Trigangga
Arkeologi
atau widyapurba adalah ilmu yang berupaya merekonstruksi kehidupan manusia masa
lalu berdasarkan artefak-artefak yang ditinggalkannya. Artefak-artefak yang
berasal dari periode prasejarah sampai periode sejarah ini diteliti oleh para
ahli arkeologi dan sejarah. Beberapa di antaranya diteliti secara khusus
menjadi ilmu-lmu bantu dalam arkeologi juga ilmu-ilmu dasar sejarah. Seperti iconography (= ilmu mengenai arca-arca);
epigraphy (= lmu mengenai
tulisan-tulisan pada batu, logam, dan bahan-bahan keras lain); numismatic (= ilmu mengenai mata uang); heraldry (= ilmu mengenai lambang-lambang
dan maknanya), dan lain-lain.
Stempel,
cap, dan meterai, sebenarnya ketiga kata itu merupakan sinonim. Tetapi, pada
kenyataannya kata-kata itu ada sedikit perbedaan. Stempel berasal dari bahasa
Belanda, stempel, adalah benda atau
alat yang permukaannya berukir gambar, tulisan atau keduanya yang dapat
menghasilkan cap. Cap, dari bahasa Hindi, capa
(A. Hassan 1949:54) ditafsirkan sebagai hasil cetakan gambar, tulisan, atau
keduanya pada suatu benda. Sedangkan meterai dari bahasa Tamil, muttirai (A. Hassan 1949:30). Pengertiannya
hampir sama dengan cap tetapi dalam kenyataan sehari-hari orang cenderung
menafsirkan sebagai benda semacam perangko yang dibubuhkan pada kertas-kertas
berharga seperti kuitansi, ijasah, surat perjanjian, dan lain-lain.
Stempel
Stempel dan cap adalah dua benda
yang berhubungan erat. Kalau stempel adalah bagian “negatip”, maka cap adalah
bagian “positip”. Sebagaimana telah disebutkan, stempel adalah alat yang
permukaannya berukir gambar, tulisan atau keduanya yang dapat menghasilkan cap.
Ada hal yang perlu diperhatikan jika stempel dibuat, yaitu ukiran pada
permukaannya harus dibuat terbalik agar dihasilkan cap sesuai keinginan. Cara
seperti itu terutama berlaku pada gambar dan tulisan yang tidak simetris. Jika
ukiran gambar dan tulisan itu simetris (misalnya huruf-huruf A, M, T, V, dan
sebagainya) maka hal itu tidak menjadi soal karena cap akan memperlihatkan
gambar dan tulisan yang sama seperti ukiran pada stempel. Jadi, itulah
perbedaan pokok antara.stempel dan cap.
Stempel umumnya dibuat dari
bahan-bahan yang keras. Misalnya dari logam atau batu semi permata. Bahan lain
yang elastik misalnya karet dapat juga digunakan. Bentuk permukaan stempel
umumnya bundar atau lonjong, tetapi ada juga yang segi empat panjang, bujur
sangkar, segi delapan, dan lain-lain.
Model stempel yang dikenal selama
ini ada dua macam. “Stempel genggam” dan “stempel cincin”. Stempel genggam
adalah stempel yang gagangnya biasa dipegang dengan kelima jari. Model ini
sangat umum dijumpai sejak dulu sampai sekarang. Sedangkan stempel cincin (signet ring) adalah stempel berupa
cincin. Biasanya dikenakan pada jari tengah atau jari manis. Model ini mungkin
tidak dijumpai lagi pada masa sekarang. Dulu digunakan oleh raja-raja atau
pejabat-pejabat tinggi kerajaan sekaligus menjadi perhiasan. Oleh sebab itu
tidak mengherankan kalau stempel cincin umumnya dibuat dari emas dengan atau
tanpa batu semi permata.
Cap
Sebagaimana
telah disebutkan cap adalah hasil cetakan gambar, tulisan, atau keduanya pada
suatu benda. Tetapi, tidak semua yang dihasilkan dengan cara mencetak disebut
cap. Pengertian cap terbatas sebagai tanda keabsahan sebuah dokumen.
Dari hasil pengamatan dapat
diketahui cara orang membuat cap; [a] ditekan
: permukaan stempel yang berukir ditekan dengan tangan pada bahan-bahan lunak
seperti lak, tanah liat, lilin (beeswax).
Bahan-bahan untuk cap ini sudah digunakan lama sejak awal abad ke-1 Masehi, dan
mulai jarang digunakan hingga abad ke-19. Selain bahan-bahan lunak tersebut orang
juga menggunakan bahan cair (tinta) untuk membuat cap, ini yang sangat umum
digunakan pada masa sekarang. Cap yang dihasilkan dari bahan itu lazimnya
dikenakan pada lembaran kertas; [b] ditempa: biasanya ini dikenakan pada bahan
yang keras yaitu logam. Caranya stempel dihantam dengan palu sampai membekas
pada kepingan logam (misalnya uang logam) dan menghasilkan sebuah cap; [c]
selain kedua cara di atas, mungkin orang juga pernah membuat cap tanpa
memerlukan stempel. Cara yang dimaksud adalah dengan memahat atau mengukir pada
batu atau menggores pada logam. Contoh mengenai cap yang dibuat dengan cara ini
akan diterangkan lebih lanjut.
Fungsi Stempel/Cap
Stempel/cap adalah bentuk simbolis
yang mewakili kehadiran seseorang (contohnya raja) atau kelompok (contohnya
lembaga-lembaga pemerintah). Jika kedua pihak mengadakan perjanjian biasanya
ada bukti berupa pernyataan tertulis yang isinya disepakati bersama. Agar isi
perjanjian itu menjadi sah maka masing-masing pihak diminta membubuhkan “tanda
pengenal” berupa tanda tangan atau cap, atau dapat juga keduanya (tidak jarang
meterai juga digunakan untuk keperluan ini). Dengan demikian pihak-pihak yang
telah membubuhkan tanda pengenal sepakat untuk memberlakukan isi perjanjian
itu. Apabila salah satu pihak di kemudian hari melanggar isi perjanjian, yang
bersangkutan dapat diajukan tuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Jelaslah, tanpa kehadiran stempel/cap
di samping tanda tangan dari satu atau semua pihak yang bersangkutan perjanjian
atau dokumen-dokumen penting lainnya dianggap tidak sah dan isinya tidak dapat
diberlakukan atau dipertanggungjawabkan.
Selain itu cap digunakan untuk
memberikan jaminan atau keutuhan barang, misalnya cap (lebih sering disebut
“segel”) pada lipatan amplop berisi dokumen penting atau rahasia. Jika segel
(dengan sengaja) dirusak berarti barang itu telah diketahui isinya/digunakan.
Manfaat Pengetahuan Sigilografi
Sigilografi tidak hanya pengetahuan
mengenai bentuk fisik dan usia sebuah stempel. Melainkan juga mempelajari isi
dokumen-dokumen yang dibubuhi cap dan meterai. Sebagaimana telah disebutkan
bahwa stempel/cap adalah bentuk simbolis yang mewakili kehadiran seseorang atau
kelompok. Stempel/cap yang dibuat oleh perseorangan atau kelompok tentu
mempunyai ciri tersendiri yang dapat dibedakan. Oleh sebab itu, penelitian atas
bentuk fisik benda-benda tersebut dapat mengungkapkan siapa pemiliknya.
Demikian juga penelitian atas isi dokumen yang dibubuhi cap/meterai dapat
mengungkapkan apakah dokumen-dokumen itu asli atau palsu.
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak
pernah lepas dari peranan stempel/cap. Untuk mengurus akte kelahiran, ijazah,
sertifikat tanah, dan lain-lain kita memerlukan cap di samping tanda tangan.
Tanpa pembubuhan cap dan/atau tanda tangan dokumen-dokumen itu belum sah.
Begitu pentingnya arti sebuah cap dan tanda tangan sampai orang berani
melakukan perbuatan tidak terpuji yaitu manipulasi dokumen-dokumen penting
dengan cara memalsukan cap dan tanda tangan untuk memperoleh fasilitas atau memperkaya
diri. Oleh karena fungsi cap sudah lama dikenal sejak abad ke-11 Masehi kasus
penyalahgunaan seperti itu tentu pernah terjadi.
Dahulu sebelum orang menerima tanda
tangan sebagai bukti pengesahan sebuah dokumen orang hanya mengenal stempel/cap
untuk maksud tersebut. Bukti bahwa bangsa Indonesia sejak abad ke-11 sudah
mengenal kegunaan stempel/cap dapat ditelusuri dalam sumber-sumber tertulis.
Dalam catatan sejarah Dinasti Song (906 – 1279) yang
mencatat keadaan masyarakat Indonesia kuno, salah satu uraian menyatakan:
“…mereka menulis dalam huruf Sanskrit dan raja mengenakan cincinnya sebagai stempel
juga; mereka pun tahu huruf China dan kalau mengirim surat beserta upeti mereka
menggunakan stempel cincin dalam huruf-huruf tersebut…” (Groeneveldt 1876:62-63).
Dari uraian tadi jelas bahwa stempel sudah digunakan untuk mengesahkan
surat-surat diplomatik pada waktu itu.
Berita China di
atas menyebut stempel cincin (signet ring)
yang dikenakan oleh raja. Stempel cincin itu tentunya berhias tulisan yang
dibuat terbalik. Contoh mengenai ini dapat dilihat di Museum Nasional Jakarta. Di
sini tersimpan koleksi stempel cincin sekitar 15 buah. Benda-benda ini
bertulisan aksara Jawa Kuno yang dibuat terbalik, sebagian besar berbunyi “śrīhana”. Ditinjau dari sudut paleografi
cincin-cincin stempel ini dibuat sekitar abad ke-12 – 13 M.
Sekarang, bagaimana menemukan bukti
sebuah cap pada abad-abad yang lebih awal? Tampaknya usaha ini tidak mudah
mengingat cap umumnya dibuat dari bahan yang rapuh dan mudah hilang. Cap
sebagai tanda pengesahan keberadaannya harus dicari pada sebuah dokumen.
Masalahnya tidak semua dokumen yang dibubuhi cap mampu bertahan mengarungi
perjalanan waktu dari masa ke masa. Kebanyakan dokumen dari bahan yang rapuh
sudah lebih dulu hancur ditelan zaman. Sedikit sekali dokumen yang kondisinya
awet sampai sekarang. Dokumen yang dimaksud adalah prasasti dari batu dan
logam.
Prasasti adalah suatu keputusan
resmi yang umumnya dikeluarkan oleh raja atau pejabat tinggi kerajaan, berisi
anugerah, hak dan kewajiban yang dikukuhkan dengan berbagai upacara (Trigangga
1989/1990:31). Agar keputusan resmi ini sah dan dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis maka kehadiran cap sangat diperlukan. Kebutuhan akan cap untuk
maksud tersebut sudah membudaya sejak abad ke-11. Pada abad itu banyak prasasti
berisi keputusan raja yang dibubuhi cap kerajaan. Maksudnya untuk melindungi
hak-hak penerima anugerah dari segala tuntutan yang mungkin terjadi di kemudian
hari. Sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak abad-abad sebelumnya, tetapi sayang
dokumen-dokumen yang sampai ke tangan kita berupa prasasti-prasasti tinulad, yaitu prasasti-prasasti yang
disalin kembali pada zaman kemudian, isinya kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, boleh dikatakan Raja Airlanggalah yang pertama kali “menanamkan kebiasan”
membuat dokumen (prasasti) dengan cap kerajaan, yang kemudian diikuti oleh
penerusnya dari kerajaan-kerajaan Janggala dan Panjalu (Kadiri).
Petunjuk tentang adanya sebuah cap pada sebuah
prasasti dinyatakan dengan istilah tinanda,
artinya “bertanda” atau “ditandai” atau “diberi cap”. Sayangnya sebagian besar
prasasti, khususnya prasasti logam (tāmra
praśāsti), dibubuhi cap dalam ungkapan tulisan sehingga bentuk nyata dari
cap itu tidak diketahui pasti. Contohnya prasasti Tuhanyaru tahun 1245 Saka
atau 1323 M yang diberi cap “dua ekor ikan” (tinanda mīnadwaya). Di sini kita tidak tahu bagaimana wujud
nyata cap “dua ekor ikan” itu, apakah
ikan-ikan itu dalam posisi berjajar kepala dengan
kepala atau kepala dengan ekor? Hanya ada beberapa prasasti yang dibubuhi cap
dalam bentuk nyata, dipahatkan pada batu berupa relief di atas tulisan.
Cap pada batu
memang tidak menggunakan stempel mengingat bahan itu tidak memungkinkan untuk
dibuatkan cap dengan cara ditekan atau ditempa seperti kita membuat cap pada
selembar kertas atau sekeping logam. Caranya tentu saja harus diukir dengan
menggunakan pahat hingga membentuk relief yang diinginkan.
Sebuah contoh prasasti yang dibubuhi
cap dalam wujud nyata adalah prasasti Baru tahun 952 Saka atau 1030 M
(Brandes-Krom 1913: OJO, LX).
Prasasti dari masa pemerintahan Raja Airlangga ini isinya berkenaan dengan
anugerah raja kepada penduduk Desa Baru. Sebab, prasasti itu dikeluarkan begini:
pada waktu itu Raja Airlangga dan segenap pasukannya dalam perjalanan memerangi
musuh-musuhnya, salah satunya raja di Hasin. Di Desa Baru raja dan segenap
pasukannya menginap. Pada malam hari raja mengucapkan janji di hadapan para
pejabat Desa Baru dan segenap warganya. Apabila beliau memperoleh kemenangan
dalam pertempuran dan berhasil menguasai musuhnya dari Hasin, kemudian
menyatukan seluruh wilayah kerajaan, maka Desa Baru akan dijadikan desa
perdikan dengan segala hak yang dapat dinikmati warganya. Mendengar itu semua
warga Desa Baru serentak mendukung perjuangan Raja Airlangga untuk memerangi
musuhnya. Ketika perang usai dan kemenangan berhasil diraih Raja Airlangga,
dinasehatilah baginda oleh para penasehat kerajaan agar menepati janjinya,
jangan sampai baginda dikatakan sebagai raja yang ingkar janji, apalagi para
pejabat Desa Baru sudah “menagih janji”, memohon turunnya anugerah raja agar
dinikmati mereka sampai ke anak cucu selama-lamanya. Raja Airlangga sebagai
seorang ksatria yang pantang melanggar dharmanya (dalam ajaran Hindu) tentu
saja mengindahkan nasehat dan permohonan itu. Akhirnya turunlah anugerah raja
kepada warga Desa Baru berupa prasasti perunggu berisi perintah raja yang
dibubuhi cap garudamukha. Isi
perintah raja itu intinya adalah beberapa hak dan kewajiban yang dilimpahkan
kepada penduduk Desa Baru.
Jadi, prasasti Baru dapat dikatakan
sebuah dokumen perjanjian, yaitu perjanjian antara raja dan rakyat. Raja memberikan
anugerah berupa status perdikan bagi Desa Baru dengan segala hak istimewa yang
dapat dinikmati penduduk Desa Baru, sedangkan rakyat punya kewajiban mentaati
isi perintah raja mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku di desa perdikan
itu. Agar isi dokumen perjanjian itu sah dan punya kekuatan hukum maka perlu
dibubuhi cap, dalam hal ini adalah cap kerajaan berupa garudamukha. Sanksi bagi siapa yang melanggar semua ketentuan yang
berlaku tadi akan terkena denda berupa sejumlah uang emas, juga karena dosanya
itu bakal menerima hukuman di dunia dan akhirat (lewat kutukan-kutukan yang
tertulis di prasasti itu juga).
Apabila raja memberi anugerah,
dokumen yang memuat anugerah itu dibuat dalam dua atau tiga rangkap. Dokumen
asli, basanya prasasti batu didirikan dekat tempat yang menerima anugerah.
Salinan-salinannya, dapat berupa prasasti logam (tāmra) atau prasasti lontar (ripta)
disimpan oleh orang yang berkepentingan, dan yang lain disimpan dalam keraton
sebagai arsip. Pada contoh prasasti Baru ini, prasasti dari batu yang sekarang
disimpan di Museum Nasional Jakarta adalah dokumen asli, sedang “tembusan”
berupa prasasti perunggu diberikan kepada penduduk desa Baru untuk disimpan
sebagai pegangan, tetapi sayang hingga saat ini belum ditemukan kembali.
Selama bukti anugerah dari raja itu
masih ada, hak-hak mereka akan tetap diakui atau dihormati orang lain. Bahkan
oleh raja-raja yang memerintah di masa yang akan datang. Mengenai hal ini ada
satu contoh yaitu Prasasti Talan tahun 1058 Saka atau 1136 M (Brandes-Krom
1913: OJO, LXX dan Suhadi 1983:
899-914). Prasasti dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya ini isinya mengenai
permohonan rakyat Desa Talan kepada raja. Disebutkan bahwa warga desa Talan
menyimpan sebuah prasasti lontar (ripta),
mungkin “tembusan” yang diterima dari Raja Airlangga 96 tahun sebelumnya.
Prasasti lontar ini, karena kondisinya sudah rapuh, isinya perlu diselamatkan.
Khawatir kalau hak-hak mereka juga hilang, mereka datang ke istana Raja
Jayabhaya mengajukan permohonan. Melalui seorang perantara mereka mengutarakan
maksudnya; memohon agar isi prasasti lontar itu dipindahkan dan dikukuhkan
dalam prasasti batu (linggopala). Raja
Jayabhaya setelah mendengar dan melihat bukti anugerah Raja Airlangga yang
dibubuhi cap garudamukha, langsung mengabulkan
permohonan itu. Maka dipindahkanlah isi anugerah Raja Airlangga ke dalam
prasasti batu, bahkan Raja Jayabhaya menambahkan anugerah lain kepada warga Desa
Talan. Perlu diketahui bahwa cap kerajaan Raja Jayabhaya adalah narasingha.
Penyimpangan atau pemalsuan isi
dokumen, disadari atau tidak, sudah ada pada zaman dahulu. Oleh karena prasasti
memuat hak-hak yang amat diinginkan orang, kerap kali isinya disalin atau
ditiru secara tidak benar. Prasasti demikian disebut prasasti tinulad, biasanya disalin sekian ratus
tahun setelah prasasti aslinya dalam keadaan rusak atau hilang. Dalam prasasti tinulad kerapkali memuat penambahan
anugerah asli; apa yang tidak tercantum dalam prasasti yang asli lalu
ditambahkan dalam prasasti yang hendak disalin. Belum lagi kekeliruan dalam
menyalin tanggal, nama orang, atau sesuatu yang anakronistik.
Bagi orang-orang zaman dahulu
mungkin sulit membedakan prasasti yang asli dengan yang tiruan/palsu. Tetapi,
bagi ahli epigrafi yang meneliti secara kritis semua isi dokumen dari batu dan
logam dapat mengetahui keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam prasasti
tiruan. Prasasti Watukura contohnya, adalah sebuah prasasti Raja Balitung
bertarikh 824 Saka atau 902 M yang disalin dalam tahun 1270 Saka atau 1348 M
(van Naerssen 1941). Satu hal yang menarik di sini adalah penggunaan cap
kerajaan jalasamuha atau
“samudra/lautan” oleh Raja Balitung, padahal prasasti-prasasti yang dikeluarkan
pada zamannya tidak satu pun dibubuhi cap kerajaan tersebut. Dengan demikian
isi prasasti Raja Balitung yang disalin itu keasliannya diragukan.
Pada masa kolonial (abad ke-16 – 20)
cap banyak dibubuhkan pada dokumen-dokumen perjanjian di atas kertas. Pada masa
itu juga tanda tangan sudah mulai umum digunakan sebagai bukti keabsahan sebuah
dokumen. Tetapi, tanpa dibubuhi cap rasanya belum cukup. Pada masa kesultanan
Banten contohnya, penggunaan tanda tangan untuk maksud tersebut belum umum.
Kalau pun ada namun belum digunakan secara luas oleh pejabat-pejabat
kesultanan. Kompeni Belanda (VOC) pernah memanfaatkan kekurangpahaman para
penguasa lokal di Indonesia dalam membubuhkan cap atau meterai pada setiap
perjanjian untuk meruntuhkan kekuasaan setempat. Oleh karena itu, timbul dugaan
bahwa pertumbuhan kekuasaan VOC di Pulau Jawa lebih merupakan hasil-hasil
perjanjian daripada sebagai akibat penaklukan kekuasaan politik Jawa (Eri
Sudewo 1985:20; 98).
Lain daripada itu cap juga
dibutuhkan dalam dunia moneter (keuangan). Bagi
seorang numismatis (ahli tentang mata uang) sudah tidak asing lagi
melihat uang-uang lama, baik uang ketas maupun uang logam, yang dibubuhi cap.
Pembubuhan cap pada mata uang ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah yang
mengedarkan uang pada waktu itu. Kerap kali dijumpai uang-uang yang tidak
berlaku lagi atau mata uang asing, karena suatu alasan tertentu dibubuhi cap
oleh penguasa atau pemerintah agar diterima sebagai alat tukar yang sah dalam
masyarakat. Contohnya seperti yang pernah dilakukan oleh penguasa di Kesultanan
Sumenep (Madura) terhadap uang-uang Spanyol dan Belanda. Mata uang dari perak
itu dibubuhi cap Kesultanan Sumenep, dan diberlakukan sebagai alat tukar yang
sah di wilayahnya.
Demikianlah sumbangan sigilografi
bagi ilmu sejarah dan arkeologi, yang khusus menelaah obyek berupa stempel/cap/meterai.
Fungsi obyek penelitian sigilografi dari dulu sampai sekarang tetap sama, yaitu
sebagai tanda pengesahan. Seperti sekarang ini, dalam dunia perkantoran benda
yang namanya stempel/cap/meterai itu harus ada. Semua lembaga pemerintah dan
swasta pasti memiliki stempel/cap sendiri. Tanpa benda tersebut segala urusan
lewat surat menyurat seperti surat
dinas, surat keputusan surat
edaran, surat kontrak, surat perjanjian dan lain-lain tidak dapat
diberlakukan atau dipertanggungjawabkan isinya.
Referensi
Boechari, Prasasti Koleksi
Museum Nasional (Jilid I). Jakarta :
Proyek Pengembangan Museum
Nasional, 1985.
Brandes, JLA. Oud-Javaansche
Oorkonden: Nagelaten Transscripties van Wijlen JLA Brandes, uitgegeven door Dr.
N.J Krom, VBG, LX., 1913
Eri Sudewo, Meterai
Kesultanan Banten dan belanda; Sebuah Penelitian Pendahuluan pada
Dokumen-dokumen Perjanjian, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (Skripsi Sarjana) Fakultas Sastra
Universitas Indonesia , Jakarta , 1985.
Groeneveldt, WP. Historical
Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, VBG, XXXIX, 1876, hal. 1-220.
Hassan, A. Qamoes
Persamaan Indonesia – India . Malang : Indian League |
Bangil: Persatoean, 1949.
Naerssen, FH van,. Oudjavaansche Oorkonden in Duitsche en Deensche Verzamelingen
(Disertasi). Leiden ,
1941.
Notosusanto, Nugroho. Hubungan Erat antara Disiplin Archeologi dan Disiplin Sedjarah, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia ,
1963 (1) no.1 hal. 59-64.
Poerwadarminta, WJS (dkk). Kamus Latin-Indonesia. Semarang :
Penerbit Jajasan Kanisius, 1969.
Suhadi, Machi. Desa
Perdikan Tawangsari di Tulungagung. Pertemuan
Ilmiah Arkeologi III. Jakarta :
Proyek penelitian Purbakala, Depdikbud, 1985, hal. 899 – 914.
Trigangga, Heraldika
Indonesia :
Dari Garudamukha ke Garuda Pancasila, Museografia,
XIX no.1. Jakarta :
Direktorat Permuseuman, Depdikbud, 1989/1990, hal. 29-40.
(anonym). “Sigillography”, The New Encyclopaedia Britannica, vol.16 (15th edition).
Encyclopaedia Britannica, Inc., 1983.
(anonym). “Seal”, The
Encyclopaedia Americana, vol.24. USA : Americana Corporation, 1964.
[1] Dalam istilah lain, ilmu pengetahuan mengenai
setempel/cap/meterai juga disebut sphragistic.