Selasa, 05 Maret 2013

Perbanditan di Jawa Kuno



Boechari
(artikel diambil dari buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)


Naskah-naskah hukum dari kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia menggambarkan bahwa masyarakat Jawa Kuna bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tentram dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan. Dari naskah Pūrwādhigama diketahui bahwa sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam delapan belas jenis kejahatan yang disebut aṣṭadaśawyawahāra, yaitu tan kasahuraniṅ pihutaṅ (tidak membayar kembali hutang), tan kawehaniṅ patuwāwa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan dṛwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihiṅ kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama, atau persengketaan antara kompanyon), karuddhaniṅ huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehaniṅ upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa riṅ samaya (ingkar janji), alarambeknyan pamelinya (pembatalan taransaksi jual beli), wiwādaniṅ pinaṅwaken mwaṅ maṅwan (persengketaan antara pemilik ternak dan pemggembalanya), kahucapaniṅ wates (persengketaan mengenai batas-batas tanah), daṇdaniṅ saharṣa wākparuṣya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawṛttiniṅ maliṅ (pencurian), ulaḥ sāhasa (tindak kekerasan), ulaḥ tan yogya riṅ laki strī (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumaniṅ dṛwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan praṇi dan totohan tan praṇi (taruhan dan perjudian) (van Naerssen, 1941b).

Secara umum prasasti yang menyebut denda-denda atas segala tindak pidana dan perdata sebagai salah satu sumber dana kerajaan dengan istilah sukhaduḥkha adalah prasasti Saṅsaṅ (907 M), kemudian prasasti Saṅguran (928 M) merinci sukhaduḥkha itu sebagai berikut: mayaṅ tan pawwaḥ ‘bunga pinang atau bunga kelapa yang tidak menjadi buah’, walū rumambat iṅ natar ‘waluh atau labu yang menjalar di halaman, wipati waṅkay kābunan ‘kejatuhan mayat yang terkena embun’, rāh kasawur iṅ dalan ‘darah yang terhambur di jalan’, wākcapala ‘memaki-maki’, dūhilaten ‘menuduh’, hidu kasirat ‘meludahi’, hastacapala ‘memukul dengan tangan’, mamijilaken turuḥniṅ kikir ‘mengeluarkan senjata tajam’, mamūk ‘mengamuk’, mamumpaṅ ‘suatu tindak kekerasan terhadap wanita’, lūdan [1], tūtan [2], ḍaṇḍa kuḍaṇḍa ‘pukul memukul’, bhaṇḍihalādi [3].

Dari daftar diatas tampak bahwa prasasti-prasasti tidak menyebut keseluruhan aṣṭadaśawyawahāra, tetapi hanya taṅ kasahuraniṅ pihutaṅ, kahucapaniṅ wates, saharṣa wākparuṣya dan ulaḥ sāhasa. Sebagian besar dari jenis kejahatan yang disebut di dalam prasasti itu dapat digolongkan ke dalam ulaḥ sāhasa.

Di dalam prasasti Baliṅawan (891 M), prasasti Mantyāsih (907 M), prasasti Kaladi (909 M), prasasti Sukun (1161 M) dan prasasti Kamalagyan (1037 M) didapatkan keterangan bahwa:

Prasasti Baliṅawan: dikisahkan bahwa sebab daerah tersebut dijadikan sīma karena rakyat desa Baliṅawan dan dukuh-dukuhnya merasa ketakutan karena (keadaan) tegalan tersebut yang menyebabkan mereka menderita dan melarat karena senantiasa harus membayar denda atas rāh kasawur dan waṅkai kabunan. Mereka mengajukan permohonan kepada Rakryān Kanuruhan melalui tiga orang patih yang membawahi  desa Baliṅawan. Permohonan itu dikabulkan agar daerah tersebut dijadikan sīma, agar keamanan di jalan terjamin, dan rakyat desa Baliṅawan dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.

Rakyat desa Baliṅawan terlalu sering harus membayar denda rāh kasawur dan waṅkai kabunan. Dengan perkataan lain di desa itu sering terjadi perkelahian yang menumpahkan darah dan pembunuhan yang tidak diketahui siapa pelakunya. Dapat dibayangkan bahwa sering kali warga menemukan darah berceceran di jalan dan sesosok mayat tergeletak di tegalan di Gurubhakti di waktu pagi. Oleh karena wilayah tersebut masuk wilayah desa Baliṅawan maka rakyat desa itulah yang pertama-tama harus bertangungjawab dan harus dikenakan denda.

Apa motif perkelahian dan pembunuhan itu sama sekali tidak disebut dalam prasasti. Tetapi karena disebutkan bahwa tujuan penetapan sīma itu ialah penjagalan di jalan besar supaya rakyat desa Baliṅawan tidak lagi merasa ketakutan, dapatlah disimpulkan bahwa di sini kita berhadapan dengan kasus pembegalan, perampokan yang diserai pembunuhan dan penusukan/ pembacokan.

Prasasti Mantyāsih; memperingati anugerah sīma dari raja Balituṅ, sebabnya para kelima patih telah berjasa mengerahkan tenaga rakyat pada waktu perkawinan raja dan pada waktu pemujaan terhadap bhaṭāra di Malaṅkuśeśwara, di Puteśwara, di Kutusan, di Śilābhedeśwara dan di Tuleśwara setiap tahunnya dan karena pada suatu ketika rakyat desa Kuniṅ merasa ketakutan dan kelima patih itu diberi tugas untuk menjaga keamanan di jalan. Disini dapat disimpulkan bahwa kasus ini berkaitan dengan kasus pembegalan atau perampokan.

Prasasti Kaladi; adapun sebab daerah tersebut menjadi sīma adalah karena semula ada hutan araṇan yang memisahkan (desa-desa) yang menyebabkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapatkan serangan dari Mariwuṅ yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka (diputuskanlah) untuk disetujui bersama hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.

Hal ini dengan jelas menunjukkan kasus pembegalan yang terjadi pada pedagang dan para nelayan yang melewati hutan araṇan yang memisahkan desa Gayām dan Pyapya. Para pembegal diketahui berasal dari Mariwuṅ. Selesai melakukan aksinya para pembegal itu menghilang masuk ke hutan araṇan sebelum kembali ke desanya. Mungkin sekali para pembegal itu tidak segan-segan untuk melukai atau bahkan membunuh korbannya yang berani memberikan perlawanan, sehingga dapat dipahami mengapa penduduk menjadi ketakutan.

Boleh jadi desa Mariwuṅ termasuk wilayah watak yang lain, sehingga kalaupun pembegalan itu dilaporkan sampai kepada Samgat Bawaṅ dan Saṅ Pamgat memerintahkan aparatnya untuk menangkap pembegal itu, mereka tidak dapat berbuat apa-apa jika para penjahat itu telah kembali ke desanya.

Kasus-kasus di dalam tiga prasasti di atas kiranya jelas tidak dapat dikategorikan ke dalam apa yang oleh E.J.Hobsbawm (1972) disebut “perbanditan sosial”, tetapi ke dalam pembegalan, perampokanyang merupakan tindak kriminalitas biasa, lebih-lebih kalau dipandang dari sudut mereka yang menjadi korban. Jadi kemungkinan para pembegal dari desa Mariwun itu lebih banyak kemungkinannya merupakan bandit-bandit biasa.

Prasasti lainnya yaitu prasasti Sukun (1161M) dijelaskan bahwa raja Sri Jayamrta mendengar ketaatan (penduduk) desa Sukun yang telah berusaha sekuat tenaga dan menjadi pemimpin dalam membela Śri Mahārāja dengan memerangi musuh kabuyutan. Karena itu turunlah perintah raja untuk memberi hak-hak istimewa kepada desa Sukun. Yang menjadi masalah ialah siapa yang menjadi musuh. Jika tidak diadakan perubahan sedikit pun maka menurut struktur kalimatnya kabuyutan itulah yang memberontak. Tetapi jika kalimat itu ditafsirkan lumaga śatruni kabuyutan maka ada pihak yang memusuhi dan menyerang kabuyutan itu.

Adanya sekelompok orang yang dengan sengaja hendak menghancurkan bendungan yang baru saja selesai dibangun dengan swadaya masyarakat dan campur tangan raja di dapatkan di dalam prasasti Kamalagyan (1036 M). Di dalam prasasti ini diceritakan bahwa raja Dharmawangśa Airlaṅga telah turun tangan untuk membangun bendungan di Wariṅin Sapta di wilayah penduduk desa Kamalagyan dengan tujuan menyelamatkan desa-desa di sebelah hilir, yaitu desa Lasun, Paliñjuwan, Sijanatyesan, Pañjigantiṅ, Tālan, Daśapaṅkah dan Paṅkaja dan semua jenis sīma yang terutama diantaranya ialah sīma bagi Saṅ Hyaṅ Dharma di īśanabhawana yang bernama Surapura. Itulah desa-desa dan sīma yang selalu ditimpa banjir dan terendam sawah-sawahnya jika Bengawan (brantas) meluap di Wariṅin Sapta yang menyebabkan hancurnya semua sawah dan berkurangnya pajak yang masuk. Tidak hanya sekali dua kali penduduk membendung luapan Bengawan di Wariṅin Sapta itu, tetapi tidak pernah berhasil. Tetapi kemudian raja memikirkan keselamatan bendungan itu selanjutnya, karena ia menyadari akan banyaknya orang yang (sengaja) hendak menghancurkan bangunan untuk kepentingan umum itu.

Sumber-sumber prasasti, naskah-naskah hukum dan berita-berita asing tidak mengungkapkan siapa-siapa yang menajdi pencuri, pembegal, perampok, garong atau kecu. Memang banyak kemungkinannya, seperti budak-budak yang melarikan diri dari tuannya, penduduk desa yang tidak mempunyai tanah pertanian, petani-petani gurem, atau orang-orang yang memang dasarnya mursal (recalcitrant). Kelompok terakhir itu memang selalu ada pada bangsa apa pun juga dan kapan pun juga (Hobsbawm,1972:33).

Dengan demikian dapat dipahami mengapa di zaman klasik ada juga kasus-kasus ‘minifundisme’ atau bahkan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai lahan pertanian, yang dengan sendirinya kebanyakan hanyalah menjadi buruh musiman. Di waktu tidak ada pekerjaan, orang-orang semacam itulah yang mudah terbawa ke dalam tindak kriminal, seperti mencuri, membegal atau berkelompok menjadi perampok, garong atau kecu.

Perbanditan memang biasa merajalela di daerah-daerah terpencil, di daerah perbukitan, di perhutanan atau di daerah muara sungai yang berdelta (Hobsbawm,1972:21), lebih-lebih kalau daerah tersebut ada jalan perdagangan.


Catatan:

[1]. Lūdan; berdasarkan arti katanya dapat diperkirakan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan itu adalah seperti dalam Kuṭāra Mānawa yaitu ‘barang siapa dalam perkelahian tidak berhasil menang, tetapi malah kalah dari lawannya dan akhirnya lari mengungsi ke dalam rumah dalam kejaran lawannya, kemudian mati terbunuh oleh yang mengejar” (Slamet Muljana, 1967,ps.255).
[2]. Belum ditemukan perumusannya.
[3]. Bhaṇḍihalādi; sebetulnya kata yang sering dijumpai dalam prasasti-prasasti adalah maṇḍihalādi. Di dalam kamus, kata maṇḍi diartikan merugikan, berbahaya, membahayakan secara magis. Mungkin yang dimaksud adalah kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis?, belum diketahui pasti.


Daftar Acuan:

E.J. Hobsbawm, 1972. Bandits. Harmondsworth: Penguin Books (A Pelican book).
F.H. van Naerssen,1941b, “De Aṣṭadaśawyawahāra in het Oudhavaansch”, BKI 100, 357-376. English translation by Eva Hooykaas, “The Aṣṭadaśavyavahāra in Old Javanese”, JGIS 15 (1956),111-132.
Slamet Muljana, 1967, Perundang-Undangan Madjapahit. Djakarta: Bhratara.


Boechari 
2012.Melacak Sejarah Kuna Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: KPG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar