Minggu, 24 Februari 2013

Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Lahan Pada Jaman Indonesia Kuna di Bali


Arfian.S.
(dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III, Bali, 7-8 Oktober 1989, Kajian Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi, hlm:148-158)

Maju mundurnya suatu tingkat kehidupan dan kebudayaan bersangkutan langsung dengan cukup tidaknya usaha manusia mengembangkan dan memanfaatkan, serta menyelamatkan sumber daya air dan lahan, karena kedua sumber ini merupakan unsur yang sangat penting dalam rangka usaha meningkatkan taraf hidup manusia. Salah satu pemanfaatan sumberdaya air dan lahan oleh manusia, adalah dalam usaha pertanian.

Umumnya masyarakat Bali kuna telah mengenal beberapa jenis lahan pertanian, hal ini kita ketahui dari berita-berita di dalam prasasti yang antara lain menyebutkan adanya sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun) dan kasuwakan. Dalam prasasti “Songan Tambahan” yang bertarikh 1023 M, disebutkan bahwa pengolahan atau proses penanaman padi di sawah sebagai berikut:

Amabaki (menebang hutan, membuka lahan)
Amaluku (membajak)
Atanem (menanam)
Amatun (menyiangi)
Ahani (menuai padi)
Anutu (menumbuk beras) (Ketut Giarsa,1961).

Dalam usaha penyediaan air untuk sawah, dapat kita lihat pada prasasti-prasasti diantaranya prasasti “Tengkulak A”, yang bertarikh 945 śaka, prasasti “Pandak Bandung Tambanan” 1071 M dan prasasti “Timpak” yang diperkirakan dikeluarkan oleh raja Jaya Sakti (1055-1072 saka) dengan terjemahan sebagai berikut:

XII b.2. Segala macam air “padmak kmitan” mengairi sawahnya, “pagura-guranya”. Hendaknya memaklumkan pengairan sawahnya, tidak perlu minta ijin terlebih dahulu kepada penguasanya, terutama kepada “sangadmak kmitan”,
3 . maupun “aninggi”, tidak dikenakan pajak-pajak yang berkenaan dengan masa air serta “drwyahaji”, tidak menimbulkan hukuman. Mereka diperkenankan menebang segala macam kayu larangan,
4. yang jatuh ke kali dan merintangi sawahnya. Lebih-lebih jika sampai menimbulkan kebocoran, begitupula perbaikan jalan (Budiastra, 1980).

Dalam proses menanam padi seperti yang dijelaskan pada prasasti Raja Marakatapangkaja (prasasti Songan Tambahan) ada proses amabaki dan amaluku. Kedua proses ini merupakan usaha dalam mempersiapkan lahan persawahan. Amabaki (menebang hutan atau kayu-kayuan) kemungkinan dilakukan pada musim kemarau, sehingga tanah dapat menunjukkan sifatnya yang membajak diri sendiri, hal ini sangat membantu petani dalam melakukan amaluku dikala musim hujan tiba. Untuk menghindari terjadinya erosi dibuatlah perigi atau pematang.

Untuk mencapai hasil padi yang baik, raja pun mengijinkan para petani untuk mengalirkan air sungai atau kali ke sawahnya tanpa melapor dahulu kepada pejabat pengelola bahkan jika ada kayu larangan yang menghalangi jalan air, atau sampai menimbulkan kebocoran, petanipun diijinkan untuk menebangnya. Sebagaimana di depan telah disampaikan bahwa bahan makanan utama padi tergantung pada air pengairan dan lumpur yang diendapkan. Jadi jelaslah bahwa masyarakat petani di jaman Bali kuna telah mengetahui akan fungsi air dalam pertanian padi sawah.

Supaya ada pengaturan pembagian air ke sawah-sawah dibentuklah kasuwakan-kasuwakan, sebagaimana yang disebutkan dalam prasasti “Pangotan Bangli”. Menurut Budiastra (1978) istilah kasuwakan sama sepeti subak sekarang. Suatu organisasi subak tidak terikat sebagai bagian dari organisasi satu perkampungan yang di Bali dikenal dengan sebutan Banjar, tetapi selalu terikat kepada suatu kompleks atau sistem bendungan-bendungan yang tertentu. Bendungan-bendungan ini memberi air melalui suatu sistem saluran dan pipa-pipa yang luas, kepada sejumlah sawah-sawah tertentu juga, sedangkan pemilik sawah tadi tidak terdiri dari warga satu banjar, namun dalam beberapa banjar.

Salah satu kemungkinan mengapa persawahan mendapatkan perhatian dari masyarakat dikarenakan tipe tubuh tanah Bali yang tergolong “Margalit”. Begitupula dalam hal pemanfaatan air sungai atau kali, maupun dalam pengaturan pembagian air ke sawah-sawah, semuanya diatur dan diundangkan oleh raja dalam prasasti, dan adanya kasuwakan-kasuwakan menunjukkan bahwa teknologi persawahan masyarakat Bali kuna telah maju.


Daftar acuan:

Putu Budiastra, 1978, “Prasasti Pangotan Bali”, Musium Bali. Denpasar: Direktorat Museum, Ditjenbud, Depdikbut. 1980, “Prasasti Timpak”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21—25 Februari 1977. Jakarta: Puat Penelitian Arkeologi Nasional.
Ketut Ginarsa, 1961, “Prasasti Baru Raja Marakata”, Bahasa dan Budaya thIX. Jakarta: Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Depdikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar