O.W.Wolters
Kajian ini dibuat
sebagai sumbangan untuk penelitian sejarah Nusantara bagian barat zaman awal. Kajian
ini menggambarkan latar belakang ekonomi semasa kebangkitan Kerajaan Sriwijaya
di Sumatra tenggara pada pertengahan abad ke-7 M. Sriwijaya berperan penting
dalam perdagangan Asia pada zaman pertengahan, selama lebih dari 500 tahun.
Kemudian setelah sejarahnya dihidupkan kembali oleh para sejarawan modern,
kerajaan ini menjadi terkenal dalam sejarah Indonesia, terutama di kalangan
orang Indonesia. Mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar dan
kerajaan tertua dalam sejarah kebangsaan mereka.
Hal yang menarik
tentang Kerajaan Sriwijaya adalah kemunculan dan perkembangannya yang tiba-tiba.
Pedagang Cina, I-Tsing, merupakan orang pertama yang membuat catatan tentang
kerajaan ini. Ia menceritakan pelayarannya pada 671 M dari Kanton ke Palembang,
tempat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya waktu itu [1]. Dalam jangka waktu 24
tahun ketika I-Tsing berada di seberang laut, kerajaan itu sudah menjadi sangat
kuat. Berdasarkan pengetahuannya tentang Indonesia yang diperolehnya sebelum
kembali ke Cina pada 659 M, menurutnya Kedah di pantai barat Semenanjung Melayu
selatan telah menjadi tanah jajahan Sriwijaya. Pada 775 M, kerajaan ini telah
menjadi begitu terkenal sehingga penguasanya disebut “raja yang dipertuan dari
Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di muka bumi [2].
Terdapat dua alasan
bagi kajian ini, pertama sekalipun abad pertama dari sejarah Sriwijaya itu
adalah abad yang paling kaya dengan dokumentasi dan merupakan satu-satunya abad
yang diabadikan prasasti-prasasti Sriwijaya yang ada sekarang, yang dapat
dikemukakan para sejarawan hanyalah sebuah gambaran tentang kekuasaan kerajaan
ini pada masa itu. Sementara itu, pendapat-pendapat dan kebijakan-kebijakan
para maharajanya tetap merupakan bahan yang tidak sahih. Alasan kedua adalah
sebelum orang mengetahui lebih banyak tentang cara Sriwijaya berdagang pada
permulaan pemerintahannya, kita tetap belum mengetahui latar belakang yang
seharusnya untuk membuat tafsiran atas bukti yang ada dan sedikit tentang
perdagangan negeri itu.
Untuk abad pertama
sejarah Sriwijaya, seorang pengkaji memilih beberapa prasasti Melayu Kuno yang
penting di Sumatra Selatan, khususnya Palembang dan Pulau Bangka.
Prasasti-prasasti itu ditulis pada 682-686 M. Sebagai tambahan, kita dapat
membaca karya I-Tsing, kemudian pada Hdin T’ang shu yang dihimpun pada
pertengahan abad ke-11 dan terdapat pula rujukan dalam ensiklopedia Tse’fu yuan kuei dari awal abad ke-11 M
tentang utusan-utusan ke Cina antara 702-742 M [3].
Dalam batas-batas yang
sempit, sumber-sumber ini memberikan gambaran yang sangat konsisten tentang
zaman awal Sriwijaya. Catatan-catatan I-Tsing dan ungkapan-ungkapan teknis
dalam berbagai prasasti menunjukkan bahwa Raja Sriwijaya dipengaruhi
kemungkinan besar agama Buddha Mahayana. Sriwijaya juga jelas memiliki banyak
kapal; pada 672 M, I-Tsing berlayar dari Sriwijaya ke India dengan sebuah kapal
milik seorang raja [4]. Sementara itu prasasti Kedukan Bukit dari Palembang
bertahun 682 M menjelaskan suatu perjalanan yang menurut Prof.Coedes telah
dilakukan raja sendiri [5]. Selain itu selama
bertahun-tahun terjadi perkembangan politik yang luar biasa. I-Tsing
menuliskan bahwa Melayu di daerah Jambi di pantai tenggara Sumatra “sekarang
Sriwijaya”.
Satu petunjuk yang
lebih pasti bahwa masa itu masa yang bergolak ada pada dalam prasasti-prasasti
itu. Prasasti Telaga Batu yang tidak diketahui tahunnya dari Palembang,
merupakan sumpah yang luar biasa panjangnya, diiringi dengan meminum “air
kutukan”, yaitu air yang harus diminum oleh hamba raja untuk menjamin kepatuhan
mereka [6]. Suatu bentuk singkatan dari sumpah itu terdapat dalam prasasti yang
juga tidak bertahun, Karang Brahi, yang ditemukan dekat sebuah sungai di bagian
tengah Sumatra selatan dan juga dalam Prasasti Kota Kapur yang ditulis pada 686
M dan dibuat di Pulau Bangka [7]. Prasasti Telaga Batu memaparkan daftar
panjang tentang orang-orang yang berpotensi menjadi musuh atau mungkin
musuh-musuh raja Sriwijaya yang sebenarnya, mulai dari “putra-putra raja”
hingga tukang cuci dan budak-budak hamba. Selain itu, nahkoda-nahkoda dan
pedagang juga dianggap berpotensi menjadi pengkhianat. Dalam prasasti Kota
Kapur bertahun 686 M, disinggung juga soal peperangan yang akan dilakukan
terhadap bhumi java yang belum tunduk
pada kerajaan Sriwijaya, Dr. de Casparis menganggap bahwa seperti halnya sumpah
yang keramat itu, peperangan ini merupakan sebagian dari usaha raja
mempertahankan kerajaan yang baru dimenanginya.
Akhirnya terdapat dua
bukti yang jelas, sekalipun terdapat masalah-masalah politik seperti yang
tercatat dalam prasasti-prasasti itu, pada pertengahan abad ke-18 M, kerajaan
Sriwijaya telah berhasil menjadi sebuah kerajaan yang besar. Dalam buku Hsin T’ang shu dinyatakan bahwa “Srivijaya
adalah sebuah kerajaan yang terbagi menjadi dua, dan kedua bagian kerajaan itu
memiliki pemerintahan yang terpisah”.
“Kerajaan Barat”
bernama Lang-p’o-lu-ssu yang biasa dipahami sebagai transkripsi dari “Barus” di
sebelah utara Sumatra. Tahun terbentuknya kerajaan ini tidak diketahui, tetapi
agaknya tidak mungkin sesudah 742 M, tahun terakhir dituliskan bahwa Sriwijaya
mengirim utusan ke Cina sebelum permulaan abad ke-10, dan itu merupakan kali
terakhir datangnya berita politik ke istana Cina dari Sriwijaya. Bukti lain
yang telah disebutkan adalah Prasasti Ligor yang ditemukan di Semenanjung
Melayu, bertahun 775 M. Di daerah yang sama telah ditemukan peninggalan-peninggalan
arkeologi yang telah menciptakan istilah
“kesenian Sriwijaya”.
Dalam uraian Krom
tentang faktor-faktor pendukung di Palembang, yaitu pelabuhan di Sumatra
tenggara menguasai pelabuhan-pelabuhan lain di pantai itu dan juga di Selatan
Malaka. Krom menyatakan letak geografis pelabuhan ini cocok sebagai tempat
persinggahan dan pemunggahan barang-barang. Kelebihan ini digunakan oleh
kapal-kapal yang terlibat dalam perdagangan yang terus berkembang antara India
dan Cina. Krom juga menyatakan terdapat persaingan antara pelabuhan-pelabuhan
yang memiliki keuntungan letak geografis ini. Menurut Krom, persaingan untuk
menjadi kekuatan laut yang kuat di daerah ini
memerlukan kekuasaan yang kuat.
Ketidakjelasan faktor
ekonomi dan politik yang menjadi latar belakang kebangkitan Sriwijaya menjadi
hambatan dalam kajian tentang sejarah Sriwijaya pada periode selanjutnya dan
disitulah masalah utama yang harus diperjelas demi mengkaji asal-usul kerajaan
ini. Akhirnya penulis sadari betapa besar halangan ketika mengkaji Sriwijaya
abad 10-11 M. Pada masa itu Sriwijaya yang sering mengirim kelompok perdagangan
ke Cina, sedang berkonflik dengan orang Jawa dan Tamil. Kedua musuh itu
menyatakan telah menyerang ibukota Sriwijaya pada 992 M dan sekitar 1025 M.
Kemudian tidak
banyaknya penelitian tentang proto sejarah Sumatra, sedangkan kajian-kajian
Sriwijaya cenderung memusatkan perhatian pada masa sesudah kunjungan I Tsing
pada 671 M, alih-alih pada masa sebelumya.
Kajian tahap pertama
dan sangat diperlukan dalam kajian tentang Sriwijaya adalah mengenal dengan
pasti kerajaan ini dalam berbagai masalah seperti yang dihadirkan dalam
beberapa tulisan tentang Asia yang berusaha memberikan cadre historique [kerangka sejarah]. Babak awal dalam proses
penelitian adalah dari sumber Arab dan Cina. Lalu, pada 1918 Pof.Coedes dapat
menyertakan bahwa nama kerajaan tersebut adalah “Srivijaya”[8]. Para sarjana
Arab merupakan orang pertama yang menyadari hal itu, yaitu ketika Renaudot pada
1718 menerjemahkan sebuah teks Arab bertahun 851 M dan berhasil memaparkan
adanya sebuah kerajaan bernama “Zapage” [9]. Melalui sebuah kajian tentang
transkripsi kata-kata Sanskrit dalam bahasa Cina, Julien pada 1816 berhasil
menunjukkan bahwa yang disebut Shih-li-fo-shih oleh I Tsing adalah Cribhoja
[10]. Pada 1876, Groeneveldt menyamakan San-fo-ch’i, nama sebuah tempat pada
zaman Dinasti Sung dan Ming, dengan sebuah pelabuhan di sungai Palembang dan
menyatakan bahwa daerah itu adalah “Sarbaza”, yang pernah disebut para sarjana
Arab pada abad ke-19 [11]. Pada 1883-1886, Beal, yang tertarik dalam permasalahan
Buddha di Cina dan India, merupakan orang pertama yang menunjukkan suatu
deretan sumber informasi yang kemudian dikenal orang sebagai sejarah “Srivijaya”.
Ia melakukan penelitiannya dengan cara memperluas kesamaan nama-nama tempat.
Ia menerima pendapat
Yule bahwa yang dimaksud dengan “Malaiur” oleh Marco Polo adalah Palembang.
Menurutnya, I Tsing mengatakan bahwa “Mo-lo-yu” sama dengan Shih-li-fo-shih dan
ia berpendapat bahwa shih-li-fo-shih sama dengan San-fo-ch’i, “Sarbaza” dan
Palembang. Hasil penelitian ini sampai hari ini tetap menjadi kajian dasar
tentang tata nama asing untuk Sriwijaya. Pada 1918, Prof.Coedes memberikan
sumbangan yang berpengaruh ketika ia mengkaji prasasti Sriwijaya di Ligor dan
menetapkan bahwa transkripsi Shih-li-fo-shih zaman T’ang itu adalah Sriwijaya
bukan “Sribhoja”. Ia memusatkan perhatian pada prasasti-prasasti India dari
abad ke-11 yang menyebutkan Sriwijaya. Dengan itu ia dapat memberikan uraian
yang pertama tentang sejarah kerajaan ini, yang menurutnya berlangsung dari
abad ke-7 hingga ke-13 M.
Kekurangan catatan tertulis
tentang Nusantara sebelum abad ke-7 merupakan suatu kesulitan tersendiri,
terutama karena ketiadaan prasasti-prasasti di Sumatra. Dalam kajian ini,
Sumatra merupakan tempat yang lebih ditekankan. Meskipun begitu, kekurangan
bukti atau peninggalan sejarah Sumatra disebabkan belum dilakukannya penggalian
arkeologis yang lebih menyeluruh, terutama mengenai pendapat tentang lokasi
pantai yang berperan besar dalam perdagangan luar negeri sebelum kebangkitan
Sriwijaya.
Kesimpulan utama yang
dapat dibuat dalam kajian tentang Indonesia masa awal ini adalah adanya dua
tahap waktu yang dapat dibedakan pada pada abad ke-7 M. Tahap pertama, sampai
abad ke-3 M, Nusantara bagian barat belum berdagang dengan Cina. Tahap kedua,
perdagangan antara Cina dan Nusantara telah berlangsung pada awal abad ke-5 M. Kerangka
kronologi ini mungkin penting dalam membantu kajian-kajian yang akan dilakukan
tentang Indonesia masa awal.
Catatan:
[1]. E. Chavannes, Memoire compose a l’epoque de la grande
dynastie T’ang,hlm: 119.
[2]. Terjemahan
G.Coedes dari bahasa Sanskrit atas sisi A Prasasti Ligor, “Le royaume de
Crivijaya”, BEFEO, 18,6 (1918)
hlm:31.
[3]. Lihat tulisan
Coedes, “Le royaume de Crivijaya”; G.Ferrand, “L’empire sumatranis de Crivijaya”,
JA, 20 (1922),hlm:1-104,hlm:161-246;
K.A.Nilakanta Sastri, History of
Srivijaya; J.G. de Casparis, Prasasti
Indonesia,II,hlm:1-46. Untuk tahun yang sudah ditinjau ulang dari Prasasti
Kedukan Bukit (682 M) lihat L.C.Damais, “Etudes d’Epigraphie
Indonesienne,III,Liste des principales inscriptions datees de l’Indonesie”,BEFEO,46 (1952), 98.
[4]. Ta T’ang his yu ch’iu fa kao seng chuan,
Taisho tripitaka, edisi 1, no.2066,7c-8a.
[5]. De Casparis, Prasasti Indonesia, II,hlm: 12-13.
[6].
----------------------------,hlm: 11-19.
[7]. Lihat salah
satunya Coedes, “Les inscriptions malaises de Crivijaya”, BEFEO, 30 (1930),hlm:29-80.
[8]. Coedes, “Le
royeume de Crivijaya”.
[9]. E. Reinaudot, Anciennes relations des Indes et de la Chine,hlm:75-78.
Teksnya berjudul Ahbar as Sin wa’l-Hind,
yang diterjemahkan I.Sauvaget pada 1948.
[10]. J.T.Reinaud, Relations des voyages faits parles Arabes et
les Persans dans l’Inde.
[11]. S.Julien, Methode pour de chiffer et transcrire le
noms Sanscrits,hlm:10, no. 299.
[12]. W.P.Groenveldt, Notes on the Malay Archipelago and Malacca,hlm:76.
O.W. Wolters (2011)
Kemaharajaan Maritim
Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III-Abad VII
Depok: Komunitas Bambu
Hlm:1-18