Boechari
(ringkasan
artikel dalam buku Melacak Sejarah Kuno
Indonesia Lewat Prasasti)
Sumber penghasilan kerajaan
kuno terdiri atas pajak, yaitu pajak tanah/hasil bumi, pajak
perdagangan/penjualan, dan pajak atas usaha kerajinan dan denda-denda atas
segala tindak pidana yang dijatuhkan di dalam sidang pengadilan. Semua itu
disebut dengan istilah drawya haji,
yang secara harfiah berarti “milik raja”.
Keterangan mengenai
pajak perdagangan/penjualan (masamwya wahāra),
usaha kerajinan (miśra) dan
denda-denda atas segala tindak pidana (sukhaduḥka)
dijumpai di dalam bagian prasasti yang menyebutkan status daerah sīma. Contoh ada dalam Prasasti Muñcaṅ (944
M).
Lain daripada drawya haji, kerajaan juga berhak atas buat haji, yaitu persembahan kepada raja
yang dapat berupa tenaga kerja sukarela atau persembahan yang lain. Istilah
lain untuk buat haji adalah gawai. Gawai sering dinyatakan dengan jumlah
orang, tetapi ada kalanya dengan sejumlah uang. Orang-orang asing dan
orang-orang yang mempunyai profesi tertentu juga dikenai pajak. Mereka itu
disebut dengan isitilah warga kilalān
yang hanya terdapat pada prasasti masa raja Dharmawaṃśa Airlaṅga.
Hal yang menarik
perhatian adalah bahwa rupa-rupanya dahulu kala sudah ada catatan tentang
perkiraan hasil sebidang tanah di dalam administrasi pemerintahan di tingkat
pusat. Hal itu dapat pula disimpulkan dari berbagai prasasti yang menyebutkan
bahwa sebidang tanah atau suatu desa yang akan ditetapkan menjadi sima
berpenghasilan sekian, atau ditaksir berpenghasilan sekian. Pajak yang dihitung
bukan hanya luas berbagai jenis tanah, namun juga jumlah penduduk atau
sekurang-kurangnya jumlah kepala keluarga.
Demikianlah maka
perumusan tentang status suatu daerah sīma
di dalam pelbagai prasasti membayangkan kepada kita bahwa pajak dan
pungutan-pungutan yang lain itu ditarik oleh para rāma (ketua desa) dari penduduk desa, kemudian para rama
menyerahkan hasilnya kepada rakai
atau pamgat yang membawahi desanya,
setelah mengambil bagian masing-masing kemudian memberikan drawya haji dari daerah lungguhnya kepada raja, juga setelah
menyisihkan bagian masing-masing.
Dalam pemungutan pajak
pun ternyata ada banyak penyimpangan. Data tersebut dapat dilihat di Prasasti
Palǝpaṅan (906 M), Prasasti Luītan (901 M), dan Prasasti Kinǝwu (907 M). Salah satu
contoh yaitu Prasasti Kinǝwu memberikan kepada kita keterangan tambahan yang
menarik, yaitu hierarki dalam pemerintahan dan prosedur pengajuan permohonan
dari rakyat kepada raja. Dapat dilihat bahwa pertama-tama para pejabat desa Kinǝwu
mengajukan protes kepada penguasa daerah yang membawahi desanya, yaitu Rakryān
i Raṇḍaman dengan membayar sejumlah uang. Protes tersebut tidak sempat
diselesaikan karena penguasa tersebut telah meninggal. Tanpa menunggu sampai
ada rakai pengganti di wilayah Raṇḍaman, para pejabat desa meneruskan protesnya
kepada raja dengan perantaraan pratyaya
dari wilayah Raṇḍaman. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih
banyak dari yang dibayarkannya di tingkat watak.
Di ibu kota kerajan mereka diterima oleh Saṅ Pamgat Momahumah, yaitu Pamgat
Mamrata. Pejabat itulah yang mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja.
Sebagai singkatnya,
kasus-kasus dari ketiga prasasti tersebut menunjukkan adanya penyelewengan
dalam penetapan pajak. Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu
mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi
kesempatan untuk mengajukan protes, penarik pajak atau sang nāyaka akan memperoleh keuntungan sepertiga
dari jumlah yang dibayarkan oleh rakyat, karena ia menggunakan satuan tampah yang luasnya hanya 2/3 tampah haji yang baku.
Penjelasan lebih lengkap dapat di baca di buku:
Boechari, 2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: KPG. hlm:291-306
Bisa diperoleh di toko buku Gramedia atau lainnya
atau dipesan melalui fauzan.vernika@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar