Titi Surti Nastiti
(ringkasan dalam buku Pasar di Jawa Kuna Masa Mataram Kuna Abad
VIII-XI M)
Dari
data prasasti disimpulkan bahwa sumber penghasilan kerajaan antara lain ialah
pajak (drawya haji), kerja bakti (buat haji), pajak perdagangan dan
kerajinan, dan denda atas tindak pidana (sukha
duḥkha). Pajak
ditarik dari penduduk di desa-desa oleh pejabat di tingkat watak yang membawahi desa-desa itu. Pejabat pemungut pajak pada
tingkat watak disebut pangurang atau pratyāya. Sedang pejabat pusat yang mengurusi semua pemasukan pajak
disebut paṅkur, tawān, tirip.
Berbagai
prasasti memberi keterangan bahwa pajak ditetapkan untuk tiap tahun. Misalnya
pada prasasti Turyyān (de Casparis,1988:43) tercantum: A. (5) ... piṇḍa paṅguhan = ikang ri turyyān ing
satahun mās ka 1 (6) sū 3
(=jumlah penghasilan Desa Turyyān setahunnya ialah 1 kāti dan 3 suwarṇa emas).
Pajak
yang harus dibayar penduduk diserahkan ke kerajan setiap habis panen. Dari
beberapa prasasti dapat diketahui bahwa waktu penyerahan pajak itu ialah setiap
bulan Asuji (September-Oktober) dan bulan Kārttika (Oktober-November). Akan
tetapi, adakalanya disebutkan nama bulan-bulan tertentu untuk menyerahkan pajak
atau pungutan-pungutan lainnya (Boechari,1981:73).
Selain
membayar pajak penduduk diwajibkan melakukan kerja bakti untuk raja atau
kerajaan (buat haji). Kata lain untuk
buat haji adalah gawai yang kadang-kadang dinyatakan dengan jumlah orang atau jumlah
uang.
Dari
keterangan tentang besarnya pajak dan berapa banyak orang yang harus melakukan
kerja bakti setiap tahun untuk raja dan kerajaan, dapat digambarkan bahwa pada
waktu itu pemerintah pusat mempunyai daftar catatan tentang luas dan berbagai
macam tanah terdapat di seluruh wilayah kerajaan, dan berapa penghasilan pajak
yang dapat diterima. Dari data prasasti diketahui bahwa di pusat kerajaan ada
pejabat yang mengurusi jumlah desa dan jumlah tanah (wilang wanua, wilang thāni). Jumlah pajak yang harus dibayar rakyat
umumnya ditetapkan oleh pejabat di tingkat watak
yang disebut nāyaka. Tentunya wilang wanua dan wilang thāni mempunyai catatan tentang jumlah penduduk di setiap
desa, karena setiap desa mempunyai kewajiban menunjuk berapa orang tiap tahun
yang harus melaksanakan kerja bakti untuk raja atau kerajaan
(Boechari,1986:8-9). Meskipun demikian ada saja pajak yang dibebankan terlalu
tinggi sehingga menimbulkan protes rakyat yang dikenakan pajak. Hal ini
terlihat dari beberapa prasasti yang menunjukkan adanya protes rakyat atas
beban pajak yang ditetapkan itu. Penduduk desa yang diwakili oleh pejabat
desanya mengajukan permohonan kepada raja melalui pemerintah daerahnya agar
ketetapan pajak itu diubah. Biasanya permohonan seperti itu dikabulkan.
Sampai
saat ini belum dapat diketahui dengan pasti berapa besarnya pajak yang harus
diserahkan penduduk kepada penguasa. Berita Dinasti Song menyebutkan bahwa
penduduk harus membayar pajak sepersepuluh dari hasil tanahnya, sedangkan dalam
prasasti Pelepaṅan (906 M) disebutkan bahwa setiap tampah tanah dikenai pajak
sebesar 6 dhārana perak (Boechari dan
A.S.Wibowo:125-6). Disamping pajak hasil bumi dan pajak tanah, rakyat pun harus
membayar pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan. Pajak yang dikenakan
kepada para pedagang dan perajin tidak diketahui besarnya, karena dalam
prasasti hanya disebutkan batasan jumlah barang-barang yang diproduksi dan yang
diperdagangkan. Jika jumlah barang dagangan lebih dari yang ditentukan maka
sisanya itu dikenai pajak.
Dalam
beberapa prasasti terdapat penjelasan tentang adanya pungutan-pungutan tertentu
yang dikenakan pada setiap rumah (ring
salawang-salawang) dan pungutan paṅrāga
skar atau maṅrāga kamwang
(persembahan bunga) yang harus diberikan pada setiap bulan purnama di bulan Jyeṣṭa
(Juni) dan bulan Caitra (April) seperti dalam prasasti Watukura I (902 M) atau
pada bulan Asujidan bulan Caitra dalam prasasi Kwak (879 M) dan prasasti Taji
(901 M).
Selain
pajak, kerja bakti dan pungutan-pungutan lainnya, sumber penghasilan kerajaan
didapatkan dari denda atas tindak pidana (sukha
duḥkha). Adapun jenis sukha duḥkha
dari segala macam perbuatan jahat disebut dalam prasasti ialah mayang tan pawwaḥ (mayang/calon buah
yang tidak menjadi buah), walū rumambat
ning natar (labu merambat di halaman), wipati
atau katiban waṅkay kabūnan
(kejatuhan bangkai yang terkena embun), rah
kasawur ning natar atau ning hawān
(darah yang terhambur di halaman atau di jalan), dūhilaten (menuduh), hidu
kasirat (meludahi), sāhasa
(menganiaya), haṣṭacapala (memukul), wākcapala (memaki), mamijilaken wuri ning kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpang (melakukan tindakan kekerasan terhadap wanita), lūdan, tūtan, angśa pratyangśa
(bunuh membunuh), daṇḍa kudaṇḍa
(pukul memukul).
Jenis
kejahatan yang disebut dalam sukha duḥkha
hanya sebagian kecil dari aṣṭadaśawyawahāra
yaitu 18 jenis kejahatan yang disebut dalam naskah Pūrwwādhigama yang meliputi tan
kasahuraning pihutang (tidak membayar hutang), tan kawehaning patuwāwa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan dṛwya (menjual milik orang
lain), tan kaduman ulihing kinabehan
(tidak kebagian hasil kerja), karuddhaning
huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawahening upahan (tidak memberi
upah), adwa ring samaya (ingkar
janji), alarambeknyan pamelinya
(pembatalan transaksi jual beli), wiwādaning
pinaṅwaken mwang maṅwan (persengketaan antara pemilik ternak dan
penggembalanya), kahucapaning wates
(persengketaan mengenai batas tanah), daṇḍaning
saharṣa wakparuṣya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawṛttining maling (pencurian), ulaḥ sāhasa (tindak kekerasan), ulaḥ tan yogya ring laki strī (perbuatan
tidak pantas terhadap suami-istri), kadumaning
dṛwya (pembagian warisan), totohan
praṇi dan totohan tan praṇi
(taruhan dan perjudian) (Boechari,1986:160-1). Sebagian besar dari jenis
kejahatan yang disebut dalam sukha duḥkha
adalah ulaḥ sāhasa atau tindak
kekerasan (Sumadio,1984:231).
Daftar
Acuan:
Bambang
Sumadio,1984,”Jaman Kuna”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dkk.(ed.). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:
Balai Pustaka. Edisi ke-4.
Boechari,1981,”Ulah
Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuna”, dalam Majalah Arkeologi IV (1-2):67-87. Jakarta.
Boechari,1986,”Perbanditan
di dalam Masyarakat Jawa Kuna”, dalam PIA
IV:159-91.
Boechari
dan A.S.Wibowo, 1985/1986, Prasasti
Koleksi Museum Nasional. Jilid I. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum
Nasional.
Catatan:
Artikel
Boechari 1981 dan 1986 telah masuk dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti,2012.Jakarta: KPG
Titi Surti Nastiti,2003,Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar