Kamis, 17 Maret 2016

Kerajaan Matarām Sebagaimana Terbayang dari Data Prasasti


Boechari

Nama kerajaan Matarām muncul pertama kali pada masa pemerintahan raja Sañjaya yang memerintah sejak 717 M, karena ia bergelar Rakai Matarām.  Dengan perkataan lain, ia mempunyai wilayah Matarām sebagai wilayah “lungguh”nya. Sampai kepada masa pemerintahan raja Dharmawaṃśa Tǝguh, antara lain di dalam prasasti Wwahan yang berangka tahun 985 M, kerajaan ini masih bernama Matarām, sekalipun pusat kerajaannya sudah pindah ke Jawa Timur. Dari masa yang sekian lama itu hingga sekarang kita mendapatkan kembali sekitar dua ratus prasasti yang memberi gambaran tentang struktur kerajaan Matarām sebagaimana yang akan dibicarakan.

Dari data prasasti kita tidak dapat melihat bahwa di kerajaan Matarām memerintah satu rājakula atau dua atau lebih. Yang disebut di dalam prasasti hanyalah wangsa Śailendra. Istilah “Sañjayawaṃśa” dan wangsa yang lain tidak ada disebut di dalamnya. Menurut data terbaru wangsa Śailendra itu keturunan Ḍapūnta Śailendra yang namanya ditemukan di dalam prasasti Sojomerto, dekat Weleri, yang berbahasa Melayu Kuna. Mungkin sekali Ḍapūnta Śailendra itu berasal dari suatu wilayah yang berbahasa Melayu Kuna, yaitu Ākhaṇḍalapura, suatu kerajaan yang merupakan pendahulu kerajaan Śrīwijaya. Sekalipun belum ditemukan bukti-bukti bahwa di Ākhaṇḍalapura yang kami perkirakan ada di daerah Riau sekarang berkembang agama Śiwa dalam abad ke VII-VIII M, dan sebagian dari raja-raja Śailendra di Jawa menganut agama Budhha Mahāyāna, Ḍapūnta Śailendra dan raja-raja sesudahnya sampai dengan Rakai Matarām Saṅ Ratu Sañjaya ialah penganut agama Śiwa. Baru mulai Rakai Panaṅkaran agama Buddha Mahāyāna dianut oleh raja-raja Śailendra.  

Para Pejabat Pusat dan Pejabat Daerah

Kerajaan Matarām terdiri atas desa-desa yang disebut wanua dengan dukuh-dukuhnya yang disebut anak iṅ wanua dan sejumlah desa itu masuk ke dalam wilayah kekuasaan para pejabat pusat dan daerah (watak). Karena pejabat-pejabat itu mempunyai pembantu-pembantunya yang juga tidak dibayar dengan uang, maka para pembantu itu mempunyai ‘lungguh’ di dalam wilayah watak. Di tingkat pusat ada raja yang dibantu oleh putra mahkota (rakryān mahāmantri i hino), tiga putra raja yang lain (rakryān mahāmantri i halu, i sirikan dan i wka) dan seorang pejabat keagamaan (saṅ pamgat tiruan). Dibawah mereka ada sejumlah pejabat lagi, kalau lengkap disebut di dalam prasasti ada dua belas orang, yaitu: 1. Rake halaran, 2. Rake palarhyaṅ atau rake paṅgilhyaṅ, 3. Rake wlahan, 4. Pamgat maṅhuri, 5. Rake dalinan, 6. Rake laṅka, 7. Rake tañjun, 8.paṅkur, 9. Tawān, 10. Tirip, 11. Pamgat wadihati, dan 12. Pamgat makudur. Tinggi rendah kedudukan mereka di dalam pemerintahan terbayang dari jumlah pasak-pasak (pasǝk-pasǝk) yang mereka terima.

Dengan perkataan lain, disamping putra mahkota, ada enam belas orang pejabat tinggi kerajaan. Ada kemungkinan bahwa saṅ pamgat tiruan juga anak raja atau sekurang-kurangnya anggota keluarga raja yang dekat, karena ada prasasti yang menyebutkannya sebagai kṣatriyakula. Dalam semua prasasti kelima pejabat tertinggi kerajaan itu menerima pasak-pasak yang lebih banyak dari keduabelas pejabat di bawah mereka, dengan catatan bahwa rakryān mahāmantri i hino memperoleh yang terbanyak di dalam beberapa prasasti.

Tugas masing-masing pejabat itu kurang jelas dari data prasasti. Yang agak jelas hanyalah tugas paṅkur, tawān, tirip yang rupa-rupanya berurusan dengan “kas negara”. Mereka itulah yang mengurusi berbagai macam pemasukan pajak dan hasil rampasan perang (tawān=hañaṅan) serta hadiah dari kerajaan-kerajaan yang bersahabat. Anehnya mereka itu tidak pernah disebut dengan gelar rakai atau pamgat dan hingga sekarang tidak pernah mendengar ungkapan wanua i  watak paṅkur, watak tawān, dan watak tirip, kecuali di dalam prasasti tinulad, dimana dijumpai watak tirip. Juga pamgat wadihati dan pamgat makudur tampak agak jelas tugasnya, yaitu mengurusi tanah-tanah yang ditetapkan menjai sīma.

Para pejabat tinggi itu tinggal di ibu kota kerajaan. Mereka dibantu oleh patih, parujar dengan pituṅtuṅ-nya, citralekha, dan paṅuraṅ. Patih biasa mengurus masalah administrasi pemerintahan, parujar semacam “juru bicara” dan pituṅtuṅ mungkin orang yang bertugas menyiarkan hal-hal yang harus diketahui rakyat, citralekha ialah “juru tulis” dan paṅuraṅ kemungkinan besar petugas yang mengurusi perpajakan.

Para rakai dan pamgat yang merupakan penguasa daerah dan bukan pejabat tingkat pusat, mempunyai sebagai bawahan: patih, juruniṅ kanāyakān, wahuta, citralekha, dan mataṇḍa. Patih membawahi parujar, tuṅgu duruṅ dan pratyaya, tuhaniṅ kanāyakān membawahi juruniṅ wadwa rarai, juruniṅ kalula, juruniṅ maṅkarat, juruniṅ mawuat haji, dan wahuta membawahi pituṅtuṅ, wahuta lampuran dan wahuta wiṅkas wkas. Mataṇḍa adalah pejabat yang membawa cap pejabat rakai dan pamgat atau yang membawa panji-panji pejabat tersebut. Diantara beberapa jabatan yang telah disebutkan dan masih banyak lagi, hanya sepuluh nama yang sering disebut dalam prasasti. Istilah untuk pejabat desa ialah rāma ‘ayah yang terhormat’. Kesepuluh jabatan itu ialah gusti, kalaṅ atau tuha kalaṅ, wiṅkas, tuha banua, parujar, hulair, wariga, tuhālas, tuha wǝrǝh dan hulu wras. Arti dari istilah gusti hingga sekarang belum jelas. Kalaṅ atau tuha kalaṅ sering dihubungkan dengan orang-orang yang mengerjakan kayu dari hutan; tetapi ada juga kemungkinan bahwa kalaṅ atau kalaṅan berhubungan dengan lingkaran, yaitu tempat menyabung binatang untuk adu ketangkasan antar warga ataupun untuk upacara tertentu. Istilah wiṅkas berasal dari kata wǝkas yang dapat berarti “akhir”, “tujuan”, atau “pesan”; tetapi apa tugas seorang winǝkas belum dapat diketahui. Tuha banua ialah orang yang dianggap “tetua desa”, tapi bukan “kepala desa”, karena disebuah desa sering dijumpai beberapa tuha banua. Jabatan parujar sudah kita jumpai sejak di pusat kerajaan sebagai pembantu dari para pejabat tinggi; juga di daerah watak. Hulair ialah kontraksi dari istilah hulu dan air; artinya jabatan yang mengurusi pengairan di sawah-sawah desa (paṅhulu bañu). Wariga sebenarnya semacam ‘kitab primbon’ untuk mengetahui hari baik bulan baik bagi permulaan suatu pekerjaan, jadi pada jabatan ini ialah orang yang memahami ‘kitab primbon’. Tuha alas ialah orang yang ditugasi mengurus hasil perburuan di hutan, dan hasil hutan lainnya. Tuha wǝrǝh ialah petugas yang mengurusi para pemuda dan pemudi, sedang hulu wras ialah petugas yang mengurusi hasil panen padi atau lumbung padi.

Data prasasti sebenarnya masih memberi petunjuk tentang adanya para pejabat rendahan di pusat kerajaan. Pada beberapa isi prasasti disebutkan bahwa daerah yang dijadikan sīma itu tidak boleh lagi ‘dimasuki’ oleh paṅkur, tawān, tirip, patih, wahuta, rāma, nāyaka dan oleh mereka yang disebut maṅilala drawya haji (yang kira-kira berkisar 28-50 orang). Menurut para sarjana, maṅilala drawya haji ialah para “pemungut pajak”. Tetapi menurut tafsir kami istilah itu kurang tepat, karena diantara kelompok itu terdapat misalnya widu maṅiduṅ (pesinden), para pandai (emas, perak, perunggu, tembaga), mereka yang mengurusi kendaraan gajah dan kuda (mahaliman, makuda), anggota pasukan pengawal raja yang bersenjatakan panah, tombak, dan gada (mamanah, magalah dan magaṇḍi), bahkan sampai kepada mamŗṣi (tukang cuci). Lebih tepat jika maṅilala drawya haji ditafsirkan sebagai “abdi istana yang tidak memperoleh daerah lunggah sebagai imbalan jasanya, tapi memperoleh gaji berupa uang”. Namun mereka lain dari apa yang ada di dalam berbagai prasasti yang disebut sebagai wadwā haji dan wadwā para putra raja, wadwā permaisuri dan para selir. Mungkin para abdi ini sama sekali tidak memperoleh “gaji” dalam bentuk uang; mereka itu tinggal di istana dalam kamar-kamar yang dibuat untuk mereka dan mendapatkan makan, minum dan pakaian.

Sumber Penghasilan Kerajaan

Mengenai sumber penghasilan kerajaan, pada umumnya semua penduduk wajib membayar pajak (drawya haji) dan melakukan kerja bakti untuk raja atau kerajaan (buat haji). Pajak harus dibayar dari tanah dan hasilnya, termasuk tanah rawa, tepian, bendungan, hutan, dan hasil perdagangan dari hasil kerajinan dan keahlian tertentu yang digunakan untuk mencari nafkah seperti pesinden, pelawak, penabuh gamelan, dalang, dsb. Di pusat kerajaan ada pejabat yang mengurusi “jumlah desa” dan “jumlah tanah” (wilaṅ wanua, wilaṅ thani). Tentunya mereka mempunyai catatan tentang jumlah penduduk di setiap desa, karena tiap desa mempunyai kewajiban menunjuk berapa orang tiap tahun yang harus melakukan kerja bakti untuk raja/kerajaan. Jumlah pajak yang harus dibayar rakyat biasanya ditetapkan oleh pejabat di tingkat watak (nāyaka).

Ada beberapa prasasti yang menunjukkan protes rakyat atas beban pajak yang ditetapkan itu, lalu pejabat desa mengajukan permohonan kepada raja melalui pemerintah daerahnya agar ketetapan pajak diubah.   

Selain itu pemungutan pajak juga ditentukan berdasar macam-macam barang dagangan dan hasil industri rumah tangga mengenai ketentuan batas yang dikenai pajak. Barang dagangan dibawa dari desa ke desa yang lain dengan cara dipikul atau dibawa dengan gerobak, bahkan jika memungkinkan dengan menggunakan perahu (perbatasan desa satu dengan lainnya melalui sungai). Mengenai para pesinden, dalang, penabuh gamelan, pelawak dll. Para pemainnya memperoleh imbalan uang dalam upacara penetapan sīma. Kelompok tersebut disebut wargga kilalāṅ, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang asing yang menetap di Jawa. Yang masuk juga kedalam ‘kas’ kerajaan ialah hasil rampasan perang (para pejabatnya disebut tawān atau hañaṅan di ibu kota kerajaan) dan pemberian cendera mata dari negara-negara sahabat. Pajak diserahkan ke pusat kota dua kali dalam setahun. Disebutkan dalam prasasti pada bulan Māgha dan Saṅsaṅān, sedangkan dalam naskah Nawanatya yang dimaksud Saṅsaṅān ialah Galuṅan.

Hukum dan Peradilan

Untuk mengetahui tentang administrasi pengadilan di zaman Mataram kuno kita hanya bisa mengandalkan beberapa prasasti yang biasa disebut jayapattra, yaitu prasasti Guntur, Waruḍu Kidul, Tija dan Haru haru, beberapa prasasti śuddhapattra, seperti prasasti Bulai, Kuruṅan, Wurutuṅgal, Paṅgumulan B dan Hara hara. Dari sanalah dapat digambarkan bahwa suatu perkara dapat dimulai dari seorang penuntut yang melaporkan lawannya kepada pejabat, entah itu pejabat desa, watak, atau bahkan masalah itu membawanya kepada raja sendiri. Pejabat lalu memanggil kedua belah pihak untuk menghadap sidang pengadilan pada hari tertentu dengan surat. Setelah kedua belah pihak menghadap, para ‘hakim’ meneliti permasalahannya (guṇaḍosa) dengan dihadiri juga oleh saksi-saksi kedua belah pihaknya.

Jika dilihat pada masa Majapahit, para ‘hakim’ menggunakan beberapa sumber hukum, seperti śāstradŗṣṭa, deśadŗṣṭa, udāharaṇa, guru kaka, dan naskah-naskah hukum yang tertulis, antara lain naskah Kuṭāramānawa. Pertama-tama yang dilihat adalah apakah kedua belah pihak memegang tripramāṇa, yaitu sākṣī, likhita, dan bhukti. Bhukti (hak ‘de facto’) merupakan kekuatan yang tertinggi, dapat mengalahkan pihak yang memegang likhita (surat tertulis) dan memiliki saksi-saksi yang membenarkannya.

Misalnya saja dalam prasasti Guntur, Pu Tabwǝl yang digugat oleh Saṅ Dharma karena tidak mau membayar hutang yang dibuat oleh istrinya, menentukan pihaknya menang. Istri Pu Tabwǝl ternyata membuat hutang kepada Saṅ Dharma, saudaranya sendiri, tanpa memberitahu kepada suaminya. Karena itu maka Pu Tabwǝl tidak bertanggungjawab atas hutang istrinya itu. Lain daripada itu memang tidak ada surat hutang, dan suami istri itu tidak mempunyai anak. Tambah lagi ternyata Saṅ Dharma tidak mau datang di sidang pengadilan. Maka diputuskan bahwa Saṅ Dharma dikalahkan perkaranya.

Di dalam isi beberapa prasasti jayapattra tersebut, tidak ada bahasan tentang ‘hukuman’ bagi pihak yang dikalahkan. Menurut naskah-naskah hukum tindak-tindak kejahatan dahulu dikenai hukuman mati, potong anggota badan dan denda uang. Di dalam prasasti-prasasti denda uang itu juga disebut drawya haji; judi masuk ke dalam salah satu sumber penghasilan kerajaan. Sedangkan dalam isi prasasti śuddhapātra, semua pelunasan hutang dan penebusan gadai dapat diselesaikan di tingkat wanua. Mestinya pelunasan hutang dan penebusan gadai, menurut naskah-naskah hukum, tidak perlu dibuatkan prasasti; surat hutang dan surat gadai cukup dimusnahkan pada waktu diadakan pelunasan, di bawah pengetahuan beberapa orang saksi.

Sifat Ideal Raja

Di dalam prasasti baik dari masa raja Dharmawaṃśa hingga Majapahit tidak ada yang menyebut sifat ideal seorang raja, namun dari kenyataan bahwa raja memberi anugerah (anugraha) kepada seseorang atau sekelompok orang (penduduk desa) yang berjasa kepada raja, membuat sarana transportasi berupa penyeberangan di Bengawan Solo di dekat Wonogiri, membuat bendungan di kali Hariñjiṅ (sungai Srinjing) untuk menanggulangi banjir yang selalu melanda daerah sekitarnya, meluluskan permohonan pengurangan pajak dari desa-desa yang merasa terlalu berat pajaknya, dll. Dari situlah kami melihat bahwa raja-raja selalu tidak melalaikan kesejahteraan rakyat, tidak pernah lupa membalas budi rakyat yang telah berjasa kepada raja. Disamping memberikan anugerah, raja juga mempunyai wewenang untuk memberi hukuman (wigraha). Namun sampai sekarang belum pernah menemukan prasasti yang berisi hukuman bagi orang yang berdosa. Hanya ada sepasang prasasti yang mungkin memuat hukuman pencopotan jabatan pamgat dan beberapa pembantunya, karena mereka bersalah memutuskan permohonan rakyat desa Rumwiga agar pajak mereka dikurangi, namun justru membuat kemunduran kehidupan di desa tersebut, yaitu prasasti Rumwiga I dan II.

Pertunjukkan Seni

Gambaran berbagai macam kesenian biasa dijumpai pada prasasti yang menguraikan upacara penetapan sīma. Dalam salah satu prasasti pada masa Rakai Watukura Dyah Balituṅ kita menjumpai wayang kulit dengan dalangnya. Adapula pertunjukan fragmen wayang orang dengan mengambil cerita dari Wirāṭaparwa. Adapula pembacaan naskah (semacam mabasan (?)) di Bali dengan mengambil cerita Bhīma Kumāra. Dengan adanya wayang kulit dan wayang orang, kita tau bahwa ada para penabuh gamelan dan para pesinden. Juga para pelawak yang disebut dalam beberapa prasasti. Berbagai tarian, baik yang ditarikan bersama antara laki-laki dan wanita, orang-orang tua dan pemuda-pemudi dan ada pula beberapa tarian khusus (tuwuṅ, buṅkuk, gaṇḍi, rāwaṇahasta). Gambaran tentang tari-tarian tersebut dapat dilihat dengan jelas pada relief beberapa candi, seperti candi Borobudur dan Prambanan.   

Sumber:


Boechari.2012. Kerajaan Mataram Sebagaimana Terbayang dari Data Prasasti, dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti: kumpulan tulisan Boechari. Jakarta: KPG, hlm: 183-196.