Supratikno Rahardjo
(ringkasan
buku Peradaban Jawa dari Mataram Kuno
sampai Majapahit Akhir, hlm: 261-265 dalam sub-bab Pedagang)
Pengelompokan pedagang
dapat juga dilakukan berdasarkan tempat asal dari pedagang yang bersangkutan.
Kelompok pedagang dapat dibagi menjadi dua, yakni pedagang setempat dan
pedagang asing. Pedagang setempat adalah mereka yang memiliki profesi dagang
dan menjadi warga masyarakat Jawa. Mereka adalah warga suatu desa atau kota
tertentu dengan jangkauan wilayah dagangnya terbatas di wilayahnya sendiri
(pedagang lokal) ataupun di sejumlah wilayah desa atau kota sekaligus (pedagang
regional) atau bahkan hingga ke luar wilayah kerajaan (pedagang internasional).
Pedagang setempat yang melakukan aktivitas dalam skala lokal mungkin
menyediakan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari, misalnya beras, sayuran,
buah-buahan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang cenderung tidak tahan lama.
Sedangkan para pedagang
dengan wilayah jangkauan meliputi sejumlah desa tertentu mungkin menyediakan
kebutuhan akan barang-barang lebih tahan lama dan yang tidak selalu tersedia di
setiap wilayah, misalnya garam, alat-alat rumah tangga (wadah tanah liat,
alat-alat logam, perabot kayu) dan pakaian. Sedangkan pedagang internasional,
terutama menjual barang-barang setempat atau dari tempat lain (yang diekspor
lagi) yang memiliki nilai tinggi dan tidak dihasilkan atau tidak tersedia dalam
jumlah yang mencukupi di negeri yang hendak dituju (misalnya beras, pakaian,
barang-barang kerajinan tertentu, rempah-rempah, satwa unik, mutiara, tumbuhan
obat-obatan dan lain-lain). Pedagang setempat yang melakukan aktivitasnya
hingga ke luar wilayah kerajaan mungkin kembali dengan membawa barang-barang
dengan kualitas tinggi yang banyak dibutuhkan di negerinya sendiri.
Adapun mereka yang
tergolong pedagang asing adalah para pedagang yang menjadi warga negara asing
dan melakukan aktivitas perdagangan hingga ke wilayah Jawa. Kelompok pedagang
asing dapat dibagi menjadi dua, yakni mereka yang berasal dari wilayah nusantara
dan mereka yang berasal dari daratan Asia.
Para pedagang dari
wilayah nusantara pada umumnya tidak disebutkan secara eksplisit asal
daerahnya. Kehadiran mereka di Jawa hanya dapat disimpulkan secara tidak
langsung dari sumber-sumber prasasti. Sebuah prasasti berbahasa Melayu kuna,
yakni Gondosuli II (827 saka) menyebutkan seorang tokoh dengan nama daṅ puhawaṅ glis. Sebutan puhawaṅ yang berarti ‘nahkoda’ atau
‘kapten kapal dagang’ (Zoetmulder, 1982:205) mengindikasikan bahwa sejak awal
abad ke-9 M telah ada komunitas pedagang Melayu yang tinggal di pedalaman Jawa
Tengah (Temanggung). Keterangan berikutnya berasal dari masa Airlangga, yakni
prasasti Kamalagyan (1037 saka). Di dalam prasasti ini dituliskan perasaan para
nahkoda dan pedagang dari wilayah nusantara (parapuhawaṅ prabanyaga sangkāring dwīpāntara) “yang bersukaria karena
perjalanan mereka melalui Sungai Brantas telah kembali lancar (de Casparis,
1958).
Berbeda dengan pedagang
nusantara, pedagang dari daratan Asia umumnya disebut secara eksplisit asal
wilayahnya. Sumber prasasti tertua yang menyebutkan adanya pedagang asing ini
adalah prasasti Kuti (804 saka). Namun sayang prasasti ini merupakan salinan
dengan banyak kesalahan. Di dalamnya disebutkan nama-nama pedagang asing yang
disebut menurut asalnya, yakni Cempa
(Campa), Kling (Keling), Haryya, Singha (Singhala), Gola (Gauda/Benggala), Cwalika, Malyala, Karnnake, Remon/Ramman (Mons), Kmir
(Khmer). Sebagian dari orang-orang tersebut ditemukan lagi pada
prasasti-prasasti masa berikutnya, yakni Kaladi (909 saka) dan Palebuhan (927 saka). Dari dua prasasti ini
muncul nama lain, yaitu drawiḍa
dan panḍikira.
Semua prasasti tersebut
ditemukan di wilayah Jawa Timur. Dari susunan orang-orangnya, mereka terutama
berasal dari Asia Selatan dan dua dari Asia Timur, yaitu Campa dan Khmer. Pada
masa Sindok tidak ada prasasti yang menyebutkan keberadaan orang asing, baru
pada masa Airlangga muncul lagi di dalam prasasti Cane (1020 s), Patakan dan
OJO LXIV. Ditemukannya istilah juru kliṅ
(pemimpin orang Keling) di beberapa prasasti (Barsahan, 908, OJO LXIV dan Cane
1021) mungkin merupakan pertanda bahwa kelompok ini menduduki persentase
terbesar. Sementara itu orang Cina tidak disebut-sebut dalam prasasti tersebut,
tetapi nama juru cina disebut dalam
prasasti Kañcana (860 saka). Namun sayangnya prasasti ini juga merupakan
salinan (tinulad) yang ditulis pada
masa kemudian (Jones,1984:23-25).
Hal menarik yang dapat
dikemukakan disini adalah bahwa penyebutan orang-orang asing secara eksplisit
dalam prasasti hanya berlangsung hingga masa Airlangga (Cane 1021 s). Sesudah
itu penyebutan orang asing terutama kita ketahui dari sumber sastra, khususnya
kakawin Nāgarakṛtāgama (1365 m).
Kitab ini menyebutkan nama-nama bangsa asing yang datang menghadiri perayaan
tahunan di ibukota Majapahit. Mereka datang dengan menggunakan kapal (potra) bersama para pedagang dalam
jumlah besar. Bangsa-bangsa tersebut disebutkan berasal dari wilayah Siam (Syangka, Ayodhyapura, Dharmanagarī, Rājapura), Mianmar (Marutma), Campa (Campā,
Singhanagarī), Kambojā, Annam (Yawana),
India Utara (Jambhudwīpa), India Timur
(Goda), India Selatan (Kāñcipuri, Karnataka) dan Cina (Robson,
1981:263).
Daftar
Acuan:
S.O.Robson,1981, “Java
at the Crossroads: aspects of Javanese Cultural History in the 14th and 15th
Centuries”, dalam BKI,137:259-292.
Antoinette.M.Barett
Jones,1984. Early Teenth Century Java
from the Inscriptions: A Study of Economic, Social, and Administrative
Conditions in the First Quarter of the Century.
Dordrecht/Holland/Chinnaminson-USA.
J.G.de Casparis,1958. Short Inscriptions from Tjandi Plaosan-Lor.
Dalam Berita Dinas Purbakala, No.4. Djakarta.
P.J Zoetmulder,1982,Old-Javanese-English Dictionary.KITLV.Den
Haag:NijhoffSupratikno Rahardjo, 2011,Peradaban Jawa dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir,Cetakan Kedua. Depok: Komunitas Bambu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar