karang) dan harta bendanya disumbangkan untuk bangunan suci de desanya. Sedangkan di dalam prasasti Julah lainnya disebut tentang pedagang-pedagang dari seberang yang datang dengan kapal dan perahu berlabuh di Minasa (banyaga sekeng sabrang jong, bahitra, camuṇḍuk i mānasa). Keterangan ini diperkuat lagi dengan berita yang terdapat di dalam prasasti Lutungan yang menyebut tentang pembelian 30 ekor kerbau oleh raja Anak Wungsu dari Gurun (lawan ikang kbo prāṇa 30 siki, ulih pāduka haji anumbas-i gurun). Menurut perkiraan Goris yang dimaksud Gurun yaitu pulau Lombok. Sampai sekarang di Lombok Selatan masih terletak sebuah desa bernama Gerung. Perlu ditambahkan disini bahwa pada jaman dahulu di Bali telah dikenal beberapa jenis perahu, yaitu : lañcang (sampan), perahu, tumbangan (perahu besar), talaka (sejenis perahu), jong (jung), jukung, bahitra (bahtera) dan lain-lain.

Adapula penyebutan bea cukai, pajak, iuran serta denda yang bermacam-macam yang ditulis pada prasasti masa Anak Wungsu, Jayapangus dan raja-raja lainnya. Penyebutan istilah tersebut umumnya masih menimbbulkan banyak kesulitan untuk menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Pajak-pajak ini diatur oleh raja sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan penduduk. Tetapi dalam kenyataannya bermacam-macam pajak menimbulkan berbagai macam persoalan karena para pemungut pajak (sang mangilāla dṛwāhaji) kadang-kadang berbuat sewenang-wenangnya dengan menaikan jumlah pajaknya. Sebagai contoh misalnya di dalam prasasti raja Jayasakti dan Jayapangus berulangkali disebut penduduk desa yang mengeluh karena tindakan penyelewengan petugas pajak yang berakibat seuasana masyarakat menjadi kacau dan gelisah. Biasanya setelah mereka melapor kepada raja, desa tersebut kemudian dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan para petugas tertentu (pegawai pajak) dilarang memasuki dewa swatāntra tersebut.

Selain itu di dalam prasasti juga disebut berbagai macam kejahatan yang sengaja diperbuat seperti; anumpung (merampas), maling (mencuri), angabet (memukul), anayab (mencuri), amregele (melakukan tindak kekerasan), anghadang (menghadang orang lewat,membegal), nibo (membunuh diam-diam dengan rarun), anluh (menyihir,meneluh), enḍung jiwita (membunuh), ātatāyī (berbuat jahat), duhilaten (menjilat), pādacapala (menendang, kejahatan kaki), aṣṭacapala (memukul, kejahatan tangan), waluh rumambat ing natar (waluh merambat di halaman, mengambil tanah orang lain dengan diam-diam), ḍaṇḍa kodanda (denda,pukulan), wangkai kabunan (bangkai terkena embun), rah kasawur ing dalan (darah tercecer di jalan), mandihalādi (berbuat onar, mencerca) dan lain-lain. Di dalam prasasti Sabhaya dikatakan supaya perbuatan tersebut dilapporkan kepada Iḍa Bhaṭāra disertai hukuman dan dendanya. Dan hal itu tidak boleh diganggu gugat oleh orang-orang yang berkuasa.


Sumber: Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto,1993,Sejarah Nasional Indonesia II,Jakarta:Balai Pustaka,halaman: 346-354.