Boechari
(ringkasan artikel dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)
Menurut
teori, unsur kerajaan ada tujuh (saptāṅga),
yaitu raja, wilayah kerajaan, birokrasi, rakyat, perbendaharaan negara,
angkatan bersenjata dan negara-negara sahabat. Termasuk unsur birokrasi adalah
administrasi kehakiman. Selain naskah kuno, prasasti juga memberikan keterangan
sedikit tentang pejabat-pejabat kehakiman, adapula yang merupakan keputusan
pengadilan yang memberikan gambaran tentang proses peradilan. Keterangan
tentang pejabat-pejabat kehakiman terutama didapatkan di dalam prasasti dari
zaman Singhasari dan Majapahit. Salah satu julukan bagi hakim dalam prasasti
adalah saṅ prāgwiwākawyawahāranyāyānyāyawicchedaka
(hakim yang dapat membedakan antara yang benar dan yang tidak benar di dalam
persengketaan). Pendapatnya tentang hal-hal tersebut harus tegas karena
pengetahuannya yang mendalam akan semua kitab-kitab śāstra. Ia harus mampu memberi keputusan dalam pengadilan atas
persengketaan yang terjadi antara rakyat di seluruh kerajaan. Beberapa prasasti
menyebutkan juga bahwa ia juga mahir atau ahli dalam salah satu atau berbagai
cabang ilmu.
Ada
sekitar 12 prasasti mengenai proses pengadilan atau pelaksanaan hukum dan
keputusan hukum. Diantaranya empat berisi utang-piutang, satu berisi keputusan
peninjauan kembali jumlah pajak tanah, satu tentang status kewarganegaraan
seseorang, satu tentang gadai tanah, dan lima tentang sengketa atas tanah.
Diantara ke-12 prasasti, dua disebut jayapattra (Prasasti Guntur 907 M
dan Prasasti Warudu Kidul 922 M) berisi tentang kewarganegaraan Saṅ Dhanadī
yang dikira orang Khmer. Dua lagi disebut jayasoṅ (Prasasti Bendosari masa
Hayam Wuruk dan Prasasti Paruṅ mungkin sezaman), keduanya mengenai sengketa
tanah. Prasasti Sarwadharma (1268 M) dan Prasasti Himad (abad ke-14 M) berisi
tentang masalah tanah, disebut dengan rājapraśasti. Sebuah prasasti yang
berisi tentang pelunasan utang disebut śuddhapatra. Prasasti Dhaṅ Nawī dan
Prasasti Kuruṅan (885 M), tidak mengandung istilah sebutannya; tetapi di
dalamnya dijumpai kata śuddha dan śuddha pariśuddha. Prasasti Palǝpaṅan
(906 M) berisi ketetapan peninjauan kembali jumlah pajak tanah, disebut praśasti
saja.
Dari
beberapa data prasasti tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses peradilan
terdapat pihak-pihak yang bersengketa, pejabat-pejabat hukum,dan saksi-saksi.
Pada waktu itu belum ada pembedaan antara tugas jaksa dan hakim. Dapat dilihat
pula bahwa dalam beberapa persoalan raja sendiri, atau putra mahkota atau
pejabat-pejabat tinggi sipil di pusat kerajaan bertindak sebagai hakim.
Karena
sebagian besar dari prasasti-prasasti tersebut berisi persengketaan yang tidak
diatur undang-undang maka keputusan didasarkan pada kesaksian orang-orang yang
dipercaya dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Dalam
beberapa kasus kesaksian itu diperkuat oleh bukti tertulis.
Wilayah
kerajaan terdiri atas wilayah pusat di mana terdapat istana raja, dan
daerah-daerah yang diperintah oleh para rakryān (gelar kebangsawanan) dan para
pamgat (gelar keagamaan) yang daerah kekuasaannya terdiri atas sejumlah besar
desa yang mempunyai pemerintahannya sendiri. Masing-masing kesatuan wilayah itu
mempunyai administrasi kehakimanya. Perkara-perkara yang dapat diselesaikan
dalam pengadilan daerah, seperti soal utang-piutang dan kewarganegaraan saṅ
Dhanadī, cukup diselesaikan di pengadilan tingkat daerah. Sedang persengketaan
mengenai hak atas tanah, apalagi kalau mengenai tanah perdikan untuk bangunan
suci dan masalah pajak, diselesaikan di pengadilan tingkat pusat, bahkan
diselesaikan oleh raja sendiri.
Berdasarkan
data prasasti tersebut, masa enam abad menunjukkan kuatnya tradisi hukum yang
berlaku dalam kerajaan-kerajaan kuno. Bahkan oleh Mason C. Hoadley pernah
ditunjukkan bahwa tradisi itu masih berlangsung di Kasultanan Cirebon hingga
pertengahan abad XVIII.
Keterangan
lengkap dapat dilihat dalam buku:
Boechari,
2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia
Lewat Prasasti, Jakarta: KPG. hlm:237-248
Bisa
diperoleh di toko buku Gramedia atau lainnya
atau dipesan melalui fauzan.vernika@gmail.com
Drs.Boechari, "Sekelumit Tentang Pelaksanaan Hukum dalam Masyarakat Jawa Kuno", Simposium Sejarah Hukum. BPHN: Penerbit Bina Cipta. 1975.
BalasHapus