Boechari
Nama kerajaan Matarām muncul pertama kali pada masa pemerintahan raja Sañjaya yang memerintah sejak
717 M, karena ia bergelar Rakai Matarām.
Dengan perkataan lain, ia mempunyai wilayah Matarām sebagai wilayah “lungguh”nya.
Sampai kepada masa pemerintahan raja Dharmawaṃśa Tǝguh, antara lain di dalam
prasasti Wwahan yang berangka tahun 985 M, kerajaan ini masih bernama Matarām,
sekalipun pusat kerajaannya sudah pindah ke Jawa Timur. Dari masa yang sekian
lama itu hingga sekarang kita mendapatkan kembali sekitar dua ratus prasasti
yang memberi gambaran tentang struktur kerajaan Matarām sebagaimana yang akan
dibicarakan.
Dari data prasasti kita
tidak dapat melihat bahwa di kerajaan Matarām memerintah satu rājakula atau dua atau lebih. Yang disebut
di dalam prasasti hanyalah wangsa Śailendra. Istilah “Sañjayawaṃśa” dan wangsa
yang lain tidak ada disebut di dalamnya. Menurut data terbaru wangsa Śailendra
itu keturunan Ḍapūnta Śailendra yang namanya ditemukan di dalam prasasti
Sojomerto, dekat Weleri, yang berbahasa Melayu Kuna. Mungkin sekali Ḍapūnta
Śailendra itu berasal dari suatu wilayah yang berbahasa Melayu Kuna, yaitu Ākhaṇḍalapura,
suatu kerajaan yang merupakan pendahulu kerajaan Śrīwijaya. Sekalipun belum
ditemukan bukti-bukti bahwa di Ākhaṇḍalapura yang kami perkirakan ada di daerah
Riau sekarang berkembang agama Śiwa dalam abad ke VII-VIII M, dan sebagian dari
raja-raja Śailendra di Jawa menganut agama Budhha Mahāyāna, Ḍapūnta Śailendra dan
raja-raja sesudahnya sampai dengan Rakai Matarām Saṅ Ratu Sañjaya ialah
penganut agama Śiwa. Baru mulai Rakai Panaṅkaran agama Buddha Mahāyāna dianut
oleh raja-raja Śailendra.
Para Pejabat Pusat dan
Pejabat Daerah
Kerajaan Matarām
terdiri atas desa-desa yang disebut wanua
dengan dukuh-dukuhnya yang disebut anak iṅ
wanua dan sejumlah desa itu masuk ke dalam wilayah kekuasaan para pejabat
pusat dan daerah (watak). Karena
pejabat-pejabat itu mempunyai pembantu-pembantunya yang juga tidak dibayar
dengan uang, maka para pembantu itu mempunyai ‘lungguh’ di dalam wilayah watak. Di tingkat pusat ada raja yang
dibantu oleh putra mahkota (rakryān mahāmantri
i hino), tiga putra raja yang lain (rakryān
mahāmantri i halu, i sirikan dan i wka) dan seorang pejabat keagamaan (saṅ pamgat tiruan). Dibawah mereka ada
sejumlah pejabat lagi, kalau lengkap disebut di dalam prasasti ada dua belas
orang, yaitu: 1. Rake halaran, 2. Rake palarhyaṅ atau rake paṅgilhyaṅ, 3. Rake wlahan,
4. Pamgat maṅhuri, 5. Rake dalinan, 6. Rake laṅka, 7. Rake tañjun,
8.paṅkur, 9. Tawān, 10. Tirip, 11. Pamgat wadihati, dan 12. Pamgat makudur. Tinggi rendah kedudukan
mereka di dalam pemerintahan terbayang dari jumlah pasak-pasak (pasǝk-pasǝk) yang mereka terima.
Dengan perkataan lain,
disamping putra mahkota, ada enam belas orang pejabat tinggi kerajaan. Ada
kemungkinan bahwa saṅ pamgat tiruan
juga anak raja atau sekurang-kurangnya anggota keluarga raja yang dekat, karena
ada prasasti yang menyebutkannya sebagai kṣatriyakula.
Dalam semua prasasti kelima pejabat tertinggi kerajaan itu menerima pasak-pasak
yang lebih banyak dari keduabelas pejabat di bawah mereka, dengan catatan bahwa
rakryān mahāmantri i hino memperoleh
yang terbanyak di dalam beberapa prasasti.
Tugas masing-masing
pejabat itu kurang jelas dari data prasasti. Yang agak jelas hanyalah tugas paṅkur, tawān, tirip yang rupa-rupanya
berurusan dengan “kas negara”. Mereka itulah yang mengurusi berbagai macam
pemasukan pajak dan hasil rampasan perang (tawān=hañaṅan) serta hadiah dari
kerajaan-kerajaan yang bersahabat. Anehnya mereka itu tidak pernah disebut
dengan gelar rakai atau pamgat dan hingga sekarang tidak pernah
mendengar ungkapan wanua i watak paṅkur,
watak tawān, dan watak tirip, kecuali di dalam prasasti tinulad, dimana dijumpai watak
tirip. Juga pamgat wadihati dan pamgat makudur tampak agak jelas
tugasnya, yaitu mengurusi tanah-tanah yang ditetapkan menjai sīma.
Para pejabat tinggi itu
tinggal di ibu kota kerajaan. Mereka dibantu oleh patih, parujar dengan pituṅtuṅ-nya, citralekha, dan paṅuraṅ. Patih biasa mengurus masalah
administrasi pemerintahan, parujar
semacam “juru bicara” dan pituṅtuṅ
mungkin orang yang bertugas menyiarkan hal-hal yang harus diketahui rakyat, citralekha ialah “juru tulis” dan paṅuraṅ kemungkinan besar petugas yang
mengurusi perpajakan.
Para rakai dan pamgat yang merupakan penguasa daerah dan bukan pejabat tingkat
pusat, mempunyai sebagai bawahan: patih,
juruniṅ kanāyakān, wahuta, citralekha, dan mataṇḍa. Patih membawahi parujar, tuṅgu duruṅ dan pratyaya, tuhaniṅ kanāyakān membawahi juruniṅ
wadwa rarai, juruniṅ kalula, juruniṅ maṅkarat, juruniṅ mawuat haji, dan wahuta
membawahi pituṅtuṅ, wahuta lampuran dan wahuta wiṅkas wkas. Mataṇḍa adalah pejabat yang membawa cap
pejabat rakai dan pamgat atau yang membawa panji-panji
pejabat tersebut. Diantara beberapa jabatan yang telah disebutkan dan masih
banyak lagi, hanya sepuluh nama yang sering disebut dalam prasasti. Istilah
untuk pejabat desa ialah rāma ‘ayah
yang terhormat’. Kesepuluh jabatan itu ialah gusti, kalaṅ atau tuha kalaṅ, wiṅkas, tuha banua, parujar,
hulair, wariga, tuhālas, tuha wǝrǝh dan hulu wras. Arti dari istilah gusti
hingga sekarang belum jelas. Kalaṅ
atau tuha kalaṅ sering dihubungkan
dengan orang-orang yang mengerjakan kayu dari hutan; tetapi ada juga
kemungkinan bahwa kalaṅ atau kalaṅan berhubungan dengan lingkaran,
yaitu tempat menyabung binatang untuk adu ketangkasan antar warga ataupun untuk
upacara tertentu. Istilah wiṅkas
berasal dari kata wǝkas yang dapat
berarti “akhir”, “tujuan”, atau “pesan”; tetapi apa tugas seorang winǝkas belum dapat diketahui. Tuha banua ialah orang yang dianggap “tetua
desa”, tapi bukan “kepala desa”, karena disebuah desa sering dijumpai beberapa tuha banua. Jabatan parujar sudah kita jumpai sejak di pusat kerajaan sebagai pembantu
dari para pejabat tinggi; juga di daerah watak.
Hulair ialah kontraksi dari istilah hulu dan air; artinya jabatan yang mengurusi pengairan di sawah-sawah desa (paṅhulu bañu). Wariga sebenarnya semacam ‘kitab primbon’ untuk mengetahui hari baik
bulan baik bagi permulaan suatu pekerjaan, jadi pada jabatan ini ialah orang
yang memahami ‘kitab primbon’. Tuha alas
ialah orang yang ditugasi mengurus hasil perburuan di hutan, dan hasil hutan
lainnya. Tuha wǝrǝh ialah petugas
yang mengurusi para pemuda dan pemudi, sedang hulu wras ialah petugas yang mengurusi hasil panen padi atau
lumbung padi.
Data prasasti
sebenarnya masih memberi petunjuk tentang adanya para pejabat rendahan di pusat
kerajaan. Pada beberapa isi prasasti disebutkan bahwa daerah yang dijadikan sīma itu tidak boleh lagi ‘dimasuki’
oleh paṅkur, tawān, tirip, patih, wahuta, rāma, nāyaka dan oleh mereka yang disebut maṅilala drawya haji (yang kira-kira
berkisar 28-50 orang). Menurut para sarjana, maṅilala drawya haji ialah para “pemungut pajak”. Tetapi menurut
tafsir kami istilah itu kurang tepat, karena diantara kelompok itu terdapat
misalnya widu maṅiduṅ (pesinden),
para pandai (emas, perak, perunggu,
tembaga), mereka yang mengurusi kendaraan gajah dan kuda (mahaliman, makuda), anggota pasukan pengawal raja yang
bersenjatakan panah, tombak, dan gada (mamanah,
magalah dan magaṇḍi), bahkan sampai kepada mamŗṣi
(tukang cuci). Lebih tepat jika maṅilala
drawya haji ditafsirkan sebagai “abdi istana yang tidak memperoleh daerah lunggah sebagai imbalan jasanya, tapi
memperoleh gaji berupa uang”. Namun mereka lain dari apa yang ada di dalam
berbagai prasasti yang disebut sebagai wadwā
haji dan wadwā para putra raja, wadwā permaisuri dan para selir. Mungkin
para abdi ini sama sekali tidak memperoleh “gaji” dalam bentuk uang; mereka itu
tinggal di istana dalam kamar-kamar yang dibuat untuk mereka dan mendapatkan
makan, minum dan pakaian.
Sumber Penghasilan
Kerajaan
Mengenai sumber
penghasilan kerajaan, pada umumnya semua penduduk wajib membayar pajak (drawya haji) dan melakukan kerja bakti
untuk raja atau kerajaan (buat haji).
Pajak harus dibayar dari tanah dan hasilnya, termasuk tanah rawa, tepian,
bendungan, hutan, dan hasil perdagangan dari hasil kerajinan dan keahlian
tertentu yang digunakan untuk mencari nafkah seperti pesinden, pelawak, penabuh
gamelan, dalang, dsb. Di pusat kerajaan ada pejabat yang mengurusi “jumlah desa”
dan “jumlah tanah” (wilaṅ wanua, wilaṅ thani). Tentunya mereka mempunyai
catatan tentang jumlah penduduk di setiap desa, karena tiap desa mempunyai
kewajiban menunjuk berapa orang tiap tahun yang harus melakukan kerja bakti
untuk raja/kerajaan. Jumlah pajak yang harus dibayar rakyat biasanya ditetapkan
oleh pejabat di tingkat watak (nāyaka).
Ada beberapa prasasti
yang menunjukkan protes rakyat atas beban pajak yang ditetapkan itu, lalu
pejabat desa mengajukan permohonan kepada raja melalui pemerintah daerahnya
agar ketetapan pajak diubah.
Selain itu pemungutan
pajak juga ditentukan berdasar macam-macam barang dagangan dan hasil industri rumah
tangga mengenai ketentuan batas yang dikenai pajak. Barang dagangan dibawa dari
desa ke desa yang lain dengan cara dipikul atau dibawa dengan gerobak, bahkan
jika memungkinkan dengan menggunakan perahu (perbatasan desa satu dengan
lainnya melalui sungai). Mengenai para pesinden, dalang, penabuh gamelan,
pelawak dll. Para pemainnya memperoleh imbalan uang dalam upacara penetapan sīma. Kelompok tersebut disebut wargga kilalāṅ, termasuk di dalamnya
pedagang-pedagang asing yang menetap di Jawa. Yang masuk juga kedalam ‘kas’
kerajaan ialah hasil rampasan perang (para pejabatnya disebut tawān atau hañaṅan di ibu kota kerajaan) dan pemberian cendera mata dari
negara-negara sahabat. Pajak diserahkan ke pusat kota dua kali dalam setahun. Disebutkan
dalam prasasti pada bulan Māgha dan Saṅsaṅān, sedangkan dalam naskah Nawanatya yang dimaksud Saṅsaṅān ialah Galuṅan.
Hukum dan Peradilan
Untuk mengetahui
tentang administrasi pengadilan di zaman Mataram kuno kita hanya bisa mengandalkan
beberapa prasasti yang biasa disebut jayapattra,
yaitu prasasti Guntur, Waruḍu Kidul, Tija dan Haru haru, beberapa prasasti śuddhapattra, seperti prasasti Bulai,
Kuruṅan, Wurutuṅgal, Paṅgumulan B dan Hara hara. Dari sanalah dapat digambarkan
bahwa suatu perkara dapat dimulai dari seorang penuntut yang melaporkan
lawannya kepada pejabat, entah itu pejabat desa, watak, atau bahkan masalah itu
membawanya kepada raja sendiri. Pejabat lalu memanggil kedua belah pihak untuk
menghadap sidang pengadilan pada hari tertentu dengan surat. Setelah kedua
belah pihak menghadap, para ‘hakim’ meneliti permasalahannya (guṇaḍosa) dengan dihadiri juga oleh
saksi-saksi kedua belah pihaknya.
Jika dilihat pada masa
Majapahit, para ‘hakim’ menggunakan beberapa sumber hukum, seperti śāstradŗṣṭa, deśadŗṣṭa, udāharaṇa, guru kaka, dan naskah-naskah hukum yang
tertulis, antara lain naskah Kuṭāramānawa.
Pertama-tama yang dilihat adalah apakah kedua belah pihak memegang tripramāṇa, yaitu sākṣī, likhita, dan bhukti. Bhukti (hak ‘de facto’)
merupakan kekuatan yang tertinggi, dapat mengalahkan pihak yang memegang likhita (surat tertulis) dan memiliki
saksi-saksi yang membenarkannya.
Misalnya saja dalam
prasasti Guntur, Pu Tabwǝl yang digugat oleh Saṅ Dharma karena tidak mau
membayar hutang yang dibuat oleh istrinya, menentukan pihaknya menang. Istri Pu
Tabwǝl ternyata membuat hutang kepada Saṅ Dharma, saudaranya sendiri, tanpa
memberitahu kepada suaminya. Karena itu maka Pu Tabwǝl tidak bertanggungjawab
atas hutang istrinya itu. Lain daripada itu memang tidak ada surat hutang, dan
suami istri itu tidak mempunyai anak. Tambah lagi ternyata Saṅ Dharma tidak mau
datang di sidang pengadilan. Maka diputuskan bahwa Saṅ Dharma dikalahkan
perkaranya.
Di dalam isi beberapa prasasti
jayapattra tersebut, tidak ada
bahasan tentang ‘hukuman’ bagi pihak yang dikalahkan. Menurut naskah-naskah hukum
tindak-tindak kejahatan dahulu dikenai hukuman mati, potong anggota badan dan
denda uang. Di dalam prasasti-prasasti denda uang itu juga disebut drawya haji; judi masuk ke dalam salah
satu sumber penghasilan kerajaan. Sedangkan dalam isi prasasti śuddhapātra, semua pelunasan hutang dan
penebusan gadai dapat diselesaikan di tingkat wanua. Mestinya pelunasan hutang dan penebusan gadai, menurut
naskah-naskah hukum, tidak perlu dibuatkan prasasti; surat hutang dan surat
gadai cukup dimusnahkan pada waktu diadakan pelunasan, di bawah pengetahuan
beberapa orang saksi.
Sifat Ideal Raja
Di dalam prasasti baik
dari masa raja Dharmawaṃśa hingga Majapahit tidak ada yang menyebut sifat ideal
seorang raja, namun dari kenyataan bahwa raja memberi anugerah (anugraha) kepada seseorang atau
sekelompok orang (penduduk desa) yang berjasa kepada raja, membuat sarana
transportasi berupa penyeberangan di Bengawan Solo di dekat Wonogiri, membuat
bendungan di kali Hariñjiṅ (sungai Srinjing) untuk menanggulangi banjir yang
selalu melanda daerah sekitarnya, meluluskan permohonan pengurangan pajak dari
desa-desa yang merasa terlalu berat pajaknya, dll. Dari situlah kami melihat
bahwa raja-raja selalu tidak melalaikan kesejahteraan rakyat, tidak pernah lupa
membalas budi rakyat yang telah berjasa kepada raja. Disamping memberikan
anugerah, raja juga mempunyai wewenang untuk memberi hukuman (wigraha). Namun sampai sekarang belum
pernah menemukan prasasti yang berisi hukuman bagi orang yang berdosa. Hanya
ada sepasang prasasti yang mungkin memuat hukuman pencopotan jabatan pamgat dan beberapa pembantunya, karena
mereka bersalah memutuskan permohonan rakyat desa Rumwiga agar pajak mereka
dikurangi, namun justru membuat kemunduran kehidupan di desa tersebut, yaitu
prasasti Rumwiga I dan II.
Pertunjukkan Seni
Gambaran berbagai macam
kesenian biasa dijumpai pada prasasti yang menguraikan upacara penetapan sīma. Dalam salah satu prasasti pada
masa Rakai Watukura Dyah Balituṅ kita menjumpai wayang kulit dengan dalangnya.
Adapula pertunjukan fragmen wayang orang dengan mengambil cerita dari Wirāṭaparwa. Adapula pembacaan naskah
(semacam mabasan (?)) di Bali dengan
mengambil cerita Bhīma Kumāra. Dengan
adanya wayang kulit dan wayang orang, kita tau bahwa ada para penabuh gamelan
dan para pesinden. Juga para pelawak yang disebut dalam beberapa prasasti.
Berbagai tarian, baik yang ditarikan bersama antara laki-laki dan wanita,
orang-orang tua dan pemuda-pemudi dan ada pula beberapa tarian khusus (tuwuṅ, buṅkuk, gaṇḍi, rāwaṇahasta). Gambaran tentang tari-tarian tersebut dapat
dilihat dengan jelas pada relief beberapa candi, seperti candi Borobudur dan
Prambanan.
Sumber:
Boechari.2012. Kerajaan
Mataram Sebagaimana Terbayang dari Data Prasasti, dalam Melacak Sejarah Kuno
Indonesia Lewat Prasasti: kumpulan tulisan Boechari. Jakarta: KPG, hlm:
183-196.