Kamis, 28 November 2013
Selasa, 12 November 2013
Rabu, 06 November 2013
Makanan dan Minuman dalam Prasasti Abad 9-10 Masehi
Anita Swandayani
Sumber
data diambil dari beberapa prasasti yang bertemakan penetapan sima, yaitu prasasti Taji 901 M, prasasti Paṅgumulan 902 M, prasasti Watukura I 902
M, prasasti Mantyasih I 907 M, prasasti Mantyasih III, prasasti Rukam 907 M,
prasasti Lintakan 918 M, prasasti Saŋguran 928 M, prasasti Guluŋ guluŋ 929 M, prasasti
Jeru jeru 930 M, prasasti Alasantan 939 M, dan prasasti Paradah 943 M.
Prasasti Taji 901 M, berisi hidangan yang disediakan
untuk para hadirin mencapai 57 karung beras, 6 ekor kerbau, 100 ayam. Hidangan
yang lain berupa aneka makanan yang diasinkan, daging asin yang dikeringkan,
ikan kaḍiwas, ikan gurame, biluŋluŋ, telur dan rumahan. Untuk minum disuguhkan berbagai macam tuak yang berasal
dari jnu, bunga campaga, bunga pandan dan bunga karamān.
Prasasti Paṅgumulan
902 M, berisi
hidangan yang disediakan pada waktu upacara penetapan sima di desa Paṅgumulan,
adalah nasi matiman, bertumpuk/banyak sekali makanan yang diasinkan, ikan kakap
dan ikan kadawas yang dikeringkan, rumahan, layar-layar, udang, hala hala dan
telur. Untuk dijadikan sayur disediakan dua ekor kerbau dan seekor kambing.
Selain itu ada juga amwil lamwil, kasyan, kwĕlan yang dipiṅkā, dan
sayuran yang berupa rumwarumwah,
sayuran lalap matang, ḍuḍutan, tetis. Minuman keras yang disediakan
adalah tuak, siddhu, yang lain adalah
jātirasa dan air kelapa.
Prasasti Watukura I
902 M,
memberikan keterangan bahwa semua yang hadir pada waktu upacara penetapan sima di desa Watukura disuguhi berbagai
macam hidangan seperti ambil ambil, kasyan, let let, tahulan, ikan wagalan, haryyas, sayuran lalap matang, suṇḍa, rumbah, haraŋ haraŋ, ikan
kakap kering, ikan kaḍiwas, tenggiri,
cumi-cumi, udang dan biluŋluŋ. Sedang
minuman yang disediakan adalah pāṇa, siddhu, mastawa, kiñca, kilaŋ,
dan tuak.
Prasasti Mantyasih
I 907 M,
memberikan keterangan bahwa hidangan yang disediakan berupa masakan (dari
daging) kerbau, babi, kijang dan kambing. Selain itu ada juga bermacam-macam
makanan enak seperti haraŋ haraŋ,
daging asin, daging hañaŋ, daging taruŋ serta udang, hala hala dan telur.
Prasasti Mantyasih
III, berisikan
keterangan berupa masakan (dari daging) kerbau, babi, kijang dan kambing dan
berbagai macam haraŋ haraŋ.
Prasasti Rukam 907
M, memberikan
keterangan mengenai hidangan yang disediakan pada upacara penetapan sima di
desa Rukam berupa nasi paripūrṇna timan,
melimpah ruah masakan haraŋ haraŋ,
ikan kakap kering, ikan kadiwas, ikan
ḍuri, daging hañaŋ yang dikeringkan, ikan gurame, rumahan, layar layar, hala
hala, udang, dlag (ikan gabus)
yang digoreng dengan telur, dan kepiting. Ada juga sayur yang terbuat dari
daging kerbau, sapi dan babi. Semua makan yang disukai dibuat masakan serba
lezat. Ada amwil amwil, atah atah, kasya kasyan, saṅasaṅān, ḍalamman,
hinaryyasan, rumwarumwah, sayuran lalap matang, ḍuḍutan dan tetis.
Minuman yang tersedia ialah tuak, siddhū,
ciñca.
Prasasti Lintakan
919 M,
keterangan mengenai makanan tidak di dapat, namun minuman yang tersedia berupa
tuak, siddhu dan ciñca.
Prasasti Saŋguran
928 M, terdapat
hidangan berupa nasi ḍaṇḍanani hiniru,
ambilambil, kasyan, lit lit, masakan ranak, sangasangān, āryya, rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, berlimpah ruah daging asin, bilunglung, ikan kaḍiwas, udang, ikan gurame, layalayar,
halahala dan telur yang dikeringkan.
Selain itu masih ada sejumlah makanan atatmipihan
dan sayur yang tidak diketahui bahan utamanya. Untuk minuman, disediakan siddhu, ciñca, kila. Pada
prasasti ini diketahui juga bahwa selain makanan utama, para hadirin diberikan
pula tambul dan dodol.
Prasasti Guluŋ guluŋ
929 M, bagian
yang dapat diketahui hanya berupa nasi paripurṇna.
Prasasti Jeru jeru
930 M, dalam
prasasti ini dapat diketahui bahwa hidangan upacara penetapan sima di desa Jeru
jeru saat itu diletakkan di atas daun kawung (daun pohon enau). Hidangannya
berupa nasi paripūrṇna, sangkab, wulu, kaṇḍari, ikan kaḍiwas, daging asin, daging..., slar, capacapa, rumahan, udang,
bilulung, halahala, telur yang dikeringkan dan wuluninggangan (wulu yang dibuat sayur). Selain itu ada juga
masakan kasyan dengan rasa manis, tĕwangān, masakan ranak, alap alap, sayuran
lalap matang, tetis dan tambul. Minuman yang disuguhkan tidak diketahui.
Prasasti Alasantan
939 M, hidangan
yang tersedia berupa dandanan hinirusan,
masakan ambilambil, lit lit, masakan ranak, sangasangān, haryyas, rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, melimpah ruah daging hañaṅ,
daging asin, ikan kakap, udang, bijañjan,
ikan kadiwas, ikan gurame, layarlayar, halahala, telur yang dikeringkan, sunda, masakan atak pīhan, daging kerbau, berbagai
macam ikan termasuk ikan praṅ paṅ paṅ,
daging kijang, babi dan angsa. Minuman yang tersedia adalah siddhu, tuak dan kilaṅ, kemudian diberi hidangan tambul
yang diañjap, kura, wuku, rih, hasam
dan dodol.
Prasasti Paradah
943 M, dalam
upacara penetapan sima desa Paradah menikmati hidangan berupa nasi dākdannan linirusan, masakan ambilambil, kasyan, lidlid, waragalan,
rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, daging hañaŋ, daging asin, ikan kakap, rumahan,
ikan kadiwas dan ikan gurame. Selain
itu ada juga hidangan berupa masakan udang, kepiting, bilulung, layarlayar, halahala, telur yang dikeringkan, suṇḍa, atak pīhan, tahulan, dan sīnangannan, haryya, sayur, berbagai macam ikan dan daging kijang. Minuman yang
tersedia berupa siddhu, ciñca, dan tuak. Kemudian diberikan
hidangan tambul yang diañjap, kura, wuku, rima, asam dan dodol, kemudian memakan rujak setelah memakai bunga dan jnu.
Haryyas/hinaryyasan/āryya : sayur dari batang pisang
Atah atah/ḍuḍutan: lalap mentah
Kuluban/kulub: lalap matang
Tetis : makanan yang diremas
Rumwarumwah/rumbarumbah: lalapan
Atak pīhan: sejenis kacang-kacangan
Wuku: sejenis biji-bijian
Suṇḍa: akar-akaran/umbi-umbian
Skul/sgu: nasi
Kura/capacapa: kura kura
Hnus: cumi
Huraṅ: udang
Gtam: kepiting
Dlag : ikan gabus
Kawan: ikan gurame
Taṅiri: ikan tenggiri
Tahulan : tulang atau duri ikan
Biluŋluŋ/ bijañjan,halahala,duri,kaḍawas,kaḍiwas,kaṇḍari,layarlayar,prah,rumahan,slar,wagalan: sejenis ikan
Hangsa: angsa
Hayam: ayam
Hantiga/hantrīni/hantlu: telur
Celeṅ/wök: babi
Hadahan/kbo: kerbau
Kidaŋ/knas: kijang
Wḍus: kambing
Minuman
biasanya berupa minuman keras, seperti:
Jātirasa, madya, mastawa, pāṇa,
siddhu dan tuak/twak
Tuak: hasil sulingan dari semacam
gula, selain berasal dari aren/kelapa juga dibuat dari:
Jnu, pandan (puḍak), bunga/skar campaga
dan bunga/skar karamān.
Minuman
lainnya:
Ciñca/kiñca: air asam jawa
Dūh ni nyūn: air kelapa
Kila/kilaṅ: hasil fermentasi gula tebu
SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA, 1989
Kamis, 24 Oktober 2013
Kajian Sebuah Peradaban yang Serumpun dengan Nusantara: Campa (Vietnam) Hasil Penelitian Baru dan Metodologi Ilmu Budaya
Prof.Dr.Arlo Griffiths
2009
Kajian ini untuk menjelaskan peranan potensial jurusan arkeologi, dan khususnya peminatan epigrafi, dalam hal pembentukkan kajian Asia Tenggara. Di negara inilah sampai sekarang tinggal satu suku minoritas berjumlah kira-kira 100.000 orang yang bernama Cam, hampir semuanya penduduk provinsi Ninh Thuan, beberapa ratus kilometer ke arah timur laut dari Kota Ho Chi Minh. Orang Cam ini yang sebagiannya beragama Islam dan yang bahasanya masih memuat banyak unsur kosa kata yang sangat mirip bahasa Melayu, merupakan ahli waris sebuah peradaban klasik beragama Hindu-Budhha, yang kemudian memeluk Islam, dan yang bahasanya sangat dekat, secara linguistis dengan bahasa Melayu Kuno. Sumber-sumber sejarah peradaban ini menyebutkan Negara Campa. Pada zaman kuno, negara tersebut menduduki luas wilayah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan wilayah yang diduduki orang Cam sekarang ini.
Negara tersebut juga saya katakan serumpun dengan peradaban Nusantara. Kemudian muncul istilah lain lagi, Indochina. Pada zaman kolonial istilah ini digunakan untuk jajahan Prancis di Asia Tenggara, yang kemudian menjadi negara merdeka Kamboja, Laos dan Vietnam. Hal menarik adalah bahwa istilah Indochina sekarang ini dianggap kurang cocok dan malah politically incorrect oleh para ilmuwan tingkat internasional. Di Malaysia, peradaban Campa dianggap serumpun dengan peradaban Melayu.
Mengenai istilah Nusantara, disini saya menggunakan dalam definisi sedikit kurang luas untuk merujuk pada wilayah itu yang bahasa pemerintahannya pada zaman kuno adalah Melayu atau Jawa di samping bhasa Sansekerta; yang dahulu beragama Hindu-Buddha kemudian memeluk Islam dan yang berbagi beberapa ciri budaya lainnya. Secara parentetis, saya mengakui bahwa saya merasa istilah Nusantara masih kurang sesuai dengan keperluan peristilahan kajian Asia Tenggara, baik dalam definisi luas maupun dalam hal yang lebih terbatas, akan tetapi disini saya tidak bermaksud membahas masalah ini.
Kajian ini berdasarkan penelitian epigrafi dalam rangka proyek Corpus of the Inscriptions of Campa yang terdiri atas beberapa ahli yaitu Dr. Thanh Phan (profesor antropologi Vietnam), Dr. William Southworth (arkeolog Inggris), Amandine Lepoutre (calon doktor dalam sejarah Campa), dan saya sendiri (EFEO) serta bekerjasama dengan Puslit Arkenas.
Sifat Dasar Korpus
Prasasti-prasasti Campa adalah teks yang diperintahkan untuk dipahatkan oleh penguasa atau anggota lain masyarakat elit Cam, sebagian besar untuk menandakan sebuah peristiwa seperti pembangunan satu patung pemujaan, pemberian sebuah obyek pemujaan atau sumbangan lahan tanah tertentu untuk menjamin pemujaan di salah satu candi. Yang khas adalah isi dokumen-dokumen ini melangkahi batas bidang duniawi dan religius dan penting bagi struktur kronologis kajian peradaban Campa, dokumen ini sangat sering dilengkapi dengan tanggal yang jelas dan nyata. Tanggal-tanggal tersebut berkisar dari abad ke-6 sampai abad ke-15 Masehi.
Kebanyakan teks-teks ini dipahatkan pada batu: dari batu besar alami sampai batu stela yang dipahat dengan sangat terperinci, hingga pilar pintu atau ambang atas yang dipasang pada pintu masuk candi. Ada sejumlah dinding batu bata atau elemen arsitektural terakota yang dipahat dengan aksara. Ada sejumlah kecil benda pemujaan dari logam yang mengandung prasasti, seperti pembawa dupa (seperti yang disebutkan dalam prasastinya, C.206). Khususnya, seperti dalam kasus epigrafi Kamboja, tidak ada lempeng tembaga atau perunggu bertulis, yaitu kelompok sumber epigrafis yang begitu umum dalam epigrafi India dan Jawa-Bali. Permukaan yang dipahat beragam ukirannya, mulai dari beberapa sentimeter persegi (MY SON E1) sampai beberapa meter persegi (C.17). Atau dari satu suku kata sampai puluhan baris.
Aksara yang digunakan adalah turunan dari apa yang disebut aksara brahmi yang berasal dari India masa sebelum Masehi. Pada abad-abad awal, benar-benar tidak dapat dibedakan tulisan yang ditemukan dalam inskripsi yang sezaman dari India Selatan, Kamboja atau Nusantara, akan tetapi menjelang abad ke-12 M, sistem tulisan ini berkembang menjadi baik sangat teratur bahkan cukup membingungkan, dengan tipe aksara yang sangat keriting. Namun demikian, meskipun perubahan-perubahan dalam bentuk huruf dari awal tulisan Campa sampai aksara-aksara yang masih digunakan. Orang Cam masa kini tulisannya tetap menggunakan sistem India sepenuhnya. Ini berarti bahwa ada banyak ragam vokal, diftong dan konsonan yang bisa direpresentasikan, yang merupakan keuntungan besar bagi pemahaman historis yang baik mengenai bahasa yang dipakai. Bahasa-bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Sansekerta dan bahasa Austronesia Cam Kuno.
Satu pengecualian dari aturan yang mengatakan bahwa prasasti-prasasti awal ditulis dalam bahasa Sansekerta, adalah inskripsi Dong Yen Chau, yang dianggap sebagai dokumen tertulis tertua dalam sebuah bahasa Austronesia dan sepertinya memang paling tidak satu abad lebih tua daripada dokumen tertua Melayu Kuno, yaitu prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan pulau-pulau sekitarnya. Prasasti Melayu Kuno tersebut merupakan sumber yang paling penting dalam rangka historiografi Nusantara Kuno, seandainya jumlahnya lebih banyak.
Sejarah penelitian epigrafi Campa
Abel Bergaigne adalah pioner dan yang tak terkalahkan untuk prasasti Campa berbahasa Sansekerta dan termasuk generasi pertama. Penelitiannya diterbitkan oleh August Barth pada 1893. Sedangkan studi mengenai prasasti berbahasa Cam Kuno diterbitkan oleh Etienne Aymonier pada 1891. Setelah para peneliti tersebut munculah Finot dan Coedes. Louis Finot (sebagai pendiri EFEO) yang menandatangani hampur seluruh publikasi mengenai prasasti baik dalam bahasa Sansekerta maupun Cam Kuno yang terbit pada dua dekade awal abad ke-20. Adapula Edouard Huber dan Paul Mus. George Coedes dan Henri Parmentier pada 1923 mengeluarkan satu jilid inventaris umum monumen dan prasasti Campa dan Kamboja, serta beberapa penambahan pada terbitan terakhir tahun 1942.
Selanjutnya, penelitian terbaru tahun 2009 yang mencakup mengidentifikasi prasasti yang sudah dan belum diinventariskan. Pertama, dimulai di Hanoi dengan koleksi penting di Museum Sejarah Nasional, kemudian menyusuri pesisir provinsi Quang Nam, Khan Hoa dan Ninh Thuan dan juga berhenti du museum Da Nang dan Kota Ho Chi Minh. Salah satu prasasti yang ditemukan paling penting yaitu prasasti stela yang dikeluarkan untuk memperingati peresmian lingga di menara pusat dari kompleks Candi Hoa Lai. Menara pusat ini sebenarnya sudah roboh pada saat ini, sedangkan dua menara yang sisanya baru saja diperbaiki. Prasasti situs ini memuat angka tahun persis di tahun Saka 700, yang bisa diterjemahkan hari Senin, 4 Juni tahun 778 Masehi (sama dengan dikeluarkannya prasasti Kalasan di Indonesia).
Salah satu alasan yang membuat prasasti tertua dari daerah Phan Rang ini menarik adalah kenyataan bahwa prasasti ini sangat jelas memberikan pernyataan tertua mengenai nama daerah ini. Tidak dalam versi bahasa Cam berbunyi Panrang dan juga tidak dalam versi yang sudah disansekertakan dari bahasa Cam yang banyak dipakai di abad-abad berikutnya, yaitu Panduranga, tetapi dalam bentuk Pandaranga tanpa u. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja yang berkuasa, Satyavarman yang dari masa pemerintahannya telah ditemukan prasasti lain yang memberikan informasi kepada kita bahwa musuh-musuh dari Jawa, apapun kesatuan geografis yang mungkin ditunjukkannya, menyerang Campa.
Kata vanyaaga yang terdapat pada salah satu prasasti yang telah diinventarisasikan oleh Coedes pada 1923, sering kali muncul dalam prasasti Jawa Kuno yang artinya sama dengan niaga, berniaga dan kata lain yang berhubungan. Kenyataan bahwa kami menemukan kata pinjaman India yang sama ini dalam korpus-korpus epigrafis Jawa Kuno dan Campa dan juga dalam teks Melayu Klasik, merupakan bukti yang kuat tentang jaringan perdagangan yang telah menyatukan Nusantara dan tetangga dekatnya sepanjang periode sejarah.
Situs tentang Korpus Prasasti Campa sudah dapat diakses sekarang, kunjungi di:
Corpus of the Inscriptions of Campa
http://pipsqueak.atlantides.org/cic/inscriptions/
Sifat Dasar Korpus
Prasasti-prasasti Campa adalah teks yang diperintahkan untuk dipahatkan oleh penguasa atau anggota lain masyarakat elit Cam, sebagian besar untuk menandakan sebuah peristiwa seperti pembangunan satu patung pemujaan, pemberian sebuah obyek pemujaan atau sumbangan lahan tanah tertentu untuk menjamin pemujaan di salah satu candi. Yang khas adalah isi dokumen-dokumen ini melangkahi batas bidang duniawi dan religius dan penting bagi struktur kronologis kajian peradaban Campa, dokumen ini sangat sering dilengkapi dengan tanggal yang jelas dan nyata. Tanggal-tanggal tersebut berkisar dari abad ke-6 sampai abad ke-15 Masehi.
Kebanyakan teks-teks ini dipahatkan pada batu: dari batu besar alami sampai batu stela yang dipahat dengan sangat terperinci, hingga pilar pintu atau ambang atas yang dipasang pada pintu masuk candi. Ada sejumlah dinding batu bata atau elemen arsitektural terakota yang dipahat dengan aksara. Ada sejumlah kecil benda pemujaan dari logam yang mengandung prasasti, seperti pembawa dupa (seperti yang disebutkan dalam prasastinya, C.206). Khususnya, seperti dalam kasus epigrafi Kamboja, tidak ada lempeng tembaga atau perunggu bertulis, yaitu kelompok sumber epigrafis yang begitu umum dalam epigrafi India dan Jawa-Bali. Permukaan yang dipahat beragam ukirannya, mulai dari beberapa sentimeter persegi (MY SON E1) sampai beberapa meter persegi (C.17). Atau dari satu suku kata sampai puluhan baris.
Aksara yang digunakan adalah turunan dari apa yang disebut aksara brahmi yang berasal dari India masa sebelum Masehi. Pada abad-abad awal, benar-benar tidak dapat dibedakan tulisan yang ditemukan dalam inskripsi yang sezaman dari India Selatan, Kamboja atau Nusantara, akan tetapi menjelang abad ke-12 M, sistem tulisan ini berkembang menjadi baik sangat teratur bahkan cukup membingungkan, dengan tipe aksara yang sangat keriting. Namun demikian, meskipun perubahan-perubahan dalam bentuk huruf dari awal tulisan Campa sampai aksara-aksara yang masih digunakan. Orang Cam masa kini tulisannya tetap menggunakan sistem India sepenuhnya. Ini berarti bahwa ada banyak ragam vokal, diftong dan konsonan yang bisa direpresentasikan, yang merupakan keuntungan besar bagi pemahaman historis yang baik mengenai bahasa yang dipakai. Bahasa-bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Sansekerta dan bahasa Austronesia Cam Kuno.
Satu pengecualian dari aturan yang mengatakan bahwa prasasti-prasasti awal ditulis dalam bahasa Sansekerta, adalah inskripsi Dong Yen Chau, yang dianggap sebagai dokumen tertulis tertua dalam sebuah bahasa Austronesia dan sepertinya memang paling tidak satu abad lebih tua daripada dokumen tertua Melayu Kuno, yaitu prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan pulau-pulau sekitarnya. Prasasti Melayu Kuno tersebut merupakan sumber yang paling penting dalam rangka historiografi Nusantara Kuno, seandainya jumlahnya lebih banyak.
Sejarah penelitian epigrafi Campa
Abel Bergaigne adalah pioner dan yang tak terkalahkan untuk prasasti Campa berbahasa Sansekerta dan termasuk generasi pertama. Penelitiannya diterbitkan oleh August Barth pada 1893. Sedangkan studi mengenai prasasti berbahasa Cam Kuno diterbitkan oleh Etienne Aymonier pada 1891. Setelah para peneliti tersebut munculah Finot dan Coedes. Louis Finot (sebagai pendiri EFEO) yang menandatangani hampur seluruh publikasi mengenai prasasti baik dalam bahasa Sansekerta maupun Cam Kuno yang terbit pada dua dekade awal abad ke-20. Adapula Edouard Huber dan Paul Mus. George Coedes dan Henri Parmentier pada 1923 mengeluarkan satu jilid inventaris umum monumen dan prasasti Campa dan Kamboja, serta beberapa penambahan pada terbitan terakhir tahun 1942.
Selanjutnya, penelitian terbaru tahun 2009 yang mencakup mengidentifikasi prasasti yang sudah dan belum diinventariskan. Pertama, dimulai di Hanoi dengan koleksi penting di Museum Sejarah Nasional, kemudian menyusuri pesisir provinsi Quang Nam, Khan Hoa dan Ninh Thuan dan juga berhenti du museum Da Nang dan Kota Ho Chi Minh. Salah satu prasasti yang ditemukan paling penting yaitu prasasti stela yang dikeluarkan untuk memperingati peresmian lingga di menara pusat dari kompleks Candi Hoa Lai. Menara pusat ini sebenarnya sudah roboh pada saat ini, sedangkan dua menara yang sisanya baru saja diperbaiki. Prasasti situs ini memuat angka tahun persis di tahun Saka 700, yang bisa diterjemahkan hari Senin, 4 Juni tahun 778 Masehi (sama dengan dikeluarkannya prasasti Kalasan di Indonesia).
Salah satu alasan yang membuat prasasti tertua dari daerah Phan Rang ini menarik adalah kenyataan bahwa prasasti ini sangat jelas memberikan pernyataan tertua mengenai nama daerah ini. Tidak dalam versi bahasa Cam berbunyi Panrang dan juga tidak dalam versi yang sudah disansekertakan dari bahasa Cam yang banyak dipakai di abad-abad berikutnya, yaitu Panduranga, tetapi dalam bentuk Pandaranga tanpa u. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja yang berkuasa, Satyavarman yang dari masa pemerintahannya telah ditemukan prasasti lain yang memberikan informasi kepada kita bahwa musuh-musuh dari Jawa, apapun kesatuan geografis yang mungkin ditunjukkannya, menyerang Campa.
Kata vanyaaga yang terdapat pada salah satu prasasti yang telah diinventarisasikan oleh Coedes pada 1923, sering kali muncul dalam prasasti Jawa Kuno yang artinya sama dengan niaga, berniaga dan kata lain yang berhubungan. Kenyataan bahwa kami menemukan kata pinjaman India yang sama ini dalam korpus-korpus epigrafis Jawa Kuno dan Campa dan juga dalam teks Melayu Klasik, merupakan bukti yang kuat tentang jaringan perdagangan yang telah menyatukan Nusantara dan tetangga dekatnya sepanjang periode sejarah.
Situs tentang Korpus Prasasti Campa sudah dapat diakses sekarang, kunjungi di:
Corpus of the Inscriptions of Campa
http://pipsqueak.atlantides.org/cic/inscriptions/
Jumat, 11 Oktober 2013
List of Kings of Campā (Daftar Raja-Raja Campā)
List of
Kings of Campā
(Daftar
Raja-Raja Campā)
First Dynasty
ca.270 : Phạm Hung
?-336 :
Phạm Dât
Second Dynasty
336-349 : Phạm Văn
349-? : Phạm Phât
ca.399-ca.413 : Phạm Hodat
before 399-ca.413 : Phạm Tu-Dât (Bhadravarman
I)
ca.413-415 : Dich Cho’n
Third Dynasty (Capital:
Campāpura)
4221-446 : Phạm Duong Mai
ca.446-ca.454 : n.n
ca.454-ca.480 : Phạm Than Thánh
ca.480-ca.491 : Phạm Dang Tnánh
ca.492-500 : Pham Chu Nong
ca.502 : Pham Van Ton
ca. 510-ca.514 : Pham Thiên Kuoi (Devavarman)
526/27-529 : Cao Thuc (Vijayavarman)
Fourth Dynasty
(Capital: Siṃhapura)
529-580 : Rudravarman (Cao-thuc)
ca.580-629 : Śambhuvarman (Phạm Phan Chi)
ca. 629-after 640 : Kandarpadharma (Phạm Dau Le)
after 640-645 : Prabhāsadharma (Fan Zhenlong)
645-646 : Bhadreśvavarman
646-647 : f.
647-653 : Bhadreśvaravarman II
653-after 687 : Prakāśadharman Vikrāntavarman I
after 687-after
700 : Naravāhanavarman
before 713-after
730 : Vikrāntavarman II
before 749-757 : Rudravarman II
Fifth Dynasty
(Capital: Vīrapura, later Kauṭhāra)
before 758-after
770 : Pṛthivīndravarman
ca.774-after 785 : Satyavarman
after 787-820 : Indravarman I
ca. 820-854 : Harivarman I
ca. 854-875 : Vikrāntavarman III
Sixth Dynasty
(Capital: Indrapura)
ca. 875-898 : Indravarman II
ca. 898-after 903 : Jaya Siṃhavarman I
ca. 903 : Jaya Śaktivarman
ca. 906-after 910 : Bhadravarman II
before 918-959 : Indravarman III
ca.960-971 : Jaya Indravarman I
ca.971-982 :
Parameśvaravarman
982-983 : Indravarman IV
983-986 : Lu’u Ky Tông
ca.988 : Indravarman V
Seventh Dynasty
(Capital: Indrapura, Vijaya)
989-998 : Harivarman II
998-1007 : Yan Po Ku Vijaya
1007-after 1015 : Harivarman III
before 1018-after 1020 : Parameśvaravarman II
before 1030-1041 : Vikrāntavarman IV
1041-1044 : Jaya Siṃhavarman II
Eight Dynasty
(Capital: Vijaya)
1044-1060 : Jaya Parameśvaravarman I
1060-1061 : Bhadravarman III
1061-1074 : Rudravarman III
Ninth Dynasty
(Capital: Vijaya)
1074-1080 : Harivarman IV
1080 : Jaya Indravarman
II
1081-1086 : Paramabodhisatva
1086-1113 : Jaya Indravarman II
1113-1139 : Harivarman V
Tenth Dynasty
1139-1145 : Jaya Indravarman III
1145-1149 : Occupied by Khmer Empire
1148-1149 : Harideva
Eleventh Dynasty
1149-1166/67 : Jaya Harivarman I
1166/67 : Jaya Harivarman II
1167-after 1185 : Jaya Indravarman IV
before 1190-1191 : Jaya Indravarman V
1191 : conquest by Khmer
Empire
1191-1192 : Sūryajayavarmadeva
1192 : Jaya
Indravarmadeva Raṣupati
1192-1203 : Sūryajayavarmadeva, prince
Vidyānanda
1203-1220 : Dhanapatigrāma
1220-1252 : Jaya Parameśvaravarman VI
1257-after 1285 : Jaya Siṃhavarman II,
Indravarman V
1283-1285 : Occupation of Mongol
before 1288-1307 : Jaya Siṃhavarman III
1307-1311 : Mahendravarman
1311-1318 : Jaya Siṃhavarman IV
Twelfth Dynasty
(Capital: Vijaya)
1318-1342 : Chê A-nan
1342-1360 : Tra Hoa
ca.1360-1390 : Chê Bông Nga
Thirteenth Dynasty
(Capital: Vijaya)
1390-1400 : Jaya Siṃhavarman IV
1400-1441 : Brsu Viṣṇujāṭṭi Vīra
Bhadravarman Indravarman VI
1441-1446 : Mahā Bi-cai
1446-1449 : Mahā Qui-lai
1449-1457/58 : Mahā Qui-do
Fourteenth Dynasty
(Capital: Vijaya)
1458-1460 : Mahā Ban-la Tra-Nguyêt
1460-1471 : Mahā Ban-la Tra-toan
1471 : Conquered by Annam
Karl-Heinz Golzio
(Ed.),2004
Inscriptions of
Campā, German:Shaker Verlag
Senin, 15 Juli 2013
STEMPEL DAN CAP; FUNGSI DAN SEJARAHNYA
Trigangga
Arkeologi
atau widyapurba adalah ilmu yang berupaya merekonstruksi kehidupan manusia masa
lalu berdasarkan artefak-artefak yang ditinggalkannya. Artefak-artefak yang
berasal dari periode prasejarah sampai periode sejarah ini diteliti oleh para
ahli arkeologi dan sejarah. Beberapa di antaranya diteliti secara khusus
menjadi ilmu-lmu bantu dalam arkeologi juga ilmu-ilmu dasar sejarah. Seperti iconography (= ilmu mengenai arca-arca);
epigraphy (= lmu mengenai
tulisan-tulisan pada batu, logam, dan bahan-bahan keras lain); numismatic (= ilmu mengenai mata uang); heraldry (= ilmu mengenai lambang-lambang
dan maknanya), dan lain-lain.
Stempel,
cap, dan meterai, sebenarnya ketiga kata itu merupakan sinonim. Tetapi, pada
kenyataannya kata-kata itu ada sedikit perbedaan. Stempel berasal dari bahasa
Belanda, stempel, adalah benda atau
alat yang permukaannya berukir gambar, tulisan atau keduanya yang dapat
menghasilkan cap. Cap, dari bahasa Hindi, capa
(A. Hassan 1949:54) ditafsirkan sebagai hasil cetakan gambar, tulisan, atau
keduanya pada suatu benda. Sedangkan meterai dari bahasa Tamil, muttirai (A. Hassan 1949:30). Pengertiannya
hampir sama dengan cap tetapi dalam kenyataan sehari-hari orang cenderung
menafsirkan sebagai benda semacam perangko yang dibubuhkan pada kertas-kertas
berharga seperti kuitansi, ijasah, surat perjanjian, dan lain-lain.
Stempel
Stempel dan cap adalah dua benda
yang berhubungan erat. Kalau stempel adalah bagian “negatip”, maka cap adalah
bagian “positip”. Sebagaimana telah disebutkan, stempel adalah alat yang
permukaannya berukir gambar, tulisan atau keduanya yang dapat menghasilkan cap.
Ada hal yang perlu diperhatikan jika stempel dibuat, yaitu ukiran pada
permukaannya harus dibuat terbalik agar dihasilkan cap sesuai keinginan. Cara
seperti itu terutama berlaku pada gambar dan tulisan yang tidak simetris. Jika
ukiran gambar dan tulisan itu simetris (misalnya huruf-huruf A, M, T, V, dan
sebagainya) maka hal itu tidak menjadi soal karena cap akan memperlihatkan
gambar dan tulisan yang sama seperti ukiran pada stempel. Jadi, itulah
perbedaan pokok antara.stempel dan cap.
Stempel umumnya dibuat dari
bahan-bahan yang keras. Misalnya dari logam atau batu semi permata. Bahan lain
yang elastik misalnya karet dapat juga digunakan. Bentuk permukaan stempel
umumnya bundar atau lonjong, tetapi ada juga yang segi empat panjang, bujur
sangkar, segi delapan, dan lain-lain.
Model stempel yang dikenal selama
ini ada dua macam. “Stempel genggam” dan “stempel cincin”. Stempel genggam
adalah stempel yang gagangnya biasa dipegang dengan kelima jari. Model ini
sangat umum dijumpai sejak dulu sampai sekarang. Sedangkan stempel cincin (signet ring) adalah stempel berupa
cincin. Biasanya dikenakan pada jari tengah atau jari manis. Model ini mungkin
tidak dijumpai lagi pada masa sekarang. Dulu digunakan oleh raja-raja atau
pejabat-pejabat tinggi kerajaan sekaligus menjadi perhiasan. Oleh sebab itu
tidak mengherankan kalau stempel cincin umumnya dibuat dari emas dengan atau
tanpa batu semi permata.
Cap
Sebagaimana
telah disebutkan cap adalah hasil cetakan gambar, tulisan, atau keduanya pada
suatu benda. Tetapi, tidak semua yang dihasilkan dengan cara mencetak disebut
cap. Pengertian cap terbatas sebagai tanda keabsahan sebuah dokumen.
Dari hasil pengamatan dapat
diketahui cara orang membuat cap; [a] ditekan
: permukaan stempel yang berukir ditekan dengan tangan pada bahan-bahan lunak
seperti lak, tanah liat, lilin (beeswax).
Bahan-bahan untuk cap ini sudah digunakan lama sejak awal abad ke-1 Masehi, dan
mulai jarang digunakan hingga abad ke-19. Selain bahan-bahan lunak tersebut orang
juga menggunakan bahan cair (tinta) untuk membuat cap, ini yang sangat umum
digunakan pada masa sekarang. Cap yang dihasilkan dari bahan itu lazimnya
dikenakan pada lembaran kertas; [b] ditempa: biasanya ini dikenakan pada bahan
yang keras yaitu logam. Caranya stempel dihantam dengan palu sampai membekas
pada kepingan logam (misalnya uang logam) dan menghasilkan sebuah cap; [c]
selain kedua cara di atas, mungkin orang juga pernah membuat cap tanpa
memerlukan stempel. Cara yang dimaksud adalah dengan memahat atau mengukir pada
batu atau menggores pada logam. Contoh mengenai cap yang dibuat dengan cara ini
akan diterangkan lebih lanjut.
Fungsi Stempel/Cap
Stempel/cap adalah bentuk simbolis
yang mewakili kehadiran seseorang (contohnya raja) atau kelompok (contohnya
lembaga-lembaga pemerintah). Jika kedua pihak mengadakan perjanjian biasanya
ada bukti berupa pernyataan tertulis yang isinya disepakati bersama. Agar isi
perjanjian itu menjadi sah maka masing-masing pihak diminta membubuhkan “tanda
pengenal” berupa tanda tangan atau cap, atau dapat juga keduanya (tidak jarang
meterai juga digunakan untuk keperluan ini). Dengan demikian pihak-pihak yang
telah membubuhkan tanda pengenal sepakat untuk memberlakukan isi perjanjian
itu. Apabila salah satu pihak di kemudian hari melanggar isi perjanjian, yang
bersangkutan dapat diajukan tuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Jelaslah, tanpa kehadiran stempel/cap
di samping tanda tangan dari satu atau semua pihak yang bersangkutan perjanjian
atau dokumen-dokumen penting lainnya dianggap tidak sah dan isinya tidak dapat
diberlakukan atau dipertanggungjawabkan.
Selain itu cap digunakan untuk
memberikan jaminan atau keutuhan barang, misalnya cap (lebih sering disebut
“segel”) pada lipatan amplop berisi dokumen penting atau rahasia. Jika segel
(dengan sengaja) dirusak berarti barang itu telah diketahui isinya/digunakan.
Manfaat Pengetahuan Sigilografi
Sigilografi tidak hanya pengetahuan
mengenai bentuk fisik dan usia sebuah stempel. Melainkan juga mempelajari isi
dokumen-dokumen yang dibubuhi cap dan meterai. Sebagaimana telah disebutkan
bahwa stempel/cap adalah bentuk simbolis yang mewakili kehadiran seseorang atau
kelompok. Stempel/cap yang dibuat oleh perseorangan atau kelompok tentu
mempunyai ciri tersendiri yang dapat dibedakan. Oleh sebab itu, penelitian atas
bentuk fisik benda-benda tersebut dapat mengungkapkan siapa pemiliknya.
Demikian juga penelitian atas isi dokumen yang dibubuhi cap/meterai dapat
mengungkapkan apakah dokumen-dokumen itu asli atau palsu.
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak
pernah lepas dari peranan stempel/cap. Untuk mengurus akte kelahiran, ijazah,
sertifikat tanah, dan lain-lain kita memerlukan cap di samping tanda tangan.
Tanpa pembubuhan cap dan/atau tanda tangan dokumen-dokumen itu belum sah.
Begitu pentingnya arti sebuah cap dan tanda tangan sampai orang berani
melakukan perbuatan tidak terpuji yaitu manipulasi dokumen-dokumen penting
dengan cara memalsukan cap dan tanda tangan untuk memperoleh fasilitas atau memperkaya
diri. Oleh karena fungsi cap sudah lama dikenal sejak abad ke-11 Masehi kasus
penyalahgunaan seperti itu tentu pernah terjadi.
Dahulu sebelum orang menerima tanda
tangan sebagai bukti pengesahan sebuah dokumen orang hanya mengenal stempel/cap
untuk maksud tersebut. Bukti bahwa bangsa Indonesia sejak abad ke-11 sudah
mengenal kegunaan stempel/cap dapat ditelusuri dalam sumber-sumber tertulis.
Dalam catatan sejarah Dinasti Song (906 – 1279) yang
mencatat keadaan masyarakat Indonesia kuno, salah satu uraian menyatakan:
“…mereka menulis dalam huruf Sanskrit dan raja mengenakan cincinnya sebagai stempel
juga; mereka pun tahu huruf China dan kalau mengirim surat beserta upeti mereka
menggunakan stempel cincin dalam huruf-huruf tersebut…” (Groeneveldt 1876:62-63).
Dari uraian tadi jelas bahwa stempel sudah digunakan untuk mengesahkan
surat-surat diplomatik pada waktu itu.
Berita China di
atas menyebut stempel cincin (signet ring)
yang dikenakan oleh raja. Stempel cincin itu tentunya berhias tulisan yang
dibuat terbalik. Contoh mengenai ini dapat dilihat di Museum Nasional Jakarta. Di
sini tersimpan koleksi stempel cincin sekitar 15 buah. Benda-benda ini
bertulisan aksara Jawa Kuno yang dibuat terbalik, sebagian besar berbunyi “śrīhana”. Ditinjau dari sudut paleografi
cincin-cincin stempel ini dibuat sekitar abad ke-12 – 13 M.
Sekarang, bagaimana menemukan bukti
sebuah cap pada abad-abad yang lebih awal? Tampaknya usaha ini tidak mudah
mengingat cap umumnya dibuat dari bahan yang rapuh dan mudah hilang. Cap
sebagai tanda pengesahan keberadaannya harus dicari pada sebuah dokumen.
Masalahnya tidak semua dokumen yang dibubuhi cap mampu bertahan mengarungi
perjalanan waktu dari masa ke masa. Kebanyakan dokumen dari bahan yang rapuh
sudah lebih dulu hancur ditelan zaman. Sedikit sekali dokumen yang kondisinya
awet sampai sekarang. Dokumen yang dimaksud adalah prasasti dari batu dan
logam.
Prasasti adalah suatu keputusan
resmi yang umumnya dikeluarkan oleh raja atau pejabat tinggi kerajaan, berisi
anugerah, hak dan kewajiban yang dikukuhkan dengan berbagai upacara (Trigangga
1989/1990:31). Agar keputusan resmi ini sah dan dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis maka kehadiran cap sangat diperlukan. Kebutuhan akan cap untuk
maksud tersebut sudah membudaya sejak abad ke-11. Pada abad itu banyak prasasti
berisi keputusan raja yang dibubuhi cap kerajaan. Maksudnya untuk melindungi
hak-hak penerima anugerah dari segala tuntutan yang mungkin terjadi di kemudian
hari. Sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak abad-abad sebelumnya, tetapi sayang
dokumen-dokumen yang sampai ke tangan kita berupa prasasti-prasasti tinulad, yaitu prasasti-prasasti yang
disalin kembali pada zaman kemudian, isinya kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, boleh dikatakan Raja Airlanggalah yang pertama kali “menanamkan kebiasan”
membuat dokumen (prasasti) dengan cap kerajaan, yang kemudian diikuti oleh
penerusnya dari kerajaan-kerajaan Janggala dan Panjalu (Kadiri).
Petunjuk tentang adanya sebuah cap pada sebuah
prasasti dinyatakan dengan istilah tinanda,
artinya “bertanda” atau “ditandai” atau “diberi cap”. Sayangnya sebagian besar
prasasti, khususnya prasasti logam (tāmra
praśāsti), dibubuhi cap dalam ungkapan tulisan sehingga bentuk nyata dari
cap itu tidak diketahui pasti. Contohnya prasasti Tuhanyaru tahun 1245 Saka
atau 1323 M yang diberi cap “dua ekor ikan” (tinanda mīnadwaya). Di sini kita tidak tahu bagaimana wujud
nyata cap “dua ekor ikan” itu, apakah
ikan-ikan itu dalam posisi berjajar kepala dengan
kepala atau kepala dengan ekor? Hanya ada beberapa prasasti yang dibubuhi cap
dalam bentuk nyata, dipahatkan pada batu berupa relief di atas tulisan.
Cap pada batu
memang tidak menggunakan stempel mengingat bahan itu tidak memungkinkan untuk
dibuatkan cap dengan cara ditekan atau ditempa seperti kita membuat cap pada
selembar kertas atau sekeping logam. Caranya tentu saja harus diukir dengan
menggunakan pahat hingga membentuk relief yang diinginkan.
Sebuah contoh prasasti yang dibubuhi
cap dalam wujud nyata adalah prasasti Baru tahun 952 Saka atau 1030 M
(Brandes-Krom 1913: OJO, LX).
Prasasti dari masa pemerintahan Raja Airlangga ini isinya berkenaan dengan
anugerah raja kepada penduduk Desa Baru. Sebab, prasasti itu dikeluarkan begini:
pada waktu itu Raja Airlangga dan segenap pasukannya dalam perjalanan memerangi
musuh-musuhnya, salah satunya raja di Hasin. Di Desa Baru raja dan segenap
pasukannya menginap. Pada malam hari raja mengucapkan janji di hadapan para
pejabat Desa Baru dan segenap warganya. Apabila beliau memperoleh kemenangan
dalam pertempuran dan berhasil menguasai musuhnya dari Hasin, kemudian
menyatukan seluruh wilayah kerajaan, maka Desa Baru akan dijadikan desa
perdikan dengan segala hak yang dapat dinikmati warganya. Mendengar itu semua
warga Desa Baru serentak mendukung perjuangan Raja Airlangga untuk memerangi
musuhnya. Ketika perang usai dan kemenangan berhasil diraih Raja Airlangga,
dinasehatilah baginda oleh para penasehat kerajaan agar menepati janjinya,
jangan sampai baginda dikatakan sebagai raja yang ingkar janji, apalagi para
pejabat Desa Baru sudah “menagih janji”, memohon turunnya anugerah raja agar
dinikmati mereka sampai ke anak cucu selama-lamanya. Raja Airlangga sebagai
seorang ksatria yang pantang melanggar dharmanya (dalam ajaran Hindu) tentu
saja mengindahkan nasehat dan permohonan itu. Akhirnya turunlah anugerah raja
kepada warga Desa Baru berupa prasasti perunggu berisi perintah raja yang
dibubuhi cap garudamukha. Isi
perintah raja itu intinya adalah beberapa hak dan kewajiban yang dilimpahkan
kepada penduduk Desa Baru.
Jadi, prasasti Baru dapat dikatakan
sebuah dokumen perjanjian, yaitu perjanjian antara raja dan rakyat. Raja memberikan
anugerah berupa status perdikan bagi Desa Baru dengan segala hak istimewa yang
dapat dinikmati penduduk Desa Baru, sedangkan rakyat punya kewajiban mentaati
isi perintah raja mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku di desa perdikan
itu. Agar isi dokumen perjanjian itu sah dan punya kekuatan hukum maka perlu
dibubuhi cap, dalam hal ini adalah cap kerajaan berupa garudamukha. Sanksi bagi siapa yang melanggar semua ketentuan yang
berlaku tadi akan terkena denda berupa sejumlah uang emas, juga karena dosanya
itu bakal menerima hukuman di dunia dan akhirat (lewat kutukan-kutukan yang
tertulis di prasasti itu juga).
Apabila raja memberi anugerah,
dokumen yang memuat anugerah itu dibuat dalam dua atau tiga rangkap. Dokumen
asli, basanya prasasti batu didirikan dekat tempat yang menerima anugerah.
Salinan-salinannya, dapat berupa prasasti logam (tāmra) atau prasasti lontar (ripta)
disimpan oleh orang yang berkepentingan, dan yang lain disimpan dalam keraton
sebagai arsip. Pada contoh prasasti Baru ini, prasasti dari batu yang sekarang
disimpan di Museum Nasional Jakarta adalah dokumen asli, sedang “tembusan”
berupa prasasti perunggu diberikan kepada penduduk desa Baru untuk disimpan
sebagai pegangan, tetapi sayang hingga saat ini belum ditemukan kembali.
Selama bukti anugerah dari raja itu
masih ada, hak-hak mereka akan tetap diakui atau dihormati orang lain. Bahkan
oleh raja-raja yang memerintah di masa yang akan datang. Mengenai hal ini ada
satu contoh yaitu Prasasti Talan tahun 1058 Saka atau 1136 M (Brandes-Krom
1913: OJO, LXX dan Suhadi 1983:
899-914). Prasasti dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya ini isinya mengenai
permohonan rakyat Desa Talan kepada raja. Disebutkan bahwa warga desa Talan
menyimpan sebuah prasasti lontar (ripta),
mungkin “tembusan” yang diterima dari Raja Airlangga 96 tahun sebelumnya.
Prasasti lontar ini, karena kondisinya sudah rapuh, isinya perlu diselamatkan.
Khawatir kalau hak-hak mereka juga hilang, mereka datang ke istana Raja
Jayabhaya mengajukan permohonan. Melalui seorang perantara mereka mengutarakan
maksudnya; memohon agar isi prasasti lontar itu dipindahkan dan dikukuhkan
dalam prasasti batu (linggopala). Raja
Jayabhaya setelah mendengar dan melihat bukti anugerah Raja Airlangga yang
dibubuhi cap garudamukha, langsung mengabulkan
permohonan itu. Maka dipindahkanlah isi anugerah Raja Airlangga ke dalam
prasasti batu, bahkan Raja Jayabhaya menambahkan anugerah lain kepada warga Desa
Talan. Perlu diketahui bahwa cap kerajaan Raja Jayabhaya adalah narasingha.
Penyimpangan atau pemalsuan isi
dokumen, disadari atau tidak, sudah ada pada zaman dahulu. Oleh karena prasasti
memuat hak-hak yang amat diinginkan orang, kerap kali isinya disalin atau
ditiru secara tidak benar. Prasasti demikian disebut prasasti tinulad, biasanya disalin sekian ratus
tahun setelah prasasti aslinya dalam keadaan rusak atau hilang. Dalam prasasti tinulad kerapkali memuat penambahan
anugerah asli; apa yang tidak tercantum dalam prasasti yang asli lalu
ditambahkan dalam prasasti yang hendak disalin. Belum lagi kekeliruan dalam
menyalin tanggal, nama orang, atau sesuatu yang anakronistik.
Bagi orang-orang zaman dahulu
mungkin sulit membedakan prasasti yang asli dengan yang tiruan/palsu. Tetapi,
bagi ahli epigrafi yang meneliti secara kritis semua isi dokumen dari batu dan
logam dapat mengetahui keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam prasasti
tiruan. Prasasti Watukura contohnya, adalah sebuah prasasti Raja Balitung
bertarikh 824 Saka atau 902 M yang disalin dalam tahun 1270 Saka atau 1348 M
(van Naerssen 1941). Satu hal yang menarik di sini adalah penggunaan cap
kerajaan jalasamuha atau
“samudra/lautan” oleh Raja Balitung, padahal prasasti-prasasti yang dikeluarkan
pada zamannya tidak satu pun dibubuhi cap kerajaan tersebut. Dengan demikian
isi prasasti Raja Balitung yang disalin itu keasliannya diragukan.
Pada masa kolonial (abad ke-16 – 20)
cap banyak dibubuhkan pada dokumen-dokumen perjanjian di atas kertas. Pada masa
itu juga tanda tangan sudah mulai umum digunakan sebagai bukti keabsahan sebuah
dokumen. Tetapi, tanpa dibubuhi cap rasanya belum cukup. Pada masa kesultanan
Banten contohnya, penggunaan tanda tangan untuk maksud tersebut belum umum.
Kalau pun ada namun belum digunakan secara luas oleh pejabat-pejabat
kesultanan. Kompeni Belanda (VOC) pernah memanfaatkan kekurangpahaman para
penguasa lokal di Indonesia dalam membubuhkan cap atau meterai pada setiap
perjanjian untuk meruntuhkan kekuasaan setempat. Oleh karena itu, timbul dugaan
bahwa pertumbuhan kekuasaan VOC di Pulau Jawa lebih merupakan hasil-hasil
perjanjian daripada sebagai akibat penaklukan kekuasaan politik Jawa (Eri
Sudewo 1985:20; 98).
Lain daripada itu cap juga
dibutuhkan dalam dunia moneter (keuangan). Bagi
seorang numismatis (ahli tentang mata uang) sudah tidak asing lagi
melihat uang-uang lama, baik uang ketas maupun uang logam, yang dibubuhi cap.
Pembubuhan cap pada mata uang ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah yang
mengedarkan uang pada waktu itu. Kerap kali dijumpai uang-uang yang tidak
berlaku lagi atau mata uang asing, karena suatu alasan tertentu dibubuhi cap
oleh penguasa atau pemerintah agar diterima sebagai alat tukar yang sah dalam
masyarakat. Contohnya seperti yang pernah dilakukan oleh penguasa di Kesultanan
Sumenep (Madura) terhadap uang-uang Spanyol dan Belanda. Mata uang dari perak
itu dibubuhi cap Kesultanan Sumenep, dan diberlakukan sebagai alat tukar yang
sah di wilayahnya.
Demikianlah sumbangan sigilografi
bagi ilmu sejarah dan arkeologi, yang khusus menelaah obyek berupa stempel/cap/meterai.
Fungsi obyek penelitian sigilografi dari dulu sampai sekarang tetap sama, yaitu
sebagai tanda pengesahan. Seperti sekarang ini, dalam dunia perkantoran benda
yang namanya stempel/cap/meterai itu harus ada. Semua lembaga pemerintah dan
swasta pasti memiliki stempel/cap sendiri. Tanpa benda tersebut segala urusan
lewat surat menyurat seperti surat
dinas, surat keputusan surat
edaran, surat kontrak, surat perjanjian dan lain-lain tidak dapat
diberlakukan atau dipertanggungjawabkan isinya.
Referensi
Boechari, Prasasti Koleksi
Museum Nasional (Jilid I). Jakarta :
Proyek Pengembangan Museum
Nasional, 1985.
Brandes, JLA. Oud-Javaansche
Oorkonden: Nagelaten Transscripties van Wijlen JLA Brandes, uitgegeven door Dr.
N.J Krom, VBG, LX., 1913
Eri Sudewo, Meterai
Kesultanan Banten dan belanda; Sebuah Penelitian Pendahuluan pada
Dokumen-dokumen Perjanjian, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (Skripsi Sarjana) Fakultas Sastra
Universitas Indonesia , Jakarta , 1985.
Groeneveldt, WP. Historical
Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, VBG, XXXIX, 1876, hal. 1-220.
Hassan, A. Qamoes
Persamaan Indonesia – India . Malang : Indian League |
Bangil: Persatoean, 1949.
Naerssen, FH van,. Oudjavaansche Oorkonden in Duitsche en Deensche Verzamelingen
(Disertasi). Leiden ,
1941.
Notosusanto, Nugroho. Hubungan Erat antara Disiplin Archeologi dan Disiplin Sedjarah, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia ,
1963 (1) no.1 hal. 59-64.
Poerwadarminta, WJS (dkk). Kamus Latin-Indonesia. Semarang :
Penerbit Jajasan Kanisius, 1969.
Suhadi, Machi. Desa
Perdikan Tawangsari di Tulungagung. Pertemuan
Ilmiah Arkeologi III. Jakarta :
Proyek penelitian Purbakala, Depdikbud, 1985, hal. 899 – 914.
Trigangga, Heraldika
Indonesia :
Dari Garudamukha ke Garuda Pancasila, Museografia,
XIX no.1. Jakarta :
Direktorat Permuseuman, Depdikbud, 1989/1990, hal. 29-40.
(anonym). “Sigillography”, The New Encyclopaedia Britannica, vol.16 (15th edition).
Encyclopaedia Britannica, Inc., 1983.
(anonym). “Seal”, The
Encyclopaedia Americana, vol.24. USA : Americana Corporation, 1964.
[1] Dalam istilah lain, ilmu pengetahuan mengenai
setempel/cap/meterai juga disebut sphragistic.
Langganan:
Postingan (Atom)