Arfian.S.
(dalam
Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III, Bali, 7-8 Oktober 1989, Kajian
Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi, hlm:148-158)
Maju mundurnya suatu
tingkat kehidupan dan kebudayaan bersangkutan langsung dengan cukup tidaknya
usaha manusia mengembangkan dan memanfaatkan, serta menyelamatkan sumber daya
air dan lahan, karena kedua sumber ini merupakan unsur yang sangat penting
dalam rangka usaha meningkatkan taraf hidup manusia. Salah satu pemanfaatan
sumberdaya air dan lahan oleh manusia, adalah dalam usaha pertanian.
Umumnya masyarakat Bali
kuna telah mengenal beberapa jenis lahan pertanian, hal ini kita ketahui dari
berita-berita di dalam prasasti yang antara lain menyebutkan adanya sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun) dan kasuwakan.
Dalam prasasti “Songan Tambahan” yang bertarikh 1023 M, disebutkan bahwa
pengolahan atau proses penanaman padi di sawah sebagai berikut:
Amabaki
(menebang hutan, membuka lahan)
Amaluku
(membajak)
Atanem
(menanam)
Amatun
(menyiangi)
Ahani
(menuai padi)
Anutu
(menumbuk beras) (Ketut Giarsa,1961).
Dalam usaha penyediaan
air untuk sawah, dapat kita lihat pada prasasti-prasasti diantaranya prasasti “Tengkulak
A”, yang bertarikh 945 śaka, prasasti “Pandak Bandung Tambanan” 1071 M dan
prasasti “Timpak” yang diperkirakan dikeluarkan oleh raja Jaya Sakti (1055-1072
saka) dengan terjemahan sebagai berikut:
XII
b.2. Segala macam air “padmak kmitan”
mengairi sawahnya, “pagura-guranya”.
Hendaknya memaklumkan pengairan sawahnya, tidak perlu minta ijin terlebih
dahulu kepada penguasanya, terutama kepada “sangadmak
kmitan”,
3
. maupun “aninggi”, tidak dikenakan
pajak-pajak yang berkenaan dengan masa air serta “drwyahaji”, tidak menimbulkan hukuman. Mereka diperkenankan
menebang segala macam kayu larangan,
4.
yang jatuh ke kali dan merintangi sawahnya. Lebih-lebih jika sampai menimbulkan
kebocoran, begitupula perbaikan jalan (Budiastra, 1980).
Dalam proses menanam
padi seperti yang dijelaskan pada prasasti Raja Marakatapangkaja (prasasti Songan
Tambahan) ada proses amabaki dan amaluku. Kedua proses ini merupakan
usaha dalam mempersiapkan lahan persawahan. Amabaki
(menebang hutan atau kayu-kayuan) kemungkinan dilakukan pada musim kemarau,
sehingga tanah dapat menunjukkan sifatnya yang membajak diri sendiri, hal ini
sangat membantu petani dalam melakukan amaluku
dikala musim hujan tiba. Untuk menghindari terjadinya erosi dibuatlah perigi
atau pematang.
Untuk mencapai hasil
padi yang baik, raja pun mengijinkan para petani untuk mengalirkan air sungai
atau kali ke sawahnya tanpa melapor dahulu kepada pejabat pengelola bahkan jika
ada kayu larangan yang menghalangi jalan air, atau sampai menimbulkan
kebocoran, petanipun diijinkan untuk menebangnya. Sebagaimana di depan telah
disampaikan bahwa bahan makanan utama padi tergantung pada air pengairan dan
lumpur yang diendapkan. Jadi jelaslah bahwa masyarakat petani di jaman Bali
kuna telah mengetahui akan fungsi air dalam pertanian padi sawah.
Supaya ada pengaturan
pembagian air ke sawah-sawah dibentuklah kasuwakan-kasuwakan,
sebagaimana yang disebutkan dalam prasasti “Pangotan Bangli”. Menurut Budiastra
(1978) istilah kasuwakan sama sepeti subak sekarang. Suatu organisasi subak tidak terikat sebagai bagian dari
organisasi satu perkampungan yang di Bali dikenal dengan sebutan Banjar, tetapi selalu terikat kepada
suatu kompleks atau sistem bendungan-bendungan yang tertentu.
Bendungan-bendungan ini memberi air melalui suatu sistem saluran dan pipa-pipa
yang luas, kepada sejumlah sawah-sawah tertentu juga, sedangkan pemilik sawah
tadi tidak terdiri dari warga satu banjar,
namun dalam beberapa banjar.
Salah satu kemungkinan
mengapa persawahan mendapatkan perhatian dari masyarakat dikarenakan tipe tubuh
tanah Bali yang tergolong “Margalit”. Begitupula dalam hal pemanfaatan air
sungai atau kali, maupun dalam pengaturan pembagian air ke sawah-sawah,
semuanya diatur dan diundangkan oleh raja dalam prasasti, dan adanya kasuwakan-kasuwakan menunjukkan bahwa
teknologi persawahan masyarakat Bali kuna telah maju.
Daftar acuan:
Putu Budiastra, 1978, “Prasasti
Pangotan Bali”, Musium Bali.
Denpasar: Direktorat Museum, Ditjenbud, Depdikbut. 1980, “Prasasti Timpak”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21—25
Februari 1977. Jakarta: Puat Penelitian Arkeologi Nasional.
Ketut Ginarsa, 1961, “Prasasti
Baru Raja Marakata”, Bahasa dan Budaya
thIX. Jakarta: Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar