Koleksi Tropen Museum, Base-relief Candi Borobudur |
Bambang
Sulistyanto
Kerajaan
Majapahit adalah bentuk terakhir dari negara tradisional Hindu Jawa yang
berhasil mencapai puncak perkembangannya pada masa peerintahan Raja Hayamwuruk
(1350-1389). Tingkat pertanian yang maju berdasarkan irigasi yang luas disertai
perdagangan yang berkembang, jelas diperlukan kerja keras dan semangat
membangun yang positif dengan program-programnya yang terencana.
Data
arkeologis menyajikan kemajuan pertanian Majapahit dan beras merupakan komoditi
utama yang diproduksi. Sementara kitab sastra Negarakertagama juga mengisahkan,
persawahan menjadi tulang punggung perekonomian Majapahit. Sebabnya sederhana,
hanya sawahlah yang dapat menjamin persediaan pangan secara teratur. Konsep
masyarakat hidrolik ini tercermin pada fakta, bahwa justru di daerah inti
Majapahit telah dibangun suatu irigasi yang luas dan canggih
(Sartonokartodirjo,1980:135). Perkembangan pertanian ini membawa efek positif
yang tidak kecil di bidang perdagangan, yaitu bahwa Majapahit mampu menarik
perhatian pedagang-pedagang dari luar nusantara (Nagarakertagama,83:4).
A.T.Mosher
dalam penelitiannya di banyak negara berhasil menganalisa syarat-syarat
pembangunan pertanian sekaligus menggolongkannya menjadi syarat mutlak dan
syarat pelancar. Menurut Mosher (1965:51-57), ada lima syarat yang harus
terpenuhi untuk dapat tercapainya pembangunan pertanian. Kalau saja ada satu
syarat yang tidak terpenuhi, maka pembangunan pertanian akan mengalami kepincangan.
Lima syarat mutlak itu adalah: adanya pasar, adanya teknologi, tersedianya
bahan-bahan dan peralatan produksi secara lokal, adanya perangsang produksi
bagi petani dan terselenggaranya sarana pengangkutan yang cukup lancar dan
kontinyu.
Disamping
kelima syarat di atas, Mosher menambahkan lagi lima syarat yang keberadaannya
tidak mutlak, tetapi kalau ada akan benar-benar memperlancar pembangunan
pertanian. Kelima syarat pelancar itu adalah: pendidikan, kredit produksi,
kegiatan gotong royong petani, perbaikan dan perluasan lahan tanah pertanian,
perencanaan nasional daripada pembangunan pertanian.
Seperangkat
persyaratan diatas akan dicoba dipergunakan sebagai dasar untuk mengungkapkan
pembangunan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah Majapahit abad ke-14-ke-15
M.
Mubyarto
dalam penelitiannya tentang pembangunan pertanian di Indonesia berpendapat,
bahwa iklim yang merangsang pembangunan pertanian Indonesia sudah dapat
tercipta melalui pelaksanaan Repelita sejak 1969/1970 yang secara tegas
memberikan prioritas pada sektor pertanian. Dalam versi dan skala yang berbeda,
kitab Nagarakertagama dapat dipergunakan sebagai awal pembuktian.
Pada pertemuan agung dihadap oleh
segenap aparat pemerintahan, tidak kurang dari penguasa Majapahit sendiri
menganjurkan kepada seluruh rakyat untuk selalu memperhatikan kesuburan sawah,
pentingnya memelihara jalan dan jembatan serta berbagai macam tanaman.
Dianjurkan pula agar aparat pemerintah mengambil langkah-langkah untuk
menghalangi tuan-tuan tanah yang rakus. Sebab jika itu dibiarkan, maka penduduk
desa yang tidak bertanah akan meninggalkan desa dan akan menjadi penjahat.
(Slametmulyana,1979:319).
Anjuran
penguasa terhadap aparat pemerintahan yang sekaligus berkenaan untuk rakyat
kebanyakan tentang pentingnya sektor persawahan, jelas merupakan perangsang
yang sangat berguna untuk lebih meningkatkan produksi pertanian. Disamping itu,
pemerintah Majapahit menciptakan pula kebijaksanaan khusus melalui
perundang-undangan. Ditekankan oleh pemerintah agar kaum Waisya harus pandai
menyebar benih, maupun penguasaan pembedaan antara tanah yang subur dan
gersang, sekaligus mempergunakan timbangan dan cara menyimpan barang serta
pengaturan jual-beli. Gambaran mengenai seperangkat kemampuan yang ditekankan
perlu dimiliki oleh masyarakat petani ini tersirat dalam kitab undang-undang
Kutara Manawa (Slametmulyana,1979:203).
Kemudian
ketrampilan petani dalam bercocok tanam memperlihatkan suatu proses yang tidak
banyak berbeda dengan cara kerja petani zaman sekarang. Gambaran proses
bercocok tanam petani Majapahit terekam dalam Kakawin Arjunawijaya 22:5
(Supomo,1977:57-59). Bahkan dalam Kakawin Sutasoma 98:3-4 diperoleh keterangan
cara pemeliharaan tanaman padi yang mirip sekarang ini, yaitu dengan cara
menyiangi (ibid 58,Ph. Subroto, 1984-1985:52-53).
Menurut
Geertz (1983:35) lahan sawah dapat ditingkatkan produktivitasnya semaksimal
mungkin dengan cara teknik bercocok tanam yang benar dan terarah, disamping
pengadaaan sarana irigasi. Gambaran tersebut terdapat dalam kitab
Nagarakertagama juga pada relief pada berbagai candi. Sketsa relief di Museum
trowulan misalnya, mampu menyiratkan kemahiran bersawah masyarakat
pendukungnya. Relief ini secara tegas menyiratkan teknik menanam padi secara
berbaris. Sementara itu, aktivits membajak dapat diketahui melalui relief
cerita binatang di kolam Candi Panataran. Sedangkan mengenai peralatan
pertanian, tampaknya tidak jauh berbeda dari yang dipergunakan oleh petani
jaman sekarang sebagaimana tercermin pada relief Candi Sukuh
(Subroto,1980:342-355).
Sumber
pangan yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan pertanian Majapahit adalah
beras. Hasil panen dua kali dalam setahun di persawahan Majapahit abad
ke-14-ke-15 M (Groenevelt,1960:48) adalah bukti tingginya produktivitas
pertanian masa itu. Sebagai akibat dari produktivitas pertanian yang tinggi,
maka dengan sendirinya Majapahit sanggup menarik kedatangan para pedagang dari
berbagai kawasan yang diantaranya Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa,
Karnata, Goda dan Siam.
Usaha
lain pemerintah Majapahit dalam meningkatkan produksi pertanian yaitu dengan
memperluas lahan pertanian itu sendiri. Dalam perluasan lahan sawah seperti
terangkum dalam Negarakertagama tidak kurang dari Raja Hayam Wuruk dan Wengker
sendiri memerintahkan kepada rakyat untuk membuka hutan di Wotsari, Sagala,
Surabhana, Pasuruan dan Pajang. Dengan pembukaan hutan, masyarakat desa yang
tadinya tidak memeiliki lahan akan memiliki lahan baru. Perintah raja yang
berkenaan dengan pembukaan hutan tercermin dalam Negarakertagama, maka mengenai
hutan yang telah dibudidayakan menjadi lahan persawahan yang subur dengan
gemericik air sungai yang dialirkan dengan saluran dari batang bambu, dapat
dijumpai dalam Kakawin Siwaratrikalpa dari pertengahan abad ke-15 M
(Zoetmulder,1974:459). Dalam bidang peternakan dapat diperhatian pengembangannya
dari pemerintah, sebagaimana terdapat pada prasasti Sidoteko 1313 M
(Yamin,1962:43-49).
Usaha
memaparkan teknologi pertanian itu sendiri, tidak dapat dilepaskan dari
jaringan irigasi yang mendukung persawahan. Data prasasti memberikan gambaran
tentang beragamnya irigasi yang dibangun masa pemerintahan Majapahit, yaitu: dawuhan, wwatan, tambak, tamang, tamya, talang, weluran, arung, tembuku dan subaki. Dalam penelitiannya Maclaine
Pont berhasil mengidentifikasi tidak kurang dari 20 buah waduk, 6 waduk berada
di Trowulan. Disamping bangunan air di Trowulan masih terdapat tiga buah kolam
buatan (Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo), serta kanal-kanal bertanggul.
Bahkan diduga di Trowulan masih terdapat saluran-saluran air kecil untuk
mengairi sawah yang semua itu merupakan bagian dari sistem jaringan di daerah
tersebut.
Kemajuan
teknologi masa Majapahit tak luput dari proses penerapan teknologi masa
sebelumnya. Seperti yang terdapat pada Prasasti Kandangan (1350 M) berisi
tentang perbaikan waduk dari hasil pembangunan masa sebelumnya (804 M),
sebagaimana tercatat dalam prasasti Harinjing. Demikian pula pembangunan waduk
sebagaimana tersurat dalam prasasti Bakalam (924 M), masih terus dilanjutkan
bahkan diperluas jaringan-jaringan keairannya pada masa Majapahit. Hal yang
sama juga dijumpai pada prasasti Trailokyapura 1486 M (Meer,1979:134).
Pentingnya
saluran air bagi pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah, maka pembangunan
pertanian Majapahit seakan-akan menekankan pada prioritas pembangunan
saluran-saluran irigasi dalam rangka proses pembangunannya. Sistem pengadaan institusi
masyarakat pun dibuat guna menata dan mengolah bidang pertanian.
Jabatan-jabatan yang tercermin dari isi beberapa prasasti antara lain: matamwak, huluair, penghulu banyu, klian
subak (Meer,1979:60-68).
Matamwak atau pengelola tambak, ditemukan
pada prasasti Bogem (1387 M). Huluair atau
penghulu banyu, dua istilah yang
dapat diartikan sama yaitu pengatur irigasi, tersirat dalam prasasti
Trailokyapura (1486 M). Menurut Casparis, sejak masa pemerintahan Raja Sindok
(927-974 M) sampai dengan era Majapahit (abad ke-14 M). Berlangsung proses
evolusi administrasi kerajaan yang terdesentralisasi ke arah sentralisasi.
Dari
data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor keberhasilan
pembangunan pertanian di Majapahit diantaranya adalah kebijakan pemerintah
dalam menciptakan iklim yang merangsang untuk memajukan pertanian. Faktor lain
yang dapat ditunjuk yaitu kebijaksanaan pemerintah dalam menyelenggarakan
prasaraana fisik dan sosial yang merupakan alat untuk mencapai tujuan
pembangunan pertanian.
Konsep
masyarakat hidrolik tersebut, menunjukkan suatu fakta, bahwa justru di daerah
inti Majapahit telah dibangun suatu sistem irigasi yang kompleks dan luas yang
pada gilirannya menjadi pusat peradaban. Bahkan kalau kita mengamati data
prasasti, maka sudah cukup jelas, masalah irigasi banyak menyibukan penguasa
maupun masyarakat petani sendiri. Strategi padat teknologi inilah yang
mengantarkan keberhasilan pembangunan pertanian zaman Majapahit. Produktivitas
meningkat dan terjadi surplus.
Analisis
Hasil Penelitian Arkeologi III, Bali 7-3 Oktober 1989
“Kajian
Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi”
1990:351-370