Trigangga
Arkeoastronomi
ialah kajian tentang berbagai pengetahuan astronomi manusia purba, meliputi
masa prasejarah hingga memasuki peradaban maju seperti di Timur Tengah dan
Amerika Latin. Kajian seperti itu melibatkan usaha gabungan para ahli astronomi,
arkeologi, etnografi dan ilmuwan lain untuk menafsirkan arti peninggalan
monumental dan rekaman tertulis tentang makna astronomi. Peninggalan semacam
itu meliputi lukisan batu cadas, dan berbagai bangunan megalitik seperti
Stonehenge di Inggris hingga peninggalan berupa kalender canggih yang
dikembangkan oleh bangsa Mesir Kuno dan Maya.
Di
Indonesia, kajian tentang arkeoastronomi sudah lama dilakukan, contohnya untuk
menentukan kronologi bangunan candi berdasarkan arah hadapnya (Eadhiey,1968).
Bahkan L.Ch. Damais telah memulai apa yang saat ini dikenal sebagai historical archaeoastronomy dalam
karyanya yang mengupas berbagai pertanggalan yang digunakan dalam prasasti dan
naskah (Damais,1951-1955).
Model Alam Semesta
Ada
dua model alam semesta yang dianut selama ini. Model pertama ialah geosentris,
yang menganggap Bumi sebagai pusat alam semesta; matahari, bulan dan planet
bergerak mengelilingi bumi. Model ini digunakan oleh Claudius Ptolemy, ahli
astronomi bangsa Yunani yang hidup pada abad kedua sebelum Masehi. Sistem
Ptolemy ini diterima oleh para ahli astronomi dan agamawan selama berabad-abad
(hingga abad ke-16 M).
Model
kedua adalah heliosentris, yang menganggap Matahari itu salah satu bintang yang
dikelilingi planet (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter dan Saturnus) dengan
masing-masing satelit (bulan) yang mengelilingi planet induknya. Disadari juga
bahwa Matahari merupakan bagian dari gugus bintang yang saat ini dikenal
sebagai Galaksi Bima Sakti (Milky Way).
Model ini dikemukakan oleh ahli astronomi bangsa Polandia, Nicolaus Copernicus
(1473-1543) dan diterima oleh para ahli astronomi secara luas hingga sekarang.
Model
alam semesta yang dianut ahli perbintangan Indonesia masa lalu yang mendapatkan
pengaruh kebudayaan Hindu pada abad ke-5-15 yaitu geosentris. Di dalam
literatur Weda klasik, dikenal nawagraha (sembilan planet) yang terdiri
atas Ravi (Matahari), Candra (Bulan), Budha (Merkurius), Śukra
(Venus), Maṅgala (Mars), Guru atau Bṛhaspati (Jupiter), Śani
(Saturnus), Rahu dan Ketu yang mengelilingi Bumi. Tujuh nama
planet tersebut kemudian diabadikan menjadi nama hari dalam saptawara. Nama planet tersebut dapat
dijumpai juga dalam prasasti, salah satunya ialah Prasasti Kuti tahun 762 Śaka (840 M).
Peristiwa
Gerhana Bulan dalam Sumber Tertulis
Gerhana
bulan terjadi pada saat Bulan purnama (full
moon), yang menurut kalender komariah
atau lunar, contohnya tahun Hijriyah,
jatuh pada tanggal 14 atau 15. Demikian juga tahun/tarikh Śaka, yang merupakan
kalender lunisolar (gabungan lunar/bulan dan solar/matahari), gerhana Bulan terjadi pada tanggal 15.
Satu
bulan dalam tahun Śaka terdiri atas 30 tithi.
Karena lama satu bulan (sinodik) itu
29,53059 hari, lama satu tithi
rata-rata 0,984353 hari atau 23 jam 37 menit 28 detik, jadi 22 menit 32 detik
lebih pendek dari hari solar atau wara yang lamanya rata-rata 24 jam itu.
Tiga puluh tithi dalam setiap bulan
dibagi menjadi dua pakṣa (kelompok)
yang masing-masing terdiri atas 15 tithi.
Kelompok pertama ialah śuklapakṣa
atau “bulan paro terang”, sedangkan yang kedua adalah kṛsnapakṣa atau “bulan paro gelap” (Trigangga,1995:149-150). Jadi,
peristiwa gerhana Bulan menurut kalender tahun Śaka terjadi pada tanggal 15
paro terang (pañcadaśi śuklapakṣa)
bukan 15 paro gelap (pañcadaśi kṛsnapakṣa).
Berdasarkan
keterangan tersebut, peristiwa gerhana bulan dapat dilacak dalam sumber
tertulis (prasasti dan naskah kuno) yang sebagian besar menggunakan tahun Śaka.
Dari sekian ratus prasasti dan naskah yang ber-tithi-mangsa, ada 20
prasasti dan satu naskah yang bertanggal 15 paro terang, antara lain ditemukan
di Jawa 17 dan Bali 4. Walaupun maksudnya sama, tidak semua sampel terpilih itu
menyebut dengan ungkapan pañcadaśi śuklapakṣa,
sesekali dinyatakan dengan istilah purṇṇamacandrama
(naskah Negara-kertagama), yang
berarti “bulan purnama”. Bahkan, ada prasasti yang benar-benar menyebut
peristiwa gerhana Bulan, yaitu Prasasti Sucen I tahun 765 Śaka (Brandes,
NBG,26,1888:21). Di dalamnya, disebut dengan ungkapan pañcadaśi candragraha
atau “tanggal 15 (saat) gerhana bulan.”.
Bumi
dan bulan tidak tinggal diam melainkan bergerak mengelilingi Matahari, ada saat
Bumi-Bulan dalam satu bidang atau satu garis lurus dengan Matahari (sudut
hampir O°). Pada saat seperti itu, barulah terjadi gerhana Bulan, selebihnya
Bulan lebih banyak berada diatas atau di bawah ekliptika. Berdasarkan kenyataan itulah, simpulan tersebut lebih
tepat berbunyi “tidak setiap kali tanggal 15 paro terang, terjadi gerhana
Bulan.” Berdasarkan siklus gerhana yang telah dipaparkan tersebut, peristiwa
gerhana Bulan dapat ditelusuri ribuan tahun kebelakang dan diramalkan ribuan
tahun kedepan dari masa sekarang.
Beberapa Prasasti
yang Menandakan Gerhana Bulan
Prasasti
Sucen
Prasasti
ini jelas menyebutkan peristiwa gerhana Bulan, tetapi kejadiannya disebutkan
pada hari Senin tanggal 19 Maret 843. Padahal, menurut kalender astronomi,
puncak gerhana Bulan total terjadi pada hari Selasa tanggal 20 Maret 843 pukul
12:52:36. Mungkin penulis prasasti menyaksikan gerhana lebih kurang tiga jam
sebelum terjadi gerhana Bulan total, yaitu antara pukul 23.00-24.00. Saat itu
mulai masuk ke bayangan panumbra
Bumi. Saat gerhana maksimum, ketinggian (altitude)
Bulan ialah 53°30’ pada posisi 22° konstelasi Virgo dan posisi geografis 0°45’ LS, 71°12’ BT.
Prasasti
Turyyan
Prasasti
Turyyan (Turèn) dikeluarkan bersamaan waktunya dengan peristiwa gerhana Bulan
total yang puncaknya terjadi pada hari Jumat tanggal 24 Juli 929 pukul
19:52:57. Peristiwanya sendiri tidak terekam dalam prasasti. Mungkin Raja
Sindok mengeluarkan titahnya pada waktu siang atau sore hari sebelum gerhana
total. Pada saat itu, Bulan masih berada di bawah horison, jadi belum terlihat.
Saat gerhana maksimum, ketinggian Bulan ialan 21°18’ pada posisi 8° konstelasi Capriconus dan posisi geografis 19°12’
LS, 175°27’ BT.
Prasasti
Batwan B
Prasasti
ini merupakan satu-satunya prasasti Bali yang dikeluarkan bersamaan waktunya
dengan peristiwa gerhana Bulan parsial
(sebagian) yang terjadi pada hari Jumat tanggal 14 April 1055 pukul 14:46:31,
atau waktu Bali (WITa) ialah pukul 15:46:31. Gerhana ini tidak dapat dilihat di
Indonesia karena kejadiaannya pada sore hari saat Bulan berada di bawah
horison. Saat gerhana maksimum, ketinggian Bulan ialah -51° (di bawah horison)
pada posisi 41° konstelasi Virgo dan
posisio geografis 10°43’ LS, 109°15’BB.
Prasasti
Semanding
Prasasti
Semanding dikeluarkan pada hari Kamis tanggal 17 Juni 1182. Berdasarkan
perhitungan, seharusnya prasasti ini dikeluarkan pada hari Jumat tanggal 18
Juni 1182, saat terjadi peristiwa gerhana Bulan total pada pukul 12:22:48.
Sayang, peristiwa gerhana Bulan ini tidak dapat disaksikan di Indonesia karena
terjadi pada siang hari (Bulan di bawah horison). Saat gerhana maksimum,
ketinggian Bulan -61°12’ (di bawah horison) pada posisi 13° konstelasi Sagitarius dan posisi geografis 23°9’ LS,
73°3’ BB.
Prasasti
Malenga B
Prasasti
ini merupakan salinan peristiwa yang terjadi pada tahun 974 Śaka atau 22
Agustus 1052 (bagian ini disebut Prasasti Malenga A) yang disalin tahun 1258 Śaka
atau 21 September 1336 (bagian ini disebut Prasasti Malenga B). Pada waktu
prasasti ini disalin telah terjadi peristiwa gerhana Bulan panumbral pada pukul 22:50:42. Gerhana macam ini mungkin sulit
dibedakan pada waktu itu karena cahayanya yang redup, tidak berbeda dari Bulan
tertutup awan. Saat gerhana maksimum, ketinggian Bulan 67°24’ pada posisi 6°
konstelasi Pisces dan posisi geograis
3°7’ LU, 154°19’ BT.
Prasasti
Kusmala
Prasasti
Kusmala dikeluarkan bersamaan waktunya dengan peristiwa gerhana Bulan panumbral yang puncaknya terjadi pada
hari Selasa tanggal 14 Desember 1350 pukul 19:19:45. Peristiwa ini luput dari
perhatian mungkin karena prasasti itu dikeluarkan beberapa jam sebelum atau
sesudah terjadi gerhana. Gerhana Bulan panumbral,
bagi orang awam mungkin sulit dikatakan sebagai gerhana karena dalam kondisi
ini bulatan Bulan masih terlihat walaupun cahayanya redup bagaikan tertutup
awan. Saat gerhana maksimum, ketinggian Bulan 9°30’ pada posisi 3° konstelasi Gemini, dan posisi geografis 24°37’ LU,
177°30’ B.
Bagi
masyarakat Bali, gerhana Bulan itu manisfestasi dari Kala Rau, tokoh raksasa
mitologi yang hanya terdiri atas kepala, yang ingin menelan Ratih, dewi
rembulan. Menurut cerita, leher Kala Rau putus karena dipanah oleh Dewa Wisnu.
Pada saat para dewa berpesta minum air kehidupan, diam-diam Kala Rau ikut
mencicipinya. Namun, ulahnya dipergoki oleh Dewi Ratih. Karena Kala Rau sudah
sempat minum air kehidupan, ketika lehernya dipanah melayanglah kepalanya ke
angkasa. Kepala yang hidup itulah yang kemudian marah dan menelan Dewi Ratih,
hingga menyebabkan gerhana. Pada saat gerhana, masyarakat Bali memukul-mukul
kentongan untuk mengalihkan perhatian Kala Rau agar mengurungkan niatnya
menelan Bulan. Rau atau Rahu menurut astronomi Hindu ialah salah satu “planet”
hasil perpotongan orbit Bulan dan ekliptika.
Trigangga,2001,“Kajian
Astronomi: Melacak Peristiwa Gerhana Bulan dalam Sumber Tertulis”, dalam Aksara dan Bahasa, Machi Suhadi, et.al
(Ed.), Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia, Malang, 28-30 Mei 2001, hlm:43-66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar