Boechari
Prasasti tidak
semata-mata memberikan data historis kepada kita, tetapi lebih banyak lagi data
kemasyarakatan, keekonomian dan keagamaan (Boechari,1977:1). Begitupula
keterangan tentang percanadian di dalam prasasti-prasasti yang belum
dimanfaatkan oleh para ahli arkeologi. Bahwa di dalam prasasti terdapat
bermacam-macam istilah untuk menyebut bangunan suci memang sudah pernah
dikemukakan, meskipun belum diketahui dengan pasti bangunan suci sejenis apa
yang dimaksudkan dengan masing-masing istilah itu (Soekmono,1974;
Boechari,1976:10). Tetapi bahwa ada beberapa prasasti yang menyebut kelompok
empat atau lima bangunan suci yang harus dipuja oleh satu desa atau satu
daerah, belum pernah ada arkeolog yang menelaahnya.
Di dalam prasasti
Mantyasih (829 Saka) disebutkan bahwa lima orang patih di Mantyāsih mendapat anugerah sīma dari raja Rakai Watukura Dyah Balituṅ. Adapun sebabnya karena
mereka itu memperoleh anugerah raja, antara lain karena mereka tidak melalaikan
pemujaan di bangunan suci di Malaṅkuśeśwara,
Pūteśwara, Kutusan, Śilābhedeśwara dan
Tuleśwara setiap tahunnya. Jadi ada lima bangunan suci yang menjadi
tanggungan para patih di Mantyāsih. Begitupula
dalam prasasti Kanuruhan I dan II (865 Śaka) ada empat bangunan suci di Wuraṇḍuṅan
yang disebut dharma kahyaṅan, yaitu saṅ hyaṅ mahulun, saṅ hyaṅ paṅawan, saṅ hyaṅ
kaswaban dan saṅ hyaṅ kagotran. Di
dalam prasasti Baru (952 Śaka) juga disebutkan ada empat bangunan suci di mana
para pejabat desa Baru harus mengadakan kebaktian, yaitu saṅ hyaṅ huwān, saṅ hyaṅ ḍepur, saṅ hyaṅ kawyĕlan dan saṅ hyaṅ roh.
Dari
keterangan-keterangan di atas dapat kiranya disimpulkan bahwa masyarakat Bali
sampai sekarang mengenal suatu sistem perpuraan. Menurut R.Goris di tiap desa
dan tiap kerajaan lama di Bali terdapat tiga pura pokok, yaitu pura puseh,
pura bale agung dan pura dalem dan beberapa macam pura lagi (Goris, 1960). Dari data
prasasti dapat diungkapkan apa saja yang diharapkan ada disekitar suatu candi.
Di dalam berbagai
prasasti terdapat istilah punpunan
dan aṅśa untuk menyebut sīma. Dari prasasti Tuhañaru (1245 Saka)
dapat disimpulkan bahwa punpunan
ialah sīma yang letaknya dekat dengan
bangunan sucinya, sedangkan aṅśa
adalah sīma yang letaknya jauh dari
bangunan sucinya. Dari prasasti Tuhañaru jelas bahwa pulau Jawa yang ada di
sekitar pusat kerajaan atau keraton Majapahit disebut punpunan, sedang pulau-pulau yang lain yang jauh dari pusat
kerajaan disebut aṅśa. Baik punpunan maupun aṅśa mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap bangunan suci, antara
lain menghasilkan biaya-biaya bagi pelaksanaan upacara-upacara keagamaan di
dalamnya.
Penjelasan dari
beberapa prasasti seperti prasasti Kwak I (801 Śaka), Prasasti Taji (823 Śaka),
prasasti Sugih Manek (837 Śaka), prasasti Gulung-gulung (851 Śaka), prasasti Cuṅgraṅ
(851 Śaka), prasasti Kudadu (1216 Śaka), prasasti Sukamṛta (1218 Śaka)
menunjukkan bahwa suatu sīma tidak
bebas sama sekali dari bermacam-macam pungutan. Bedanya dengan tanah-tanah
biasa ialah bahwa hasil pungutan atau pajak dan denda-denda dari tanah biasa
masuk ke perbendaharaan kerajaan, sedang hasil berbagai macam pungutan atau
pajak dan denda-denda dari tanah sīma
digunakan untuk berbagai macam keperluan bagi bangunan suci, antara lain untuk
biaya pelaksanaan berbagai macam saji-sajian dan upacara pemujaan terhadap bhaṭāra di dalamnya dan untuk
pemeliharaan bangunan.
Dari beberapa prasasti
tersebut yang berisi keterangan mengenai kewajiban-kewajiban sima terhadap
bangunan suci dan sumber-sumber penghasilan sima itu terbayang adanya
organisasi keagamaan dan organisasi sipil yang mengelola suatu bangunan suci
dan simanya. Memang ada prasasti yang menyebut adanya orang-orang yang harus
mengelola suatu bangunan suci dan bertempat tinggal di dekatnya. Sebagai contoh
pada prasasti Kañcana (782 Śaka), prasasti Taji (823 Śaka) dan prasasti
Gandhakuti (964 Śaka). Diantara bangunan-bangunan suci yang disebut dalam tiga
prasasti itu yang jelas merupakan candi adalah bangunan yang disebut dalam
prasasti Kañcana. Prasasti Taji menyebut kabikuan,
tempat tinggal para bhikṣu, tanpa
gambaran bahwa kabikuan itu
berdekatan dengan candi. Sedang dharma
Gandhakuṭi di Kambang Śrī tidak jelas jenis bangunannya. Dan dari keetrangan di
dalam tiga prasasti itu ternyata bahwa yang ditempatkan di dalam lingkungan
bangunan suci dan berkewajiban mengelolanya, bukanlah orang-orang dari kasta brāhmaṇa. Paduka Mpunku i Boddhimimba
yang anaknya ditempatkan di dalam lingkungan prasāda di Bunur Lor, sekalipun ia seorang pendeta, disebut kṣatriya. Demikian pula halnya dengan
mereka yang ditempatkan di dalam kabikuan
di Taji dan di dharma Gandhakuṭi di
Kambang Śrī (Boechari,1962:5).
Keterangan bahwa adanya
pendeta di dalam lingkungan suatu candi berasal dari prasasti Palah (1119 Śaka)
dan bangunan suci di Palah diidentifikasikan dengan candi Panataran. Kemudian
prasasti Kalasan (700 Śaka) mengandung keterangan yang samar-samar tentang
adanya bhikṣu-bhikṣu yang bertempat
tinggal di sekitar candi. Di dalam prasasti Śaṅkara juga disebutkan anugerah
tanah kepada bhikṣusaṃgha setelah
raja membangun prasāda untuk melepas
nazarnya. Ada lagi yang diharapkan bertempat tinggal di dekat bangunan suci
yaitu budak atau hamba yang dijelaskan dalam prasasti Kāñjuruhan (682 Śaka) yang
menyebutkan persembahan raja Dewasiṃha kepada bangunan suci untuk pemujaan
Agastya berupa sejumlah laki-laki dan perempuan dan juga prasasti yang mungkin
berasal dari Dieng menyebutkan antara lain duapuluh orang hamba dan sepuluh
ekor kerbau.
candi Prambanan |
candi Panataran |
Dari uraian tersebut
tergambar bahwa suatu candi biasanya mempunyai tanah-tanah perdikan, berupa
sawah, ladang, kebun, pagagan, taman, padang rumput, bukit dan lembah,
rawa-rawa dan tepian. Juga bahwa di suatu candi biasa dipersembahkan
saji-sajian dan dilakukan upacara-upacara keagamaan setiap hari, setiap bulan,
dua kali setahun dan setahun sekali. Dari gambaran tersebut dapatlah diharapkan
adanya pemukiman di sekitar candi, baik pemukiman penduduk biasa yang bertempat
tinggal di dalam lingkungan daerah perdikan dan mereka yang berkewajiban
mengelolanya, maupun tempat tinggal para pendeta yang mengurus dan memimpin
upacara-upacara keagamaan dan tempat tinggal budak-budak yang mungkin
berkewajiban untuk merawat bangunan candi dan apa yang ada di sekitarnya. Dan
dapat pula diharapkan adanya tempat-tempat melakukan upacara keagamaan dengan
segenap persiapannya.
Dari beberapa ekskavasi
yang telah dilakukan di sekitar candi Borobudur, Bowongan, Kalasan, Prambanan,
Ratu Baka, dan sekitar Candi Jawi membenarkan gambaran yang diperoleh dari data
epigrafis. Yang ada di dalam prasasti dan yang mungkin berguna dalam hubungan
ini ialah keterangan bahwa pada waktu suatu daerah atau desa atau sebidang
tanah ditetapkan menjadi sīma, maka
desa-desa sekelilingnya mengirimkan wakil-wakil untuk hadir sebagai saksi pada
upacara peresmiannya. Disini kami menemukan dua pola pemukiman pokok dengan
dijumpainya istilah pañaturdeśa dan paṅaṣṭadeśa, yaitu bahwa suatu desa
dikelilingi oleh empat desa yang tentunya terletak di arah empat penjuru mata
angin atau oleh delapan desa yang terletak di arah delapan penjuru mata angin.
Ada juga yang desa sekelilingnya tiga, lima, enam atau kelipatannya. Tetapi
untuk jumlah itu tidak dijumpai istilahnya di dalam prasasti.
Akhirnya perlu juga
dipertimbangkan pengembangan palinologi. Mungkin ilmu ini dapat membantu kita
menemukan lokasi sawah, ladang, kebun dan taman-taman dari suatu candi dan
menemukan jenis-jenis tanaman apa yang ditanam di kebun dan bunga-bunga apa
saja yang merupakan pilihan utama untuk
ditanam di tanam-tanam di sekitar candi.
Boechari, 2012
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Jakarta: KPG
hlm: 273-290