Boechari
(sekelumit
ringkasan dalam artikel Perbanditan di
Jawa Kuno dalam buku Melacak Sejarah
Kuno Indonesia Lewat Prasasti)
Sepanjang sejarah Tanah
Air kita di zaman klasik tidak dikenal kekuasaan terpusat. Kerajaan-kerajaan
Mataram Kuno, Kerajaan Panjalu, Jaṅgala, Kadiri, Singhasari dan Majapahit
terbagi ke dalam apa yang di dalam zaman Mataram Islam disebut nagaragung atau nagari ageng dan wilayah mancanagara dan wilayah pesisir (Soemarsid
Moertono,1968). Wilayah nagaragung dibagi sebagai ‘daerah lungguh’ bagi putra
mahkota dan putra-putra raja yang lain, terutama yang aktif di dalam
pemerintahan dan bagi para pejabat tinggi kerajaan. Sedang daerah mancanegara
dikuasai oleh para rakai, pamgat dan para samya haji yang merupakan penguasa-penguasa daerah secara turun
temurun dan tidak harus kerabat dekat sri
maharaja sendiri.
Putra mahkota, para
pangeran yang lain dan para pejabat tinggi kerajaan hampir selalu ada di ibu
kota kerajaan, karena memang mempunyai dalem di sana. Pengurusan daerah
lungguhnya diserahkan kepada aparat pemerintah daerah yang terdiri atas patiḥ, wahuta, para juru atau tūhan, parujar dan paṅuran.
Sedang para penguasa daerah selalu ada di daerah kekuasaaan masing-masing dan
hanya sekali atau dua kali dalam setahun mereka itu menghadap śrī mahārāja
untuk menyerahkan hasil pajak. Mungkin juga jika ada masalah yang tidak dapat
dipecahkannya sendiri, ia datang ke pusat kerajaan menghadap raja atau pejabat
yang diberi wewenang oleh raja. Di wilayah kekuasaannya mereka juga dibantu
oleh aparat pemerintahan daerah yang terdiri atas patiḥ, wahuta, para juru atau tūhan, parujar dan paṅuran.
Kesatuan teritorial
terkecil adalah desa (wanua karaman)
dan mungkin juga dukuh (anak in wanua). Pemerintahan desa dilakukan oleh para
rama atau kabayan, yang rupa-rupanya dipilih untuk masa tertentu. Gambaran itu
kami simpulkan dari adanya istilah rāma
mageman atau managam kon dan rāma marata; menurut hemat kami yang
terakhir itu ialah para rāma yang
berakhir masa jabatannya dan tidak dipilih lagi, tetapi masih diikutsertakan
dalam kerapatan desa. Para rāma itu
mendapat tanah ‘bengkok’ (lmaḥ karaman
atau sawaḥ karaman). Di antara para rāma itu mungkin sekali tūha wanua dianggap sebagai primus inter pares. Pendapat kami yang
terakhir itu baru kami dasarkan atas arti istilah tūha wanua saja, yaitu ‘tua-tua desa’. Jenis jabatan rāma di desa yang satu tidak sama dengan
desa yang lain, tergantung dari keadaan geografi dan ekologi desa yang
bersangkutan. Desa yang tidak mempunyai wilayah hutan tentu tidak mempunyai
seorang tūha alas dan tūha buru; desa yang tidak dilalui
sungai dan karenanya tidak perlu mengurusi jembatan tentu tidak mempunyai hulu wuattan; sedang desa di dataran
rendah yang luas daerah persawahannya dan tergantung dari pengairan sering
mempunyai lebih dari seorang hulu air. Jumlah rāma di suatu desa juga tidak sama dengan di desa yang lain;
tergantung dari luas desanya dan jumlah penduduknya.
Berita Cina dari zaman
dinasti Song (Songshi) mengatakan
bahwa “panglima angkatan perang mendapat gaji sepulah tail emas tiap setengah
tahun; ada 30.000 prajurit yang juga menerima gaji setengah tahun sekali,
sesuai dengan pangkat masing-masing” (Groveneveldt, 1960:17). Menurut hemat
kami yang dimaksud di dalam berita Songshi
itu adalah pasukan yang ada di dalam pusat kerajaan; yang terdiri atas “pasukan
pengawal’ raja, pasukan putra mahkota dan pangeran-pangeran lain dan pasukan
para pejabat tinggi kerajaan. Di dalam prasasti-parasasti pasukan pengawal raja
itu dimasukkan ke dalam kelompok maṅilāla
drawya haji, yang terdiri atas para magalah
(pasukan yang bersenjatakan tombak), mamanah
(pasukan yang bersenjatakan panah) dan magaṇḍi
(pasukan yang bersenjatakan gaṇḍi,
yaitu semacam palu godam?). Dalam cerita Songshi
dikatakan bahwa mereka mendapat gaji setengah tahun sekali, keterangan itu
sesuai dengan pengelompokkan yang menurut hemat kami bukan kelompok ‘pemungut
pajak’, melainkan ‘abdi dalem yang menikmati kekayaan raja’, dalam arti
‘menerima gaji pada waktu-waktu tertentu’ (Boechari,1977 [2]).
Jika kemudian berita Mingshi mengatakan bahwa sewaktu
menghadapi pasukan Monggol dan pasukan Wijaya, raja Kalang (=Gelaṅ-gelaṅ=
Jayakatwaṅ) di Daha dapat mengerahkan lebih dari seratus ribu tentara
(Groneveldt,1960:24), jumlah itu meliputi pula pasukan-pasukan para sāmya haji di sekitar bhūmi Kadiri yang sengaja datang
mengikuti ‘tuan’nya para penguasa daerah (para rakai, pamgat, sāmya haji dan para bhaṭṭāra) mempunyai tentara masing-masing.
Berdasarkan hasil
penelitian sementara atas pola-pola pemukiman di zaman klasik berdasarkan
adanya berbagai macam tinggalan arkeologis yang pernah dilakukan oleh Sdr.
Bambang Budi Utomo,S.S dan Sdr. Moendardjito,S.S. di daerah Jawa Tengah. Terlihat
bahwa daerah yang padat penduduknya ialah daerah-daerah aliran sungai, terutama
di daerah Tempuran. Dari peta pola pemukiman sebagai hasil penelitian tersebut
dan mengingat kepadatan penduduk di Jawa pada zaman klasik, kami dapat
membayangkan bahwa ada daerah yang relatif padat penduduknya yang terpisah dari
daerah lain yang juga padat penduduknya oleh suatu daerah hutan belantara.
Sekalipun mungkin sekali ada jalan yang menghubungkan daerah-daerah itu seperti
yang terungkap dari prasasti Baliṅawan, Kaladi, dan Mantyāsih, tetapi karena
jarang terpakai maka mungkin sekali pada waktu-waktu tertentu telah penuh
dengan semak belukar lagi.
Keadaan semacam itu,
ditambah dengan otonomi yang amat luas yang dinikmati oleh para penguasa daerah
dan imobilitas ‘tentara kerajaan di Pusat’, serta perumusan istilah katiban waṅkai kabunan, yaitu “[jika
ada] mayat diletakan oleh penjahat yang membunuh orang di desa lain di waktu
malam, sedang pemilik tanah tempat mayat itu diletakkan tidak mengetahuinya,
maka si pemilik tanah itu harus dikenai denda; jika ia melihat orang meletakkan
mayat di tanahnya, padahal ia diam saja dan mayat itu tergeletak di situ sampai
pagi hari, ia dikenai denda dua laksa oleh raja; semua penduduk desa ikut
dikenai denda, itulah yang namanya katmu
waṅkay kābunan” (Jonker,1885:49), membayangkan kepada kita bahwa setiap
pejabat desa (rāma) bertanggungjwab
atas keamanan di desanya masing-masing.
Jadi, para rama (pejabat) itulah yang memimpin dan
mengatur giliran warganya untuk melakukan ronda malam dan penjagaan demi
keamanan desanya. Kejahatan-kejahatan mulai dari yang kecil seperti pencurian
sampai kepada yang lebih berat seperti pembegalan dan perampokan harus dapat
diatasi oleh para rāma dan segenap
warga desanya. Jika ada gerombolan rampok, garong atau kecu yang masuk desa
maka para penjaga keamanan yang bertugas pada malam itu tentunya membunyikan
kentongan untuk membangunkan semua laki-laki dewasa di desa itu unuk siap siaga
menghalau gerombolan yang menyerbu desa itu. Mungkin juga bunyi kentongan itu
dimaksudkan untuk menarik perhatian desa-desa tetangga (wanua i tpi siriṅ) untuk datang membantu.
Tetapi ada kalanya para
rama dan penduduk suatu desa merasa tidak sanggup menghadapi gerombolan
bandit-bandit karena mungkin pemimpin gerombolan itu terkenal sebagai orang
yang sakti karena memiliki azimat, senjata khusus atau ilmu kebatinan yang
ampuh. Dalam hal semacam ini para rama
dapat minta bantuan pejabat desa tetangga atau aparat pemerintah daerah yang
membawahi desa yang bersangkutan tanpa perlu minta bantuan pemerintah pusat,
seperti yang terungkap dari prasasti Baliṅawan dan prasasti Mantyāsih.
Sistem keamanan
lingkungan yang berlaku seperti diatas tidak saja ditujukan untuk menanggulangi
masalah perbanditan, tetapi juga untuk menghadapi ‘pemberontak-pemberontak
terhadap kekuasaan pemerintah pusat’. Kasus semacam itu ternyata banyak kita
jumpai dari masa pemerintahan raja Dharmawaṃśa Airlaṅga dan masa Kadiri, suatu
masa di mana kepemimpinan śrī mahārāja
tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari semua sāmya haji. Penetapan desa-desa tertentu sebagai sīma karena telah berjasa menghalau
musuh dan berhasil sebagai ‘desa peyangga’ di perbatasan diperingati antara
lain di dalam prasasti Cane tahun 943 Śaka (OJO,LVIII),
Baru tahun 952 Śaka (OJO,LX), Turun
Hyaṅ A tahun [9]58 Śaka (OJO,LXIV),
Maleṅa tahun 974 Śaka, Garaman tahun 975 Śaka, Turun Hyaṅ B tahun [97]6 Śaka,
Sukun tahun 1083 Śaka, Jariṅ tahun 1103 Śaka (OJO,LXXI), Kemulan tahun 1116 Śaka (OJO,LXXIII) dan Horren (Stutterheim,1933a). Di dalam prasasti Horren
itu, yang hanya ditemukan lempengan keduanya saja di daerah Campurdarat
(Kediri), disebutkan datangnya śatru suṇḍa.
Apakah yang dimaksudkan dengan śatru suṇḍa
itu musuh dari Jawa Barat dan jika benar demikian apakah pasukan Sunda itu
pernah menyerbu sampai ke daerah Kediri atau selempengan prasasti Horren itu
mengalami transformasi yaitu terbawa dari daerah Banyumas, Pekalongan atau Kedu
sampai ke daerah Kediri, hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Jadi jelaslah bahwa
kerajaan-kerajaan kuno mempunyai institusi pengadilan. Memang para petugas
‘siskamling’ tidak boleh main hakim sendiri apabila mereka itu menangkap
seorang pencuri atau perampok. Para penjahat itu harus dihadapkan ke sidang
pengadilan dan di situ diputuskan apakah mereka itu cukup dikenai denda atau
harus dijatuhi hukuman mati. Banyak istilah-istilah di dalam naskah-naskah
hukum itu yang berkenaan dengan masalah perbanditan. Sebagai contoh dapat disebut
añjarah (merampok), yang dapat
dilakukan seorang diri atau bermai-ramai. Jika hanya seorang yang menjarah ia
dikenai denda 20.000, tetapi jika orang banyak yang menjarah, masing-masing
dikenai denda maksimum, yaitu 160.000 (tiban wekasin denda 160.000). Istilah
yang lain adalah anumpu, yaitu
membunuh sepasang suami-istri di waktu malam untuk dirampas harta bendanya. Ambaranaṅ ialah membakar rumah-rumah
disuatu desa dan penghuninya yang lari keluar dibunuh, jika ada harta titipan
yang ikut terbakar lalu dilaporkan kepada penguasa dengan bukti-bukti
pemilikannya, semua orang yang ikut ambaranaṅ
masing-masing dikenakan denda 48.000 dan mengembalikan harta titipan yang
terbakar itu lima kali lipat nilainya.
Contoh-contoh diatas
diambil dari naskah Adhigama saja,
yang meliputi tindakan ambaraṅan,
dimasukan ke dalam kelompok aṣṭaduṣṭa,
yang terdiri atas aṅrañcab, aṅremak, ambegal, aṅetal, aṅgampol, aṅamuk, ambaranaṅ dan aṅrampas. Tetapi dalam naskah Kuṭāra Mānawa yang telah diterbitkan
sebagai disertasi oleh J.C.G Jonker (Jonker,1885, Slamet Muljana,1967) lain
lagi yang disebut aṣṭaduṣṭa itu,
yaitu: membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh membunuh orang yang tidak
berdosa, melukai orang yang tidak berdosa, makan bersama seorang pembunuh,
mengikuti jejak pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat
persembunyian kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh.
Naskah-naskah hukum dan
sejenisnya, seperti naskah-naskah tentang ketatanegaraan dan kedudukan raja,
tingkah laku para rokhaniawan, hak dan kewajiban kawula, hukum perkawinan (Nawa Śāsaniṅ Ratu, Rṣiśāsasna, Śewaśāsana, Śewakadharma, Kramaniṅ
Alakirabi), dll. Dapat menambah banyak sekali pengetahuan kita tentang
berbagai segi kehidupan nenek moyang kita, yang akan melengkapi gambaran yang
kita peroleh dari prasasti-prasasti dan artefak-artefak lain yang biasa kita
garap hingga sekarang.
Acuan:
Groeneveldt,1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya
compiled from Chinese Source. Jakarta: Bhatara. [Terbitan ulang berdasarkan
edisi 1880 dengan perubahan judul.]
J.C.G.Jonker,1885. Een Oud-Javaansch Wetboek. Vergeleken met
Indische Rechtbronnen. Disertasi Leiden.
Slamet Muljana,1967. Perundang-Undangan Madjapahit. Djakarta:
Bhatara.
Soemarsaid Moertono,1968.
State and Statecraft in Old Java: A Study
of the Later Mataram Periode, 16th to 19th Century. Ithaca, New York,
Southest Asia Program Departement of Asian Studies, Cornell University.
[Monograph Series no.43, Modern Indonesia Project.] Cetakan ulang tahun 1974
dan 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar