Boechari
Prasasti adalah
sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di atas batu atau logam.
Sebagian besar dari prasasti-prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja-raja yang
memerintah di berbagai kepulauan Indonesia sejak abad V Masehi. Sejumlah kecil
daripadanya merupakan keputusan pengadilan, yang biasa disebut dengan istilah
jayapattra. Sebagian dari prasasti-prasasti itu memuat sebuah naskah yang
panjang, tetapi ada juga di antaranya yang hanya memuat angka tahun atau nama
seseorang pejabat kerajaan (de Casparis, 1952: 21-23). Prasasti-prasasti dari
zaman Islam yang sebagian besar tertulis pada batu nisan, biasanya berisi
keterangan tentang nama orang yang dimakamkan di situ, tanggal kematiannya, dan
kutipan ayat-ayat suci Al Quran.
Pada waktu ini
pemeliharaan dan penelitian atas sumber sejarah yang berupa prasasti itu
menjadi tugas dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, suatu
instansi dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam
instansi tersebut tersimpan sekitar tiga ribu cetakan kertas prasasti-prasasti
batu dan logam yang tersebar di seluruh kepulauan. Prasasti-prasasti itu
tertulis dalam bahasa Sansekerta, Melayu Kuna, Sunda Kuna, Jawa Kuna, Bali
Kuna, Tamil dan Arab. Sebagian besar dari prasasti-prasasti itu masih harus
diteliti dengan seksama, sebab sekalipun sudah banyak yang dibaca dan
diterbitkan, kebanyakan baru terbit dalam bentuk transkripsi sementara, seperti
kumpulan transkripsi dari J.L.A.Brandes yang berisi 125 prasasti.
Tugas seorang epigrafi
sekarang ini tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum diterbitkan,
tetapi juga meneliti kembali prasasti-prasasti yang baru terbit dalam
transkripsi sementara. Kemudian ia harus menerjemahkan prasasti-prasasti
tersebut ke dalam bahasa modern sehingga sarjana-sarjana yang lain, terutama
ahli-ahli sejarah dapat menggunakan keterangan-keterangan yang terkandung di
dalam prasasti-prasasti itu.
Dalam menunaikan tugas
tersebut ahli epigrafi banyak menjumpai kesulitan. Pertama karena banyak
prasasti, terutama prasasti batu, yang sudah sedemikian usang sehingga amat
sulit untuk membacanya. Ia harus membaca bagian-bagian yang usang itu
berkali-kali sampai mendapatkan pembacaan yang memuaskan. Dengan menguasai
bentuk huruf kuno dengan segala lekuk likunya, dan dengan senantiasa
membanding-bandingkan huruf-hurufnya yang usang itu dengan huruf-huruf yang
masih jelas, seorang ahli epigrafi berusaha untuk memperoleh pembacaan yang
selengkap-lengkapnya. Dalam hubungan ini prasasti-prasasti yang tertulis dalam
bahasa Sanskerta memberikan keuntungan karena tertulis dalam bentuk mantra, yang memungkinkan ahli epigrafi
menggunakan hukum guru laghu untuk
membantu memperoleh pembacaan yang lengkap dari bagian-bagian yang meragukan.
Tetapi sekalipun dengan penuh kesabaran dan ketekunan, sering ahli epigrafi
tidak mungkin lagi membaca bagian-bagian prasasti yang sudah terlalu rusak.
Prof.Dr.Arlo Griffiths, prasasti di Blitar. |
Kesulitan yang kedua
dihadapi pada waktu menerjemahkan prasasti-prasasti itu. Pengetahuan kita
tentang bahasa kuno yang digunakan di dalam prasasti-prasasti itu masih belum
cukup untuk memahami sepenuhnya makna yang terkandung di dalam naskah-naskah
itu. Dalam menghadapi prasasti-prasasti yang tertulis dalam bahasa Jawa Kuna
kita memang mempunyai bahan perbandingan dalam bentuk naskah-naskah
kesusastraan. Tetapi penerbitan naskah-naskah tersebut, sekalipun sering
disertai dengan daftar kata-kata, tidak memberikan bantuan sebagaimana yang
diharapkan, karena prasasti-prasasti menggunakan istilah-istilah dan susunan
kalimat yang berbeda dengan yang digunakan di dalam naskah-naskah kesusastraan.
Banyak istilah tentang pengaturan hak-hak atas tanah, tentang bermacam-macam
jenis pajak tanah dan bermacam-macam nama jabatan yang tidak pernah dijumpai di
dalam kakawin Jawa Kuna. Mungkin
penerbitan naskah-naskah hukum Jawa Kuna lebih banyak memberi bantuan kepada
ahli epigrafi. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa dengan kemajuan pengetahuan
kita akan bahasa-bahasa kuno terjemahan yang telah ada perlu ditinjau kembali, dengan
akibat bahwa kesimpulan-kesimpulan yang telah ada yang didasarkan atas
terjemahan yang lama harus ditinggalkan.
Di dalam prasasti
sering dijumpai keterangan panjang lebar tentang hari, bulan, tahun, dan
unsur-unsur penanggalan yang lain, yaitu waktu suatu daerah ditetapkan menjadi sīma, juga keterangan tentang orang yang
menetapkan daerah itu menjadi sima, tentang orang-orang yang melaksanakan
upacara, tentang bermacam-macam upacara yang dilakukan, dan sebagainya. Bagian
yang memuat sumpah atau kutuan yang diancamkan terhadap orang yang berani
melanggar ketentuan-ketentuan di dalam prasasti itu mengambil tempat yang amat
penting. Sering pula dijumpai keterangan tentang batas-batas dari daerah
perdikan tersebut. Dalam hal seorang raja memberi anugerah sīma kepada seorang pejabat yang berjasa, pejabat tersebut sering
mendapat tambahan hak-hak istimewa yang juga disebutkan di dalam prasasti.
Kebanyakan penetapan daerah perdikan itu dilakukan oleh seorang raja atau atas
perintah seorang raja. Dalam hal yang demikian sering dijumpai daftar
pejabat-pejabat tinggi kerajaan yang melaksanakan perintah raja. Tetapi ada
juga anugerah sīma yang diberikan
oleh pejabat-pejabat kerajaan (Krom, 1931:2).
Unsur-unsur penanggalan
yang biasa ditulis dengan lengkap dan tepat, disusul dengan nama raja dan nama
pejabat kerajaan, memberikan kerangka kronologi bagi penulisan sejarah kuno.
Berdasarkan keterangan-keterangan itu kita dapat mengetahui masa pemerintahan
seorang raja, sedang tempat-tempat penemuan prasasti dapat memberikan gambaran
tentang luasnya kekuasaaan raja.
Setelah menyebut angka
tahun dan unsur-unsur penanggalan yang lain, prasasti biasanya menyebutkan
bahwa perintah seorang raja diturunkan kepada sekelompok pejabat kerajaan, yang
kemudian meneruskannya lagi kepada sekelompok pejabat-pejabat yang lebih rendah.
Berdasarkan keterangan-keterangan itu dapat untuk sementara ditarik kesimpulan
bahwa pemerintah pusat terdiri atas sekurang-kurangnya dua kelompok pejabat
kerajaan.
Sesudah menyebut
pejabat-pejabat kerajaan yang menerima perintah raja, prasasti menyebutkan
peristiwa pokoknya, yaitu penetapan suatu daerah menjadi sīma. Penetapan suatu daerah menjadi sīma dapat merupakan anugerah raja kepada seorang pejabat yang
telah berjasa atau untuk pemeliharaan suatu bangunan suci. Tetapi fakta sejarah
yang pada zaman dahulu hal ini dianggap amat penting, sehingga diperingati
dengan suatu prasasti, namun kurang mendapat perhatian dari para ahli sejarah
zaman sekarang. Mereka lebih memperhatikan bagian prasasti yang menyebutkan apa
sebab-sebabnya (sambandha) suatu
daerah tersebut dijadikan sīma.
Bagian ini memang sering memuat fakta-fakta yang dapat dicari dalam cerita
sejarah.
Kelemahan keterangan
yang dimuat dalam prasasti yaitu minimnya informasi yang ditulis oleh sang
penulis prasasti. Memang harus disadari bahwa penulis prasasti tidak bermaksud
untuk mewariskan keterangan-keterangan kepada generasi yang akan datang,
termasuk kita yang hidup pada masa kini. Ia tidak memandang perlu untuk
memberikan keterangan-keterangan kepada generasi yang akan datang, termasuk
kita yang hidup pada masa kini. Ia tidak memandang perlu untuk memberikan
keterangan-keterangan yang sejelas-jelasnya, sebab bagi mereka yang hidup
sezaman dengannya sudah jelas perkawinan raja yang mana yang dimaksudkan di
dalam prasasti itu, dan jelas juga apakah yang menyebabkan (misalnya) suatu penduduk
merasa ketakutan. Yang terpenting untuk diketahui oleh generasi yang akan
datang hanyalah bahwa daerah-daerah yang disebutkan di dalam prasasti itu telah
ditetapkan menjadi sima untuk suatu kepentingan tertentu.
Keterangan-keterangan
yang terdapat di dalam prasasti-prasasti tersebut akan sangat penting artinya
bagi para ahli sejarah andaikata disebutkan juga dengan siapa raja-raja
tersebut berperang dan peperangan apa yang dimaksudkan di dalam
prasasti-prasasti tersebut. Tetapi sayang sekali bahwa tidak ada sumber-sumber
yang lain yang dapat menjelaskan masalah-masalah itu. Dapatlah dipahami mengapa
sejarah Indonesia masih penuh dengan episode-episode yang tidak jelas dan tidak
pasti. Bukan saja karena sumber-sumbernya yang tidak lengkap, tetapi juga
karena sumber yang ada tidak memberi keterangan seperti yang diharapkan.
Seorang ahli sejarah
tidak dapat mengharapkan semua prasasti berisi keterangan yang lengkap. Ia
harus menjalin ceritanya di sekitar sejumlah fakta yang tersebar dari berbagai
prasasti seperti seekor laba-laba yang harus menjalin sarangnya di antara
ranting-ranting pohon. Tetapi di dalam menulis ceritanya itu seorang ahli
sejarah harus mempunyai pengetahuan tentang struktur masyarakat zaman kuno yang
harus digunakannya sebagai landasan untuk merekonstruksikan fakta-fakta
sejarah. Prasasti-prasasti banyak berisi keterangan-keterangan tentang keadaan
masyarakat, tetapi justru bagian-bagian itu sering diabaikan oleh ahli sejarah.
Apa yang diuraikan di atas baru merupakan sebagian dari isi prasasti, dan dalam
bagian-bagian berikut inilah dijumpai keterangan-keterangan yang sering amat
terperinci tentang keadaan masyarakat Jawa Kuno.
Di dalam bagian
prasasti secara tidak langsung diperoleh juga keterangan tentang kegiatan
perdagangan dan usaha kerajinan. Keterangan itu diperoleh dari
ketentuan-ketentuan mengenai pajak perdagangan dan pajak usaha. Juga dijumpai
keterangan tentang ketentuan mengenai denda-denda dari berbagai macam
kejahatan. Sering juga dikatakan bahwa seorang pejabat yang memperoleh anugerah
sīma karena jasa-jasanya terhadap
raja dan kerajaan mendapat tambahan berupa berbagai hak istimewa. Kalau
keterangan tentang hak-hak istimewa itu diteliti dengan seksama mungkin akan
diperoleh gambaran tentang perbedaan antara rakyat biasa dan kaum bangsawan.
Sesudah bagian yang
menyebutkan ketetapan mengenai kedudukan daerah perdikan itu didapatkan daftar
para pejabat, dari pejabat tinggi kerajaan sampai pejabat desa yang hadir
sebagai saksi pada upacara penetapan sima dan menerima persembahan. Besar
kecilnya persembahan yang mereka terima membayangkan kedudukan masing-masing di
dalam hierarki pemerintahan. Penelitian atas bagian ini akan memberikan
gambaran tentang struktur birokrasi kerajaan-kerajaan Jawa Kuno.
Kemudian menyusul
bagian yang terpenting, yaitu upacara penyumpahan yang dipimpin oleh seorang
pejabat keagamaan yang bergelar saṅ
(pamgat) makudur. Bagian ini dimulai dengan disebutkannya bermacam-macam
saji-sajian, terdiri antara lain atas kepala kerbau, seekor ayam jantan,
sebutir telur, air (argha), jarum,
pemotong kuku, dandang, seperangkat alat-alat untuk makan dan minum, dan
sejumlah alat-alat yang digunakan dalam pembukaan tanah dan persawahan
(Stutterheim, 1940: 21-23).
Sebagai penutup upacara
itu dan sebagai bukti bahwa penetapan sima itu telah dikukuhkan (cihnanyan mapageh ikanaṅ susukan sīma)
para hadirin ‘menambah daun’ masing-masing (umuwahi
ronya). Mungkin yang dimaksudkan dengan ungkapan tersebut ialah bahwa para
hadirin membungkus apa yang masih tersisa dari hidangan-hidangan yang
disuguhkan untuk di bawa pulang (mbrekat,
bhs.Jawa). Di dalam berbagai prasasti sering terdapat keterangan bahwa di dalam
upacara penetapan sīma itu ada juga
pertunjukkan gamelan, tari-tarian, nyanyian, dagelan, pembacaan naskah yang
mungkin dapat disamakan dengan mabasan di
Bali dan lain-lain (van Naerssen, 1937).
Prof.Dr. Boechari, ahli Epigrafi Indonesia http://nationalgeographic.co.id/media/daily/300/0/201212060944460/n/preview.jpg |
Keterangan-keterangan
di dalam bagian-bagian prasasti tersebut apabila diteliti dengan seksama, dapat
memberikan gambaran yang amat menarik tentang struktur kerajaan, struktur
birokrasi, struktur kemasyarakatan, struktur perekonomian, agama, kepercayaan
dan adat-istiadat di dalam masyarakat Indonesia kuno. Pengetahuan akan segisegi
struktural itu akan menghindarkan kita dari bahaya anakronisme, karena tanpa landasan pengetahuan tersebut orang mudah
sekali cenderung untuk memproyeksikan fakta-fakta sejarah dari masa lampau di
atas keadaan masyarakat zaman sekarang, yang mungkin sekali berpegang kepada
norma-norma yang berbeda dari masyarakat zaman dahulu.
Rujukan:
de Casparis, 1952. “Penjelidikan
Prasasti: Tugas ahli epigrafi Dinas Purbakala”, dalam Amerta 1 (1952), hlm: 21-23, terbit kembali (1985), hlm: 25-29.
Krom, N.J.1931. Hindoe-Javaansche Geschiedenis. Tweede,
herziene druk. ‘s-Gravenhage:M.Nijhoff.
van Naerssen, F.H.
1937. “Twee koperen oorkonden van Balitung in het Koloniaal Instituut te
Amsterdam.”, BKI 95, hlm: 441-461.
Stutterheim, W.F.1940. “Oorkonde
van Balitung uit 905 A.D. (Randoesari I).” INI,
hlm: 3-28.
Boechari, 2012
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti
Jakarta: KPG
hlm: 3-28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar