DUA DINASTI DI
KERAJAAN MATARĀM KUNA:
Tinjauan
prasasti Kalasan
Oleh : Prof. Dr.
Hariani Santiko
(Makalah dipublikasikan dalam acara Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012)
(Makalah dipublikasikan dalam acara Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012)
PENDAHULUAN
Penelitian arkeologi mengenai kerajaan
Matarām Hindu (Matarām Kuna) sangatlah menarik, tidak saja mengenai tinggalan
arkeologi berupa sarana ritual yang secara umum disebut candi sangat berlimpah,
tetapi juga tentang tokoh-tokoh sejarah yang bertanggung jawab akan kehadiran
sarana ritual keagamaan tersebut. Candi-candi dari wilayah Jawa Tengah ini
mempunyai gaya arsitektural yang sangat unik, yang memperlihatkan kemahiran si
seniman (śilpin) dalam usahanya menuangkan pengalaman dengan Tuhannya
kedalam karya seni yang indah dan megah, sehingga orang-orang Belanda yang
datang ke Jawa pada abad ke-18, sangat mengagumi karya seni keagamaan tersebut.
Karya seni keagamaan itu mereka sebut kesenian Klasik, karena mengingatkan
mereka pada kesenian Romawi dan Yunani yang dikenal sebagai “Classical Pariod”.
Di samping itu candi-candi tersebut
masih dikelompokkan berdasarkan gaya arsitektural dan latar belakang
keagamaannya. Kelompok candi-candi tipe utara, bersifat agama Siwa, misalnya
candi Dieng, Gedongsanga, Prambanan, dan candi-candi tipe selatan yang berlatar
belakang agama Buddha, misalnya candi Kalasan, Sari, Plaosan dan lain-lain.
Penelitian mengenai tokoh-tokoh yang
terkait dengan bangunan-bangunan suci tersebut telah banyak dilakukan dengan
memakai data sumber tertulis khususnya prasasti, di antaranya prasasti Tuk Mas,
prasasti Canggal (654 Saka/732 Masehi), prasasti Kalasan (700 Saka/778 Masehi),
prasasti Kelurak (704 Saka/782 Masehi) dan sebagainya, serta berita-berita
Cina.
KERAJAAN MATARĀM KUNA
Nama kerajaan tertua yang disebut dalam
sumber prasasti di wilayah Jawa Tengah adalah kerajaan Matarām1) yang lebih
dikenal sebagai kerajaan Matarām Kuna untuk membedakan dengan kerajaan Mataram
Islam, dengan rajanya bernama Sanjaya. Prasasti tersebut adalah prasasti
Canggal (654 Saka/732 Masehi), yang ditemukan di halaman percandian di atas
gunung Wukir di Kecamatan Salam, Magelang. Prasasti Canggal memakai huruf
Pallawa, berbahasa Sansekerta, dan membicarakan raja Sanjaya yang beragama
Siwa, yang mendirikan sebuah linga di bukit Sthīranga. Selain prasasti
Canggal, nama Sanjaya disebut di prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh Rakai
Watukura dyah Balitung tahun 907 Masehi. Dalam prasasti Mantyasih terdapat
daftar nama raja-raja yang memerintah di Medang (rahyangta rumuhun ri mdang
ri poh pitu). Dalam daftar tersebut Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya disebut
pertama, yang kemudian diikuti oleh sederetan nama raja yang bergelar Śri Mahārāja
(Soemadio II, 1993:100 dst.).
Rakai
Matarām Sang Ratu Sanjaya dianggap sebagai pendiri dinasti Sanjaya ( Sanjayavamśa) yang berkuasa di kerajaan
Matarām. Namun penelitian yang merekonstruksi jalannya sejarah Matarām kuna,
telah menghasilkan nama Śailendravamśa di samping Sanjayawamśa. Śailendrawamśa
ditemui dalam beberapa prasasti, antara lain dalam prasasti Kalasan (700
Saka/778 Masehi), prasasti Kalurak (704 Saka/782 Masehi), prasasti
Abhayagiriwihara dari bukit Ratu Baka (714 Saka/792 Masehi), prasasti
Kayumwungan (824 Masehi), dan sebagainya.
Berita
prasasti sangatlah penting untuk penelitian arkeologi, namun banyaknya jumlah
prasasti tidak menjamin dapat mengungkapkan data yang kita harapkan untuk
diketahui. Misalnya perihal kerajaan Matarām Kuna masih banyak masalah yang
belum terungkap:
1. Siapakan pendiri
Sanjayavamśa dan siapakah pendiri Śailendrawamśa?
2. Ada berapa wangsakah
di wilayah Jawa Tengah periode Matarām Kuna?
3.
Benarkan raja kedua dalam daftar prasasti Mantyasih yaitu Śri Mahārāja
Panangkaran berganti agama, yang semula beragama Siwa beralih memeluk agama
Buddha Mahayana?
Dalam makalah ini tidak akan dibicarakan
lagi pendapat-pendapat tersebut, kecuali pendapat Boechari, yang mengemukakan
hanya ada satu dinasti di Matarām Kuna, karena Rakai Panangkaran lengkapnya
Rakai Panangkaran Dyah Śankhara Śri Sangramadhananjaya, adalah anak Sanjaya
yang berganti agama dari agama Siwa ke agama Buddha Mahayana. Pendapat Boechari
ini berdasarkan pembacaannya pada sebuah prasasti yang dipahat di atas batu dan
di jadikan koleksi Bapak Adam Malik. Prasasti berbahasa Sansekerta ini bagian
atas rusak sehingga tidak ada nama prasasti atau pun angka tahunnya. Boechari
memberi nama prasasti Śankhara, sesuai dengan nama anak raja pada
prasasti tersebut, dan usia prasasti diperkirakan antara prasasti Canggal dan
prasasti Hampran (750 Masehi) (Soemadio II 1993:102-103). Prasasti Śankhara
pernah di transkripsi dan diterjemahkan oleh Boechari, tetapi belum
diterbitkan.2)
Secara
garis besar prasasti Śankhara membicarakan ayah Śankhara yang, sangat patuh
kepada gurunya. memberi “emas yang enam” kepada Śankhara dengan sebuah janji
(?) yang harus dipenuhi. Kemudian ayah Śankhara jatuh sakit selama 8 hari kemudian
meninggal.Melihat keadaan itu, Śankhara menjadi takut pada “guru yang tidak
benar” lalu meninggalkan agama Siwa dan memeluk agama Buddha Mahayana.
Menurut
Boechari, ayah Śankhara adalah raja Sanjaya, sedangkan Śankhara sendiri adalah
Rakai Panangkaran Ia memindahkan pusat kerajaannya ke timur. Letak ibu kotanya
yang baru, kemungkinan di sekitar Sragen, di sebelah timur Bengawan Solo atau
di daerah Purwodadi/Grobogan. Setelah itu ia membangun beberapa candi Buddha
candi Kalasan, candi Sewu, Plaosan Lor, dan sebagainya. Dari uraiannya tersebut
Boechari telah mengidentifikasikan Panangkaran dengan “Śailendrawanśatilaka”
yang disebut dalam beberapa prasasti, bahkan menurut Boechari, apabila
Panangkaran identik dengan Śailendravamśatilaka, maka seperti yang tertera
dalam prasasti Nalanda, ia berputera Samaragravira dan Balaputradewa, raja
Sriwijaya, adalah cucunya (Soemadio II 1993:109-110).
Pendapat
bahwa Rakai Panangkaran berpindah agama, menurut Boechari tertera dalam
prasasti Śankhara, khususnya bait 3 yang diawali dengan kalimat:
So ‘yam tyaktānyabhaktir jagadaśivaharāc chamkarāc chamkarākhyah…
Terjemahannya
sebagai berikut: “Ia, yang bernama Śankhara, setelah meninggalkan kebaktian
kepada (dewa) yang lain, dari Śankhara yang melenyapkan ketidak tenteraman di
dunia”3) .
Pada dasarnya penulis setuju dengan
terjemahan tersebut di atas, hanya ada sedikit perbedaan, sebagai berikut:
“Ia yang bernama Śankhara, yang
kebaktiannya ke yang lain telah ditinggalkan, daripada Śankhara, Siwa yang
menguasai dunia. Dari terjemahan tersebut, penulis meragukan bahwa Śankhara
berpindah agama, apalagi ke agama Buddha Mahayana. Pendapat ini diperkuat oleh
syair pada bait ke-4, dikatakan setelah ia mendirikan prasāda untuk Dhātŗ,
ia membicarakan moksa yang merupakan kebahagiaan tertinggi. Moksa diperoleh
oleh para vratin (pertapa) yang suci melalui pengetahuan (jñāna), yang
diperoleh dari puteri Dhātŗ (Saraswati ?). (śreyo moksān na param
adhikam kathyate jñānavidbhir, moksās so’pi vratibhir anaghair labhyate
jñānahetoh, tac ca jñānam vratibhir amalam labhyate yat prasādād, dhatuh
putrī janaya tu(s)tarām vanditā (n)ah kavitvam).
Konsep
moksa tidak dipakai dalam agama Buddha. Demikian pula pada bait penutup
selain Bhiksu dan Sanggha, disebut tokoh/kelompok lain, yaitu puteri Dhātŗ,
vratin, kulapati, raja (nrpatir) pelindung para Dasyu, sehingga dengan menyebut
Buddha dan Bhiksu tidak menjamin raja beragama Buddha. Bagian ini sebagai
penutup prasasti yang mendoakan semua yang disebut bernasib baik.
Perlu
dikemukakan disini, pada baris selanjutnya (pada bait 3) terdapat kata
“anŗtagurubhayas” 6) yang diartikan “takut pada guru yang tidak benar” (Soemadio II
1993:109), kemungkinan terkait dengan janji Śankhara yang disebut pada
awal-awal prasasti. Tidak jelas isi janjinya, kemungkinan Śankhara berjanji
kepada guru untuk membuat bangunan suci untuk Dhātŗ dengan “emas yang enam” itu
sebagai biayanya, dengan harapan agar ayahnya sembuh? Tetapi ketika ayahnya
meninggal, Śankhara menyalahkan gurunya, yang disebut anŗtaguru-. Namun
kemudian, karena takut pada gurunya, ia dengan kemauannya sendiri (svātmabuddhes
) memenuhi janjinya dengan membuat prāsāda tersebut.
Untuk
memperkuat pendapat bahwa Panangkaran bukan raja dari dinasti Śailendra dan
tidak beragama Buddha, akan penulis sampaikan terjemahan prasasti Kalasan, prasasti
berbahasa Sansekerta, memakai huruf Pra-Nagari dari tahun 700 Saka/778 Masehi,
sebagai berikut:7)
Namo
bhagavatyai āryātārāyai
1.
yā tārayatyamitaduḥkhabhavādbhimagnaṃ lokaṃ
vilokya
vidhivattrividhair upayaiḥ
Sā 8) vaḥ
surendranaralokavibhūtisāraṃ tārā
diśatvabhimataṃ
jagadekatārā
2.
āvarjya 9) mahārājaṃ dyāḥ pañcapaṇaṃ paṇaṃkaraṇāṃ
Śailendra
rājagurubhis tārābhavanaṃ hi kāritaṃ śrīmat
3.
gurvājñayā kŗtajñais 10) tārādevī
kŗtāpi tad bhavanaṃ
vinayamahāyānavidāṃ
bhavanaṃ cāpyāryabhikṣūṇāṃ
4.
pangkuratavānatīripanāmabhir ādeśaśastribhīrājñaḥ
Tārābhavanaṃ
kāritamidaṃ mapi cāpy āryabhiksūṇam
5.
rājye pravarddhamāne 11) rājñāḥ
śailendravamśatilakasya
śailendrarajagurubhis
tārābhavanaṃ kŗtaṃ kŗtibhiḥ
6.
śakanŗpakālātītair varṣaśataiḥ saptabhir mahārājaḥ
akarod
gurupūjārthaṃ 12) tārābhavanaṃ paṇamkaraṇaḥ
7.
grāmaḥ kālasanāmā dattaḥ saṃghāyā sākṣiṇaḥ kŗtvā
pankuratavānatiripa
desādhyakṣān mahāpuruṣān
8. bhuradakṣineyam
13) atulā dattā saṃghāyā rājasiṃhena
śailendrarajabhūpair
anuparipālyārsantatyā
9.
sang pangkurādibhih sang tāvānakādibhiḥ
sang
tīripādibhiḥ pattibhiśca sādubhiḥ , api ca,
10.
sarvān evāgāminaḥ pārthivendrān bhūyo bhūyo
yācate
rājasiṃhaḥ, sāmānyoyaṃ dharmmasetur narānāṃ
kāle
kāle pālanīyo bhavadbhiḥ
11.
anena puṇyena vīhārajena pratītya jāta 14) arthavibhāgavijñāḥ
bhavantu
sarve tribhavopapannā janājinānām anuśsanajñāḥ
12.
kariyānapaṇaṃkaraṇaḥ śrimān abhiyācate bhāvinŗpān,
bhūyo
bhūyo vidhivad vīhāraparipālan ārtham iti.
Terjemahan:
Hormat
untuk Bhagavatī Ārya Tārā
1. Setelah melihat
mahluk2 di dunia yang tenggelam dalam kesengsaraan , ia menyeberangkan (dengan)
Tiga Pengetahuan yang benar, Ia Tarā yang menjadi satu-satunya bintang pedoman
arah di dunia dan (tempat) dewa-dewa.
2. Sebuah bangunan
suci untuk Tārā yang indah benar2 telah disuruh buat oleh guru-guru raja
Śailendra, setelah memperoleh persetujuan Mahārāja dyāh Pancapana Panamkarana
3.
Dengan perintah guru, sebuah bangunan suci untuk Tārā telah didirikan, dan
demikian pula sebuah bangunan untuk para bhiksu yang mulia ahli dalam ajaran
Mahāyana, telah didirikan oleh para ahli
4. Bangunan suci Tārā
dan demikian juga itu ( bangunan) milik para bhiksu yang mulia telah disuruh
dirikan oleh para pejabat raja, yang disebut Pangkura, Tavana, Tiripa.
5. Sebuah bangunan
suci Tārā telah didirikan oleh guru-guru raja Śailendra di kerajaan Permata
Wangsa Śailendra yang sedang tumbuh
6. Mahārāja
Panangkarana mendirikan bangunan suci Tārā untuk menghormati guru pada tahun
yang telah berjalan 700 tahun.
7. Desa bernama
Kalasa telah diberikan untuk Samgha setelah memanggil para saksi orang-orang
terkemuka penguasa desa yaitu Pangkura, Tavana, Tiripa.
8. Sedekah “bhura”
yang tak ada bandingannya diberikan untuk Sangha oleh “raja yang bagaikan singa”
(rājasimha-) oleh raja-raja dari wangsa Śailendra dan para penguasa
selanjutnya berganti-ganti.
9. Oleh para Pangkura
dan pengikutnya, sang Tavana dan pengikutnyam sang Tiripa dan pengikutnya, oleh
para prajurit, dan para pemuka agama, kemudian selanjutnya,
10. “Raja bagaikan
singa” (rājasimhah) minta berulang-ulang kepada raja-raja yang akan
datang supaya Pengikat Dharma agar dilindungi oleh mereka yang ada
selama-lamanya.
11. Baiklah, dengan
menghibahkan vihara, segala pengetahuan suci, Hukum Sebab Akibat, dan kelahiran
di tiga dunia (sesuai) ajaran Buddha, dapat difahami.
12.
Kariyana Panangkarana minta berulang -ulang kepada yang mulia raja-raja yang
akan datang senantiasa melindungi vihara yang penting ini sesuai peraturan.
Berdasarkan
terjemahan prasasti tersebut, dalam prasasti Kalasan terdapat dua orang raja,
yaitu Śri Mahārāja dyāh Pancapana Panamkarana dan raja Śailendravamsatilaka
(permata wangsa Śailendra). Bahwa ada dua orang raja pada prasasti Kalasan,
telah dikemukakan oleh Van Naerssen (1947) dan J.G.de Casparis (1950). Menurut
mereka, Rakai Panangkaran adalah raja bawahan raja Śailendravamsatilaka, yang
disuruh membangun Tārābhavanam untuk raja Śailendra ( Sumadio II, 1984:89-90).
Namun sebaliknya, menurut pendapat penulis, justru Śailendravansatilaka lah
raja bawahan Panangkaran, dengan alasan sebagai berikut:
1.
Rakai Panangkaran bergelar “Śri Mahārāja”, sedangkan Śailendravamśatilaka
bergelar “rāja” saja
2. Tārābhavanam didirikan “di kerajaan
Śailendravamśatilaka yang sedang tumbuh/berkembang” (5. rājye pravarddhamane
rājñah śailendravamśatilakasya ….).
3.
Untuk
mendirikan bangunan suci itu pun raja Śailendra mengutus guru-gurunya minta
perkenan Śri Mahārāja dyāh Pancapana Panamkarana. Kalau Panangkaran raja
bawahannya, mengapa ia harus minta ijin pada Panangkaran terlebih dulu?
4.
Usaha
guru-guru itu disetujui oleh Panangkaran untuk tujuan “gurupūjārtham”
yang berarti “bertujuan menghormat Guru”. Dengan demikian persetujuan
Panangkaran untuk mendirikan Tārābhavanam adalah “untuk menghormat guru” (gurupūjārtham)
yang menghadap Panangkaran untuk minta perkenan mendirikan Tarabhavanam,
dan bukan karena Panangkaran beragama Buddha Mahayana yang berkepentingan
dengan pemujaan di Tārābhavanam tersebut. Bahwa seorang raja bawahan maupun
rakyat tidak harus mempunyai agama yang sama dengan rajanya, dibuktikan oleh
banyaknya sisa-sisa candi Saiwa di sekitar candi Borobudur. 15)
Dari prasasti Kalasan ini kita ketahui
raja Śailendravamśatilaka , mungkin baru datang atau baru mendirikan
kerajaannya, dan menjadi raja bawahan Śri Mahārāja Panangkaran, seorang raja
Sanjayavamśa., anak raja Sanjaya.
Selanjutnya Raja Śailendravamśatilaka
disebut dalam beberapa prasasti, yaitu prasasti Kelurak (782 Masehi), prasasti
Abhayagirivihara di bukit Ratu Baka (th 792 Masehi), prasasti Kayumwungan (824
Masehi), prasasti Ligor B (775 Masehi), prasasti Nalanda (abad 9). Dalam
prasasti Kelurak, Śailendravamsatilaka yang bergelar Śri Wirawairimathana (:
pembunuh musuh yang gagah berani), ia mendirikan sebuah bangunan suci untuk
Mañjusri atau Mañjugosha diresmikan oleh gurunya pendeta Kumaragosha yang
datang dari Gaudidvipa. Bangunan suci yang disebut dalam prasasti Kelurak
adalah candi Sewu, walaupun bukan bentuknya yang sekarang, karena candi Sewu di
bangun tiga kali (Kusen 1991-1992:57, Santiko 2010).
Rupanya raja Śailendravamśatilaka tahun
782 keadaannya sudah lebih baik daripada saat mendirikan Tārābhavanam di “grāma-
kālasanāma--” tahun 778 Masehi. Pada prasasti Nalanda dari raja Devapaladeva
dari abad 9, kita jumpai nama Śailendravamśatilaka yang bergelar Śri Viravairimathana.
Ia raja Jawa, berputera Samaratunga yang kawin dengan Tārā, anak raja
Dharmasetu dari Somawamśa. Dari pernikahan ini lahirlah raja Balaputradewa,
raja Sriwijaya, yang beragama Buddha, dan telah mendirikan sebuah vihara di
Nalanda (Sumadio II 1993:112).
Dengan
adanya pendapat 2 dinasti di Jawa tengah, maka Samaratungga bukan anak
Panangkaran, melainkan anak raja Śailendravamśatilaka yang memerintah di Jawa.
Bagaimana
kelanjutan hubungan kedua dinasti raja tersebut, hingga kini berbagai
penelitian masih mengikuti pendapat De Casparis tentang terjadinya hubungan
pernikahan antara Rakai Pikatan (Sanjayavamsa) dengan Pramodhawarddhani, puteri
Samarotungga(De Casparis 1956).
PENUTUP
Berdasarkan
terjemahan prasasti Kalasan (700 Saka/778 Masehi), di wilayah Jawa Tengah abad
8-10 terdapat 2 dinasti, yaitu dinasti Sanjaya (Sanjayavamśa) dan dinasti
Śailendra (Śailendravamśa). Raja Śailendravamśa ketika itu berkedudukan sebagai
raja bawahan Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panangkarana. Oleh karenanya untuk
mendirikan Tārābhavanam di kerajaannya sendiri pun yang dikatakan sedang
berkembang/tumbuh (…rājye pravarddhamane…), ia harus minta ijin terlebih
dahulu ke Śri Mahārāja Panamkarana, melalui guru-gurunya.
Rakai Panangkaran tidak beralih agama,
ia menyetujui pendirian Tārābhavanam untuk “menghormati” para guru (gurupūjārtham).
Mungkin hal ini pulalah alasan yang dipakai oleh raja Śailendra untuk mengirim
guru-gurunya minta perkenan Maharaja Panangkaran untuk mendirikan Tarabhavanam.
CATATAN:
1) Nama Holing kita
kenal dari berita Cina dari dinasti Tang (618-906 Masehi), yang menyebut Jawa
dengan Holing sampai tahun 818 Masehi., kemudian berubah menjadi She-p’o.
Selain berita Cina tidak (belum?) ditemukan prasasti yang menyebut/membicarakan
Holing.
2) Transkrip dan
terjemahan sementara dari Prof.Boechari, penulis dapat dari Dr Niniek Susanti.
3)
Penulis tidak yakin benar apakah terjemahan ini adalah terjemahan Boechari.
4) Kata “hara” dari
akar hr, berarti “mengambil, mengangkat, membawa, menguasai”, tetapi dalam
kitab-kitab Purāna, Siwa sebagai “Hara” juga berarti “melenyapkan kesusahan”
5) Dhātŗ adalah nama
lain dewa Brahmā, tetapi puteri Brahmā, tidak pernah disinggung baik dalam
Purāna, maupun mitos, kalau isteri Brahma, yaitu Saraswati sering disinggung,
mungkin Dhatr disini yang dimaksud adalah Saraswati, apalagi ia memberi
wejangan para Vratin dalam usaha mencapai moksa.
6) Pada transkrip
yang penulis dapat, kata ini berbunyi “amŗtagurubhayas” bukan
“anŗtagurubhayas”.
7) Transkripsi
prasasti Kalasan penulis memakai trankripsi Himansu Bhusan Sarkar (l971) yang
dibandingkan dengan transkripsi Lokesh Chandra (1974).
8) Korelasi
“sah….yah” diterjemahkan dengan “ia….yang”, ia …itu”
9) Kata āvarjya, dari
akar vrj+ā, dalam bentuk absolutif.
10) Kata “krtajnais-“
mempunyai arti yang sama dengan “karmajnais-“ dalam prasasti Dinoyo yang
berarti “para ahli” (Sarkar 1971: 39, catatan no.37).
11) Kata
“pravarddhamane” dari akar vŗdh yang berarti tumbuh, dibentuk dalam
partisipium aktif dengan akhiran kasus lokatif karena menjelaskan “rājye”, yang
berarti “ di kerajaan yang sedang tumbuh/berkembang”.
12) “ gurupūjārtham”
berarti “ bertujuan menghormat guru “
13) Bhuradaksina,
kata “bhura” ada beberapa arti, banyak, luas, bersinar
14) Kata pratītyajata-,
menurut Lokesh Chandra (1994:73) pengertiannya disamakan dengan pengertian pratītyasamutpada-
15)
Pada tahun 1973 dan 1975, penulis melakukan survei di sekitar candi Borobudur
dalam radius 10 km (tahun 1973) dan dalam radius 5 km (tahun 1975) dengan
memakai laporan N.J.Krom dan Verbeek (1914-1924) sebagai acuan. Ternyata
sekitar 50 (thn 1975 ada 30, dan selebihnya tahun 1973) terdapat sisa candi
Saiwa dari batu bata ada di sekitar candi Borobudur, termasuk candi Bowongan
(radius 3 km).
DAFTAR
ACUAN:
Boechari,
Transkripsi Sementara Prasasti Batu Koleksi Bapak Adam Malik, Belum
terbit.
Casparis,
J,G,de, 1950, Inscriptie Uit de Sailendra-tijd (Prasasti Indonesia I). Sumur
Bandung
_____________________1956,
Selected Inscription from the 7th to
the 9th
Century
AD, Bandung, Masa Baru
Kusen,
1991-1992 “Alih Aksara dan Terjemahan Prasasti Manjusrigrha”, dalam Candi Sewu
Sejarah dan Pemugarannya, (IGN Anom,eds) hal 93-94, Proyek
Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
Lokesh
Chandra, 1994, The Sailendra of Java, Journal of the Asiatic Society of
Bombay, volume 67-68 (New Series)
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasional Indonesia II,
Jakarta, Balai Pustaka
Santiko,
Hariani, 2010, “Sifat Keagamaan Candi Sewu dan candi Prambanan”, dalam Menjaga
Warisan Umat Manusia, Pameran Candi Prambanan dan candi Sewu.
Sarkar,
Himansu Bhusan, 1971, Corpus of the Inscription of Java (up to 928 AD),
vol I, Calcutta, Firma K.LMukhopadhyaya
Van
Naerssen, 1947, “The Sailendras Interregnum, dalam India Antiqua,” hal.
249
pertanyaannya....adakah bukti kuat tulisan Sanjayavamsa? karena saya belum menemukan itu. Sanjayavamca hanyalah rekaan dari peneliti-peneliti selama ini.
BalasHapusCoba bandingkan dg Caritah Parahyangan.?
Prasasti yang memakai Sanjaya warsa...itu ada...tetapi itu lebih dekat kepada "melegitimasi" atau kalai tidak mengingatkan kembali. Ingat orang Jawa terkadang ditanya kapan lahir...pas gunung meletus saat itu...seperti Hayam Wuruk ketika lahir.
artikel bernada serupa benar telah ditulis lebih dulu oleh MANG AYAT (AYATROHAEDI) dalam majalah Mahasiswa Arkeologi FSUI (KAMA)- lupa tahunnya (maaf)
BalasHapus