Selasa, 26 Februari 2013

Sumber Penghasilan Kerajaan



Titi Surti Nastiti
(ringkasan dalam buku Pasar di Jawa Kuna Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI M)

Dari data prasasti disimpulkan bahwa sumber penghasilan kerajaan antara lain ialah pajak (drawya haji), kerja bakti (buat haji), pajak perdagangan dan kerajinan, dan denda atas tindak pidana (sukha duḥkha). Pajak ditarik dari penduduk di desa-desa oleh pejabat di tingkat watak yang membawahi desa-desa itu. Pejabat pemungut pajak pada tingkat watak disebut pangurang atau pratyāya. Sedang pejabat pusat yang mengurusi semua pemasukan pajak disebut paṅkur, tawān, tirip.

Berbagai prasasti memberi keterangan bahwa pajak ditetapkan untuk tiap tahun. Misalnya pada prasasti Turyyān (de Casparis,1988:43) tercantum: A. (5) ... piṇḍa paṅguhan = ikang ri turyyān ing satahun mās ka 1 (6) sū 3 (=jumlah penghasilan Desa Turyyān setahunnya ialah 1 kāti dan 3 suwarṇa emas).

Pajak yang harus dibayar penduduk diserahkan ke kerajan setiap habis panen. Dari beberapa prasasti dapat diketahui bahwa waktu penyerahan pajak itu ialah setiap bulan Asuji (September-Oktober) dan bulan Kārttika (Oktober-November). Akan tetapi, adakalanya disebutkan nama bulan-bulan tertentu untuk menyerahkan pajak atau pungutan-pungutan lainnya (Boechari,1981:73).

Selain membayar pajak penduduk diwajibkan melakukan kerja bakti untuk raja atau kerajaan (buat haji). Kata lain untuk buat haji adalah gawai yang kadang-kadang dinyatakan dengan jumlah orang atau jumlah uang.

Dari keterangan tentang besarnya pajak dan berapa banyak orang yang harus melakukan kerja bakti setiap tahun untuk raja dan kerajaan, dapat digambarkan bahwa pada waktu itu pemerintah pusat mempunyai daftar catatan tentang luas dan berbagai macam tanah terdapat di seluruh wilayah kerajaan, dan berapa penghasilan pajak yang dapat diterima. Dari data prasasti diketahui bahwa di pusat kerajaan ada pejabat yang mengurusi jumlah desa dan jumlah tanah (wilang wanua, wilang thāni). Jumlah pajak yang harus dibayar rakyat umumnya ditetapkan oleh pejabat di tingkat watak yang disebut nāyaka. Tentunya wilang wanua dan wilang thāni mempunyai catatan tentang jumlah penduduk di setiap desa, karena setiap desa mempunyai kewajiban menunjuk berapa orang tiap tahun yang harus melaksanakan kerja bakti untuk raja atau kerajaan (Boechari,1986:8-9). Meskipun demikian ada saja pajak yang dibebankan terlalu tinggi sehingga menimbulkan protes rakyat yang dikenakan pajak. Hal ini terlihat dari beberapa prasasti yang menunjukkan adanya protes rakyat atas beban pajak yang ditetapkan itu. Penduduk desa yang diwakili oleh pejabat desanya mengajukan permohonan kepada raja melalui pemerintah daerahnya agar ketetapan pajak itu diubah. Biasanya permohonan seperti itu dikabulkan.

Sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti berapa besarnya pajak yang harus diserahkan penduduk kepada penguasa. Berita Dinasti Song menyebutkan bahwa penduduk harus membayar pajak sepersepuluh dari hasil tanahnya, sedangkan dalam prasasti Pelepaṅan (906 M) disebutkan bahwa setiap tampah tanah dikenai pajak sebesar 6 dhārana perak (Boechari dan A.S.Wibowo:125-6). Disamping pajak hasil bumi dan pajak tanah, rakyat pun harus membayar pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan. Pajak yang dikenakan kepada para pedagang dan perajin tidak diketahui besarnya, karena dalam prasasti hanya disebutkan batasan jumlah barang-barang yang diproduksi dan yang diperdagangkan. Jika jumlah barang dagangan lebih dari yang ditentukan maka sisanya itu dikenai pajak.

Dalam beberapa prasasti terdapat penjelasan tentang adanya pungutan-pungutan tertentu yang dikenakan pada setiap rumah (ring salawang-salawang) dan pungutan paṅrāga skar atau maṅrāga kamwang (persembahan bunga) yang harus diberikan pada setiap bulan purnama di bulan Jyeṣṭa (Juni) dan bulan Caitra (April) seperti dalam prasasti Watukura I (902 M) atau pada bulan Asujidan bulan Caitra dalam prasasi Kwak (879 M) dan prasasti Taji (901 M).

Selain pajak, kerja bakti dan pungutan-pungutan lainnya, sumber penghasilan kerajaan didapatkan dari denda atas tindak pidana (sukha duḥkha). Adapun jenis sukha duḥkha dari segala macam perbuatan jahat disebut dalam prasasti ialah mayang tan pawwaḥ (mayang/calon buah yang tidak menjadi buah), walū rumambat ning natar (labu merambat di halaman), wipati atau katiban waṅkay kabūnan (kejatuhan bangkai yang terkena embun), rah kasawur ning natar atau ning hawān (darah yang terhambur di halaman atau di jalan), dūhilaten (menuduh), hidu kasirat (meludahi), sāhasa (menganiaya), haṣṭacapala (memukul), wākcapala (memaki), mamijilaken wuri ning kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpang (melakukan tindakan kekerasan terhadap wanita), lūdan, tūtan, angśa pratyangśa (bunuh membunuh), daṇḍa kudaṇḍa (pukul memukul).

Jenis kejahatan yang disebut dalam sukha duḥkha hanya sebagian kecil dari aṣṭadaśawyawahāra yaitu 18 jenis kejahatan yang disebut dalam naskah Pūrwwādhigama yang meliputi tan kasahuraning pihutang (tidak membayar hutang), tan kawehaning patuwāwa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan dṛwya (menjual milik orang lain), tan kaduman ulihing kinabehan (tidak kebagian hasil kerja), karuddhaning huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawahening upahan (tidak memberi upah), adwa ring samaya (ingkar janji), alarambeknyan pamelinya (pembatalan transaksi jual beli), wiwādaning pinaṅwaken mwang maṅwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapaning wates (persengketaan mengenai batas tanah), daṇḍaning saharṣa wakparuṣya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawṛttining maling (pencurian), ulaḥ sāhasa (tindak kekerasan), ulaḥ tan yogya ring laki strī (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumaning dṛwya (pembagian warisan), totohan praṇi dan totohan tan praṇi (taruhan dan perjudian) (Boechari,1986:160-1). Sebagian besar dari jenis kejahatan yang disebut dalam sukha duḥkha adalah ulaḥ sāhasa atau tindak kekerasan (Sumadio,1984:231).

Daftar Acuan:
Bambang Sumadio,1984,”Jaman Kuna”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dkk.(ed.). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ke-4.
Boechari,1981,”Ulah Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuna”, dalam Majalah Arkeologi IV (1-2):67-87. Jakarta.
Boechari,1986,”Perbanditan di dalam Masyarakat Jawa Kuna”, dalam PIA IV:159-91.
Boechari dan A.S.Wibowo, 1985/1986, Prasasti Koleksi Museum Nasional. Jilid I. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.

Catatan:
Artikel Boechari 1981 dan 1986 telah masuk dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti,2012.Jakarta: KPG




Titi Surti Nastiti,2003,Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar