Prasasti di Petirtaan Belahan:
Catatan Peristiwa Gerhana Bulan?
Trigangga
(Makalah dipublikasikan dalam acara Seminar Internasional Epigrafi dan
Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012)
Tahun
lalu (2011) penulis melakukan survei ke beberapa situs purbakala di Jawa Timur.
Dari beberapa situs yang dikunjungi, ternyata situs candi, atau lebih tepatnya patirthān
(pemandian) Belahan yang mendapat perhatian khusus penulis. Petirtaan atau
tempat pemandian Belahan terletak di sisi timur lereng Gunung Penanggungan,
tepatnya berlokasi di desa Wonosuryo, kecamatan Gempol, kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur. Posisi astronomis situs ini berada di Lintang Selatan: 7º 36‟ 27”,
Bujur Timur: 112º 39‟ 5.04”, dengan ketinggian 336 m dari permukaan laut, dan
arah hadap 115º Tenggara. Penduduk setempat menyebut petirtaan Belahan dengan
istilah “Sumber Tetek”, karena pada salah satu arca wanita, air mengalir dari
kedua payu daranya, sumber air yang tak pernah kering hingga sekarang.
Mata penulis tertuju pada sebuah batu pipih di depan petirtaan
tersebut; bentuknya dalam banyak hal mirip dengan prasasti-prasasti batu yang
banyak bertebaran di halaman dalam Museum Nasional Jakarta. Bentuknya lebih
banyak kemiripannya dengan prasasti-prasasti dari periode Mataram Kuno. Rasa
ingin tahu pun timbul lalu mendekat dan mengamati “prasasti” itu dengan
seksama. Setelah “dibolak-
balik” tetap saja tidak menemukan sebaris tulisan pada batu yang diduga
prasasti, yang ada hanya gambar timbul atau relief.
Ternyata
penulis selama ini salah menduga bahwa yang namanya prasasti tidak selalu
memuat tulisan (walau kadang-kadang ada relief sebagai hiasan) melainkan juga
memuat gambar timbul/relief (tetapi bukan sebagai hiasan). Deskripsi prasasti
tersebut adalah sebagai berikut: prasasti patah menjadi dua bagian, merusak sedikit
relief pada bagian bawah (sisi muka). Berbentuk pipih empat persegi dengan
bagian atas membulat, prasasti berdiri pada sebuah lapik berbentuk bunga
teratai ganda. Pada sisi muka, sebuah relief bergambar Kala berambut ikal yang memenuhi bidang atas prasasti; Kala ini tanpa tubuh dan kaki, tetapi
mempunyai dua tangan yang sedang menggenggam dan menggigit sesuatu berbentuk
bulat dan berlubang. Ada tiga mahluk kayangan terbang melayang di sekitar
kepala Kala; yang satu berada di atas
kepala, dua mahluk lagi berada di bagian bawah. Dua kepala mahluk kayangan ini
sepertinya menyatu dengan sesuatu yang berbentuk bulat tadi. Sisi belakang:
relief pada sisi ini kurang jelas, mungkin bagian dari rambut Kala yang panjang menjulur hingga
menghiasi sisi belakang. Ada hiasan bundar seperti medalion tetapi dipahat
cukup dalam. Pada hiasan medalion ada dua lubang, salah satunya tembus hingga
ke bulatan berlubang di sisi muka. Kalau diamati prasasti ini mungkin bagian
dari pemandian karena adanya lubang tembus yang berfungsi sebagai aliran air.
Sĕngkalan Mĕmĕt (Kronogram)
Kalau itu sebuah
prasasti, apa makna dari relief tersebut? Relief itu merupakan Sĕngkalan atau
kronogram. Sĕngkalan merupakan salah satu cara untuk menyem-bunyikan maksud,
yaitu angka disembunyikan dalam bentuk kata-kata. Sĕngkalan memiliki
kemungkinan diformulasikan dalam bentuk gambar, relief, patung, atau ornament.
Bentuk tersebut dinamakan sĕngkalan mĕmĕt, sedangkan yang berupa
kata-kata disebut sĕngkalan lamba. Rangkaian kata yang dimaksud
selalu mengandung kata-kata yang memiliki nilai angka. Nilai angka tersebut
ditata secara linear untuk mendapatkan angka tahun yang dikehendaki. Penataan
kata tersebut disusun secara terbalik dengan penataan angka tahun yang dimaksud.
Contoh sĕngkalan mĕmĕt antara lain terdapat di kraton Yogyakarta dan
Surakarta. Di kraton Yogyakarta terdapat ornamen naga yang menghadap ke timur
dan ke barat dengan ekor yang saling melilit. Ornamen tersebut diformulasikan
dalam kalimat: dwi naga rasa tunggal („dua naga rasa satu‟). Kata
dwi bernilai 2, naga bernilai 8, rasa bernilai 6, dan tunggal
bernilai 1. Dengan demikian sĕngkalan tersebut menunjuk angka tahun 1682
(Jawa); menunjukkan tahun berdirinya kraton Yogyakarta, bertepatan dengan tahun
1170 Hijriah, dan tahun 1756 M (Macaryus 2007: 187-190).
Kalimat sebuah sĕngkalan yang baik seharusnya sesuai
dengan peristiwa yang diperingati. Sebagai contoh, pembunuhan Raja Jayanagara
oleh seorang tabib kerajaan, Ra Tañca, dan selanjutnya Ra Tañca sendiri dibunuh
oleh Gajah Mada, diperingati dalam naskah Pararaton dengan sĕngkalan
lamba: bhasmi-bhuta-nangani-ratu (“basmi/bunuh, makhluk jahat
yang menangani raja”). Artinya, Ra Tanca yang menangani/mengobati raja akhirnya
dibunuh). Sĕngkalan itu bermakna: 0 (bhasmi) – 5 (bhuta)
– 2 (nangani) – 1 (ratu). Jadi, keseluruhannya
menunjukkan angka tahun 1250 Saka, bertepatan dengan tahun 1328 M
(Atmodjo 1986:257).
Satu contoh lagi
adalah sĕngkalan lamba pada sebuah prasasti yang berasal dari
Candi Sukuh, sekarang disimpan di Museum Nasional (nomor inventaris 422a). Pada
bagian akhir menyebut titimangsa: …. Sakakalanya goh wiku hanahut butut,
1379 (artinya: …tahun Sakanya „lembu pendeta menggigit ekor‟, 1379). Sĕngkalan
itu bermakna : 9 (goh = lembu), 7 (wiku = pendeta),
3 (hanahut = menggigit), 1 (bu[n]tut =
ekor). Keseluruhannya menunjukkan angka tahun 1379 Saka (= 1457 M). Sĕngkalan
tersebut dipertegas lagi dalam wujud angka Jawa Kuna, 1379 (Muusses 1923: 509)
Berdasarkan itu pula maka sĕngkalan mĕmĕt pada prasasti di
petirtaan Belahan ditafsirkan sebagai: Kala (Rahu) anahut
Candra atau “Kala (Rahu) menggigit (Dewi) Bulan”, dapat juga dalam
kalimat pasif; Candra sinahut Kala (Rahu) atau “(Dewi)
Bulan digigit Kala (Rahu). Sĕngkalan itu bermakna: 1 (Candra =
Bulan), 3 (sinahut = digigit) 9 (Kala Rahu). Angka
keseluruhan menunjukkan angka tahun 931 Saka atau 1009 M. Sĕngkalan mĕmĕt
tersebut menunjukkan peristiwa yang terjadi pada tahun tertentu, yaitu
peristiwa gerhana Bulan. Mengapa gerhana Bulan? Bukan gerhana Matahari? Padahal
relief pada batu prasasti itu menunjukkan dua mahluk kayangan, Surya (Matahari) dan Candra (Bulan), yang kepalanya berbentuk
piringan bundar itu digigit Kala Rahu.
Kaitan Sĕngkalan
Mĕmĕt dengan Mitologi
Syahdan, ketika para
dewa berhasil merebut guci berisi air kehidupan (amĕrta) dari tangan
para raksasa pada waktu pengadukan lautan susu (Samudramanthana), mereka
berpesta pora minum air kehidupan. Tetapi diam-diam seorang raksasa, Kala Rahu, ikut berbaur di antara para
dewa hendak mencicipi air kehidupan. Gerak-geriknya ini segera diketahui oleh
Dewi Ratih yang kemudian memberitahu Dewa Wisnu. Segera Dewa Wisnu menarik
busur dengan anak panah diarahkan ke leher Kala
Rahu. Anak panah melesat mengenai leher Kala
Rahu dan putus seketika. Tubuh raksasa ambruk ke bumi, namun kepalanya yang
sempat menenggak air kehidupan melayang ke angkasa. Kepala yang hidup itulah
yang kemudian marah dan setiap saat meneror ingin menelan Dewi Ratih (Bulan),
sehingga terjadi gerhana. Untuk mengalihkan perhatian Kala Rahu, masyarakat Jawa dan Bali biasanya memukul-mukul
kentongan/lesung agar ia mengurungkan niatnya menelan Bulan. Kalaupun Bulan
berhasil ditelan oleh Kala Rahu,
tentunya ia akan keluar lagi melalui leher yang putus itu.
Jadi jelaslah kaitan
antara sĕngkalan mĕmĕt pada prasasti
tersebut dengan mitologi di atas, yaitu suatu catatan peringatan terjadinya
gerhana Bulan. Relief pada prasasti itu sangat cocok dengan uraian cerita
sampingan dari Samudramanthana. Pada relief itu jelas menggambarkan Kala Rahu yang menangkap dan menggigit
hendak menelan dua mahluk kayangan yang kepalanya berbentuk bulat seperti
piringan Bulan dan Matahari. Mereka adalah Dewi Candra dan Dewa Surya, yang
ketika ditelan oleh Kala Rahu mengakibatkan
terjadi gerhana Bulan dan Matahari. Tetapi, gerhana Bulan tidak mungkin
datangnya bersamaan dengan gerhana Matahari seperti yang digambarkan pada
relief tersebut. Biasanya, pada saat tertentu bila terjadi gerhana Bulan 14-15
hari kemudian terjadi gerhana Matahari, atau sebaliknya.
Kapankah Peristiwa
Gerhana Terjadi?
Menurut astronomi
Hindu ada sembilan planet (nawagraha) yang mengelilingi Bumi (faham
geosentris), yaitu Aditya (Matahari), Candra (Bulan), Manggala
(Mars), Budha (Merkurius), Brhaspati (Yupiter), Sukra (Venus),
Sani (Saturnus), Rahu (simpul naik), dan Ketu (simpul
turun). Rahu dan Ketu, dapat dikatakan “planet semu” karena tercipta dari
perpotongan garis-garis edar Matahari (ekliptik) dan Bulan. Oleh karena
Matahari dan Bulan mengitari Bumi dalam posisi miring (membentuk sudut 5º 9‟)
maka terciptalah dua titik potong atau simpul (nodes), yaitu „simpul
naik‟ (ascending node) dan „simpul turun‟ (descending node).
Kedua titik simpul inilah yang pada waktu tertentu menghasilkan gerhana Matahari
dan Bulan, dan pada saat itu Rahu dan
Ketu dapat dilihat sedang “menelan”
Matahari atau Bulan, dan langit pun menjadi gelap.
Oleh karena kemiringan garis edar Bulan
terhadap garis edar Matahari (ekliptika) cukup besar, maka maksimal terjadi
gerhana dalam setahun adalah 7 kali; 4 kali gerhana Matahari dan 3 kali gerhana
Bulan. Tetapi peluang untuk mengalami gerhana Matahari total di suatu tempat
lebih kecil daripada mengalami gerhana Bulan total. Gerhana Matahari Total
hanya dapat disaksikan di tempat-tempat yang dilalui bayangan Bulan, dan
peluang untuk mengalami peristiwa yang sama amat langka. Contohnya, gerhana
Matahari Total yang pernah melewati candi Borobudur pada 11 Juni 1983, itu akan
terjadi lagi sekitar 360 tahun kemudian. Beda dari gerhana Bulan Total di mana separuh
tempat di belahan Bumi yang mengalami gelap (malam hari) dapat menyaksi-kan
gerhana Bulan dalam waktu yang berbeda. Gerhana Bulan akan berulang di tempat
yang sama tapi dalam waktu yang berbeda (sekitar 8 jam) setelah berlangsung 18
tahun 10 hari.
Jadi, peristiwa apa yang terjadi pada tahun 931 Saka (1009 M) di
petirtaan Belahan, seperti tergambarkan pada relief prasasti tersebut?
Sepanjang tahun 1009 itu telah terjadi 6 kali gehana; 4 kali gerhana Matahari
dan 2 kali gerhana Bulan. Keempat peristiwa gerhana Matahari itu tidak dapat
dilihat di wilayah Indonesia, apalagi di lokasi petirtaan Belahan. Sedangkan
dari 2 peristiwa gerhana Bulan Total yang dapat dilihat di Indonesia, khususnya
wilayah Indonesia bagian barat, adalah gerhana Bulan yang terjadi pada tanggal 7
Oktober 1009. Gerhana Bulan sudah mulai menjelang fajar pukul 04:08 di ufuk
barat dan mencapai klimaks gerhana parsial pada pukul 04:56. Pada waktu itu
Matahari belum terbit di ufuk timur walau langit sudah kelihatan sedikit
terang. Barulah 10 menit kemudian Bulan purnama yang sebagian masih tertutup
bayangan inti (umbra) Bumi terbenam di ufuk barat, sebaliknya Matahari
terbit di ufuk timur pukul 05:16. Puncak gehana Bulan total terjadi pukul 06:00
pagi. Bulan baru benar-benar keluar dari bayangan Bumi (akhir gerhana) pada
pukul 08:45 waktu setempat.
Menandai Pembangunan
Petirtaan Belahan?
Ada beberapa sarjana
yang berpendapat tentang waktu pembangunan petirtaan Belahan. Th. A Resink
(1968:6) pernah mengemukakan pendapat bahwa pemandian Belahan berasal dari masa
pemerintahan Pu Sindok (abad ke-10). Pendapatnya cukup masuk akal karena
sekitar 300 meter di bawah Belahan terdapat sebuah prasasti dari masa pemerintahan
Sindok, yaitu prasasti Cunggrang tahun 929 M. Di dalam prasasti itu disebutkan
tentang Sang Hyang Tirtha Pañcuran di Pawitra. Tirtha Pañcuran (air
pancuran) inilah yang diidentifikasikan sebagai pemandian Belahan.
Sarjana-sarjana yang
lain berpendapat bahwa candi Belahan dibangun sekitar tahun 971 Saka atau 1049
M, berdasarkan pada lempengan batu dengan ukiran relief yang menunjukkan
kronogram (Bernet Kempers 1959: 69-70; Kinney, dkk 2003: 63-67). Ketika Raja
Airlangga sudah selesai menunaikan pembagian kerajaan menjadi dua, Janggala dan
Panjalu, kepada kedua anaknya yang berebut kekuasaan, Ia mulai mengundurkan
diri secara total dari singgasana menjadi pendeta. Sebelum itu, tahun 1042 M,
ia pernah mengundurkan diri dari pemerintahan menjadi pendeta dengan gelar Aji
Paduka Mpungku Sang Pinakacatraning Bhuwana. Tetapi karena konflik internal
kerajaan belum mereda Aji Paduka Mpungku kembali memegang tampuk pimpinan
kerajaan. Tak lama Airlangga menjadi pendeta (wiku), ia pun wafat tahun
1049 dan dimuliakan sebagai Dewa Wisnu. Arca Wisnu (perwujudan Airlangga) naik
Garuda yang konon dulu berdiri di antara dewi Sri dan Laksmi di pemandian
Belahan sekarang disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto. Akan tetapi, jika
diperhatikan lebih lanjut, arca Wisnu naik Garuda itu terlalu besar untuk
diletakkan di lapik antara kedua arca dewi tersebut, juga tidak masuk dalam
relung dinding belakang yang dangkal dan sempit.
Pendapat lain lagi menyatakan bahwa
petirtaan Belahan bukan dibangun pada periode abad X atau XI Masehi. Apabila
diperhatikan dari sudut seni arca, kedua arca dewi yang masih ada di Belahan
sejatinya bukan memperlihatkan arca-arca dari abad X atau abad XI, arca-arca
tersebut justru menyimpan ciri gaya seni arca yang lebih muda. Ciri-ciri arca
sebagaimana yang dimiliki dua arca dewi di Belahan adalah hal yang lazim
dijumpai pada arca-arca zaman Majapahit (abad XIV). Arca-arca tersebut walaupun
sebagai arca pancuran memperlihatkan sikap kaku seperti halnya arca-arca perwujudan
yang menggambarkan tokoh yang telah meninggal. Arca perwujudan adalah khas
Majapahit, arca digambarkan dengan kedua tangan terjulur di samping tubuh,
dalam sikap anjalimudra atau dyanamudra di depan dada. Dalam hal
dua arca dewi di Belahan keduanya memiliki tangan kanan dan kiri dengan sikap
simetris. Kedua arca tersebut sejatinya menggambarkan arca Dewi Parwati, sakti
Siwa Mahadewa, bukan Sri dan bukan pula Laksmi. Dalam ikonografi Hindu, dewi
yang digambarkan bertangan empat hanyalah Dewi Parwati sebagai dewi tertinggi,
bukan dewi-dewi lainnya. Menilik gaya seni arca yang sepenuhnya bergaya
Majapahit, maka dapat disimpulkan bahwa mungkin petirtaan Belahan dibangun
dalam era Majapahit (Agus Aris Munandar, 2011).
Tetapi pendapat-pendapat di atas tidak sesuai dengan „pesan‟
prasasti berupa sĕngkalan mĕmĕt, yang berada di depan petirtaan tersebut
dan mungkin sekali menjadi bagian darinya mengingat ada saluran untuk
mengalirkan air pada prasasti itu. Jadi, petirtaan Belahan dibangun sesuai
dengan “pesan relief” pada prasasti, yaitu tahun 931 Saka, atau sesuai
peristiwa gerhana Bulan yang terekam pada tanggal 7 Oktober 1009. Tahun
pembangunan petirtaan Belahan masuk dalam masa pemerintahan Raja Dharmmawangsa
Tĕguh Anantawikrama, 8 tahun sebelum kerajaannya hancur lebur diserang oleh
Haji Wurawari dari Lwaram. Ketika pembangunan pemandian tersebut, Airlangga
yang diperkirakan lahir tahun 1000 M masih berusia muda (kanak-kanak). Adakah
kemungkinan pembangunan petirtaan Belahan, dalam hal ini perbaikan atau
perluasan, berlanjut hingga periode Majapahit? Jika benar ada, mengapa
pembangunan petirtaan Belahan tidak terlihat signifkan seperti pembangunan
kompleks percandian Panataran yang dibangun dalam periode abad XII – XIV
(Kadiri – Majapahit)?
REFERENSI
Atmodjo, M.M. Sukarto
K. 1986. “Prasasti Batu Gunung Namil”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi
IV: Iia. Aspek Sosial-Budaya, hal. 250 – 263. Jakarta: Proyek
Penelitian Purbakala Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bernet Kempers, A.J.,
1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard
University Press.
Chevalley, Patrick,
Peter Dean, John Sunderland. Cartes du Ciel (Sky Charts), Free
Software, version 3.62150, 2012/03/03, 14:56:51.
Kinney, Ann R, Marijke
J. Klokke, Lydia Kieven. 2003. Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of
East Java. University of Hawaii Press.
Macaryus, Sudartomo.,
2007. “Sengkalan; Tinjauan Struktur dan Isi”, dalam Sintesis vol.5
No.2, Oktober 2007.
Mardiwarsito, L.,
1990. Kamus Jawa Kuna – Indonesia (cetakan IV). Ende (Flores): Nusa
Indah.
Munandar, Agus Aris,
2011. “Patirthan di Pawitra: Jalatunda dan Belahan”, dalam blog Djulianto S, hurahura.wordpress.com/2011/01/01/patirthan-di-pawitra-jalatunda-dan-belahan.
Muusses, Martha
A.,Dr. 1923. “De Soekoeh – Opschriften”, dalam Tijdschrift Bataviasch
Genootschap, deel LXVII, hal. 496 – 514.
Resink, Th.A., 1968.
“Belahan or Myth Dispelled”, Indonesia, Ithaca, New York: Modern Indonesia
Project, Cornell University. No.6 (Oktober): 2 – 37.
Sumadio, Bambang (penyunting), 1984. Sejarah Nasional Indonesia
II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar