Vernika Hapri Witasari, M.Hum
Bagi para Epigraf, prasasti sangat membantu untuk memecahkan misteri yang mungkin tersembunyi. Menurut Prof J.G.de Casparis, prasasti merupakan tulang punggung penulisan sejarah kuno Indonesia [1]. Bukan hanya sebagai suatu tugu penetapan saja, namun prasasti menyimpan beragam konteks sejarah. Prasasti dapat menceritakan kisahnya jika dilalui dengan benar tahapan analisisnya.
Bagi para Epigraf, prasasti sangat membantu untuk memecahkan misteri yang mungkin tersembunyi. Menurut Prof J.G.de Casparis, prasasti merupakan tulang punggung penulisan sejarah kuno Indonesia [1]. Bukan hanya sebagai suatu tugu penetapan saja, namun prasasti menyimpan beragam konteks sejarah. Prasasti dapat menceritakan kisahnya jika dilalui dengan benar tahapan analisisnya.
Suatu proses penulisan sejarah wajib melalui beberapa tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiorafi. Heuristik adalah tahapan ketika pencarian data tersebut dimulai, penyeleksian data yang dibutuhkan serta penelusuran berbagai sumber yang dibutuhkan. Kemudian beralih ke dalam kritik (kritik teks) yang dilakukan secara ekstern dan intern yang mempermasalahkan mengenai keotentikan sumber. Kritik ekstern mempermasalahkan apakah data yang diteliti merupakan data valid ataukah turunan (tinulad) atau palsu, sedangkan kritik intern menyangkut masalah kredibilitas, menguji informasi sesuai dengan kebutuhan peneliti. Interpretasi adalah tahapan yang memberikan penilaian berdasarkan sudut pandang peneliti serta memfokuskan masalah yang diangkat. Tahapan terakhir yaitu historiografi, yang merupakan kumpulan keseluruhan data yang telah diteliti dan dilakukan kajian banding untuk dimasukkan ke dalam kerangka sejarah. Ilmu Epigrafi diterima masuk ke dalam ilmu Arkeologi karena tahapan tersebut juga termasuk tahapan arkeologi, yaitu deskripsi, eksplanasi dan interpretasi. Dalam Arkeologi deskripsi merupakan tahapan penggambaran data secara fisik, pengenalan data yang bersumber pada data yang dilihat secara langsung. Pengolahan data (eksplanasi) merupakan tahap ketika data tersebut mulai dipelajari lebih lanjut, dipilih berdasarkan kebutuhan sesuai metode yang digunakan. Sedangkan tahap interpretasi adalah tahapan ketika permasalahan data tersebut diangkat sesuai sudut pandang yang digunakan peneliti dan kemudian untuk dibandingkan atau disamakan dengan data yang sudah diteliti. Maka hal tersebut memberi kesamaan antara Arkeologi dan Epigrafi, yaitu dalam Deskripsi maka Epigrafi mengenal heuristik, kemudian Pengolahan data maka Epigrafi mengenal kritik intern dan ekstern, sedangkan Interpretasi maka Epigrafi juga mengenal interpretasinya, ditambahkan Historiografi sebagai kesatuan pelengkap dalam merangkai deretan kerangka sejarah di Indonesia.
I.Dasar-dasar Analisis Prasasti:
Deskripsi
- Unsur Fisik, data yang diambil berupa bahan, jumlah lempeng (apabila lempengan), ukuran, aksara dan keadaaan prasasti. Bahan yang digunakan umumnya batu andesit dan padas, jikalau logam umumnya menggunakan tembaga, perak, emas dan perunggu serta tanah liat bakar. Jumlah lempeng; pada prasasti dengan lempengan dengan jumlah banyak, pastikan apakah ditulis dikedua sisi atau hanya satu sisi. Umumnya selalu ada nomor lempeng pada setiap pinggirannya. Ukuran; pendataan ukuran meliputi tinggi, lebar serta tebal prasasti (batu) atau panjang dan lebar (logam), foto keseluruhan dan foto kekhasan bagian, hiasan prasasti, jumlah baris tulisan dan bidang penulisan prasasti. Aksara dan bahasa; harap ditelaah dengan teliti mengenai aksara dan bahasa, apakah terdapat kesamaan antara aksara dengan bahasa yang digunakan, kemudian terakhir untuk dilakukan adalah bagaimana keadaan prasasti, dalam kondisi baik atau sudah rusak, jelaskan secara rinci/
- Unsur Isi, pada bagian tentukan berdasarkan apa yang diceritakan prasasti, terutama bagian sambadha (sebab daerah tersebut dijadikan sima).
Transkripsi dan Transliterasi
Trasnskripsi dan Transliterasi umumnya sering digunakan dalam mengartikan definisi ini, namun lebih tepat menggunakan transliterasi, yaitu penulisan ulang aksara ke dalam bentuk aksara lain yang sudah dikenal (aksara Latin). Sedangkan Transkripsi lebih cenderung dalam artian, menyalin ulang tanpa ada suatu perubahan.
II. Penyuntingan Prasasti
Setelah dianalisis, prasasti tersebut ibarat diseleksi sesuai kebutuhan peneliti. Apakah semua data yang dikumpulkan memiliki kedudukan yang sama (harus diteliti secara rinci) ataukah hanya sebagian yang dipilih dari sekian banyak data. Mengenai hal salinan atau turunan, pada prasasti tidak sebanyak ditemukan pada naskah, prasasti yang disalin hanya sedikit sekali serta mencantumkan keterangan bahwa prasasti tersebut tinulad (turunan).
Menurut St. Barroroh Baried, penerapan penyuntingan dan edisi teks terhadap prasasti adalah dengan metode edisi naskah tunggal, karena sifat prasasti yang tunggal dan tidak disalin dalam jumlah banyak [2].
II. Penyuntingan Prasasti
Setelah dianalisis, prasasti tersebut ibarat diseleksi sesuai kebutuhan peneliti. Apakah semua data yang dikumpulkan memiliki kedudukan yang sama (harus diteliti secara rinci) ataukah hanya sebagian yang dipilih dari sekian banyak data. Mengenai hal salinan atau turunan, pada prasasti tidak sebanyak ditemukan pada naskah, prasasti yang disalin hanya sedikit sekali serta mencantumkan keterangan bahwa prasasti tersebut tinulad (turunan).
Menurut St. Barroroh Baried, penerapan penyuntingan dan edisi teks terhadap prasasti adalah dengan metode edisi naskah tunggal, karena sifat prasasti yang tunggal dan tidak disalin dalam jumlah banyak [2].
Metode edisi naskah tunggal:
- Edisi Diplomatik; menerbitkan naskah tanpa mengadakan perubahan apapun. Jadi apabila menyunting prasasti tidak perlu perbaikan jikalau ada kesalahan atau penambahan jikalau ada kekurangan. Keterangan perbaikan dari penulis dan keterangan perubahan dari ahli lain ditulis dalam catatan kaki. (edisi ini adalah yang sering digunakan para Epigraf)
- Edisi Standar; menerbitkan naskah dengan mengadakan perbaikan kesalahan kecil dan ketidakkonsistenan, ejaannya disesuaikan dengan ketentuan berlaku. Hal ini menjadikan naskah atau alihaksara prasasti sudah ada dalam tahapan perbaikan dan sempurna (telah berubah dari data awal).
___________
J.G.de Casparis, 1975. Indonesia Palaeography; A History of Writting in Indonesia from the Beginnings to Century AD. 1500, dalam: Handbuch der Orientalistik. Leiden/Koln, E.J.Brill.
Siti Baroroh Baried,dkk, 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
J.G.de Casparis, 1975. Indonesia Palaeography; A History of Writting in Indonesia from the Beginnings to Century AD. 1500, dalam: Handbuch der Orientalistik. Leiden/Koln, E.J.Brill.
Siti Baroroh Baried,dkk, 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
EPIGRAFI DAN ARKEOLOGI DI INDONESIA
R.P.Soejono
(Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
EPIGRAFI DAN ARKEOLOGI DI INDONESIA
R.P.Soejono
(Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
Hubungan antara epigrafi dan arkeologi di Indonesia perlu ditelaah lebih mendalam dalam konstelasi arkeologi sebagai ilmu yang memiliki struktur resmi (pemerintahan; governmental) dan non-resmi (swasta;private). Epigrafi merupakan salah satu bidang kajian di antara bidang kegiatan formal dan utama lain seperti restorasi atau pemugaran, ekskavasi, penelitian dan penemuan kajian-kajian, Hindu-Buddha (klasik), Islam, dan Kolonial.
Epigrafi dalam konstelasi tersebut merupakan pelengkap bidang kajian yang berciri (berstatus) sejarah untuk menunjang dan memperlengkap latar belakang (antara lain religi, sosial dan ekonomi) serta sejarah (masa perkembangan tokoh di antaranya berkaitan dengan keagamaan, dan sosial-ekonomi).
Epigraf sangat erat kaitannya dengan artefak masa sejarah dan harus mengikuti jejak perkembangan artefak sesuai dengan seluk-beluk dan latar belakangnya, sedangkan orang yang menjurus pada penguasaan artefak pada umumnya menggunakan data epigrafi secara sekunder.
Epigrafi adalah ilmu atau kajian tentang prasasti, khususnya penguraian kata dan interpretasi prasasti. Singkatnya epigrafi mengkaji prasasti, khususnya prasasti kuno, terutama atas dasar gaya huruf tulisan dan bahasa yang digunakan, untuk mengetahui antara lain masa perkembangan artefak/monumen dan seluk beluk lain.
Dalam tulisan/buku umum tentang arkeologi, istilah epigrafi sangat jarang kita jumpai. Kadang-kadang, jika istilah ini disebut cukup diberi penjelasan singkat bahwa epigrafi ialah kajian tentang prasasti yang terdapat pada monumen, arca, materai dan sebagainya.
Materi arkeologi umumnya disebut sebagai written records (catatan tertulis). Colin Renfrew dan Paul Bahn dalam tulisan mereka, Archaeology, Theories, Methods and Practise (1991), menyatakan bahwa written records itu sangat penting untuk merekonstruksi kehidupan sosial masa lampau. Temuan materai tanah liat tentang Sumeria dan Babilonia (+3000-1600 SM), misalnya dapat dipilah dalam tiga kelompok, yaitu:
1. memberikan penjelasan tentang penggunaan hal-hal untuk jangka panjang waktu lama, yaitu masalah
administrasi, hukum, tradisi sakral, hubungan dalam masyarakat, tujuan khusus bidang keahlian.
2. memberikan penjelasan tentang hal yang sedang berlaku, yaitu surat menyurat, keputusan raja,
pengumuman untuk umum, teks latihan bagi juru tulis.
3. memberikan penjelasan tentang hubungan dengan dewa, antara lain mantra suci dan amulet.
Dengan contoh tadi, jelaslah bahwa written records atau data yang ditulis merupakan hal yang sangat diperlukan guna menunjang interpretasi yang lebih luas tentang artefak yang ditemukan.
Kajian dalam bidang epigrafi di Indonesia dimulai pada awal abad ke-19 yang dipelopori oleh T.S. Raffles, gubernur jendral Inggris di Indonesia, serta C.H. van der Vlis dan R.H.Th. Friederich yang berada pada ambang pintu dunia epigrafi. Dengan landasan yang telah disusun Friederich, deretan nama peneliti seperti H.Kern, K.F.Holle, A.B. Cohen-Stuart, J.L.A. Brandes, N.J. Krom dan F.D.K. Bosch, serta R.M.Ng.Poerbatjaraka, dengan hasilnya yang makin meluas dan mendalam tentang berbagai aspek kesejarahan, antara lain religi, sosial, ekonomi dan tokoh, menandakan betapa indispensable epigrafi itu bagi penyusunan sejarah kebudayaan Indonesia.
Epigrafi dalam bidang Islam tampak dikembangkan dalam abad ke-19, hampir bersamaan dengan tumbuhnya perhatian terhadap kepurbakalaan Islam pada umumnya, terutama sejak lembaga kebudayaan itu didirikan. J. Brandes,C. Snouck Hurgronje, Ph.S. van Ronkel, J.P. Moquette, dan sederetan nama lain, yaitu Husein Djajadiningrat, telah memperkaya sejarah kebudayaan Islam melalui penelitian inskripsi, terutama pada nisan-nisan kuno dan piagam-piagam.
R.P.Soejono, 2001, "Epigrafi dan Arkeologi di Indonesia", dalam Membaca dan Mengungkap Kearifan Masa Lalu: Aksara dan Makna, hlm: 5-9, AAEI Malang 28-30 Mei.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar