Kamis, 02 Mei 2013

Kegunaan Prasasti Sebagai Sumber Penulisan Sejarah Kuna dan Sumber Data Ikonografi



Ratnaesih Maulana


Prasasti selain memberikan keterangan bagi penulisan sejarah, juga dapat memberi keterangan yang tercermin dari penyebutan dewa-dewa yang juga sangat berguna bagi penelitian ikonografi.

Keterangan yang berkenaan dengan penyebutan dewa-dewa itu dapat kita peroleh dari prasasti antara lain pada bagian:
  •           Seruan atau pujaan, yang terdapat baik pada awal maupun akhir
  •           Kutukan atau sapatha


Seruan atau pujaan

Seruan atau pujaan terhadap dewa kita dapatkan pada awal atau akhir prasasti. Dari sebutan dewa yang diseru kita dapat menduga agama apa yang dianut raja atau pejabat yang memerintahkan pembuatan prasasti. Formulasi seruan maupun penempatannya dalam prasasti mengisyaratkan bahwa dewa yang bersangkutan mempunyai peranan pemberi restu terhadap keseluruhan kegiatan yang diperingati dengan prasasti tersebut (Maulana, 1992:187). Kenyataan ini dapat berarti bahwa dewa yang diseru mungkin dianggap dewa tertinggi, tetapi mungkin pula ia semata-mata dianggap dewa terpenting untuk peristiwa yang bersangkutan saja (Sedyawati, 1983:16). Sedyawati juga mengemukakan bahwa di antara dewa-dewa yang paling sering diseru pada awal prasasti adalah Siwa. Rumusan yang paling sederhana dari seruan kepadanya ialah “Om namasśiwanya”. Prasasti tertua yang memuat rumusan seruan seperti tersebut adalah prasasti Dieng III (OJO XCVI), yang diperkirakan dari abad VIII M, sedang yang termuda adalah prasasti Sarwwadharma (OJO LXXIX) dari tahun 1269 M. Sezaman dengan prasasti Dieng III, yang berisi seruan dan deskripsi dewa-dewa Hindu; Siwa, Wisnu dan Brahma adalah prasasti Canggal dari tahun 732 M. Prasasti ini memberi keterangan bentuk dan laksana dewa Siwa, Wisnu dan Brahma seperti berikut:


  • ....
  • Sang dewa Bhawa (Siwa), matahari bagi kegelapan hidup ini sangat dihormati oleh sekalian dewa-dewa, sambil mengatupkan kedua telapak tangannya bagaikan gelombang sungai Gangga, yang tubuhnya bersinar karena dilumuri oleh abu, yang menyinari kalung ular(nya), semoga Siwa memberikan kebahagiaan yang abadi
  • Semoga sepasang kaki dewa bermata tiga (Siwa) yang indah bagaikan bunga teratai, yang selalu dipuja oleh para resi yang terkemuka yang merunduk memuja agar memperoleh surganya, yang dicium oleh dewa-dewa dan lainnya, bagaikan kumbang yang mencium bunga teratai, semoga kedua kaki sang bermata tiga memberi keselamatan yang abadi kepadamu
  • Semoga dewa bermata tiga yang berambut ikal berhiaskan bulan sabit, karena sifatnya yang luhur dan kuasa, menjadikan sumber keajaiban yang besar-besar, selalu menakjubkan. Ia yang memberi ketenangan dengan meninggalkan segala benda yang ada, sangat dikagumi oleh para Yogin. Ia yang dengan tubuh berjumlah delapan (astatanu) selalu memelihara dunia tidak untuk kepentingan sendiri, tetapi karena belas kasihnya, semoga tryambaka melindungimu
  • Semoga sang jagad-guru (Brahma) yang termulia raja pendeta dari sekalian para pendeta; yang kedua kakinya seperti bunga teratai; dihormati oleh para dewa; yang memberi kesenangan, kebajikan dan kebaikan (di dalam dunia ini); yang mengikat tatacara manusia dengan tiang yang sangat teguh, yakni kitab-kitab Weda; yang (memakai) mahkota tinggi berkilau-kilau seperti nyala api (kilauan itu) terpancar dari badannya yang bersinar seperti emas; moga-moga dewa svayambhu (Brahma) yang sangat berkuasa itu memberi kesempurnaan kepada kamu sekalian.
  • Semoga sang dewa Wisnu yang terbaring di atas ular naga, yang didampingi oleh parameswarinya, Dewi Sri, Ia (Wisnu) yang karena kuatnya bersamadi hingga merah matanya seperti bunga teratai sangat dihormati para dewa karena pertolongannya, memberi kebahagiaan kepada kamu sekalian
  • ......

           (Poerbatjaraka, 1952:44; Hariani Santiko,1992:89-90)

Dalam agama Saiwa, dikenal adanya delapan tubuh Siwa (astanu atau astamūrti) yang berada di mana-mana. Kedelapan tubuh Siwa ini adalah ravi-yajamāna-pañcamahabhuta. Ravi terdiri dari matahari dan bulan, sedangkan yajamāna adalah orang yang mengadakan upacara korban dan pañcamahabhuta terdiri dari api, air, tanah, udara dan angin (Gonda,1970:35,40-41, Santiko, 1992:90-92). Hal ini menunjukkan bahwa Siwa sebagai dewa tertinggi berada dimana-mana, di seluruh alam semesta dan dalam diri manusia yang disini diwakili oleh yajamāna. Keterangan tentang keberadaan Siwa dalam bentuknya sebagai astatanu dapat kita temukan dalam prasasti Canggal bait 4 tersebut.

http://wilwatiktamuseum.files.wordpress.com/2011/12/arca-emas-12.jpg


Kutukan atau Sapatha

Dalam sapatha para dewata yang diseru ditampilkan sebagai saksi dan pemberi hukuman kepada barang siapa yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam prasasti yang bersangkutan. Isi bagian pertama sapatha pada prasasti sangat menarik untuk disimak, karena dewa-dewa yang diseru pertama bukanlah dewa utma Hindu (Siwa, Wisnu, Brahma), melainkan Baprakeśvara, Hari Candana, Agasti (Agastya) Maharesi. Selain itu diseru pula kelompok yaksa, raksasa, pisaca, pretasura, garuda, gandharwa. Makhluk-makhluk ini dilihat dari sudut ikonometri tidak dari satu golongan. Mereka diseru dalam satu kelompok mungkin karena kedudukan yang sama, yaitu berada di antara golongan dewa dan manusia serta dikenal sebagai makhluk “setengah dewa” (Rao, 1968:540-550).

apsara dan gandharwa
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzPuXkXMBLY7gBOGUOJqFtfZxC1hapWm3rA9csIM_f9ek5OybwWDBV44ndDlpEKORs-VM8F9kDzhfKBqUa0knhMieOkvquJw8NRlEYBI706U2AzAkUu_NEu-9jOI2KIOgFwEnELyjmuMhP/s1600/relif6.jpg

Dewa-dewa pelindung mata angin yang disebut sebagai dewa-dewa Lokapāla di Jawa mempunyai kedudukan cukup penting. Dewa-dewa Lokapāla ini kita dapatkan tidak hanya dalam prasasti, tetapi juga dalam kitab-kitab kesusastraan Jawa Kuno dan relief candi. Dewa-dewa Lokapāla yang terdapat dalam kutukan adalah dewa-dewa kelompok empat (catur atau catvari Lokapāla), yang terdiri dari Yama, Kuvera, Varuna, dan Vasava (Indra). Nama Vasava bagi Indra dalam kelompok catur Lokapāla di Jawa kurang lazim di pakai (Santiko:82-83).


Dewa Indra
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/d/d8/Indra_bronze.jpg/220px-Indra_bronze.jpg


Dewa Kuvera
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/a/ae/Kubera_java.jpg/275px-Kubera_java.jpg



Selain catur Lokapāla kita mengenal juga para dewa penjaga mata angin kelompok delapan, yakni Indra, Agni, Yama, Nairrta, Varuna, Vayu, Kuvera dan Isana. Indra, raja dari segala dewa menjadi penjaga matahari terbit, dari daerah timur (Gupta, 1972:49). Menurut kitab Amsumadbhedāgama, Indra digambarkan tampan, mengenakan kirīṭāmakuṭa, pakaiannya berhiaskan permata. Di sebelah kiri Indra duduk Indrani, saktinya yang digambarkan membawa nilotpala. Indra digambarkan berperut buncit, duduk atau berdiri di atas simhāsana atau duduk di atas gajah Airavata. Kedua tangannya masing-masing membawa sakti dan aṅkuśa atau vajra dan aṅkuśa (Rao,1968:519, Banerjea, 1974:523).

Agni yang merupakan kelahiran bagi api dunia, menjaga mata angin sebelah tenggara. Menurut kitab Harivarmsa, Agni digambarkan mengenakan pakaian hitam, membawa panji-panji yang mengeluarkan asap (dhumaketu), cakra dan tombak yang menyala (Rao, 1968:522).

Yama, dewa yang menguasai arah mata angin selatan. Dalam kitab Viṣṇudharmottara, Yama di gambarkan bertangan empat yang masing-masing membawa danda, khaḍga, triśula dan akṣamālā. Mengenakan pakaian warna kuning keemasan. Di sebelah kanan Yama dilukiskan Kala dalam sikap ugra sambil memegang pāsa (Rao, 1968:526).

Nairrta, ppenjaga mata angin sebelah barat daya (Sastri, 1916: 243). Menurut kitab Visnudharmottara, Nairrta digambarkan dalam wujud menakutkan, mata melotot, mulut terbuka, rambut berdiri. Mengenakan perhiasan, ebrkalung rangkaian bunga. Digambarkan duduk di atas keledai sambil membawa khaḍga dan kheṭaka. Nairrta dilukiskan duduk dikeliligi oleh apsara dan raksasa (Rao, 1968: 528).

Varuna, penjaga arah mata angin sebelah barat, anak laki-laki Aditi. Mengenakan pakaian warna putih dihiasi seperangkat permata dengan kalung mutiara, memakai payung putih. Varuna digambarkan berperut buncit, di kiri Varuna terdapat panji-panji bergambar ikan. Di atas paha kiri duduk Gauri dan Yamuna. Vahanā Varuna berupa kereta perang yang ditarik oleh tujuh ekor angsa. Digambarkan bertangan empat, masing-masing memegang padmā, paśā, saṅkha dan ratnapatra.

Vayu, sebagai dewa arah mata angin barat laut. Menurut kitab Amsumabhedāgama Vayu digambarkan bertangan dua, masing-masing membawa dhvāja dan paśā. Mengendarai mṛga atau duduk di atas simhāsana (Sahai, 1975:54).

Arah mata angin sebelah utara daru Vāstupurusa dilindungi oleh Kuvera dan biasanya digambarkan sebagai Soma, raja dari Naksatras. Kuvera merupakan dewa kemakmuran. Menurut kitab Visnudharmottara, Kuvera digambar mengenakan ‘baju baja’, berkumis dan bertaring. Badannya digambarkan agak besar, perut buncit, duduk diatas padmapitha atau mengendarai kereta perang yang dikendali seorang laki-laki. Kadang-kdang digambarkan di atas bahu seorang laki-laki (Rao, 1968:536).

Isāna, penguasa mata angin timur laut, yang bagaikan matahari dengan sinar-sinarnya. Isāna merupakan raja dari semua daerah. Digambarkan memakai jatāmakuta dan svetajnanopavita. Pada dahinya terdapat mata ketiga, mempunyai dua tangan yang masing-masing memegang trisūla dan kapāla (Rao, 1968:536).

Disamping para dewa Lokapala dalam prasasti juga diseru hyang Pañcakusika yang berjumlah lima, yaitu Kusika, Garga, Metri, Kurusya, dan Patañjala. Pada mulanya mereka merupakan murid Siwa Lakulisa, nemun kemudian kedudukan kelima murid tersebut terangkat sejajar dengan golongan dewa (Hooykaas, 1974:132, Sedyawati, 1985:433, Santiko, 1992:83). Di India tokoh Pañcakusika merupakan tokoh sejarah, sedang menurut sumber-sumber Jawa-Bali merupakan tokoh-tokoh kedewataan yang diseru sebagai saksi atas perbuatan manusia (Hooykaas, 1974:132). Empat dari kelima tokoh Pañcakusika, yaitu Kusika, Garga, Metri dan Kurusya merupakan tokoh sejarah dan bertindak sebagai guru-guru aliran Siwa-Pasupata (Bhandarkar, 1913:118).

Disamping Pañcakusila juga diseru Mahākāla dan Nandīśvara, yaitu dua penjaga pintu gerbang ke tempat tinggal Siwa berwujud raksasa. Mereka bertugas menjaga Siwa yang sedang melakukan tapa brata di gunung Meru (Poerbatjaraka, 1931:12). Dalam pengarcaannya di India, Mahākāla dan Nandīśvara di gambarkan dalam bentuk śānta atau ugra (Battacharya, 1924:20).

Selain itu terdapat pula nama Sad-vināyaka. Menurut dugaan Sedyawati (1985:194), (Sad) Vināyana Nāgarāja merupakan sebutan untuk seorang tokoh, yaitu Gaṇeṣa. Sedyawati berpendapat bahwa Nāgarāja dan Sad-Vināyaka merupakan nama satu tokoh dan Sad-Vināyaka diartikan sebagai “Raja Gajah” yaitu Gaṇeṣa (Sedyawati, 1985:194). Namun hal tersebut disangkal Santiko karena tidak ada satu sumber pn baik di India maupun Jawa yang menghubungkan nāgarāja dengan gaṇeṣa. Santiko berdasarkan keterangan kitab Vāmana Purāna menghubungkan tokoh Nāgarāja dengan Bhairava yang menguasai daerah sebelah barat (1992:84-85). Juga berdasarkan pada isi kutukan prasasti, antara lain prasasti Waharu (KO VII) dan prasasti Gunung Butak. Dikatakan bahwa ketika Sang Akarug mengucapkan sapatha, maka dia menghadap ke krodha desa. Krodha desa adalah daerah yang terletak di antara arah barat dan barat daya.

Satu-satunya dewi yang diseru dalam kutukan prasasti adalah Durgā devi. Di India, Durgā dikenal sebagai pembunuh Mahisa dan sebagai seorang dewi yang di puja-puja di daerah pegunungan Vindhya dengan sesajian anggur, daging dan korban binatang (Radhakrisnan, 1929:487). Di India, Durgā umumnya digambarkan bertangan 4,6,8, atau lebih, mempunyai mata ke-3. Dia digambarkan sebagai wanita cantik, memakai mahkota berbentuk karandamakuta, serta memakai perhiasan yang mewah. Dilukiskan berdiri di atas padmāsana atau di atas kerbau, terkadang mengendarai singa. Di Jawa umumnya, Durga digambakan berdiri di atas punggung kerbau yang terbaring ke arah kiri. Tangan kanan depannya menarik ekor kerbau dan tangan kiri depannya menarik rambut asura. Tangan kanan dan kiri belakang masing-masing membawa senjata berupa cakra, saṅkha, dhanu, khaḍga, trisūla, aṅkuśa, khetaka, dan sara (Boeles, 1942:41). Digambarkan sangat cantik bertangan 2,4,6,8, atau 10.

Durga Mahisasuramardhini
http://images.metmuseum.org/CRDImages/as/web-large/DP253391.jpg

Pada prasasti di Jawa Barat, misalnya prasasti Sanghyang Tapak 952 Saka, Siwa diseru tanpa Brahma maupun Visnu. Pada prasasti-prasasti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti prasasti Wuatan Tija, prasasti Rukam, prasasti Sugih Manek, prasasti Waharu II, prasasti Gilikan I, prasasti Turyyan dan prasasti Poh Dulur, Siva diseru bersama-sama dengan Brahma dan Wisnu, diseru dalam satu garis dan satu kelompok:
24....bhatāra i śrī baprakeśvara brahmā viṣṇu mahādeva ravi śaśi kṣiti jala pavana25 kutāsana yajāmānākāsa kālamṛtyu gana bhūta sandyādvaya ahorātri yama baruna kuvera bāsava yaksa26... (Brandes, 1913:40).
Selain para dewa diseru pula dalam kutukan yaitu pañcamahābhūta, yakni 5 materi dasar dari 8 materi dasar Siwa astamūrti (Santiko, 1992:90092). Pañcamahābhūta atau lima materi dasar yang menjadi dasar dari alam semesta ini termasuk manusia, yaitu: tanah (pṛthivī, kṣiti, lemah), api (teja, hutāsana, apuy), air (jala, apah, vvay), angin (bayu, pāvana), ruang (ākāsa). Lima aspek atau materi dasar tersebut ditambah matahari (ravi), bulan (śaśi) dan yajamāna (peyelenggara upacara agama).

Selain penting untuk penulisan ikonografi, prasasti juga penting untuk penelitian kepurbakalaan Indonesia, khususnya Jawa.




Laporan Penelitian Universitas Indonesia
Diterbitkan oleh: Universitas Indonesia
1993/1994



2 komentar: