Boechari
(artikel
diambil dari buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)
Naskah-naskah hukum dari kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia menggambarkan bahwa masyarakat Jawa Kuna bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tentram dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan. Dari naskah Pūrwādhigama diketahui bahwa sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam delapan belas jenis kejahatan yang disebut aṣṭadaśawyawahāra, yaitu tan kasahuraniṅ pihutaṅ (tidak membayar kembali hutang), tan kawehaniṅ patuwāwa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan dṛwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihiṅ kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama, atau persengketaan antara kompanyon), karuddhaniṅ huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehaniṅ upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa riṅ samaya (ingkar janji), alarambeknyan pamelinya (pembatalan taransaksi jual beli), wiwādaniṅ pinaṅwaken mwaṅ maṅwan (persengketaan antara pemilik ternak dan pemggembalanya), kahucapaniṅ wates (persengketaan mengenai batas-batas tanah), daṇdaniṅ saharṣa wākparuṣya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawṛttiniṅ maliṅ (pencurian), ulaḥ sāhasa (tindak kekerasan), ulaḥ tan yogya riṅ laki strī (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumaniṅ dṛwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan praṇi dan totohan tan praṇi (taruhan dan perjudian) (van Naerssen, 1941b).
Secara umum prasasti
yang menyebut denda-denda atas segala tindak pidana dan perdata sebagai salah
satu sumber dana kerajaan dengan istilah sukhaduḥkha
adalah prasasti Saṅsaṅ (907 M), kemudian prasasti Saṅguran (928 M) merinci sukhaduḥkha itu sebagai berikut: mayaṅ tan pawwaḥ ‘bunga pinang atau
bunga kelapa yang tidak menjadi buah’, walū
rumambat iṅ natar ‘waluh atau labu yang menjalar di halaman, wipati waṅkay kābunan ‘kejatuhan mayat
yang terkena embun’, rāh kasawur iṅ dalan
‘darah yang terhambur di jalan’, wākcapala
‘memaki-maki’, dūhilaten ‘menuduh’, hidu kasirat ‘meludahi’, hastacapala ‘memukul dengan tangan’, mamijilaken turuḥniṅ kikir ‘mengeluarkan
senjata tajam’, mamūk ‘mengamuk’, mamumpaṅ ‘suatu tindak kekerasan
terhadap wanita’, lūdan [1], tūtan [2], ḍaṇḍa kuḍaṇḍa ‘pukul
memukul’, bhaṇḍihalādi [3].
Dari daftar diatas
tampak bahwa prasasti-prasasti tidak menyebut keseluruhan aṣṭadaśawyawahāra, tetapi hanya taṅ
kasahuraniṅ pihutaṅ, kahucapaniṅ
wates, saharṣa wākparuṣya dan ulaḥ sāhasa. Sebagian besar dari jenis
kejahatan yang disebut di dalam prasasti itu dapat digolongkan ke dalam ulaḥ sāhasa.
Di dalam prasasti Baliṅawan
(891 M), prasasti Mantyāsih (907 M), prasasti Kaladi (909 M), prasasti Sukun
(1161 M) dan prasasti Kamalagyan (1037 M) didapatkan keterangan bahwa:
Prasasti
Baliṅawan: dikisahkan bahwa sebab daerah tersebut dijadikan sīma karena rakyat desa Baliṅawan dan
dukuh-dukuhnya merasa ketakutan karena (keadaan) tegalan tersebut yang
menyebabkan mereka menderita dan melarat karena senantiasa harus membayar denda
atas rāh kasawur dan waṅkai kabunan. Mereka mengajukan
permohonan kepada Rakryān Kanuruhan melalui tiga orang patih yang membawahi desa
Baliṅawan. Permohonan itu dikabulkan agar daerah tersebut dijadikan sīma, agar keamanan di jalan terjamin,
dan rakyat desa Baliṅawan dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.
Rakyat desa Baliṅawan
terlalu sering harus membayar denda rāh
kasawur dan waṅkai kabunan.
Dengan perkataan lain di desa itu sering terjadi perkelahian yang menumpahkan
darah dan pembunuhan yang tidak diketahui siapa pelakunya. Dapat dibayangkan
bahwa sering kali warga menemukan darah berceceran di jalan dan sesosok mayat
tergeletak di tegalan di Gurubhakti di waktu pagi. Oleh karena wilayah tersebut
masuk wilayah desa Baliṅawan maka rakyat desa itulah yang pertama-tama harus
bertangungjawab dan harus dikenakan denda.
Apa motif perkelahian
dan pembunuhan itu sama sekali tidak disebut dalam prasasti. Tetapi karena
disebutkan bahwa tujuan penetapan sīma
itu ialah penjagalan di jalan besar supaya rakyat desa Baliṅawan tidak lagi
merasa ketakutan, dapatlah disimpulkan bahwa di sini kita berhadapan dengan
kasus pembegalan, perampokan yang diserai pembunuhan dan penusukan/ pembacokan.
Prasasti
Mantyāsih; memperingati anugerah sīma dari raja Balituṅ, sebabnya para kelima patih telah berjasa mengerahkan tenaga rakyat pada waktu perkawinan
raja dan pada waktu pemujaan terhadap bhaṭāra
di Malaṅkuśeśwara, di Puteśwara, di Kutusan, di Śilābhedeśwara dan di Tuleśwara
setiap tahunnya dan karena pada suatu ketika rakyat desa Kuniṅ merasa ketakutan
dan kelima patih itu diberi tugas
untuk menjaga keamanan di jalan. Disini dapat disimpulkan bahwa kasus ini berkaitan
dengan kasus pembegalan atau perampokan.
Prasasti
Kaladi; adapun sebab daerah tersebut menjadi sīma adalah karena semula ada hutan araṇan yang memisahkan (desa-desa) yang
menyebabkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapatkan serangan dari Mariwuṅ yang
membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan
malam. Maka (diputuskanlah) untuk disetujui bersama hutan itu dijadikan sawah
agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Hal ini dengan jelas
menunjukkan kasus pembegalan yang terjadi pada pedagang dan para nelayan yang
melewati hutan araṇan yang memisahkan
desa Gayām dan Pyapya. Para pembegal diketahui berasal dari Mariwuṅ. Selesai melakukan
aksinya para pembegal itu menghilang masuk ke hutan araṇan sebelum kembali ke desanya. Mungkin sekali para pembegal itu
tidak segan-segan untuk melukai atau bahkan membunuh korbannya yang berani
memberikan perlawanan, sehingga dapat dipahami mengapa penduduk menjadi ketakutan.
Boleh jadi desa Mariwuṅ
termasuk wilayah watak yang lain, sehingga kalaupun pembegalan itu dilaporkan
sampai kepada Samgat Bawaṅ dan Saṅ Pamgat memerintahkan aparatnya untuk
menangkap pembegal itu, mereka tidak dapat berbuat apa-apa jika para penjahat
itu telah kembali ke desanya.
Kasus-kasus di dalam
tiga prasasti di atas kiranya jelas tidak dapat dikategorikan ke dalam apa yang
oleh E.J.Hobsbawm (1972) disebut “perbanditan sosial”, tetapi ke dalam
pembegalan, perampokanyang merupakan tindak kriminalitas biasa, lebih-lebih
kalau dipandang dari sudut mereka yang menjadi korban. Jadi kemungkinan para
pembegal dari desa Mariwun itu lebih banyak kemungkinannya merupakan
bandit-bandit biasa.
Prasasti lainnya yaitu prasasti Sukun (1161M) dijelaskan bahwa
raja Sri Jayamrta mendengar ketaatan (penduduk) desa Sukun yang telah berusaha
sekuat tenaga dan menjadi pemimpin dalam membela Śri Mahārāja dengan memerangi
musuh kabuyutan. Karena itu turunlah
perintah raja untuk memberi hak-hak istimewa kepada desa Sukun. Yang menjadi
masalah ialah siapa yang menjadi musuh. Jika tidak diadakan perubahan sedikit
pun maka menurut struktur kalimatnya kabuyutan
itulah yang memberontak. Tetapi jika kalimat itu ditafsirkan lumaga śatruni kabuyutan maka ada pihak
yang memusuhi dan menyerang kabuyutan
itu.
Adanya sekelompok orang
yang dengan sengaja hendak menghancurkan bendungan yang baru saja selesai
dibangun dengan swadaya masyarakat dan campur tangan raja di dapatkan di dalam prasasti Kamalagyan (1036 M). Di dalam
prasasti ini diceritakan bahwa raja Dharmawangśa Airlaṅga telah turun tangan
untuk membangun bendungan di Wariṅin Sapta di wilayah penduduk desa Kamalagyan
dengan tujuan menyelamatkan desa-desa di sebelah hilir, yaitu desa Lasun, Paliñjuwan,
Sijanatyesan, Pañjigantiṅ, Tālan, Daśapaṅkah dan Paṅkaja dan semua jenis sīma yang terutama diantaranya ialah sīma bagi Saṅ Hyaṅ Dharma di īśanabhawana
yang bernama Surapura. Itulah desa-desa dan sīma
yang selalu ditimpa banjir dan terendam sawah-sawahnya jika Bengawan (brantas)
meluap di Wariṅin Sapta yang menyebabkan hancurnya semua sawah dan berkurangnya
pajak yang masuk. Tidak hanya sekali dua kali penduduk membendung luapan
Bengawan di Wariṅin Sapta itu, tetapi tidak pernah berhasil. Tetapi kemudian
raja memikirkan keselamatan bendungan itu selanjutnya, karena ia menyadari akan
banyaknya orang yang (sengaja) hendak menghancurkan bangunan untuk kepentingan
umum itu.
Sumber-sumber prasasti,
naskah-naskah hukum dan berita-berita asing tidak mengungkapkan siapa-siapa
yang menajdi pencuri, pembegal, perampok, garong atau kecu. Memang banyak
kemungkinannya, seperti budak-budak yang melarikan diri dari tuannya, penduduk
desa yang tidak mempunyai tanah pertanian, petani-petani gurem, atau
orang-orang yang memang dasarnya mursal (recalcitrant).
Kelompok terakhir itu memang selalu ada pada bangsa apa pun juga dan kapan pun
juga (Hobsbawm,1972:33).
Dengan demikian dapat
dipahami mengapa di zaman klasik ada juga kasus-kasus ‘minifundisme’ atau
bahkan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai lahan pertanian, yang
dengan sendirinya kebanyakan hanyalah menjadi buruh musiman. Di waktu tidak ada
pekerjaan, orang-orang semacam itulah yang mudah terbawa ke dalam tindak
kriminal, seperti mencuri, membegal atau berkelompok menjadi perampok, garong
atau kecu.
Perbanditan memang
biasa merajalela di daerah-daerah terpencil, di daerah perbukitan, di perhutanan
atau di daerah muara sungai yang berdelta (Hobsbawm,1972:21), lebih-lebih kalau
daerah tersebut ada jalan perdagangan.
Catatan:
[1]. Lūdan; berdasarkan arti katanya dapat
diperkirakan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan itu adalah seperti dalam Kuṭāra Mānawa yaitu ‘barang siapa dalam
perkelahian tidak berhasil menang, tetapi malah kalah dari lawannya dan
akhirnya lari mengungsi ke dalam rumah dalam kejaran lawannya, kemudian mati
terbunuh oleh yang mengejar” (Slamet Muljana, 1967,ps.255).
[2]. Belum ditemukan
perumusannya.
[3]. Bhaṇḍihalādi; sebetulnya kata yang
sering dijumpai dalam prasasti-prasasti adalah maṇḍihalādi. Di dalam kamus, kata maṇḍi diartikan merugikan, berbahaya, membahayakan secara magis.
Mungkin yang dimaksud adalah kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis?,
belum diketahui pasti.
Daftar Acuan:
E.J. Hobsbawm, 1972. Bandits. Harmondsworth: Penguin Books (A
Pelican book).
F.H. van
Naerssen,1941b, “De Aṣṭadaśawyawahāra in het Oudhavaansch”, BKI 100, 357-376. English translation by
Eva Hooykaas, “The Aṣṭadaśavyavahāra in Old Javanese”, JGIS 15 (1956),111-132.
Slamet Muljana, 1967, Perundang-Undangan Madjapahit. Djakarta:
Bhratara.
Boechari
2012.Melacak Sejarah Kuna Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: KPG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar