EPIGRAFI = SEJARAH KUNO?
Prof. Dr. Noerhadi Magetsari
(Makalah dipublikasikan dalam acara Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012)
(Makalah dipublikasikan dalam acara Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012)
I.
Dalam
rangka memperingati Prof. Boechari melalui peluncuran kumpulan-kumpulan
karangannya, artikel ini akan mempermasalahkan apakah anggapan selama ini yang
memperlakukan epigrafi sekaligus juga sejarah kuno masih seyogyanya
dipertahankan.1] Sebagaimana diketahui, baik epigrafi maupun sejarah
kuno, dalam kurikulum Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya sejak pendiriannya pada
tahun 1942 sebagai Faculteit der Letteren
en Wijsbegeerte, memang tidak terpisahkan. Keduanya merupakan kesatuan dan
menjadi salah satu kekhususan dalam Departemen Arkeologi. Prof. Boechari
merupakan mahasiswa bangsa Indonesia pertama yang mengambil kekhususan epigrafi
di Universitas Indonesia,2 dan yang menekuninya sampai akhir hayatnya.
Sesungguhnya Prof. Boechari memiliki pendahulu, yaitu alumnus Universitas
Leiden (1938), Prof. Dr. Poerbatjaraka. Namun demikian, Prof. Dr. Poerbatjaraka
tidak secara khusus menekuni epigrafi, melainkan juga filologi.
Sebagaimana
yang kita ketahui bersama, masalah sejarah terutama berkenaan dengan masalah
penulisannya, atau historiografi. Hal ini disebabkan oleh karena
historiografilah yang akan menentukan bagaimana sejarah itu hendak disampaikan.
Apakah akan disampaikan sebagai sejarah nasional, sejarah kebangsaaan, ataukah
sebagai sejarah hasil kajian ilmiah. Demikian pula apakah akan disampaikan
sebagai sejarah sosial atau politik, yang kesemuanya itu ditentukan oleh
historiografi. Mengenai hal ini akan dibicarakan lebih lanjut kemudian. Tanpa kejelasan
dan ketajaman akan pengertian historiografi, maka akan terdapat kerancuan
antara berbagai arah penulisan tersebut di atas, dalam arti tidak terdapat
perbedaan dalam penulisannya, antara sejarah kebangsaan dari sejarah hasil
pengkajian ilmiah.
Sesungguhnya,
pada waktu menerima permintaan untuk ikut berbicara dalam acara ini, saya
sempat merasa ragu, oleh karena saya bukanlah seorang ahli epigrafi, sedangkan
sejarah kuno pun bukan bidang keilmuan saya. Namun demikian, di sisi lain, saya
pun berkeinginan untuk ikut meramaikan peluncuran buku kumpulan karangan Prof.
Boechari. Sebagai jalan tengah, maka karangan ini akan membahas hubungan
epigrafi dengan sejarah kuno dari perspektif historiografi. Dalam memilih
permasalahan ini saya terinspirasi oleh teori Berg tentang Javaansche
geschiedscrijving (1938 dan 1959).
Kebetulan,
karangan Prof. Boechari tentang historiografi yang berjudul “Epigrafi dan
historiografi Indonesia” dimuat dalam buku An Introduction to Indonesian
Historiography yang salah seorang editornya adalah ayah saya. Oleh karena
itu kesempatan ini pun sekaligus ingin saya pergunakan pula untuk
mengenang beliau. Atas dasar itu maka
kajian akan dimulai dari bagaimana pendapat Prof Boechari tentang historiografi
sejarah kuno Indonesia dalam hubungannya dengan epigrafi.
II.
Prof.
Boechari membuka karangannya dengan menyatakan bahwa:
“Jika berbicara tentang sejarah kuno Indonesia, dengan
sendirinya kita teringat akan karya N.J. Krom, Hindoe-Javaansche
Geschiedenis (HJG). . . . yang
sampai kini dapat dianggap sebagai satu-satunya buku referensi mengenai sejarah
kuno Indonesia”. (1995:39).
Walaupun
dalam pernyataannya ini hanya dinyatakan bahwa HJG masih tetap merupakan buku referensi sejarah kuno Indonesia,
namun sesunnguhnya bagi beliau Krom dan bukunya itu memiliki makna lebih dari
itu, yaitu yang berkenaan dengan historiografinya. Tentang hal ini beliau,
dengan mengutip pendapat de Casparis, menyatakan:
“Kalau isi buku Krom itu diteliti, segera terlihat
bahwa kita dihadapkan pada sebuah analisis yang berbeda sekali dari apa yang
terdapat dalam buku sejarah konvensional. Di dalamnya kita sering menemukan
pembahasan tentang tafsiran sebuah kata tertentu di dalam prasasti atau sumber
sejarah lainnya, . . . . yang selanjutnya dipakai oleh Krom untuk menarik
kesimpulan-kesimpulannya dengan hati-hati. Namun, tak jarang pula ia tidak
menarik kesimpulan sama sekali”. (1995:39)
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa dalam historiografinya Krom telah menerapkan sebuah
metode yang berbeda dari metode historiografi konvensional, yaitu metode
interpretasi. Namun demikian, secara tidak langsung ditunjukkan pula bahwa
dalam menerapkan metode ini tidak membuat Krom tanpa mengalami kesulitan dalam
menarik kesimpulan. Kesulitan yang dihadapi Krom itu dapat diketahui dari
pernyataan bahwa ia tidak jarang pada akhir analisisnya tidak menyimpulkan sama
sekali hasil interpretasinya.
Di
bagian lain dari karangannya itu, Prof. Boechari menunjukkan konsekuensi yang
mengacaukan historiografi yang disusun berdasarkan atas hasil dari penerapan
metode interpretasi terhadap kata tertentu itu: “apabila suatu teori disusun
berdasarkan tanggal yang dibaca dengan salah, itu hasilnya ialah kekacauan”.
(1995:43).
“Suatu contoh ialah prasasti di balik patung Camunḍi
di Adimulyo (Singasari). Tanggalnya, yang memang terdapat di bagian yang rusak,
semula dibaca oleh Goris dan Stutterheim sebagai tahun 1254 Çaka. Maka
Stutterheim mengaitkan prasasti itu dengan Ratu Tribhuvanâ dari Majapahit dan
dengan pertempuran-pertempuran di Sadeng dan Kĕta yang terjadi di bawah
pemerintahannya.” (1995: 43)
Selanjutnya
Prof. Boechari secara lebih rinci menguraikan tentang apa yang dimaksudkannya
dengan kekacauan itu:
“Semua teori itu menjadi berantakan setelah Damais
berhasil menetapkan bahwa tanggal yang tepat ialah 1214 Çaka, dan prasasti itu dikaitkan dengan dengan Raja
Kĕrtanĕgara.” (1995: 43)
Di
samping disebabkan oleh perbedaan interpretasi dalam membaca angka, kekacauan
itu pun disebabkan pula oleh perbedaan dalam interpretasi membaca kata,
sebagaimana dikatakannya:
“Bahkan setelah ada beberapa bagian tambahan
melengkapi prasasti itu, kian jelaslah bahwa prasasti itu tidak ada kaitannya
dengan pertempuran Sadeng, karena bagian yang menurut rekonstruksi Stutterheim
berbunyi mawuyung yi sa (deng) seharusnya dibaca sakala-dwipâ tara”
(1995: 43).
Kekacauan
yang demikian itu mudah dimengerti mengingat keadaan prasasti itu sendiri, yang
seperti dikatakan Prof. Boechari:
“Ada beberapa kesulitan inheren dalam menjalankan
tugas tersebut. Pertama prasasti-prasasti itu banyak yang dalam keadaan rusak,
terutama yang tertulis di atas batu, sehingga sulit membacanya. Tetapi
bagaimanapun juga, sekalipun berbekal ketekunan, ia sering menghadapi
bagian-bagian prasasti yang tidak dapat dibaca lagi. Terjemahan naskah
mendatangkan kesulitan lain. Pengetahuan kita tentang bahasa-bahasa yang
dipakai dalam prasasti belum memadai untuk menangkap arti teks itu sepenuhnya.”
(1995: 41)
Di
dalam menghadapi kondisi yang demikian ini, maka Prof. Boechari merumuskan
tugas ahli epigrafi sebagai berikut:
“Tugas ahli epigrafi sekarang ini bukan hanya
mempelajari prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga mengkaji
kembali semua prasasti yang telah diterbitkan transkripsi sementaranya, lalu
menerjemahkan prasasti-prasasti itu ke dalam bahasa modern agar sarjana lain,
terutatama sejarawan, dapat memanfaatkan keterangan yang terdapat di dalamnya.”
(1995: 41)
III.
Menilik
kutipan terakhir itu, Prof. Boechari menempatkan prasasti dalam kedudukan
sebagai sumber sejarah, sedangkan ahli epigrafi bertugas untuk mengalih
aksarakan teks yang tertulis di dalamnya serta kemudian menerjemahkan bahasa
yang dipakai ke dalam bahasa modern. Adapun tugas selanjutnya, antara lain
menulis sejarah, diserahkan kepada ahli sejarah. Dengan demikian maka, menurut
Prof. Boechari, ahli epigrafi tidak menulis sejarah, melainkan mempersiapkan
sumber sejarah agar dapat dipakai oleh ahli sejarah.
Dalam
konteks kesejarahan, kedudukan prasasti sebagai sumber sejarah itu dapat
dianalogikan dengan arsip. Hakekat arsip, menurut archival science atau archivistik,
merupakan peristiwa yang dengan sendirinya telah berlalu sehingga telah
mengalami pembekuan. Adapun tugas ahli kearsipan adalah membuat peristiwa itu
cair kembali, sehingga dapat menjadi bermakna dalam masa sekarang. Dengan
demikian, maka tugasnya adalah mengubah masa lampau menjadi masa kini, dengan
cara menjadikan yang statis menjadi dinamis.
Dalam
rangka pemikiran yang demikian inilah maka sesungguhnya muncul permasalahan
hakekat prasasti itu. Apakah prasasti itu sebuah sumber sejarah atau merupakan
sebuah historiografi. Dalam menghadapi permasalahan ini, maka menarik kiranya
untuk disimak pendapat Berg, yang juga disinggung Prof. Boechari, walaupun
dalam konteks yang berbeda, yaitu yang berkenaan dengan “historiografi” dalam HJG Krom. Sebagaimana diketahui, Krom
dalam menyusun HJG, khususnya yang
berkenaan dengan sejarah Singasari dan Majapahit mempergunakan Pararaton dan
Nâgarakṛtâgama karya Prapañca sebagai sumbernya.
Berbeda
dari Prof. Boechari, Berg (1938) justru menyangsikan penggunaan Pararaton dan
Nâgarakṛtâgama dan prasasti oleh Krom sebagai sumber sejarah. Menurut Berg
kedua kitab itu lebih merupakan sebuah kitab keagamaan yang ditujukan untuk
kelanggengan dinasti yang sedang memerintah, daripada kitab yang melukiskan
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sehingga ia cenderung untuk meragukan
penggunaannya sebagai fakta atau bukti sejarah, sebagaimana Krom melakukannya.
Atas dasar itu maka ia lebih cenderung untuk memperlakukannya sebagai sebuah “historical literary magic‟ (1962: 205),
sebuah historiografi yang khas Jawa. Mudah dimengerti bahwa dengan
memperlakukan kedua kitab itu secara demikian (1938, 1959), maka kedudukannya
sebagai sumber sejarah dengan sendirinya patut diragukan. Masalahnya adalah
apakah sebuah sumber penelitian yang ditulis dalam bentuk historiografi itu
isinya dapat diperlakukan sebagai fakta sejarah. Apa yang menarik dari Berg
adalah bahwa dalam ia menulis sendiri sejarah kuno Indonesia, ia menerapkan
teori historiografi Jawa yang dikembangkannya, seperti misalnya Het Rijk van de Vijfvoudige Buddha yang telah disebut di atas, di antara karya-karyanya
yang lain.
Pada
kesempatan ini patut diingat kiranya bahwa sesungguhnya, ahli sejarah pertama
yang menemukan dan kemudian memperkenalkannya kepada komunitas ilmiah dunia
akan keberadaan kekhasan historiografi di Nusantara itu adalah Husein
Djajadiningrat (1913). Beliau melakukannya dalam tahun 1913 dan yang
mengajukannya sebagai disertasi.
IV.
Setelah
membicarakan masalah epigrafi, maka sampailah kita pada pembicaraan tentang
sejarah kuno. Pertama marilah kita simak terlebih dahulu pendapat Prof. Boechari.
“Seorang sejarawan tidak dapat mengharapkan bahwa
semua prasasti memuat keterangan lengkap seperti “batu Calcutta‟ atau prasasti
dari Gunung Butak. Ia harus membangun cerita sejarahnya dari sejumlah fakta
yang tersebar dalam berbagai prasasti, sebagaimana burung membangun sarangnya
dengan menghubungkan beberapa titik pada dahan yang terpisah-pisah.” (1995: 51)
Dari
kutipan di atas, secara tegas Prof. Boechari telah memperlakukan prasasti
sebagai sebuah fakta sejarah. Dengan demikian maka tugas ahli sejarah adalah
menghubungkan fakta-fakta yang diperolehnya melalui pembacaan aksara dan
penerjemahan teks yang digoreskan dalam prasasti. Melalui konsep sejarah kuno
sebagaimana yang dianut oleh Prof. Boechari, maka tidaklah mengherankan apabila
ahli epigrafi di Indonesia, dapat sekaligus juga menjadi ahli sejarah kuno.
Bagaimana
apabila masalah tersebut di atas ditinjau dari sudut historiografi, yang patut
disayangkan luput dari perhatian Prof. Boechari. Beliau hanya menyimpulkan :
”Dalam alinea-alinea tersebut, dengan singkat penulis telah mencoba
membicarakan epigrafi dan mencoba memberikan usulan bagaimana epigrafi dapat
membantu historiografi Indonesia kuno.” (1995: 56). Dengan demikian maka Prof.
Boechari mendudukkan epigrafi sebagai ilmu bantu sejarah, khususnya sejarah
kuno dan secara lebih khusus lagi sejarah kuno Indonesia. Sebagai
konsekuensinya maka prasasti dengan demikian saja diperlakukan sebagai fakta
sejarah, sedangkan historiografi digambarkan sebagai metode merangkai berbagai
fakta tersebut. Mungkin metodologi yang dianut sedemikian ini menjadikan beliau
tidak lagi menyinggung masalah historiografi sebagai historiografi. Di sisi
lain, historiografi sebagai historiografi sesungguhnya telah dikaji oleh
seorang ahli filsafat sejarah Italia, Benedetto Croce (1921) yang hidup sejaman
dengan Krom. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya baik ahli sejarah,
filsafat maupun ahli-ahli ilmu sosial dan budaya lainnya, sedikit banyak tidak
terlepas dari penggunaan fakta sejarah dan bahan bukti yang diolah untuk
mendukung penalaran, sudut pandang maupun teori yang mereka kembangkan.
Historiografi sebagai sebuah bidang ilmu tidak memiliki sebuah metode akan
tetapi mengembangkan tradisi yang berlain-lainan, sehingga banyak menimbulkan
ketidak samaan pendapat dalam memandang peran sejarah. Di antara
tradisi-tradisi itu, sepanjang perjalanan sejarahnya, dapat dikenali
berkembangnya dua tradisi yang saling bertentangan dalam pendekatannya. Pertama
yang bermaksud untuk menjadikan sejarah “scientific” dengan menekankan
penerapan metode dan teknik analisis fakta sejarah secara ketat (Collingwood,
1956; Dray, 1964). Di lain fihak sisi ahli sejarah yang tidak hanya melihat
pentingnya penerapan metode dan teknik yang ketat melainkan juga mengutamakan
aspek “humanity”.
Penerapan
metode sejarah menunjukkan bahwa pendekatan induktif lebih banyak diterapkan
daripada metode deduktif, demikian pula yang spesifik atau individual lebih
banyak diteliti daripada yang bersifat umum. Dari penerapan yang demikian itu
maka terlihat bahwa sesungguhnya setiap periode dan konteks sejarah memiliki
penjelasan sendiri tentang penalaran dan sebab tentang mengapa suatu peristiwa
itu terjadi. Oleh karenanya setiap peristiwa sejarah harus diperlakukan sebagai
keunikan sesuai dengan periode dan konteksnya yang spesifik, sehingga dengan
demikian tidak mungkin digenaralisasi.
Tradisi
historiografi yang terdekat dengan tradisi yang pertama adalah tradisi Annales
(Clark, 1985), melalui kajiannya terhadap bukti sejarah dapat mengungkapkan
tingkat generalisasi tertentu. Atas dasar ini maka Tradisi Annales dikenal
sebagai aliran historiografi yang empiris-analitis. Adapun tujuan dari aliran
ini adalah bagaimana memahami masa lampau. Namun demikian pengertian memahami
yang dianut aliran ini hanya merupakan suatu tahapan untuk mencapai explanasi kausal. Untuk mencapai tujuan
ini maka diperlukan penerapan seperangkat metode dalam mengumpulkan dan
menganalisis data sejarah. Menurut pemahaman aliran ini, hanya dengan cara
demikianlah sejarah dapat menjadi ilmiah (scientific), dan dengan
demikian menjadi lebih bermartabat. Hal ini disebabkan oleh karena konteks Prancis
menganggap bahwa pemahaman atas sejarah merupakan landasan bagi pemahaman lebih
lanjut tentang kemanusiaan (humanity).
Adapun
aliran yang kedua adalah tradisi historiografi yang menerapkan metode kritik
dan pendekatan dengan perspektif hermeneutik. Sebagai konsekuensi
metodologisnya, aliran ini beranggapan bahwa tidaklah mungkin untuk dapat
memahami masa lampau secra langsung, tanpa perantaraan interpretasi yang
didasarkan atas perspektif dan konteks masa kini. Hal ini diakibatkan oleh
kenyataan bahwa untuk memahami fakta yang terekam di dalamnya haruslah terlebih
dahulu memahami konteks budayanya. Walaupun bagaimana proses perekaman itu menyangkut
bagaimana kebudayaan itu memandang dunianya serta fakta-fakta yang ada di
dalamnya.
Sebagaimana
telah diutarakan, mengembangkan pengertian memahami dangan mengkaitkannya
dengan explanasi kausal. Sebalikanya,
perspektif hermeneutik mengembangkan
makna pemahaman menjadi lebih luas dari sekedar explanasi kausal. Masalahnya adalah bahwa untuk menerangkan sebuah
fenomena tidak cukup hanya dengan mengungkapkan hubungan kausalitasnya. Guna
dapat memperoleh pemahaman yang benar perlu diketahui terlebih dahulu mengapa
kausalitas itu terjadi. Pemahaman tentang suatu fenomena tidak dapat diperoleh
melalui pengetahuan yang instan, melainkan harus senantiasa dilakukan melalui
proses eksplanasi tentang antar hubungan yang terjadi. Dengan demikian maka
dapat dikatakan bahwa pengertian pemahaman menurut perspektif hermeneutik
adalah pemahaman tentang explanasi
antar hubungan, dan bukan sekedar hubungan kausal.
Pada
akhirnya tentang historiografi dapat disimpulkan bahwa guna dapat melukiskan
berbagai peristiwa dan dengan demikian juga sejarah memerlukan metode untuk
mengkaji kumpulan berbagai fakta empiris dan pengulangan terjadinya
kejadian-kejadian yang sama. Namun demikian hanya melalui pendekatan ini belum
dapat diperoleh pemahaman dalam arti yang sebenarnya. Guna dapat memperolehnya
masih diperlukan interpretasi. Dalam hal ini perlu diingat bahwa interpretasi
sendiri sesungguhnya mengandung bias perspektif yang diakibatkan oleh
pengalaman masa lampau, minat, dan nilai. Namun demikian bias ini dapat diatasi
dengan cara terus menerus mempermasalahkan kejadian-kejadian yang sama, serta
menguji kesamaan-kesamaan yang dapat dikenali dengan kecualian-kecualian yang
kiranya dapat menghambat pemerolehan pemahaman yang baru.
V.
Setelah
memperhatikan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai akibat dari
pengabaian terhadap peran historiografi dalam penulisan sejarah kuno maka
epigrafi seolah-olah sama dengan sejarah kuno atau sejarah kuno sama dengan
epigrafi. Sementara itu historiografi telah berkembang dan memiliki beberapa
tradisi yang tujuannya adalah memahami masa lampau. Namun demikian, walaupun
pemahaman itu harus diperoleh melalui metode interpretasi yang bias dalam
perspektif serta bersifat subyektif, dan oleh karena itu perlu didahului dengan
penerapan metode science yang ketat,
untuk kemudian mengalami pengujian kembali.
Melalui
penerapan historiografi, terlepas dari tradisi historiografi apa, mudah-mudahan
akan dapat diungkapkan pemahaman baru tentang berbagai peristiwa, dan pemahaman
baru tentang terjadinya pengulangan kejadian yang sama, sehingga dapat
diperoleh pengetahuan tentang masa lampau, pengetahuan tentang kekhasan tiap
periode kesejarahan, atau pengetahuan tentang kejadian yang sama dan terjadi
secara berulang-ulang, misalnya. Kemungkinan akan memperoleh hasil yang
demikian ini memperkuat atau mengaskan pernyataan di atas, yang mengatakan
bahwa pemahaman tentang masa lampau tidak dapat dilakukan dengan pengetahuan
yang instan terhadap fakta sejarah, melainkan mutlak diperlukan penerapan
metode “antara‟ yaitu interpretasi.
Dalam
konteks epigrafi, maka apabila prasasti diperlakukan sebagai representasi fakta
sejarah masa lampau, maka terhadapnya tidak dapat dipahami melalui interpretasi
kata demi kata. Hal ini disebabkan oleh karena prasasti merupakan proses bekuan
dari peristiwa, sehingga unit analisisnya pun seyogyanya juga peristiwa dan
bukan kata. Dengan demikian maka metode interpretasi yang diterapkan tidak
terbatas pada kata, melainkan kata dalam konteks. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Prof. Boechari sendiri, melalu penerapan interpretasi instan ini, Krom
tidak dapat mengambil kesimpulan, padahal tujuan historiografi adalah
memperoleh pemahaman tentang masa lampau untuk pada akhirnya menguasai pengetahuan
baru tentang kemanusiaan. Dalam kesempatan ini saya hanya dapat menyampaikan
bahwa perlu penajaman konsep tentang apakah prasasti itu merupakan fakta
sejarah atau sebuah bekuan tentang peristiwa masa lampau.
1
Artikel ini disampaikan pada Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno
Indonesia, pada tanggal 5 Desember 2012, di Kampus Universitas Indoneia,Depok 2
Mahasiswa pertama di bidang ini adalah J.G. de Casparis yang mempertahankan
disertasinya yang berjudul Inscripties uit de Çailendra Tijd, pada tahun
1950.
2.
Mahasiswa pertama di bidang ini adalah J.G. de Casparis yang mempertahankan
disertasinya yang berjudul Inscripties uit de Cailendra Tijd, pada tahun 1950.
Kepustakaan
Berg, C.C. 1938 “Javaanse
Geschiedschrijving”, dalam Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie.
1951 De evolutie der Javaanse geschiedschrijving. 1962 Het Rijk van
de Vijfvoudige Buddha. Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie
van Werenschappen Afd Letterkunde. Nieuwe Reeks, LXIX. No.7. Amsterdam.
Boechari 1995 “Epigrafi dan
Historiografi Indonesia”, dalam Soedjatmoko, dkk. (eds), Historiografi
Indonesia. Sebuah Pengantar. Diterjemahkan oleh Mien Joebhaar. Jakarta.
Hlm. 39-57.
Clark, Stuart 1985 “The Annales Historians”,
dalam Quentin Skinner, The Return of Grand Theory in Human Sciences.
Cambridge.
Collingwood,
R.G. 1956 The Idea of History. London: Oxford University Press.
Croce,
B. 1921 Theory & History of Historiography. Diterjemahkan dari
Bahasa Itali oleh Douglas Ainslie. Londin.
Djajadiningrat,
Husein 1913 Critische beschouwing van de Sadjarah Bantĕn. Harlem.
Dray,
William H. 1964 Philosophy of History. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Krom,
N.J. 1931 Hindoe-Javaansche Geschiedenis. „s-Gravenhage.
Skinner Quentin, 1985 The Return
of Grand Theory in Human Sciences. Cambridge.
Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J.
Resink, and G. McT. Kahin (eds) 1965 An Introduction to Indonesian
Historiography Ithaca, New York. 1995 Historiografi Indonesia. Sebuah
Pengantar. Diterjemahkan oleh Mien Joebhaar. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar