Selasa, 12 Februari 2013

DUA DINASTI DI KERAJAAN MATARĀM KUNA: Tinjauan prasasti Kalasan


DUA DINASTI DI KERAJAAN MATARĀM KUNA:
Tinjauan prasasti Kalasan
Oleh : Prof. Dr. Hariani Santiko
(Makalah dipublikasikan dalam acara Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012)


PENDAHULUAN
Penelitian arkeologi mengenai kerajaan Matarām Hindu (Matarām Kuna) sangatlah menarik, tidak saja mengenai tinggalan arkeologi berupa sarana ritual yang secara umum disebut candi sangat berlimpah, tetapi juga tentang tokoh-tokoh sejarah yang bertanggung jawab akan kehadiran sarana ritual keagamaan tersebut. Candi-candi dari wilayah Jawa Tengah ini mempunyai gaya arsitektural yang sangat unik, yang memperlihatkan kemahiran si seniman (śilpin) dalam usahanya menuangkan pengalaman dengan Tuhannya kedalam karya seni yang indah dan megah, sehingga orang-orang Belanda yang datang ke Jawa pada abad ke-18, sangat mengagumi karya seni keagamaan tersebut. Karya seni keagamaan itu mereka sebut kesenian Klasik, karena mengingatkan mereka pada kesenian Romawi dan Yunani yang dikenal sebagai “Classical Pariod”.

Di samping itu candi-candi tersebut masih dikelompokkan berdasarkan gaya arsitektural dan latar belakang keagamaannya. Kelompok candi-candi tipe utara, bersifat agama Siwa, misalnya candi Dieng, Gedongsanga, Prambanan, dan candi-candi tipe selatan yang berlatar belakang agama Buddha, misalnya candi Kalasan, Sari, Plaosan dan lain-lain.

Penelitian mengenai tokoh-tokoh yang terkait dengan bangunan-bangunan suci tersebut telah banyak dilakukan dengan memakai data sumber tertulis khususnya prasasti, di antaranya prasasti Tuk Mas, prasasti Canggal (654 Saka/732 Masehi), prasasti Kalasan (700 Saka/778 Masehi), prasasti Kelurak (704 Saka/782 Masehi) dan sebagainya, serta berita-berita Cina.


KERAJAAN MATARĀM KUNA

Nama kerajaan tertua yang disebut dalam sumber prasasti di wilayah Jawa Tengah adalah kerajaan Matarām1) yang lebih dikenal sebagai kerajaan Matarām Kuna untuk membedakan dengan kerajaan Mataram Islam, dengan rajanya bernama Sanjaya. Prasasti tersebut adalah prasasti Canggal (654 Saka/732 Masehi), yang ditemukan di halaman percandian di atas gunung Wukir di Kecamatan Salam, Magelang. Prasasti Canggal memakai huruf Pallawa, berbahasa Sansekerta, dan membicarakan raja Sanjaya yang beragama Siwa, yang mendirikan sebuah linga di bukit Sthīranga. Selain prasasti Canggal, nama Sanjaya disebut di prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh Rakai Watukura dyah Balitung tahun 907 Masehi. Dalam prasasti Mantyasih terdapat daftar nama raja-raja yang memerintah di Medang (rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu). Dalam daftar tersebut Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya disebut pertama, yang kemudian diikuti oleh sederetan nama raja yang bergelar Śri Mahārāja (Soemadio II, 1993:100 dst.).

Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya dianggap sebagai pendiri dinasti Sanjaya ( Sanjayavamśa) yang berkuasa di kerajaan Matarām. Namun penelitian yang merekonstruksi jalannya sejarah Matarām kuna, telah menghasilkan nama Śailendravamśa di samping Sanjayawamśa. Śailendrawamśa ditemui dalam beberapa prasasti, antara lain dalam prasasti Kalasan (700 Saka/778 Masehi), prasasti Kalurak (704 Saka/782 Masehi), prasasti Abhayagiriwihara dari bukit Ratu Baka (714 Saka/792 Masehi), prasasti Kayumwungan (824 Masehi), dan sebagainya.

Berita prasasti sangatlah penting untuk penelitian arkeologi, namun banyaknya jumlah prasasti tidak menjamin dapat mengungkapkan data yang kita harapkan untuk diketahui. Misalnya perihal kerajaan Matarām Kuna masih banyak masalah yang belum terungkap:

1. Siapakan pendiri Sanjayavamśa dan siapakah pendiri Śailendrawamśa?
2. Ada berapa wangsakah di wilayah Jawa Tengah periode Matarām Kuna?
3. Benarkan raja kedua dalam daftar prasasti Mantyasih yaitu Śri Mahārāja Panangkaran berganti agama, yang semula beragama Siwa beralih memeluk agama Buddha Mahayana?

Dalam makalah ini tidak akan dibicarakan lagi pendapat-pendapat tersebut, kecuali pendapat Boechari, yang mengemukakan hanya ada satu dinasti di Matarām Kuna, karena Rakai Panangkaran lengkapnya Rakai Panangkaran Dyah Śankhara Śri Sangramadhananjaya, adalah anak Sanjaya yang berganti agama dari agama Siwa ke agama Buddha Mahayana. Pendapat Boechari ini berdasarkan pembacaannya pada sebuah prasasti yang dipahat di atas batu dan di jadikan koleksi Bapak Adam Malik. Prasasti berbahasa Sansekerta ini bagian atas rusak sehingga tidak ada nama prasasti atau pun angka tahunnya. Boechari memberi nama prasasti Śankhara, sesuai dengan nama anak raja pada prasasti tersebut, dan usia prasasti diperkirakan antara prasasti Canggal dan prasasti Hampran (750 Masehi) (Soemadio II 1993:102-103). Prasasti Śankhara pernah di transkripsi dan diterjemahkan oleh Boechari, tetapi belum diterbitkan.2)

Secara garis besar prasasti Śankhara membicarakan ayah Śankhara yang, sangat patuh kepada gurunya. memberi “emas yang enam” kepada Śankhara dengan sebuah janji (?) yang harus dipenuhi. Kemudian ayah Śankhara jatuh sakit selama 8 hari kemudian meninggal.Melihat keadaan itu, Śankhara menjadi takut pada “guru yang tidak benar” lalu meninggalkan agama Siwa dan memeluk agama Buddha Mahayana.

Menurut Boechari, ayah Śankhara adalah raja Sanjaya, sedangkan Śankhara sendiri adalah Rakai Panangkaran Ia memindahkan pusat kerajaannya ke timur. Letak ibu kotanya yang baru, kemungkinan di sekitar Sragen, di sebelah timur Bengawan Solo atau di daerah Purwodadi/Grobogan. Setelah itu ia membangun beberapa candi Buddha candi Kalasan, candi Sewu, Plaosan Lor, dan sebagainya. Dari uraiannya tersebut Boechari telah mengidentifikasikan Panangkaran dengan “Śailendrawanśatilaka” yang disebut dalam beberapa prasasti, bahkan menurut Boechari, apabila Panangkaran identik dengan Śailendravamśatilaka, maka seperti yang tertera dalam prasasti Nalanda, ia berputera Samaragravira dan Balaputradewa, raja Sriwijaya, adalah cucunya (Soemadio II 1993:109-110).

Pendapat bahwa Rakai Panangkaran berpindah agama, menurut Boechari tertera dalam prasasti Śankhara, khususnya bait 3 yang diawali dengan kalimat:

So ‘yam tyaktānyabhaktir jagadaśivaharāc chamkarāc chamkarākhyah…

Terjemahannya sebagai berikut: “Ia, yang bernama Śankhara, setelah meninggalkan kebaktian kepada (dewa) yang lain, dari Śankhara yang melenyapkan ketidak tenteraman di dunia”3) .

Pada dasarnya penulis setuju dengan terjemahan tersebut di atas, hanya ada sedikit perbedaan, sebagai berikut:

“Ia yang bernama Śankhara, yang kebaktiannya ke yang lain telah ditinggalkan, daripada Śankhara, Siwa yang menguasai dunia. Dari terjemahan tersebut, penulis meragukan bahwa Śankhara berpindah agama, apalagi ke agama Buddha Mahayana. Pendapat ini diperkuat oleh syair pada bait ke-4, dikatakan setelah ia mendirikan prasāda untuk Dhātŗ, ia membicarakan moksa yang merupakan kebahagiaan tertinggi. Moksa diperoleh oleh para vratin (pertapa) yang suci melalui pengetahuan (jñāna), yang diperoleh dari puteri Dhātŗ (Saraswati ?). (śreyo moksān na param adhikam kathyate jñānavidbhir, moksās so’pi vratibhir anaghair labhyate jñānahetoh, tac ca jñānam vratibhir amalam labhyate yat prasādād, dhatuh putrī janaya tu(s)tarām vanditā (n)ah kavitvam).

Konsep moksa tidak dipakai dalam agama Buddha. Demikian pula pada bait penutup selain Bhiksu dan Sanggha, disebut tokoh/kelompok lain, yaitu puteri Dhātŗ, vratin, kulapati, raja (nrpatir) pelindung para Dasyu, sehingga dengan menyebut Buddha dan Bhiksu tidak menjamin raja beragama Buddha. Bagian ini sebagai penutup prasasti yang mendoakan semua yang disebut bernasib baik.

Perlu dikemukakan disini, pada baris selanjutnya (pada bait 3) terdapat kata “anŗtagurubhayas” 6) yang diartikan “takut pada guru yang tidak benar” (Soemadio II 1993:109), kemungkinan terkait dengan janji Śankhara yang disebut pada awal-awal prasasti. Tidak jelas isi janjinya, kemungkinan Śankhara berjanji kepada guru untuk membuat bangunan suci untuk Dhātŗ dengan “emas yang enam” itu sebagai biayanya, dengan harapan agar ayahnya sembuh? Tetapi ketika ayahnya meninggal, Śankhara menyalahkan gurunya, yang disebut anŗtaguru-. Namun kemudian, karena takut pada gurunya, ia dengan kemauannya sendiri (svātmabuddhes ) memenuhi janjinya dengan membuat prāsāda tersebut.

Untuk memperkuat pendapat bahwa Panangkaran bukan raja dari dinasti Śailendra dan tidak beragama Buddha, akan penulis sampaikan terjemahan prasasti Kalasan, prasasti berbahasa Sansekerta, memakai huruf Pra-Nagari dari tahun 700 Saka/778 Masehi, sebagai berikut:7)

Namo bhagavatyai āryātārāyai

1. yā tārayatyamitaduḥkhabhavādbhimagnaṃ lokaṃ
vilokya vidhivattrividhair upayaiḥ
8) vaḥ surendranaralokavibhūtisāraṃ tārā
diśatvabhimataṃ jagadekatārā

2. āvarjya 9) mahārājaṃ dyāḥ pañcapaṇaṃ paṇaṃkaraṇāṃ
Śailendra rājagurubhis tārābhavanaṃ hi kāritaṃ śrīmat

3. gurvājñayā kŗtajñais 10) tārādevī kŗtāpi tad bhavanaṃ
vinayamahāyānavidāṃ bhavanaṃ cāpyāryabhikṣūṇāṃ

4. pangkuratavānatīripanāmabhir ādeśaśastribhīrājñaḥ
Tārābhavanaṃ kāritamidaṃ mapi cāpy āryabhiksūṇam

5. rājye pravarddhamāne 11) rājñāḥ śailendravamśatilakasya
śailendrarajagurubhis tārābhavanaṃ kŗtaṃ kŗtibhiḥ

6. śakanŗpakālātītair varṣaśataiḥ saptabhir mahārājaḥ
akarod gurupūjārthaṃ 12) tārābhavanaṃ paṇamkaraṇaḥ

7. grāmaḥ kālasanāmā dattaḥ saṃghāyā sākṣiṇaḥ kŗtvā
pankuratavānatiripa desādhyakṣān mahāpuruṣān

8. bhuradakṣineyam 13) atulā dattā saṃghāyā rājasiṃhena
śailendrarajabhūpair anuparipālyārsantatyā

9. sang pangkurādibhih sang tāvānakādibhiḥ
sang tīripādibhiḥ pattibhiśca sādubhiḥ , api ca,

10. sarvān evāgāminaḥ pārthivendrān bhūyo bhūyo
yācate rājasiṃhaḥ, sāmānyoyaṃ dharmmasetur narānāṃ
kāle kāle pālanīyo bhavadbhiḥ

11. anena puṇyena vīhārajena pratītya jāta 14) arthavibhāgavijñāḥ
bhavantu sarve tribhavopapannā janājinānām anuśsanajñāḥ

12. kariyānapaṇaṃkaraṇaḥ śrimān abhiyācate bhāvinŗpān,
bhūyo bhūyo vidhivad vīhāraparipālan ārtham iti.


Terjemahan:

Hormat untuk Bhagavatī Ārya Tārā

1. Setelah melihat mahluk2 di dunia yang tenggelam dalam kesengsaraan , ia menyeberangkan (dengan) Tiga Pengetahuan yang benar, Ia Tarā yang menjadi satu-satunya bintang pedoman arah di dunia dan (tempat) dewa-dewa.

2. Sebuah bangunan suci untuk Tārā yang indah benar2 telah disuruh buat oleh guru-guru raja Śailendra, setelah memperoleh persetujuan Mahārāja dyāh Pancapana Panamkarana

3. Dengan perintah guru, sebuah bangunan suci untuk Tārā telah didirikan, dan demikian pula sebuah bangunan untuk para bhiksu yang mulia ahli dalam ajaran Mahāyana, telah didirikan oleh para ahli

4. Bangunan suci Tārā dan demikian juga itu ( bangunan) milik para bhiksu yang mulia telah disuruh dirikan oleh para pejabat raja, yang disebut Pangkura, Tavana, Tiripa.

5. Sebuah bangunan suci Tārā telah didirikan oleh guru-guru raja Śailendra di kerajaan Permata Wangsa Śailendra yang sedang tumbuh

6. Mahārāja Panangkarana mendirikan bangunan suci Tārā untuk menghormati guru pada tahun yang telah berjalan 700 tahun.

7. Desa bernama Kalasa telah diberikan untuk Samgha setelah memanggil para saksi orang-orang terkemuka penguasa desa yaitu Pangkura, Tavana, Tiripa.

8. Sedekah “bhura” yang tak ada bandingannya diberikan untuk Sangha oleh “raja yang bagaikan singa” (rājasimha-) oleh raja-raja dari wangsa Śailendra dan para penguasa selanjutnya berganti-ganti.

9. Oleh para Pangkura dan pengikutnya, sang Tavana dan pengikutnyam sang Tiripa dan pengikutnya, oleh para prajurit, dan para pemuka agama, kemudian selanjutnya,

10. “Raja bagaikan singa” (rājasimhah) minta berulang-ulang kepada raja-raja yang akan datang supaya Pengikat Dharma agar dilindungi oleh mereka yang ada selama-lamanya.

11. Baiklah, dengan menghibahkan vihara, segala pengetahuan suci, Hukum Sebab Akibat, dan kelahiran di tiga dunia (sesuai) ajaran Buddha, dapat difahami.

12. Kariyana Panangkarana minta berulang -ulang kepada yang mulia raja-raja yang akan datang senantiasa melindungi vihara yang penting ini sesuai peraturan.

Berdasarkan terjemahan prasasti tersebut, dalam prasasti Kalasan terdapat dua orang raja, yaitu Śri Mahārāja dyāh Pancapana Panamkarana dan raja Śailendravamsatilaka (permata wangsa Śailendra). Bahwa ada dua orang raja pada prasasti Kalasan, telah dikemukakan oleh Van Naerssen (1947) dan J.G.de Casparis (1950). Menurut mereka, Rakai Panangkaran adalah raja bawahan raja Śailendravamsatilaka, yang disuruh membangun Tārābhavanam untuk raja Śailendra ( Sumadio II, 1984:89-90). Namun sebaliknya, menurut pendapat penulis, justru Śailendravansatilaka lah raja bawahan Panangkaran, dengan alasan sebagai berikut:

1. Rakai Panangkaran bergelar “Śri Mahārāja”, sedangkan Śailendravamśatilaka bergelar “rāja” saja
2. Tārābhavanam didirikan “di kerajaan Śailendravamśatilaka yang sedang tumbuh/berkembang” (5. rājye pravarddhamane rājñah śailendravamśatilakasya ….).
3. Untuk mendirikan bangunan suci itu pun raja Śailendra mengutus guru-gurunya minta perkenan Śri Mahārāja dyāh Pancapana Panamkarana. Kalau Panangkaran raja bawahannya, mengapa ia harus minta ijin pada Panangkaran terlebih dulu?

4. Usaha guru-guru itu disetujui oleh Panangkaran untuk tujuan “gurupūjārtham” yang berarti “bertujuan menghormat Guru”. Dengan demikian persetujuan Panangkaran untuk mendirikan Tārābhavanam adalah “untuk menghormat guru” (gurupūjārtham) yang menghadap Panangkaran untuk minta perkenan mendirikan Tarabhavanam, dan bukan karena Panangkaran beragama Buddha Mahayana yang berkepentingan dengan pemujaan di Tārābhavanam tersebut. Bahwa seorang raja bawahan maupun rakyat tidak harus mempunyai agama yang sama dengan rajanya, dibuktikan oleh banyaknya sisa-sisa candi Saiwa di sekitar candi Borobudur. 15)

Dari prasasti Kalasan ini kita ketahui raja Śailendravamśatilaka , mungkin baru datang atau baru mendirikan kerajaannya, dan menjadi raja bawahan Śri Mahārāja Panangkaran, seorang raja Sanjayavamśa., anak raja Sanjaya.

Selanjutnya Raja Śailendravamśatilaka disebut dalam beberapa prasasti, yaitu prasasti Kelurak (782 Masehi), prasasti Abhayagirivihara di bukit Ratu Baka (th 792 Masehi), prasasti Kayumwungan (824 Masehi), prasasti Ligor B (775 Masehi), prasasti Nalanda (abad 9). Dalam prasasti Kelurak, Śailendravamsatilaka yang bergelar Śri Wirawairimathana (: pembunuh musuh yang gagah berani), ia mendirikan sebuah bangunan suci untuk Mañjusri atau Mañjugosha diresmikan oleh gurunya pendeta Kumaragosha yang datang dari Gaudidvipa. Bangunan suci yang disebut dalam prasasti Kelurak adalah candi Sewu, walaupun bukan bentuknya yang sekarang, karena candi Sewu di bangun tiga kali (Kusen 1991-1992:57, Santiko 2010).

Rupanya raja Śailendravamśatilaka tahun 782 keadaannya sudah lebih baik daripada saat mendirikan Tārābhavanam di “grāma- kālasanāma--” tahun 778 Masehi. Pada prasasti Nalanda dari raja Devapaladeva dari abad 9, kita jumpai nama Śailendravamśatilaka yang bergelar Śri Viravairimathana. Ia raja Jawa, berputera Samaratunga yang kawin dengan Tārā, anak raja Dharmasetu dari Somawamśa. Dari pernikahan ini lahirlah raja Balaputradewa, raja Sriwijaya, yang beragama Buddha, dan telah mendirikan sebuah vihara di Nalanda (Sumadio II 1993:112).

Dengan adanya pendapat 2 dinasti di Jawa tengah, maka Samaratungga bukan anak Panangkaran, melainkan anak raja Śailendravamśatilaka yang memerintah di Jawa.
Bagaimana kelanjutan hubungan kedua dinasti raja tersebut, hingga kini berbagai penelitian masih mengikuti pendapat De Casparis tentang terjadinya hubungan pernikahan antara Rakai Pikatan (Sanjayavamsa) dengan Pramodhawarddhani, puteri Samarotungga(De Casparis 1956).


PENUTUP

Berdasarkan terjemahan prasasti Kalasan (700 Saka/778 Masehi), di wilayah Jawa Tengah abad 8-10 terdapat 2 dinasti, yaitu dinasti Sanjaya (Sanjayavamśa) dan dinasti Śailendra (Śailendravamśa). Raja Śailendravamśa ketika itu berkedudukan sebagai raja bawahan Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panangkarana. Oleh karenanya untuk mendirikan Tārābhavanam di kerajaannya sendiri pun yang dikatakan sedang berkembang/tumbuh (…rājye pravarddhamane…), ia harus minta ijin terlebih dahulu ke Śri Mahārāja Panamkarana, melalui guru-gurunya.

Rakai Panangkaran tidak beralih agama, ia menyetujui pendirian Tārābhavanam untuk “menghormati” para guru (gurupūjārtham). Mungkin hal ini pulalah alasan yang dipakai oleh raja Śailendra untuk mengirim guru-gurunya minta perkenan Maharaja Panangkaran untuk mendirikan Tarabhavanam.

CATATAN:
1) Nama Holing kita kenal dari berita Cina dari dinasti Tang (618-906 Masehi), yang menyebut Jawa dengan Holing sampai tahun 818 Masehi., kemudian berubah menjadi She-p’o. Selain berita Cina tidak (belum?) ditemukan prasasti yang menyebut/membicarakan Holing.
2) Transkrip dan terjemahan sementara dari Prof.Boechari, penulis dapat dari Dr Niniek Susanti.
3) Penulis tidak yakin benar apakah terjemahan ini adalah terjemahan Boechari.
4) Kata “hara” dari akar hr, berarti “mengambil, mengangkat, membawa, menguasai”, tetapi dalam kitab-kitab Purāna, Siwa sebagai “Hara” juga berarti “melenyapkan kesusahan”
5) Dhātŗ adalah nama lain dewa Brahmā, tetapi puteri Brahmā, tidak pernah disinggung baik dalam Purāna, maupun mitos, kalau isteri Brahma, yaitu Saraswati sering disinggung, mungkin Dhatr disini yang dimaksud adalah Saraswati, apalagi ia memberi wejangan para Vratin dalam usaha mencapai moksa.
6) Pada transkrip yang penulis dapat, kata ini berbunyi “amŗtagurubhayas” bukan “anŗtagurubhayas”.
7) Transkripsi prasasti Kalasan penulis memakai trankripsi Himansu Bhusan Sarkar (l971) yang dibandingkan dengan transkripsi Lokesh Chandra (1974).
8) Korelasi “sah….yah” diterjemahkan dengan “ia….yang”, ia …itu”
9) Kata āvarjya, dari akar vrj+ā, dalam bentuk absolutif.
10) Kata “krtajnais-“ mempunyai arti yang sama dengan “karmajnais-“ dalam prasasti Dinoyo yang berarti “para ahli” (Sarkar 1971: 39, catatan no.37).
11) Kata “pravarddhamane” dari akar vŗdh yang berarti tumbuh, dibentuk dalam partisipium aktif dengan akhiran kasus lokatif karena menjelaskan “rājye”, yang berarti “ di kerajaan yang sedang tumbuh/berkembang”.
12) “ gurupūjārtham” berarti “ bertujuan menghormat guru “
13) Bhuradaksina, kata “bhura” ada beberapa arti, banyak, luas, bersinar
14) Kata pratītyajata-, menurut Lokesh Chandra (1994:73) pengertiannya disamakan dengan pengertian pratītyasamutpada-
15) Pada tahun 1973 dan 1975, penulis melakukan survei di sekitar candi Borobudur dalam radius 10 km (tahun 1973) dan dalam radius 5 km (tahun 1975) dengan memakai laporan N.J.Krom dan Verbeek (1914-1924) sebagai acuan. Ternyata sekitar 50 (thn 1975 ada 30, dan selebihnya tahun 1973) terdapat sisa candi Saiwa dari batu bata ada di sekitar candi Borobudur, termasuk candi Bowongan (radius 3 km).

DAFTAR ACUAN:

Boechari, Transkripsi Sementara Prasasti Batu Koleksi Bapak Adam Malik, Belum terbit.
Casparis, J,G,de, 1950, Inscriptie Uit de Sailendra-tijd (Prasasti Indonesia I). Sumur Bandung
_____________________1956, Selected Inscription from the 7th to the 9th
Century AD, Bandung, Masa Baru
Kusen, 1991-1992 “Alih Aksara dan Terjemahan Prasasti Manjusrigrha”, dalam Candi Sewu Sejarah dan Pemugarannya, (IGN Anom,eds) hal 93-94, Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
Lokesh Chandra, 1994, The Sailendra of Java, Journal of the Asiatic Society of Bombay, volume 67-68 (New Series)
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta, Balai Pustaka
Santiko, Hariani, 2010, “Sifat Keagamaan Candi Sewu dan candi Prambanan”, dalam Menjaga Warisan Umat Manusia, Pameran Candi Prambanan dan candi Sewu.
Sarkar, Himansu Bhusan, 1971, Corpus of the Inscription of Java (up to 928 AD), vol I, Calcutta, Firma K.LMukhopadhyaya
Van Naerssen, 1947, “The Sailendras Interregnum, dalam India Antiqua,” hal. 249

2 komentar:

  1. pertanyaannya....adakah bukti kuat tulisan Sanjayavamsa? karena saya belum menemukan itu. Sanjayavamca hanyalah rekaan dari peneliti-peneliti selama ini.
    Coba bandingkan dg Caritah Parahyangan.?
    Prasasti yang memakai Sanjaya warsa...itu ada...tetapi itu lebih dekat kepada "melegitimasi" atau kalai tidak mengingatkan kembali. Ingat orang Jawa terkadang ditanya kapan lahir...pas gunung meletus saat itu...seperti Hayam Wuruk ketika lahir.

    BalasHapus
  2. artikel bernada serupa benar telah ditulis lebih dulu oleh MANG AYAT (AYATROHAEDI) dalam majalah Mahasiswa Arkeologi FSUI (KAMA)- lupa tahunnya (maaf)

    BalasHapus