Ninie
Susanti
(Judul
Asli: Masa Pemerintahan Airlangga dalam Airlangga:
Biografi Raja Pembaharu Jawa Abad XI Masehi)
Politik
Sejak menduduki tahta
dapat diketahui bahwa Raja Airlaṅga mempunyai dua gelar abhiseka, yaitu gelar yang dipakainya selama memerintah dan gelar
yang dipakainya setelah turun tahta mengundurkan diri sebagai raja untuk hidup
sebagai pendeta. Pada waktu ia memerintah sebagai raja bergelar Śrī Mahārāja Rakai Halu Śrī Lokeśwara
Dharmmawaṅśa Airlaṅga Anantawikramottuṅgadewa dan gelar setelah megundurkan
diri sebagai raja adalah Aji Paduka Mpuṅku
Saṅ Pinaka Chatra ning Bhuwana.
Śrī Mahārāja adalah
sebutan jabatan yang disandangnya, yaitu sebagai raja, Rakai Halu sekaligus
dapat diartikan sebagai gelar pejabat tinggi kerajaan setingkat lebih rendah
dari putra mahkota (Rakai Hino). Gelar Rakai Halu yang disandang pada awal
namanya menimbulkan pendapat bahwa sebenarnya ia bukanlah putra mahkota yang
dipersiapkan untuk menduduki tahta kerajaan. Ia menjadi raja karena putra
mahkota sebenarnya, yang sangat mungkin adalah putri Raja Dharmmawaṅśa Tguh,
telah tewas pada saat peristiwa pralaya, yaitu pada saat perayaan perkawinannya
dengan Airlaṅga (Soemadio (ed.),1984).
Śrī Lokeśwara adalah
nama lain dari Avalokiteśvara sebutan penguasa dunia di dalam agama Buddha.
Adapun penggunaan unsur ajaran Buddha di deretan nama abhiseka Airlaṅga, yaitu lokeśwara
dapat dijelaskan bahwa Buddha adalah salah satu avatara dari dewa Wisnu yang mengemban tugas tertentu. Dalam
mitologi Hindu, dewa-dewa mengirim Wisnu dalam bentuk Buddha untuk mengurangi
dewa-dewa jahat “yang baik” serta membujuk mereka menyerahkan persembahan pada
weda dalam bentuk “tidak menyakiti dan meditasi seperti di dalam ajaran
Buddha”. Mereka melepas baju besi dengan kebaikan abadi dan roh-roh jahat akan
dihancurkan oleh dewa-dewa, sedangkan roh-roh jahat yang masih selamat
mempunyai kebaikan relatifnya untuk mengkontribusi keinginan jahat mereka untuk
menyeimbangkan dunia (Eliade, 1987, vol.7: 187).
Dharmmawaṅśa Airlaṅga
adalah nama diri. Dalam hal ini menjadi menarik karena nama depan Dharmmawaṅśa
juga dipakai lima orang raja yang pernah memerintah di Jawa dan Bali. Raja-raja
tersebut adalah Dharmmawaṅśa Tguh yang memerintah di Jawa Timur sebelum Airlaṅga,
kemudian Dharmmawaṅśa Airlaṅga dan Dharmmawaṅśa Marakata Paṅkaja Sthanottuṅgadewa,
yaitu adik dari Airlaṅga yang memerintah di Bali. Dharmmawaṅśa keempat adalah
Rakai Halu Śrī Samarotsaha Karṇakeñcana Dharmmawaṅśa Kīrttisiṅhajāyanatakatuṅgadewa
yang namanya tercantum di dalam Prasasti Batu dari Surabaya 982 Śaka, yang
terakhir adalah Dharmmawaṅśa Kṛtawardhāna yang memerintah di Bali. Krom pernah
beranggapan bahwa mereka itu terikat secara genealogis atau merupakan satu
dinasti, namun hal ini harus diteliti lebih jauh.
Ananta
berarti
tidak berakhir. Nama ini menjadi salah
satu gelar Dewa Wisnu yang digambarkan sebagai satu-satunya manusia yang hidup
setelah peristiwa prālaya
(penghancuran) terjadi (Dowson,1968:361). Vikrāma
berarti gagah berani, sedangkan ūtuṅgadewa
berarti keturunan dewa yang maha tinggi (Zoetmulder,1992).
Gelar kedua adalah
gelar yang dipakainya pada saat ia memutuskan mengundurkan diri dari tahtanya
sebagai raja dan memutuskan mengundurkan diri dari tahtanya sebagai raja dan
bermaksud menjadi pendeta yang tingga di luar keratonnya. Gelar tersebut
dicantumkan di dalam Prasasti Gandhakuṭi 1042 M sebagai Aji Paduka Mpuṅku Saṅ
Pinaka Chatra ning Bhuwana, yang berarti menjadi payung dunia. Keinginannya
menjadi payung dunia setelah meletakan jabatan sebagai raja bisa saja diartikan
bahwa ia tetap berambisi atas tahta tersebut atau belum merelakan sepenuhnya
untuk meninggalkan kedudukannya. Sebab pada kenyataannya, tidak lebih dari
sebulan ia mundur dari tahta, muncul Prasasti Pamwatan 964 Śaka yang
menyebutkan tentang nama ibukota kerajaan yang baru Dahana. Ia kembali memangku
jabatan sebagai raja. Pada tahun yang sama, ia menganugerahkan status sīma atas nama Desa Pandan yang
merupakan hadiah pada para pejabat desa tersebut (Prasasti Pandan 1042 M).
Kedudukan sebagai
payung dunia sebenarnya telah disebut-sebut Airlaṅga semasa ia memerintah,
yaitu sebagaimana disebut di dalam prasasti Turunhyang A. Diuraikan dalam
prasasti tersebut bahwa yang dimaksud dengan cakravarttin adalah bertindak sebagai payung dunia (tulusa chatra nin bhawana..baris 14).
Jadi gelar kependetaannya sudah diawali dan dijelaskan di dalam Prasasti
Turunhyang A yang diperkirakan dikeluarkan pada 958 Śaka. Juga pada isi prasasti Pucangan berbahasa
Jawa Kuno lebih jelas menyebutkan bahwa Airlaṅga adalah penjelmaan dari Dewa
Wisnu (sisi A baris 8) dan Prasasti Cane (sisi recto baris 27).
Ada kesejajaran yang
tegas antara penekanan khusus yang awalnya terdapat dalam teks Veda mengenai
tugas Wisnu sebagai pemelihara atau pelindung dan hubungan yang sangat dekat
dengan institusi kerajaan. Fungsi pertama adalah memelihara dunia dan tanah
tempat ia berdiam dan mempertahankan dharma
serta menghukum siapa saja yang berbuat jahat. Wisnu, penguasa yang utama dan
pelindung bumi, di dalam kaitan ini juga dianggap sebagai cakravarttin, yang seringkali memang mengarah kepada seorang
pemegang mahkota kerajaan (Gonda, 1954:165). Cakravarttin mengarah pada pengertian seorang raja ideal yang
memerintah dengan moral baik dan murah hati bagi seluruh dunia.
Pada masa pemerintahan
Raja Airlaṅga, lambang kerajaan menggunakan Garuḍamukha
yang seringkali digambarkan di bagian puncak prasasti batu yang dikeluarkannya.
Apabila lambang tersebut tidak tergambar di bagian puncak prasasti, seringkali
disebutkan di dalam isi prasasti sebagai saṅ
hyaṅ ājña haji praśasti tinaṇḍa garuḍamukha “prasasti berisi perintah
tertanda garuḍamukha”. Garuda disini
dilambangkan sebagai kendaraan Wisnu. Tokoh Garuda sendiri mempunyai arti
simbolis yang menggambarkan sifat ketangkasan, melayang tinggi dan kedahsyatan
atau keganasannya.
Garuda di Thailand |
Untuk mengerti lebih
jauh mengenai langkah-langkah politik dan ekonomi Raja Airlaṅga di luar
kerajaannya, barangkali harus diingat kembali konsep kekuasaan tradisional Jawa
yang dianutnya. Selain unsur kekuasaan atau kuasa yang harus dijaga dan
senantiasa ditambah oleh seorang pemimpin, harus juga dipusatkan pada dirinya.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempertahankan ketaatan yang lancar dan
bertindak seperti besi berani yang mengatur bubuk besi yang berserakan menjadi
bidang daya yang berpola.
Konsep kekuasaan Jawa
mempunyai implikasi bagi konsepsi-konsepsi tentang kedaulatan, integritas
teritorial dan hubungan-hubungan luar negeri. Ada beberapa cara yang dilakukan
oleh para raja untuk menghadapi ancaman yang datang dari tetangga dekatnya
sebagai pemusatan kekuasaan, yaitu:
- Menghancurkannya
- Mengobrak-abrik dan kemudian menyerapnya, atau
- Kombinasi dari keduanya (Anderson, 1986:80-81).
Isi prasasti-prasasti
Raja Airlaṅga jelas menyebutkan bahwa ia melakukan perang berkali-kali pada
masa konsolidasi untuk menegakkan haegemoninya. Dari prasasti yang berasal dari
Jawa Barat, yaitu Prasasti Sang Hyang Tapak 952 Śaka yang mempunyai ciri-ciri
aksara maupun bahasa mirip dengan prasasti-prasasti Raja Airlaṅga, barangkali
dapat dijadikan contoh antisipasi ancaman dari pemusatan kekuasaan lain pada
kekuasaan Airlaṅga.
Seluruh masa
pemerintahan Raja Airlaṅga dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu masa konsolidasi,
keemasan dan akhir pemerintahan. Masa awal pemerintahan Raja Airlaṅga disebut
masa konsolidasi, yaitu masa yang penuh dengan perjuangan untuk menegakkan
hegemoni. Ia melakukan serangan-serangan terhadap kerajaan-kerajaan kecil atau
wilayah-wilayah di sekelilingnya yang semula menjadi raja bawahan dari Raja
Dharmmawaṅśa Tguh, tetapi kini berbalik menentang atau tidak mengakui
kekuasaannya. Prasasti-prasasti yang isinya berkaitan dengan penaklukan Raja
Airlaṅga terhadap wilayah-wilayah tersebut yaitu Prasasti Cane 943 Śaka,
Prasasti Kakurugan 944 Śaka, Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno 963 Śaka dan
yang berbahasa Sansekerta 959 Śaka, Prasasti Baru 952 Śaka.
Berbagai kebijakan
bermuatan politis telah dicanangkan oleh Raja Airlaṅga sekaligus memperlihatkan
tindakan perubahan terhadap sistem politik yang berlaku sebelumnya. Masa ini
adalah masa puncak kejayaan dimana ia diperkirakan memerintah dengan damai.
Tindakan-tindakannya antara lain memperbaiki pengairan, memperbaiki
transportasi darat dan laut, mengembangkan perdagangan, memajukan kehidupan
rohani, meraih simpati dan dukungan dari rakyatnya. Salah satu prasasti yang
mengulas mengenai tindakan tersebut adalah Prasasti Kamalagyan 959 Śaka.
Tak lama kemudian
terjadi kemelut politik di kerajaan Airlaṅga, yaitu perang saudara antara
anaknya melawan seseorang yang sangat mungkin adalah anak Dharmmawaṅśa Tguh
ataupun perebutan diantara anak-anak Raja Airlaṅga. Akhirnya ia membagi
kerajaannya untuk menghindari perebutan kekuasaan. Sumber penting yang memuat
peristiwa pembagian kerajaan ini adalah Prasasti Wurara, Prasasti Garaman 975 Śaka,
Prasasti Turunhyang B 966 Śaka, Prasasti Malenga 974 Śaka, dan Prasasti
Banjaran 974 Śaka, teks Nāgarakertāgama dan Calon Arang.
Agama
Dari keseluruhan isi
prasasti-prasasti Raja Airlaṅga dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahannya
berkembag agama-agama Buddha dan Hindu yang lebih menekankan pada pemujaan Śiwa,
Rṣi dan Brahmāna (Prasasti Baru 952 Saka).
Pada masa pemerintahan
Raja Airlaṅga untuk pertama kalinya agama Rṣi disebutkan di dalam prasasti dan
disejajarkan dengan agama lainnya seperti Siwa dan Buddha. Menurut pengertian
di India, Rṣi adalah kelompok pendeta yang sangat tinggi pengetahuannya dan
menurut cerita suci, mereka adalah anak-anak dewa Brahmā. Selanjutnya,
berdasarkan sumber lain yaitu kakawin Arjunawiwāha dan Sutāsoma disebutkan
bahwa para petapa yang berpakaian kulit kayu itu adalah golongan Rṣi (Santiko,
1990:158). Dari berbagai keterangan yang diperoleh, diperkirakan bahwa Rṣi di
Jawa adalah para wanaprastha, yaitu
mereka yang telah mengundurkan diri ke hutan atau tempat sunyi untuk
menjalankan tingkatan hidup ketiga. Adapun golongan mahābrahmāna yang disebut di dalam Prasasti Pucangan 963 Śaka
diperkirakan adalah kelompok pendeta yang sangat mahir dalam ajaran Weda dan
Brahmāna.
Ekonomi
Lima prasasti yang
dikeluarkan oleh Raja Airlaṅga memberikan keterangan mengenai kegiatan
perekonomian yang tersurat di dalam bagian prasasti yang memuat ketentuan pajak
perdagangan setelah suatu daerah dijadikan sima. Hal ini dapat menjelaskan pada
kita mengenai jenis-jenis barang yang diperdagangkan, pelaku ekonomi dan sarana
yang ada pada masa tersebut. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Cane
943 Śaka, Prasasti Patakan, Prasasti Baru 952 Śaka, Prasasti Turunhyang A dan
Prasasti Gandhakuti 964 Śaka.
Selain dari bagian
prasasti yang menyebut mengenai masambyawahara,
adapula bagian yang disebut sebagai rincian wargga
kilalaṅ, yaitu warga yang harus membayar pajak yang terdiri dari
orang-orang asing dari berbagai negara dan juga para profesional (yang dikenai
pajak karena profesinya) (Boechari, 1977).
Orang-orang asing yang
tinggal di Jawa pada masa Raja Airlaṅga dicatat di dalam prasasti. Mereka
adalah Kliṅ (keling), Aryya (suku asal India), Siṅhala (Srilanka), Pandikira
(dari Asia Selatan), Drawida (dari Asia Selatan), Campa (Vietnam), Kmir (Khmer)
dan Remen (Mon). Mereka dicatat dengan teliti karena harus membayar pajak yang
khusus dikenakan pada orang asing yang menetap di suatu wilayah kerajaan.
Sebagian besar mereka berprofesi sebagai perwakilan dagang negeri asalnya atau
pedagang dan bisa juga kaum profesional atau pekerja seni.
Sosial
Pada masa pemerintahan
Raja Airlaṅga diberikan hak istimewa kepada orang-orang tertentu. Hak istimewa
yang dianugerahkan raja diberikan karena suatu alasan tertentu, dapat berbentuk
macam-macam. Keterangan di dalam Prasasti Gandhakuṭi memperjelas keberadaan hak
istimewa, yaitu hak-hak yang dirinci sebagai hak istimewa hanya boleh dimiliki
oleh raja dan keluarganya, namun karena suatu alasan tertentu diperbolehkan
dimiliki oleh seseorang atau sekeluarga yang dianugerahi hak tersebut. Hak-hak
istimewa dapat berupa gaya hidup, misalnya diperbolehkan memakai jenis-jenis
pakaian atau perhiasan tertentu, melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di depan
umum, memiliki rumah dengan ciri-ciri tertentu, memakan makanan istimewa,
memiliki tempat duduk, balai-balai, payung dan lain-lain yang istimewa
(Sedyawati,1994: 297-301).
Rujukan:
Anderson, Benedict
R.O.G. 1983. “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”, dalam Budiarjo
(ed.), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan
Wibawa. Jakarta.
Boechari.1977. “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuna
Ditinjau dari segi Sejarah dan Arkeologi”, dalam M.A.Th. I No:1 September.
Eliade, Mircea.1987. The Encyclopedia of Religion. Macmillan and
Free Press.
Gonda,J. 1954.Aspect of Wisnuism. N.V.A. Oosthoek’s
Uitgevers Mij-Utrecht: 1954.
Santiko, Hariani. 1990.
“Kehidupan Beragama Golongan Rsi di Jawa”, dalam Monumen: Karya Persembahan untuk
Prof.Dr.R.Soekmono. Depok: Lembaran Sastra. Seri Penerbitan Ilmiah No.11.
Edidi Khusus FSUI.
Sedyawati, Edi,dkk.1990.
dalam Monumen: Karya Persembahan untuk
Prof.Dr.R.Soekmono. Depok: Lembaran Sastra. Seri Penerbitan Ilmiah No.11.
Edidi Khusus FSUI.
Soemadio,
Bambang (ed.), 1984. “Jaman Kuna” Sejarah
Nasional Jilid II, Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder,
P.J.1992. Old Javanese-English Dictionary.
KILTV: Den Haag-Nijhoff.
Ninie Susanti, 2010
Airlangga: Biografi Raja Pembaharu Jawa Pada Abad XI M
Jakarta: Komunitas Bambu
hlm: 85-122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar