Ringkasan Sejarah Nasional Indonesia II, 1993
Di
dalam salah satu prasasti dari jaman raja Marakatapangkaja terdapat keterangan
yang mungkin dapat kita pergunakan untuk menghitung berapa jumlah penduduk Bali
pada masa itu, walaupun angka yang akan diperoleh nanti hanyalah merupakan
perkiraan belaka. Menurut Prasasti Bila yang berangka tahun 945 Śaka penduduk karāman Bila semula berjumlah 50 kuṛn, tetapi karena kewajiban-kewajiban berat yang dibebankan
kepada karāman Bila, maka jumlah
tersebut kemudian menyusut menjadi 10 kuṛn
(sambadha mājaraken paraspara ni hambanya
sakarāman mula 50 kuṛn kwehnya nguni rumuhan ring malama, maśeśa ta ya 10 kuṛn,
kunang sangkā ri kabyetanya ring dṛwya haji,mwang buñcang haji magöngadmit).
Keterangan ini sangat penting kalau ditinjau dari segi sejarah, sebab dengan
keterangan itu kita mengetahui bahwa jumlah penduduk di sebuah karāman pada masa dahulu sebanyak 50 kuṛn (kepala keluarga). Tetapi tentu
saja ada juga sebuah karāman yang
terdiri dari 100 atau 150 kuṛn.
Seandainya setiap kuṛn rata-rata
terdiri dari 5 orang, maka penduduk Bila diperkirakan sebanyak 250 jiwa. Selanjutnya
di dalam Prasasti Bali pada umumnya disebut nama sebuah desa yang dibebaskan
misalnya dari kewajiban-kewajiban tertentu, kemudian juga menyebut nam-nama
desa parimaṇḍala yang ada di
sekelilingnya. Istilah pinarimaṇḍalacinaturdeśa
sangat terkenal di dalam prasasti baik di Jawa maupun di Bali. Artinya sebuah
desa mempunyai batas empat buah desa yang ada disekitarnya. Jumlah prasasti
yang sudah ditemukan di Bali hingga masa pemerintahan raja Marakatapankaja
kira-kira 40 buah dan sampai jaman Anak Wungsu mendekati 70 buah prasasti.
Dengan demikian jumlah penduduk Bali pada masa pemerintahan Anak Wungsu (Abad
IX M) diperkirakan sebanyak 600x250 = 150.000 jiwa. Kira-kira seratus tahun
kemudian sampai masa pemerintahan raja Jayapangus (Abad XII M) jumlah penduduk
melonjak menjadi kira-kira 300.000 jiwa. Peledakan penduduk rupa-rupanya
terjadi sewaktu orang-orang dari Jawa Timur pindah ke Bali sebagai akibat
runtuhnya Majapahit kira-kira sekitar tahun 1500 M.
Umumnya
masyarakat Bali sejak jaman dahulu hidup bercocok tanam. Hal ini dapat kita
ketahui dari berita-berita yang kita peroleh di dalam prasasti-prasasti, antara
lain menyebut sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal
(ladang daerah pegunungan) dan kasuwakan (pengairan
sawah).
Pengolahan
sawah khususnya mendapat perhatian besar dan dirawat sebaik-baiknya seperti
halnya para petani pada waktu sekarang. Di dalam Prasasti raja Marakatapankaja
(Songan-tambahan) misalnya disebut deretan istilag yang berhubungan dengan cara
pengolahan atau penanaman padi, yaitu amabaki,
amaluku, atanem, amatun, ahani, anutu. Proses tersebut urutannya sesuai dengan yang dikerjakan oleh
para petani pada waktu sekarang, yaitu: mbabaki
(pembukaan tanah), lalu mluku
(membajak), tanem (menanam padi), matun (menyiangi padi), ani-ani (menuai padi,panen) dan mutu (menumbuk padi). Dari keterangan
tersebut jelaslah bahwa sewaktu masa pemerintahan Marakatapankaja dan mungkin
juga pada masa sebelum dan sesudahnya, penggarapan sawah telah maju dan tidak
jauh berbeda dengan cara pengolahan sawah para petani pada waktu sekarang.
Jenis-jenis
tanaman yang sudah dikenal pada masa dahulu antara lain: padi (baik padi gaga, padi sawah maupun huma), nyu atau tirisan
(kelapa), pring (bambu), hano (enau), kamiri (kemiri), kapulaga,
kasumbha (kesumba), tals (talas), bawang bang (bawang merah), pipakan
(jahe), mulaphala (umbi-umbian
lainnya, wortel), hartak (kacang
hijau), pucang (pinang), jeruk, lunak atau camalagi
(asam), pisang atau byu, sarwaphala
(buah-buahan), sarwawija (padi-padian),
kapas, kapir (kapok randu), damar,
dan lainnya.
Selain
itu ada jenis kayu-kayuan, yang kadang-kadang merupakan kayu larangan (pohon
larangan), antara lain: kamiri (Latin
Aleurites triloba Forst), boddhi (Carumbium populifolium), nangka (Artocarpus integrifolia), kembang
kuning (Cassiasophora), meṇḍe (Wallichia Horsfieldi), kapulaga
(Amonum Cardamomum) dan
sebagainya.
Selain
hidup bercocok tanam atau bertani rakyat juga memelihara binatang ternak
seperti; itik, wḍus (kambing), lembu
(sapi), kbo atau karambo (kerbau), asu
(anjing), jaran atau asba (kuda), hayam (ayam), manuk (ayam
jantan). Selain itu masih ada lagi binatang buruan seperti babi, culung (celeng), pañcayan (?), besara
(binatang liar), hayam alas (ayam
hutan), putir (merpatih putih), manuk kitiran (tekukur), asu alas (anjing hutan), wuruwuru (merpati) dan lain-lainnya.
Untuk pengawasan binatang ternak bersayap ada seorang pejabat yang disebut Tuhānjawa (ketua ternak bersayap).
Kelihatan
jelas masyarakat pada masa dahulu gemar juga berburu. Hal ini terbukti dengan
adanya pejabat khusus yang tugasnya berhubungan dengan binatang perburuan.
Pejabat itu disebut Nayakan buru. Bahkan di dalam prasasti Bukit
Cintamani disebut tentang pembuatan bangunan suci di tanah perburuan (bangunen partapanan satra di katahan buru),
sedang di dalam prasasti Bwahan dikatakan bahwa orang desa Bwahan yang terletak
di pinggir danau (wingkang raṇu)
memohon kepada raja agar diperkenankan membeli hutan perburuan raja (alas burwan haji) yang ada dekat desanya
untuk tempat penggembalaan sapi dan mencari kayu api (mwang höt ni pamangana ni sapinya, mwang pametanya kayu). Selain
itu disebut juga bahwa rakyat desa diijinkan berburu di daerah sekitarnya (parimaṇḍala) tanpa dikenakan dṛbyahaji (iuran,pajak) oleh Nāyakanburu. Juga dalam prasasti Ūgrasenā
terdapat keterangan tentang penduduk atau orang yang melakukan kerja bakti buat
raja di daerah perburuan raja (anak
mabwatthaji di buru).
Agaknya
binatang yang paling berharga pada masa dahulu di Bali yaitu jaran atau asba (kuda). Di dalam prasasti-prasasti kuna kuda memang disebut-sebut,
bahkan di dalam prasasti Air Hawang diuraikan dengan panjang lebar tentang
peternakan kuda dan juga tentang penyilangan kuda (amor ing kuda tinangkalik). Jika ada orang yang melepaskan kuda
jantan (kuda lanang) dan kuda betina
(kuda wadwan) maka orang itu harus
menyerahkan tiga bakul nasi (skul tlung
wakul) dengan lauknya (iwakanya)
dan lain lain.
Disamping
bercocok tanam, berternak dan berburu, di dalam masyarakat Bali kuna dikenal beberapa
kelompok pekerja khusus, seperti paṇḍe
mas (pandai emas), wṣi (besi), tambra (tembaga) dan kangśa (perunggu). Mereka ini tugasnya
membuat perhiasan-perhiasan dari emas, alat-alat rumah tangga, alat-alat
pertanian, senjata dan sebagainya. Selain itu ada lagi pekerjaan bangunan
seperti uṇḍahagi kayu (tukang kayu), uṇḍahagi batu (tukang batu), uṇḍahagi
lancang (tukang perahu) dan uṇḍahagi.undagi pangarung (tukang pembuat terowongan). Jenis pekerjaan lain
yaitu mamangkudu (tukang celup warna
merah), mangnila (tukang celup warna
biru), citrakara (pelukis), amahat (pemahat), gusali (pandai besi) dan sebagainya.
Bidang
perdagangan pada masa itu sudah cukup maju, hal ini terbukti di beberapa desa
terdapat golongan saudagar yang disebut waṇigrāma
(saudagar laki-laki) dan waṇigrāmī
(saudagar perempuan). Mereka itu mempunyai kepala atau pejabat yang mengurus
semua kepentingannya dan disebut juru waṇigrāma
(baṇigrama) dan juru wanigrami. Di
dalam prasasti yang lebih tua kelompok pedagang tersebut dinamakan wanyaga (banyaga) dan pimpinannya juru
wanyaga. Di dalam prasasti jaman Jayapangus kerapkali sebuah karaman (desa
dengan penduduknya) disebut mempunyai hakekat weśyajanma, artinya banyak golongan weśya atau kasta pedagang (apan
weśyajanma swajatinikang karaman).
Perdagangan
antar pulau juga cukup maju, hal ini dapat kita ketahui dari prasasti Banwa
Bharu yang menyebut apabila ada saudagar yang mendarat lalu mati, sebagian
miliknya disumbangkan ke kuil Hyang Api, kalau perahunya pecah, kayu-kayunya
harus dipakai sebagai pagar kota (desa). Kemudian prasasti Julah menyebutkan
jika ada perahu, lañcang, talaka, jukung yang terdampar, maka penduduk desa (anak banwa di julaḥ) boleh menawannya (taban karang) dan harta bendanya disumbangkan untuk bangunan suci de
desanya. Sedangkan di dalam prasasti Julah lainnya disebut tentang
pedagang-pedagang dari seberang yang datang dengan kapal dan perahu berlabuh di
Minasa (banyaga sekeng sabrang jong,
bahitra, camuṇḍuk i mānasa). Keterangan ini diperkuat lagi dengan berita
yang terdapat di dalam prasasti Lutungan yang menyebut tentang pembelian 30
ekor kerbau oleh raja Anak Wungsu dari Gurun (lawan ikang kbo prāṇa 30 siki, ulih
pāduka haji anumbas-i gurun). Menurut perkiraan Goris yang dimaksud Gurun
yaitu pulau Lombok. Sampai sekarang di Lombok Selatan masih terletak sebuah
desa bernama Gerung. Perlu ditambahkan disini bahwa pada jaman dahulu di Bali
telah dikenal beberapa jenis perahu, yaitu : lañcang (sampan), perahu,
tumbangan (perahu besar), talaka (sejenis perahu), jong (jung), jukung, bahitra (bahtera)
dan lain-lain.
Adapula
penyebutan bea cukai, pajak, iuran serta denda yang bermacam-macam yang ditulis
pada prasasti masa Anak Wungsu, Jayapangus dan raja-raja lainnya. Penyebutan
istilah tersebut umumnya masih menimbbulkan banyak kesulitan untuk
menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Pajak-pajak ini diatur oleh raja
sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan penduduk. Tetapi dalam kenyataannya
bermacam-macam pajak menimbulkan berbagai macam persoalan karena para pemungut
pajak (sang mangilāla dṛwāhaji)
kadang-kadang berbuat sewenang-wenangnya dengan menaikan jumlah pajaknya.
Sebagai contoh misalnya di dalam prasasti raja Jayasakti dan Jayapangus
berulangkali disebut penduduk desa yang mengeluh karena tindakan penyelewengan
petugas pajak yang berakibat seuasana masyarakat menjadi kacau dan gelisah.
Biasanya setelah mereka melapor kepada raja, desa tersebut kemudian dibebaskan
dari kewajiban membayar pajak dan para petugas tertentu (pegawai pajak)
dilarang memasuki dewa swatāntra
tersebut.
Selain
itu di dalam prasasti juga disebut berbagai macam kejahatan yang sengaja
diperbuat seperti; anumpung
(merampas), maling (mencuri), angabet (memukul), anayab (mencuri), amregele
(melakukan tindak kekerasan), anghadang
(menghadang orang lewat,membegal), nibo
(membunuh diam-diam dengan rarun), anluh (menyihir,meneluh),
enḍung jiwita (membunuh), ātatāyī (berbuat jahat), duhilaten (menjilat), pādacapala (menendang, kejahatan kaki), aṣṭacapala (memukul, kejahatan tangan), waluh rumambat ing natar (waluh merambat
di halaman, mengambil tanah orang lain dengan diam-diam), ḍaṇḍa kodanda (denda,pukulan), wangkai
kabunan (bangkai terkena embun), rah
kasawur ing dalan (darah tercecer di jalan), mandihalādi (berbuat onar, mencerca) dan lain-lain. Di dalam
prasasti Sabhaya dikatakan supaya perbuatan tersebut dilapporkan kepada Iḍa Bhaṭāra
disertai hukuman dan dendanya. Dan hal itu tidak boleh diganggu gugat oleh
orang-orang yang berkuasa.
Sumber:
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto,1993,Sejarah Nasional
Indonesia II,Jakarta:Balai Pustaka,halaman: 346-354.