Prasasti Rejowinangun, Blitar
http://travellers2009.wordpress.com/tag/situs-bening/
|
Aksara yang Hilang pada Prasasti Batu: Terpupus atau Dipupus?
Prof.Dr.Agus Aris Munandar
Prof.Dr.Agus Aris Munandar
(Makalah dipresentasikan dalam Seminar Internasional Epigrafi & Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, Rabu 5 Desember 2012)
I
Masa
Jawa Kuno banyak menghasilkan prasasti batu (gopala prasasti) ataupun
perunggu (tamra prasasti), prasasti-prasasti tersebut pada umumnya
adalah perintah raja yang kemudian dituliskan pada bahan yang awet, sehingga
perintah sang raja tidak mudah hilang bersama berlalunya waktu. Prasasti batu ketika
pertama dijumpai umumnya diletakkan di tempat-tempat tertentu di tengah hutan,
persawahan, lereng gunung, ataupun juga permukiman. Tidaklah diketahui secara
pasti, apakah pada awalnya ketika prasasti batu itu pertama kali ditegakkan dan
diresmikan dinaungi dengan bangunan permanen. Lain halnya dengan prasasti
perunggu yang mudah disimpan dan secara teoritis tidak mudah rusak atau aus
hurufnya karena senantiasa dipelihara dan dirawat baik oleh para pemegang
prasasti dan anak keturunannya, oleh karena itu banyak prasasti tembaga yang
ditemukan masih dalam keadaan relatif baik, hurufnya masih jelas dan mudah
terbaca.
Sebenarnya
ahli epigrafi Indonesia yang terkenal Boechari dalam tahun 1980-an telah
menyatakan --walaupun mungkin hanya sebagai asumsi awal-- bahwa ada prasasti di
wilayah Jawa Tengah yang agaknya sengaja dirusak oleh masyarakat sezamannya.
Boechari menyatakan hal itu berkenaan dengan ditemukannya Prasasti Pereng (856
M) di bukit Ratu Baka yang pecah berkeping seakan disengaja untuk diremukkan. Demikianlah
telaah ringkas ini sejatinya hendak melanjutkan hipotesa Boechari yang menyatakan
bahwa ada kemungkinan prasasti-prasasti batu ada yang dirusak.
II
Di wilayah Jawa Timur cukup
banyak prasasti batu yang aksaranya tidak jelas lagi, aksara pada
prasasti-prasasti tersebut tidak bisa dibaca lagi, karena sangat tipis di
permukaan batu. Menilik bahan batunya, sangat tidak mungkin jika aksara pada
prasasti tersebut rusak tergerus oleh hujan dan panas, karena bahan batu sangat
kuat (andesit) dan bukan batu kapur yang lunak.
Berdasarkan uraian Laporan
Penelitian Epigrafi di wilayah Propinsi Jawa Timur, Berita Penelitian Arkeologi
No.47 (1996), dapat diketahui sejumlah prasasti yang dicatat sebagai
prasasti yang hurufnya
rusak, aus, dan tidak terbaca lagi. Seperti laporan tentang satu prasasti yang
baru ditemukan, dinyatakan bahwa,
“Di Desa Bulugledeg, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan juga ditemukan prasasti baru. Karena aus dan rusak maka bagian yang berangka tahun dan nama raja sudah tidak terbaca. Hanya bentuk tulisan dan nama pejabat yang masih terbaca, yaitu ‘…mahamantri i sirikan mpu…’ , dapat menunjukkan bahwa titah raja ini berasal dari jaman Kadiri (1042-1222 M)” (Suhadi & Richadiana K. 1996: 3).
Dilaporkan pula di wilayah
Kabupaten Blitar, di Dukuh Besole, Desa Darungan, Kecamatan Suruwadag terdapat
prasasti batu (dinamakan Prasasti Besole)
yang berukuran tinggi 157 cm dan lebar terlebar 83 cm. Hurufnya dilaporkan
sangat aus, namun dari sisa huruf yang ada dapat diketahui beraksara Jawa Kuno.
Di sisi depan prasasti dipahatkan candrakapala lancana dan angka tahun
1054/1051 Śaka, pada sisi verso masih terbaca aksara yang
berbunyi “rumaksa praja” dan “cakrawartin”. Prasasti ini diduga
dipahatkan atas titah raja Bāmeśwara dari Kadiri yang diperkirakan memerintah antara
tahun 1038—1056 Śaka. Hal yang menarik adalah penduduk dukuh setempat
mempunyai kebiasaan yang dilakukan setiap tahun untuk mengapur permukaan
prasasti, sehingga huruf-hurufnya ada yang tertutup oleh lapisan kapur tebal,
selain memang sudah sangat tipis karena aus (Suhadi & Richadiana 1996: 24). Prasasti lainnya dari Blitar yang baru ditemukan dan
belum pernah diterbitkan adalah Prasasti Pagiliran. Batu prasasti ditemukan di
lahan kebun di Dukuh Karangturi, Desa
Jajar, Kecamatan Talun, keadaannya sangat tidak lengkap, batunya telah rumpang,
dan penduduk menambahinya dengan semen. Berdasarkan sisa aksara yang ada, dapat
diketahui bahwa uraian prasasti dipahatkan di keempat sisi batu. Pada bagian recto
batu dipahatkan bentuk candrakapalalancana,
angka tahun 1056 Śaka, dan nama raja yang terpotong “…janiwaryyawiryya
parakrama digwijayot-tunggadewa…” dan nama thani Pagiliran
(Suhadi & Richadiana 1996: 25)
Di Dukuh Rejowinangun, di
depan masjid Desa Plosorejo, Kecamatan Kademangan, Blitar terdapat juga bentuk
batu prasasti yang telah aus hurufnya. Di sisi recto di bagian puncak
prasasti terdapat lingkaran yang juga sudah tidak ada pahatannya lagi,
mungkin dahulu dipahatkan lanchana dari raja yang mengeluarkannya. Hal yang menarik di bagian tengah ditempelkan “prasasti
baru” berbentuk batu pipih perihal peresmian pembangunan masjid, tidak ada data
lama atau uraian dari prasasti lainnya yang masih dapat dibaca.
Prasasti batu yang hurufnya
sangat tipis (aus) sehingga cenderung dapat dikatakan hilang misalnya Prasasti Makam Soka di Tulungagung.
Prasasti batu tersebut masih berdiri utuh, namun hurufnya sama sekali tidak
tersisa lagi, ada memang jejak bekas huruf, namun sangat tipis menyatakan angka
tahun 1123 Śaka/1201 M. Di bagian puncak batu prasasti terdapat pahatan
lingkaran yang di tengahnya
terdapat bentuk persegi ganda berulang dan berakhir spiral memusat. Di sekitar
prasasti terdapat pemakaman desa dan artefak kuno lainnya, seperti batu-batu
umpak, balok batu dan lumpang.
Pada bulan Nopember 2012
yang lalu tim dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia (FIB-UI) mengadakan survey di wilayah Lamongan. Survey
tersebut berlangsung berkat kerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, diadakan selama beberapa hari di wilayah
Lamongan Selatan. Tim berhasil melakukan pendataan bermacam situs dan tinggalan
arkeologi yang tersebar di beberapa kecamatan. Hal yang menarik adalah
ditemukannya prasasti-prasasti batu yang agaknya masih in-situ atau pun
telah bergeser dari tempat awalnya. Berdasarkan pengamatan langsung dapat
diketahui bahwa banyak prasasti permukaan batunya telah licin tanpa aksara, ada
pula yang pecah, dan hanya tersisa sepotong pecahan batunya saja. Misalnya saja
Prasasti Sedah yang terdapat di Dusun Sedah, Desa Pule, Kecamatan Modo, dan
Prasasti Titing yang terletak di hutan jati, Dukuh Titing, Desa Sendang Rejo,
Kecamatan Ngimbang, Lamongan.
Prasasti Sedah sekarang dalam
posisi berdiri, di dekatnya terdapat batu umpak yang telah lapuk, sekarang
kedua benda kuno itu telah dinaungi cungkup. Ukuran batu prasasti, tinggi
tertinggi hingga puncak lancipan 152 cm, lebar terlebar 93 cm, tebal batu 27
cm. Semua aksara yang ada di permukaan batu telah tiada, aus di sana-sini,
hanya tersisa beberapa aksara Jawa kuno saja. Di bagian puncak prasasti
terdapat lingkaran, pastinya dahulu ada pahatan lanchana tertentu, namun
sekarang telah rata saja, tanpa sisa pahatan apapun. Sekitar 200 m di arah barat dari Prasasti Sedah,
didapatkan kepurbakalaan dari balok-balok batu dan juga dari pecahan batu
alami. Penduduk setempat menyebutnya dengan Punden Sentonorejo. Menilik
sepintas bentuk inti punden, maka segera dapat ditafsirkan sebagai suatu bentuk
kijing dari makam Islam kuno. Setelah dilakukan pengamatan dengan temuan-temuan
lain di sekitarnya, yaitu fragmen relief, pecahan-pecahan batu pipisan, lapisan
pagar keliling dan juga susunan 2 tahta batu kecil (mirip kursi dan sandarannya
yang menempel di muka tanah), maka dapat ditafsirkan bahwa punden Sentonorejo
merupakan altar persajian yang memanjang. Kronologi relatif yang dapat
ditafsirkan mungkin berasal dari era Majapahit akhir.
Prasasti
Titing ditemukan di tengah tanah hutan jati, dalam keadaan berdiri, bahan batu putih, telah dinaungi cungkup pula. Ukuran tinggi dari
muka tanah 150 cm, lebar terlebar 75 cm, dan tebal batu 27 cm. Sama keadaannya
dengan Prasasti Sedah, seluruh permukaan prasasti ini pun telah aus, bahkan
tanpa aksara yang tersisa. Di bagian verso batu prasasti, pada bagian
bawahnya terdapat pahatan sepasang garis sejajar yang masih kentara, mungkin
dahulu dimaksudkan sebagai akhir dari uraian prasasti.
Prasasti lainnya yang
keadaan hurufnya sudah sangat aus adalah Prasasti Gurit, prasasti batu tersebut
terdapat di Desa Druju Gurit, Kecamatan Ngimbang. Bahan batu andesit yang
relatif lebih kuat dari batu putih, namun sama seluruh aksaranya telah tiada.
Ukuran batu prasasti tinggi tertinggi 172 cm, lebar terlebar 121 cm, dan tebal
batu 45 cm. Sisa baris kalimat pada prasasti itu pada sisi recto dan verso
sama, yaitu 26 baris. Di arah selatan batu prasasti terdapat sendang kuno yang
di sekitarnya ditemukan fragmen benda-benda terakota lama, dan juga fragmen
keramik Cina kuno. Prasasti
yang hurufnya telah tiada adalah juga Prasasti Tugu yang terletak di Desa Tugu,
Kecamatan Mantup, Lamongan. Prasasti ini hanya tersisa batunya saja, dengan
puncak lancip segitiga, tanpa aksara lagi, dibiarkan terbuka tanpa pelindung
(cungkup) di dekat kuburan kuno sebagai punden Desa Tugu. Penduduk desa
setempat menyatakan bahwa batu pipih tersebut adalah prasasti wurung
(prasasti batal) atau calon batu prasasti.
Dalam pada itu terdapat 2 prasasti batu yang selain
permukaannya telah licin tanpa aksara juga pecah terbelah menjadi dua bagian, yaitu
Prasasti Sumbersari 1 dan 2. Prasasti Sumbersari 1 telah pecah terpotong
menjadi dua bagian, namun masih bisa disatukan
dan agaknya masih berdiri di situsnya. Prasasti tersebut sekarang
dinaungi oleh cungkup tanpa dinding dan bagian bawahnya berlantai semen.
Permukaan prasasti telah halus, tanpa aksara lagi, tidak menyisakan bentuk
huruf apapun. Ukuran batu prasasti, tinggi
144 cm, lebar terlebar 79 cm, tebal 30 cm.
Sama dengan Prasasti Sumbersari
1, Prasasti Sumbersari 2 pun terletak di Dusun Sempur,
Desa Sumbersari, Kecamatan Sambeng, Lamongan. Prasasti ini telah terpotong
menjadi dua bagian, bagian puncak telah hilang, yang tersisa sekarang hanyalah
bagian bawah prasasti, bahan dari batu putih. Ukuran dari batu yang tersisa sekarang adalah tinggi 80
cm, lebar terlebar bagian bawah 60 cm,
tebal 24 cm. Berdasarkan pengamatan langsung terhadap batu prasastinya, dapat
diketahui bahwa aksara pada permukaan batu prasasti ini pun telah tiada, tidak
berbekas sama sekali. Prasasti Sumbersari 1 dan 2 kerusakannya ganda, yaitu
batu prasasti pecah menjadi dua bagian dan seluruh aksaranya tidak ada lagi.
Berikutnya Prasasti Brumbun dari batu andesit yang
berlokasi di Dusun Brumbun, Desa Lamongrejo, Kecamatan Ngimbang. Ukuran batu prasasti, tinggi 210
cm, lebar 90 cm, tebal 22 cm. Kondisi sekarang telah tergeletak di tanah kebun
milik penduduk setempat, sangat mungkin dahulu posisi asli prasasti ini berdiri
sebagaimana prasasti lainnya, karena pada bagian bawah prasasti terdapat bagian
batu yang menonjol (sekitar 60 cm) untuk ditancapkan di permukaan tanah atau lapik.
Prasasti batu Mendugo belum ditampilkan secara utuh,
karena sebagian terpendam masih tanah, Prasasti ini tertancap di sebuah akar pohon, dengan
kondisi pohon menjepit badan prasasti,
hanya bagian tas ujung prasasti yang terlihat dengan posisi miring.
Jejak tulisan pada prasasti ini juga sangat sulit
dikenali mengingat kondisinya berlumut dan sangat aus, ditambah medan yang
sangat sulit. Lokasi di
Desa Mendugo, Kecamatan Ngimbang, ukuran prasasti baik
lebar, maupun tinggi, belum diketahui secara pasti karena posisinya tertanam dalam tanah. Hanya ketebalan saja
yang dapat diukur, yaitu sekitar 20 cm.
Di Dusun Wide, Desa Sendangharjo, Kecamatan Brondong di
Lamongan utara, ditemukan prasasti batu. Prasasti Wide merupakan satu-satunya
prasasti yang ada di daerah dekat pantai,
sekitar 3 km dari Bandar Sedayu Lawas yang terkenal dalam periode akhir
Majapahit. Prasasti ini sudah sangat aus dan bahkan sangat halus sehingga tidak
diketahui lagi jejak tulisannya, kondisinya juga patah terbagi dua.
Masing-masing bagian tertancap di tanah dan disemen dengan kuat lantai pasar
desa. Batu prasasti berwarna kuning yang cukup keras dan biasa ditemukan di
daerah pantai Sedayu.
Lebar terlebar dari prasasti ini adalah 110 cm, tebal 18
cm, tinggi fragmen batu prasasti bagian bawah 65 cm dan bagian atas 45 cm dari
permukaan lantai semen sekarang. Sangat mungkin dahulu merupakan prasasti yang
relatif besar, namun karena terpecah dua dan telah ditanam di tanah maka ukuran
total dari tingginya tidak dapat diketahui lagi secara pasti. Belum pernah ada
kajian terhadap prasasti ini, karena mungkin sudah tidak mengandung data lagi
akibat aksaranya yang telah hilang.
Pada akhirnya harus
disebutkan adanya dua prasasti batu berbentuk pipih dengan puncak kurawal di
Depan Masjid Agung Lamongan. Informasi tentang dua prasasti batu tersebut telah dicantumkan
dalam Berita Penelitian Arkeologi No.47 (1996)
sebagai berikut:
“Di halaman masjid besar di Kota Lamongan ada dua batu berbentuk prasasti yang diletakkan di halaman masjid dekat pintu gerbang. Masing-masing batu ditegakkan mengapit pintu gerbang, jarak antara keduanya sekitar 10 m dan didirikan tegak di atas landasan semen dengan kedua sisi batu menghadap arah utara-selatan. Bahan batunya dari kapur [sic!] yang agaknya berasal dari pantai karena ada fosil kerang laut melekat pada batu ini. Potongan batunya sama seperti bentuk prasasti jaman Airlangga. Keadaan permukaan batu sangat aus dan tidak tampak sisa-sisa tulisannya, rupanya batu ini masih berupa calon prasasti.
Ukuran batu sebelah kiri ialah: tinggi 116 cm, lebar 94 cm, dan tebal 9
cm. Batu yang sebelah kanan (selatan) berukuran 112 x 100 x 23 cm” (Suhadi
& Richadiana K. 1996: 41).
Agaknya kedua batu
prasasti tersebut berasal dari suatu tempat di wilayah Lamongan, dan kemudian
dipindahkan ke halaman masjid besar di Lamongan setelah zaman yang lebih
kemudian. Pengamatan ulang yang dilakukan oleh tim survey arkeologi FIB UI
terhadap kedua batu prasasti tersebut,
menyimpulkan memang tidak ada tanda-tanda aksara lagi di batu tersebut,
permukaannya halus dan licin saja tanpa sisa goresan bekas huruf.
Demikianlah
beberapa prasasti batu yang keadaan tulisannya telah banyak yang rusak, aus,
bahkan terpenggal menjadi beberapa bagian. Hal yang cukup menarik untuk dibahas
lebih lanjut adalah sebab-sebab terjadinya kerusakan aksara pada permukaan
prasasti. Apakah benar prasasti-prasasti itu aksara hilang karena batunya lapuk
dan usang?,
Apakah alam
begitu berpengaruh sehingga merusakkan aksara yang dipahatkan pada batu-batu
prasasti yang relatif keras?, jika benar akibat kerusakan alam, maka mengapa
seluruh aksara pada prasasti lenyap dari permukaan batu?,
jika benar demikian tentunya memerlukan proses panjang
yang menyeluruh terhadap keseluruhan permukaan batu. Penjelasan lainnya perihal
hilangnya aksara pada prasasti-prasasti batu itu adalah karena batu-batu itu
barulah calon prasasti yang akan dipahati dengan tulisan, jadi belum menjadi
prasasti sebenarnyanya. Jika benar hipotesa tersebut maka menyusul pertanyaan
berikut, mengapa banyak sekali batu calon prasasti, agaknya raja-raja kemudian
tidak jadi memerintahkan untuk menuliskan prasasti,
jadi batu-batunya
terbengkalai. Logikanya penulisan prasasti biasa terjadi jika sudah ada
kepastian perintah dari raja, sehingga perintah itu diabadikan, bukan
sebaliknya materialnya dahulu yang dipersiapkan, tanpa perintah dari raja,
jadi hipotesis itu pun agak lemah sifatnya.
III
Peperangan dan
konflik antarkerajaan sebenarnya telah menjadi bagian uraian dari sejarah kuno
Indonesia, terutama di Tanah Jawa. Uraian tentang peperangan yang mengesankan
terdapat dalam Carita Parahyangan, disebutkan bahwa Raja Sanjaya anak dari Raja Sannaha dalam masa Mataram
Kuno melakukan berbagai peperangan untuk memperluas kekuasaannya di Tanah Jawa bahkan hingga hingga luar Jawa
(Atja, 1968). Konflik lainnya yang tercatat dalam prasasti antara lain terjadi
pada pertengahan abad ke-9, menurut tafsiran J.G.de Casparis telah terjadi
pertempuran dahsyat di perbukitan Ratu Baka, antara pihak Balaputra dengan
Rakai Pikatan sebagaimana yang dapat ditafsirkan dari Prasasti Siwagrha tahun
856 M (De Casparis, 1956).
Peristiwa
peperangan justru semakin kerapkali terjadi ketika pusat kekuasaan kerajaan
telah berpindah di wilayah Jawa bagian timur. Beberapa peperangan yang dapat
dicatat adalah sebagai berikut:
1.Peperangan yang terjadi dalam abad ke-11 M, ketika kerajaan Dharmmawangsa Tguh diserang
dengan tiba-tiba oleh tentara Wurawari yang datang dari Lwaram.
2.Peperangan yang dilakukan oleh raja Airlangga terhadap beberapa kerajaan
yang tidak mengakui kekuasaannya (Susanti 2010: 4). Bahkan ketika tinggal di hutan para pendeta
berharap agar Airlangga dapat memperoleh pohon kalpataru yang
mengabulkan keinginan untuk melindungi dunia, memperbaiki semua bangunan suci
dan menghancurkan kekuatan jahat di dunia (Soemadio 1984: 176).
3.Peperangan
antara Janggala dan Panjalu setelah
Airlangga membagi kerajaannya dengan bantuan Aryya Bharadah
4.Pertempuran antara Kadiri dan Tumapel yang berlangsung tahun 1222 di utara
Desa Ganter, demikian menurut kitab Pararaton.
5.Penyerbuan
tentara Jayakatwang dari Gelang-gelang
terhadap Kutharaja Singhasari sehingga raja terakhir Singhasari, yaitu
Krtanagara tewas di istananya.
6.Peperangan
mengalahkan raja Jawa Jayakatwang yang berkedudukan di Kadiri antara bala
tentara Kubhilai Khan yang dibantu oleh pasukan-pasukan orang Majapahit yang
dipimpin oleh Raden Wijaya.
7.Perang Paregreg
(1403—1406), merupakan perang saudara di Majapahit memperebutkan tahta
kerajaan. Peperangan ini yang menjadi awal kemerosotan Majapahit hingga
akhirnya runtuh sama sekali di awal abad ke-16 M. Setelah Paregreg sebenarnya
terjadi lagi beberapa peperangan di Majapahit, intinya memperebutkan kekuasaan
tertinggi di Jawa bagian timur. Konflik itu terjadi di antara sesama dinasti
Rajasa sendiri.
Di antara banyak
peperangan tersebut, terdapat peperangan yang berakibat kepada berubahnya sejarah dinasti-dinasti
raja di Jawa, yaitu (1) konflik panjang antara Janggala-Panjalu dan (2)
pertempuran antara Krtajaya (Dangdang Gendis) dari Kadiri melawan Ken Angrok dari Tumapel.
Peperangan yang berlangsung dalam zaman Airlangga sewaktu ia menegakkan kerajaan warisan
Dharmmawangsa Tguh, dan disusul dengan perselisihan antara Janggala-Panjalu
merupakan pertanda berdirinya era baru, yaitu masa Kerajaan Kadiri yang
senantiasa mengacu kepada Raja Airlangga. Hal itu dapat diketahui dengan adanya
penggunaan Garudamukhalanchana pada beberapa prasasti raja-raja Kadiri. Lanchana
yang sama awalnya diperkenalkan oleh Airlangga pada prasasti-prasastinya.
Konflik kedua yang
melahirkan dinasti baru adalah antara Ken Angrok sang wangsakara
dinasti Rajasa mengalahkan Srěngga Kŗtajaya raja Kadiri,
tahun 1222 M. Dengan dikalahkannya Kadiri, maka secara politik kekuasan
dinasti Iśana berakhir, berganti dengan zaman Singhasari-Majapahit yang
diperintah oleh raja-raja keluarga Rajaśa.
Sebagaimana telah
diketahui bahwa setelah Airlangga membagi dua kerajaannya menjadi Janggala dan
Panjalu, kemudian terjadi konflik di antara keduanya. Berdasarkan uraian
Prasasti Turun Hyang B (diperkirakan
tahun 966 Śaka/1044 M, disebutkan bahwa raja Mapanji Garasakan yang memberikan
hadiah kepada penduduk Turun Hyang sebab mereka telah membantu sang raja ketika
perang memisahkan diri dari Haji Panjalu.
Raja Garasakan masih mengeluarkan prasasti Malenga 974 Śaka/ 1052 M,
isinya antara lain memberitakan bahwa ia berhasil mengusir raja musuhnya, yaitu
Linggajaya dari istananya di daerah Tanjung. Agaknya telah
terjadi peperangan antara Janggala dan Panjalu, Raja Mapanji Garasakan dari
Janggala kemudian memisahkan kerajaannya dari Panjalu. Raja-raja lain yang memerintah
di Janggala setelah Mapanji Garasakan ialah Śrî Samarotsaha yang mengeluarkan prasasti Sumengka tahun
981 Śaka/1059
M, Boechari menyatakan bahwa Samarotsaha hanyalah menantu Mapanji Garasakan,
jadi tidak berhak atas tahta kerajaan (Boechari 1968), sebab muncul raja Mapanji Alanjung Ahyes
Makoputadanu yang mengeluarkan Prasasti Banjaran tahun 974 Śaka (1052
M). Agaknya Alanjung Ahyes memerangi
Samarotsaha dan Janggala dengan bantuan raja bawahan dari Banjaran (Sumadio
1984: 259--60). Maka dari itu Janggala
mempunyai dua raja yang masing-masing mengaku mempunyai hubungan dengan
Airlangga sebab prasasti-prasasti keduanya menggunakan lambang Garudamukha.
Selanjutnya perihal
Kerajaan Janggala tidak ada beritanya, sumber-sumber sejarah sampai sekarang
masih bungkam belum ada penjelasan perihal nasib Janggala dalam era berikutnya.
Kemudian muncullah Kerajaan Panjalu atau Kadiri yang beribukota di Daha dalam
sejarah kuno di Jawa Timur. Raja yang memerintah di Kadiri ialah :
1.Śrî Bāmeśwara
(1117—1135 M), merupakan raja pertama yang mengaku sebagai penguasa Kadiri dan
mendapat pengakuan dari Cina (Coedes 2010: 233).
2.Śrî Warmmeśwara
Maduhusudanawataranindita alias Jayabhaya yang memerintah antara tahun 1135—1159 M,
3.Śrî Sarwweśwara
memerintah antara tahun 1159 sampai tahun 1169
M,
4.Śrî Aryyeśwara,
memerintah dari tahun 1091 Śaka/1169 M (angka tahun dalam Prasasti Desa Weleri, Blitar) sampai tahun 1093 Śaka/1171 M (angka tahun dalam Prasasti Angin),
5.Śrî Kroñcaryyādipa
(Śrî Gandra), satu-satunya sumber tertulis dari raja ini yang sampai pada masa
sekarang Prasasti Jaring yang berangka tahun 1103 Śaka/1181 M.
6.Śrî Kameśwara
sangat mungkin memerintah antara tahun 1182 M sampai tahun 1185
M (angka tahun yang tercantum dalam Prasasti Ceker).
7.Kŗtajaya alias Srěngga,
namanya telah tercantum dalam uraian Prasasti Sapu Angin yang bertitimangsa
1190 Śaka/1191 M, kemudian menyusul prasasti yang ditemukan dari Desa
Kemulan, Trenggalek berangka tahun 1194 M. Nama lengkap dalam prasasti tersebut
adalah Śrî Mahārāja Śrî Sarwweśwara Triwikramawatarānindita Srěnggalañchana
Digjayottunggadewa-nama. Prasasti termuda dari raja ini yang bertahan
sampai sekarang adalah Prasasti Lawadan berkronologi 1127 Śaka/1205 M. Raja
tersebut disamakan dengan Dangdang Gendis raja dari Kadiri yang dikalahkan oleh Ken
Angrok tahun 1222 (Sumadio
1984: 265—73).
Beberapa prasasti
dari raja-raja Kadiri tersebut senantiasa memberitakan adanya peperangan, dan
penduduk desa-desa meminta anugerah raja karena dalam peperangan mereka
membantu memenangkan sang raja. Dalam Prasasti Padlegan dari Raja Bāmeśwara
disebutkan bahwa rakyat Desa Padlegan (1117 M) mendapat anugerah sima dari
raja. Mereka telah membantu sepenuhnya sang raja dalam peperangan dan bahkan
menjadi pasukan pelindung raja (Sumadio 1984: 266). Hanya saja tidak disebutkan
siapa musuh Bāmeśwara dalam peperangan tersebut, hal yang pasti telah terjadi
peperangan dalam masa pemerintahannya. Raja Jayabhaya
dalam Prasasti Hantang (1057 Śaka/1135 M) juga menyebutkan perihal kemenangan
perang, bahkan pada bagian paling atas batu prasasti dituliskan dengan huruf
besar-besar dengan huruf kwadrat kalimat “Pangjalu Jayati”
(=Panjalu Menang). Prasasti ini berisikan pemberian anugerah kepada warga Desa
Hantang dan 12 desa lainnya karena telah membantu raja dalam peperangan
perebutan tahta, dan musuh tersebut berhasil dikalahkan (Sumadio 1984: 268).
Dalam masa pemerintahan Jayabhaya pula digubah kitab Mahabharata oleh
Mpu Sedah dan Panuluh yang berisikan kisah peperangan demi peperangan, dapat ditafsirkan bahwa sang raja telah
mengalami banyak peperangan (Coedes 2010: 233). Dalam satu-satunya prasasti
raja Śrî Kroñcaryyādipa, yaitu Prasasti Jaring (1103 Śaka/1181 M) disebutkan
juga perihal anugerah kepada penduduk Desa Jaring dan sekitarnya, yaitu
pembebasan membayar pajak karena mereka telah memperlihatkan kesetiaannya
kepada raja, dengan mempertaruhan jiwa raganya memerangi musuh raja (Sumadio
1984: 270—71). Dengan demikian selama masa berdirinya Kerajaan Kadiri telah
terjadi berbagai peperangan yang kemudian diperingati dalam prasasti-prasasti
dan diberikan berbagai anugerah kepada desa-desa yang penduduknya telah
membantu pihak raja.
Dalam pada itu menurut Kitab Pararaton dinyatakan
bahwa banyak para pendeta-brahmana dari Kadiri yang mengungsi dan meminta
perlindungan Ken Angrok di Tumapel. Hal itu terjadi karena raja Kadiri yang
bernama Dangdang Gendis (Kŗtajaya/Srengga) meminta para Brahmana itu menyembah
dirinya, ia mampu memperlihatkan dirinya sebagai Bhattara Guru (Śiwa) yang
duduk bersila di ujung tombak yang didirikan. Para pendeta-brahmana tetap tidak
mau menyembah sang raja, karena sejak zaman kuno tidak ada pendeta yang
menyembah raja (Hardjowardojo 1965: 29—30). Selanjutnya kitab Pararaton menyatakan:
“Lama2
terdengar berita bahwa Ken Angrok sudah jadi raja dihaturkan kepada
radja Dangdang Gendis bahwa sang Amurwabhumi bermaksud akan melawan Daha.
Berkata Dangdang Gendis: “Siapa jang dapat mengalahkan
keradjaan ini, mungkin kalah kalau bhatara Guru sendiri turun dari langit”.
Dihaturkan kepada Ken Angrok bahwa radja Dangdang Gendis
berkata demikian. Berkatalah sang Amurwabhumi: “Hai para pendeta Çiwa-Buddha
semuanja, idjinkanlah saja memakai nama bhatara Guru”.
Demikianlah asal mulanja dia bernama bhatara Guru,
ditahbiskan oleh para pendeta. Lalu ia pergi memerangi Daha. Terdengar oleh radja
Dangdang Gendis bahwa sang Amurwabhumi di Tumapel datang menjerbu Daha.
Berkatalah Dangdang Gendis: “Saja akan kalah karena Ken Angrok dilindungi dewa2”.
Demikianlah pasukan Tumapel bertemu dengan pasukan Daha,
berperang di sebelah utara Ganter, bertempur sama beraninja, saling kalah
mengalahkan, terdesaklah pasukan Daha.
Adik Dangdang Gendis, seorang ksatrya bernama Raden
Mahisa Walungan mati setjara ksatrya dengan seorang menterinja bernama Gubar
Baleman, adik Dangdang Gendis dan Gubar Baleman keduanja dikepung oleh tentara
Tumapel tetapi mereka bertempur dengan gagah berani.
Maka larilah tentara Daha karena pemimpinja sudah meninggal. Maka pasukan daha
bertjerai-berai seperti lebah jang dipukul sarangnja, tak ada jang kembali.
Maka Dangdang Gendis mundur dari medan perang, mengungsi
ketempat perdewaan bersama2 dengan kudanja, hambanja membawa pajung,
beserta pembawa tempat sirih, tempat air, pembawa tikar lenjap di udara.
…
Demikianlah Ken Angrok mengalahkan musuh; pulamg ke
Tumapel, pulau Djawa dikuasainja. Tahun dia mendjadi raja dan kalahnya Daha
adalah tahun Çaka 1144” (Hardjowardojo 1965: 30).
Uraian Pararaton sangat jelas memerikan
pertempuran antara Tumapel dan Daha, memang pertempuran tersebut tidak pernah disebutkan dalam prasasti manapun,
namun berita tersebut telah dipercaya oleh para ahli sejarah kuno Indonesia
bahwa memang benar pernah terjadi (Krom 1954: 171; Soemadio 1984: 399; Coedes
2010: 255). Akibat kekalahan Kadiri (Daha), maka berkembanglah pusat kekuasaan
baru di Jawa Timur, yaitu Singhasari yang diperintah oleh para raja keturunan
Ken Angrok. Walaupun dalam tahun 1292 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
Jayakatwang salah seorang keturunan keluarga raja Kadiri terhadap raja terkahir
Singhasari, yaitu Krtanagara, namun tampilnya kekuatan Kadiri tersebut hanya
singkat saja selama beberapa bulan, sebab pada tahun 1293 Majapahit telah
berdiri. Sebagaimana diketahui Majapahit didirikan oleh Krtarajasa
Jayawarddhana (Raden Wijaya) yang merupakan anggota dinasti Rajasa pula. Raja-raja
Majapahit selanjutnya adalah anggota dinasti Rajasa yang bertahan hingga
keruntuhan kerajaan tersebut di awal abad ke-16 M.
IV
Pada bagian
terdahulu telah diuraikan adanya sejumlah prasasti batu yang aksaranya sudah
tidak terbaca lagi, aus, bahkan beberapa telah halus permukaan batunya sehingga
dianggap sebagai batu calon prasasti belaka.
Hal yang sangat mengejutkan adalah tempat-tempat temuan prasasti batu
yang aksaranya aus tersebut adalah wilayah yang diperkirakan pernah
menjadi area konflik zaman Airlangga. Sebagaimana telah dibincangkan oleh para
ahli bahwa wilayah Lamongan, area pegunungan selatan Lamongan dan Jombang
bagian utara diperkirakan adalah wilayah pengembaraan, jelajah, dan
tempat-tempat pertempuran Airlangga ketika harus menundukkan sejumlah kerajaan
yang belum mengakui kekuasaannya (Sumadio 1984, Susanti, 2010), di tempat itu
pula ditemukan banyak prasasti yang aus. Prasasti-prasasti batu Airlangga yang
ditemukan relatif utuh justru ditemukan di luar wilayah Lamongan selatan dan Jombang,
sedangkan di kedua wilayah tersebut banyak prasasti yang bercirikan batu
prasasti Airlangga tetapi aksaranya hilang.
Di area itu pula diperkirakan wilayah kerajaan Janggala setelah Airlangga
membagi kerajaannya. Janggala pernah tampil dalam sejarah dengan 3 orang
rajanya saja (Garasakan, Samarotsaha, dan Alanjung Ahyes). Hal yang menarik adalah uraian prasasti
raja-rajanya selalu berkenaan dengan perang
dan konflik melawan musuh-musuhnya. Telah pula dijelaskan dalam telaah
ini bahwa sejumlah prasasti raja Kadiri juga menguraikan adanya peperangan yang
menajdi alasan turunnya anugerah raja kepada penduduk desa yang telah membantu
raja dalam peperangan.
Harus dijelaskan
pula bahwa akhirnya Singhasari berdiri sebagai kerajaan baru setelah tentara
Tumapel yang dipimpin oleh Ken Angrok berhasil menang meyakinkan mengalahkan
Kadiri yang pada waktu itu diperintah oleh Krtajaya atau Dangdang Gendis.
Setelah
memperhatikan bermacam sumber yang menyatakan peperangan demi peperangan dalam
masa Jawa Kuno, maka peristiwa peperangan sejenis dan dampaknya tentu terjadi pula di tempat lain di dunia. Biasanya dampak dari
peperangan yang kerapkali terjadi secara umum dalam sejarah kebudayaan dunia
adalah sebagai berikut:
1.Apabila ada dua
pihak yang berselisih dan berperang, maka wilayah negara atau kerajaan yang
dikalahkan lalu disatukan menjadi wilayah kerajaan pemenang.pihak yang menang
2.Pihak pemenang akan
menghancurkan semua simbol-simbol kekuasaan yang kalah (pembakaran bendera,
pemusnahan panji-panji kebesaran, penghancuran simbol-simbol negara,
penghancuran bangunan-bangunan simbol kekuasaan (istana),
dan sebagainya).
3.Semua keputusan
atau perintah dari raja(-raja) terdahulu
dari pihak telah dikalahkan akan diabaikan, dianggap tidak berlaku lagi, dan
harus dibuat ketetapan baru oleh penguasa baru dari pihak pemenang.
4.Tentunya di masa silam semua pembesar kerajaan yang
kalah akan dihukum mati, dibuang, dipenjara, kecuali segera menyatakan sumpah
setia kepada penguasa baru.
Agaknya
postulat-postulat tersebut juga terjadi dan diterapkan dalam konflik dan
peperangan antarkerajaan pada masa Jawa Kuno. Dengan demikian dapatlah dijelaskan bahwa
prasasti-prasasti batu yang dikeluarkan oleh seorang raja akan menjadi salah
satu sasaran penghancuran oleh raja pemenang jika saja terjadi peperangan.
Sebab prasasti dapat dipandang sebagai:
a.Tanda kebesaran
seorang raja yang berkuasa
b.Prasasti adalah perintah
raja yang harus ditaati hingga akhir zaman (dlaha ning dlaha)
c.Prasasti menjadi
bukti kekuasaan dan kewibawaan raja
d.Prasasti sebagai
penanda wilayah yang dikuasai oleh seorang raja pembuat prasasti
e.Prasasti
merupakan dokumen struktur kuasa sebab mencantumkan nama jabatan dan
pejabatnya.
Dengan demikian
dapatlah dipahami apabila banyak prasasti batu dari masa Jawa Kuno yang
sekarang telah aus aksara, bahwa keausan tersebut sangat mungkin bukan karena
perbuatan alam (lapuk karena panas dan hujan), melainkan sengaja diauskan,
dipupus atau digerus aksaranya sehingga tidak bisa dibaca lagi. Siapakah yang melakukan
pengggerusan aksara pada prasasti batu?, tentunya adalah pihak pemenang yang
tidak suka lagi kepada keputusan-keputusan atau perintah raja atau dinasti raja
yang dikalahkannya.
Biasanya dalam
prasasti-prasasti juga dicantumkan sejumlah kutukan (sapatha) bagi siapa
yang berani melanggar perintah sang raja atau malah merusak batu prasasti
tersebut. Untuk memunahkan kesaktian kutukan maka aksara pada seluruh permukaan
prasasti harus lenyap semuanya, harus tandas dilincinkan. Jika demikian jadinya
maka batu prasasti itu menjadi batu yang kosong tanpa aksara dan tidak salah
kiranya apabila kemudian diduga sebagai batu calon prasasti.
Pemusnahan simbol
kuasa raja tersebut agaknya tidak cukup hanya dengan pengikisan aksara pada
batu prasasti, malah banyak prasasti yang kemudian dipecahkan menjadi dua
bagian atau dipecahkan berkeping-keping menjadi beberapa bagian. Banyak fragmen
prasasti batu yang ditemukan, menunjukkan bahwa batu prasastinya memang telah
dipecahkan. Contoh yang terkenal adanya Prasasti Arca Camundi yang dikeluarkan
oleh Raja Krtanagara. Mungkin karena begitu dahsyatnya kekuatan magis prasasti
batu itu, maka perlu diremukkan berkeping-keping oleh pihak yang membenci
Krtanagara, mungkin sekali atas perintah Jayakatwang yang menurut Mpu Prapanca
dipandang sebagai mitra drohaka.
Selanjutnya perhatikan
pernyataan kitab Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuno (1984)
ketika menjelaskan masa akhir Kerajaan Kadiri sebagai berikut:
“Prasasti terakhir raja Srengga yang sampai kepada kita
ialah Prasasti Lawadan tahun 1127 Śaka (18 Nopember 1205 M). Tetapi para
sarjana berpendapat bahwa Srěngga atau Kŗtajaya inilah raja Daha terakhir yang telah dikalahkan
oleh Ken Angrok pada tahun 1222. Kalau memang benar pendapat ini, maka selama
17 tahun raja ini tidak mengeluarkan prasasti, atau kalaupun ada juga
prasasti-prasasti raja ini yang dikeluarkan antara tahun 1205 dan 1222 M,
prasasti ini belum ditemukan. Dan kalau benar pendapat itu maka raja ini telah
memerintah hampir 30 tahun lamanya, berbeda dengan raja-raja sebelumnya,
kecuali raja Bāmeśwara,
yang rata-rata memerintah hanya 10 tahun saja. Tetapi memang kenyataan
bahwa selama 17 tahun tidak ada prasasti dari raja Srengga ini patut
dipertanyakan”
(Sumadio 1984: 273).
Pertanyaan di akhir
kutipan tersebut mungkin sudah dapat dijawab, bahwa memang selama 17 tahun
seakan-akan tidak ada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Srengga, sebenarnya
mungkin tidak demikian. Prasasti-prasasti Raja Srěngga
sejatinya telah dirusak atau dihancurkan
oleh pihak
pemenang, dalam hal ini orang-orang Tumapel-Singhasari. Sang Dangdang Gendis
adalah raja yang kalah, maka semua prasastinya yang isinya “berbahaya” dan
tidak sejalan dengan kebijakan raja/kerajaan pemenang tentu harus dimusnahkan,
agar perintah raja yang kalah itu tidak perlu ditaati lagi.
Sebagaimana yang
telah umum diketahui bahwa dari masa Kadiri langka ditemukan bangunan suci atau
candi-candi, dan pada kenyataannya dari masa Kadiri banyak dihasilkan karya susastra yang
bermutu, misalnya Hariwangsa, Bharatayuddha, Gatotkacasraya, dan Smaradahana,
Kelangkaan bangunan suci dari era Kadiri tersebut bukan berarti masyarakat
dan raja-raja Kadiri tidak pernah membangun candi, melainkan bangunan suci masa
Kadiri itu dihancurkan secara sengaja oleh masyarakat zaman Singhasari.
Candi-candi Kadiri dapat dipandang sebagai simbol kemegahan kerajaan yang telah
dikalahkan, oleh karena itu harus dihancurkan pula. Orang-orang Singhasari
kemudian mendirikan bangunan candi-candi
baru sesuai dengan petunjuk raja-rajanya sebagai bangunan pendharmaan
untuk memuja raja Singhasari yang telah mangkat dan diperdewa. Maka candi-candi
dari era Kerajaan Kadiri pun langka
ditemukan orang hingga sekarang, kalaupun ada bangunan candi itu sudah
tidak lengkap lagi karena sangat mungkin sengaja diruntuhkan agar kebesaran
Kadiri tidak lagi diingat oleh orang dari masa kemudian.
Kemungkinan itu
tentunya ada, dengan bercermin kepada sejarah Bali zaman pertengahan, pada masa
antara abad ke-16—19 di Bali banyak berdiri kerajaan, antara lain Gelgel, yang
hancur kemudian menjelma menjadi Klungkung, Badung, Karangasem, Buleleng,
Mengwi, Gianyar, Bangli, Tabanan, dan Jembrana. Menurut berbagai sumber babad
sejarah Bali telah terjadi banyak peperangan antarkerajaan tersebut (Rai Mirsha
1986: 153). Misalnya peperangan yang menyebabkan
hancurnya Kerajaan Gelgel (Rai Putra 1991, 1995), perang yang terjadi antara kerajaan Tabanan
dan Mengwi (Gde Darta dkk. 1996), perang antara Gianyar melawan Bangli,
Klungkung, Badung dan Mengwi (Mahaudiana 1968), Mengwi yang diperangi ramai-ramai oleh kerajaan-kerajaan lainnya hingga runtuh
(Nordholt, 1996), dan lainnya lagi. Akibat dari peperangan tersebut banyak pura
yang dihancurkan pada waktu peperangan berlangsung. Banyak arca dewa-dewi Hindu
yang juga pecah-pecah terpengal atau rusak, hal itu terjadi bukan karena lapuk
akibat kegiatan alam, melainkan arca-arca tersebut memang sengaja dibacok atau
dipenggal dengan senjata tajam, jejak-jejak pengrusakan tersebut masih nyata
terlihat pada beberapa arca yang disimpan dalam pura-pura tertentu.
Demikianlah bahwa
pengrusakan terhadap simbol-simbol kerajaan yang kalah oleh pihak kerajaan
pemenang sudah menjadi suatu keniscayaan, dan itu memang
layak dilakukan untuk menunjukkan keunggulan pihak pemenang.
Hal itu pula yang kiranya terjadi dalam masa Jawa kuno, ketika pusat-pusat
kerajaan telah berkembang di wilayah Jawa Timur. Ketika peperangan kerapkali
terjadi, maka terjadi pula penghapusan pada simbol-simbol dan pembentukan
simbol-simbol baru. Dalam pertalian dengan berbagai peperangan yang terjadi
itulah, maka banyak prasasti batu dari pihak raja yang kalah akan dipupus
secara sengaja oleh pihak kerajaan pemenang.
V
Memang benar tidak semua prasasti batu dari kerajaan yang
kalah dihapus pahatan aksaranya oleh raja pemenang, buktinya berita tentang
zaman Airlangga, era Kerajaan Janggala, dan Kadiri masih ada yang tidak
dihancurkan walaupun upaya untuk mengapus aksaranya pernah dilakukan.
Prasasti-prasasti batu dari masa Kadiri umumnya telah rusak permukaannya,
sehingga sukar untuk dibaca lagi, banyak kata yang tidak mampu
diidentifikasikan lagi, karena upaya penghapusan atau pengrusakan pada
permukaan batu prasasti. Memang dijumpai adanya beberapa prasasti batu yang
meninggalkan jejak guratan kasar pada permukaannya, agaknya bentuk upaya untuk
menghapus aksara pada prasasti tersebut.
Dalam pada itu terdapat pula prasasti-prasasti batu yang
ditemukan masih dapat dibaca dengan baik, walaupun dari masa yang sangat jauh
di belakang era peperangan antarkerajaan. Misalnya beberapa prasasti dari raja
Pu Sindok (abad ke-10) yang masih bertahan hingga sekarang. Agaknya seorang raja
yang dipandang berkharisma, prasasti-prasastinya akan tetap ditaati sampai
waktu yang lama.
Demikianlah dapat kiranya diambil beberapa catatan
tentang pengrusakan secara sengaja terhadap prasasti-prasasti batu:
1.Perusakan dilakukan oleh masyarakat masa lalu dari
periode Hindu-Buddha sendiri atau dari periode yang lebih kemudian di zaman
perkembangan Islam. Untuk hal terakhir ini tentunya memerlukan kajian
tersendiri.
2.Agaknya pemupusan aksara tidak dilakukan oleh
masyarakat kerajaan pembuat prasasti batu, sebab penegakkan batu prasasti harus
melalui upacara sakral dan dianggap disaksikan oleh para dewa. Perintah raja
yang dipahatkan dalam bentuk aksara tersebut setara dengan perintah dewa, sebab
raja adalah penjelmaan dewa ke dunia.
3.Dirusak atas perintah penguasa/raja pemenang, yang
tidak suka atas isi perintah dalam prasasti raja yang dikalahkan, isi dipandang
tidak sesuai dengan keadaan zaman yang kemudian, prasasti dirusak agar keputusan-keputusan
raja terdahulu tidak lagi harus dipatuhi oleh masyarakat yang kemudian.
Pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa kepentingan politik
dari kerajaan-kerajaan masa Hindu-Buddha lebih nyata tampil, ketimbang
kepentingan-kepentingan keagamaan. Walaupun kedua kerajaan yang berselisih sama-sama mengembangkan dan bercorak agama Hindu-Buddha, namun isi
prasastinya berbeda. Padahal pembuatan prasasti itu disaksikan oleh para dewa
yang sama dan juga menyatakan kutukan yang sama, pengrusakan tetap dilakukan.
Dalam hal pengrusakan bangunan suci keagamaan agaknya dapat mengacu kepada
sejarah Bali zaman Madya, walaupun mereka membangun pura yang sama, arca-arca
dewa yang sama, dan prinsip keagamaan yang sama, yaitu Hindu; tetap saja pengrusakan dilakukan oleh pihak yang menang,
karena semua bangunan suci itu dipandang sebagai simbol dari kerajaan yang
dikalahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Atja, 1968. Tjarita Parahijangan: Naskah Titilar
Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan
Nusalarang.
Boechari, 1968. “Sri Maharaja Mapanji Garasakan: A New
Evidence on the Problem of Airlangga’s Partition of His Kingdom”, Madjalah
Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. V (1): 119—125.
Coedes, George, 2010. Asia Tenggara Masa
Hindu-Buddha. Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Winarsih
Partaningrat Arifin. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Arkeologi Nasional, dll.
Gde Darta, A.A; A.A.Gde Geriya dan A.A.Gde Alit Geria,
1996. Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan Terjemahan ke Dalam Bahasa
Indonesia. Denpasar: Upada Sastra.
Hardjowardojo, R.Pitono. 1965. Pararaton.
Djakarta: Bhratara.
De Casparis, J.G.de, 1956. Selected Inscription
from 7th to the 9th Century AD: Prasasti Indonesia II.
Bandung: Masa Baru.
----------------------, 1995—1996. “Beberapa tokoh Besar
Dalam Sejarah Asia Tenggara dari Kira-kira 1000—1400 M”, dalam Amerta:
Berkala Arkeologi No.16. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Halaman 38—46.
Krom, N.J., 1954. Zaman Hindu. Terjemahan
ke dalam Bahasa Indonesia oleh Arif Effendi. Djakarta: PT.Pembangunan.
Mahaudiana, 1968. Babad Manggis Gianjar.
Gianjar: A.A.Gde Thaman.
Nordholt, H.Schulte, 1996. The Spell of Power: A
History of Balinese Politics 1650—1940. Leiden: KITLV Press.
Rai Mirsha, I Gusti Ngurah (Ketua Tim), 1986. Sejarah
Bali. Proyek Penyusunan Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Suhadi, Machi & Richadiana K., 1996. Laporan
Penelitian Epigrafi di Wilayah Provinsi Jawa Timur. Berita Penelitian
Arkeologi. No.47. Jakarta: Pusat Penelitian arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang (Editor Jilid), 1984. Sejarah
Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Susanti, Ninie, 2010. Airlangga, Biografi Raja
Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu.
Rai Putra, I.B., 1991. Babad Arya Kutawaringin.
Denpasar: Upada Sastra.
----------------,
1995. Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar