Kamis, 28 Februari 2013

Komoditi Dagang Masyarakat Jawa Kuna



Titi Surti Nastiti
(ringkasan dalam buku Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi, bab perdagangan)


Jalur sungai mempunyai peranan yang tidak kecil dalam perdagangan. Ramainya lalu lintas perdagangan di daerah Sungai Brantas disebutkan dalam prasasti Kamalagyan (1037 M) sebagai berikut:
(12)...kapwa ta sukha manaḥ nikang maparahu samanghulu mangalap bhāṇḍa ri hujung galuḥ tka (13) rikāng para puhāwang para baṇyāga sangka ring dwīpāntara (= semua senang hatinya, orang-orang yang berperahu ke hulu untuk mengambil barang dagangan di Hujung Galuh, [mereka yang] datang ke sana [ialah] para nahkoda [dan] para pedagang dari pulau-pulau lain).
Jenis-jenis komoditi yang diperdagangkan di pasar terutama adalah hasil bumi seperti beras/padi (Oriza sativa L), buah-buahan, sirih (Piper betle L), pinang (Areca catechu L), pja (ikan asin?), bawang (Allium sp.), merica/lada (Piper nigrum L), cabai (Capsicum sp.), kemukus (Piper cubeba L), kelapa (Cocos nucifera L), kapas (Gossypium sp.), kapulaga (Amomum cardamomum Willd), mengkudu (Morinda citrifolia L), kesumba (Carthanus tinctorius L), dan bunga, hewan ternak seperti kerbau, sapi, babi, kambing, itik dan ayam serta telurnya, berbagai jenis ikan baik ikan segar maupun ikan asin atau ikan yang sudah dikeringkan (dendeng ikan), hasil industri rumah tangga seperti tekstil, benang, payung, keranjang, dan barang-barang anyaman, kajang, kepis, gula, arang, kapur sirih, garam, terasi, alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian dan senjata yang terbuat dari perungu, tembaga dan besi.

Di dalam prasasti tidak pernah disebutkan tentang komoditi ekspor dan ada beberapa jenis wḍihan dan kain yang mungkin sekali merupakan komoditi impor, yakni kain buatan Utara (kain bwat lor) dan kain buatan Timur (kain bwat waitan), serta wḍihan buatan Kalingga, India (wḍihan bwat kling putiḥ). Keterangan yang lebih lengkap mengenai komoditi ekspor maupun impor diperoleh dari berita-berita Cina. Komoditi ekspor antara lain, garam yang dihasilkan di pantai utara pulau Jawa, merica, pala (Myristica fragrans Houtt), kemukus, kayu adas (Foeniculum vulgare Mill), cengkeh (Syzigium aromaticum L), kayu cendana (Santabum album L), damar (Aghatis dammara), kayu gaharu (Aquilaria malaccensis), kapur barus, gula tebu, pinang, pisang (Musa sp.), nangka (Artocarpus integra Merr), kelapa, kapuk (Ceiba pentandra Gaertn), gading gajah, kulit penyu, tikar pandan, kain sutra, kain katun (Wheatley,1959). Barang ekspor terpenting yang tidak disebutkan dalam berita Cina adalah beras. Adapun komoditi impor, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun diekspor kembali antara lain kain sutra, payung sutera dari Cina, pedang dari Timur Tengah dan India, nila dan lilin batik, belanga besi berkaki tiga, piring dan mangkuk bervernis, keramik Cina terutama warna biru-putih, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan tembaga (Wheatley,1959).

Keterangan yang didapatkan dari prasasti bahwa jenis-jenis komoditi yang diperdagangkan di pasar desa dapat dibedakan berdasarkan letak geografisnya, yaitu pasar yang ada di daerah pantai dan pasar yang ada di daerah pedalaman. Secara umum komoditi utama daerah pedalaman adalah hasil bumi, sedangkan dari daerah pantai dijual garam, terasi, dan berbagai jenis ikan laut baik yang segar maupun yang telah diawetkan.

Beraneka ragam rempah

Pertanian

Salah satu hasil bumi yang menjadi bahan komoditi ialah padi dan beras, baik hasil sawah maupun ladang. Dalam prasasti buah-buahan merupakan hasil kebun yang disebutkan sebagai salah satu komoditi yang dijual dengan dipikul. Hal tersebut dapat pula dibandingkan dengan naskah dan relief candi. Secara umum jenis buah-buahan yang dijual dipasar dapat dibedakan atas buah-buahan tidak bermusim seperti pepaya (Carica papaya L) dan pisang (Musa sp.), serta buah-buahan musiman seperti rambutan (Nephelium lappaceum L), duku (Lansium domesticum Jack) dan durian (Durio zibethinus Murr).

Dalam teks Rāmāyaṇa, jenis buah-buahan yang disebutkan adalah pelbagai jenis pisang, durian, rambutan, manggis (Garcinia mangostana L), jeruk (Citrus sp.), kecapi (Sandroricum koetjape), jambu (Eugenia jambolana), kapundung (Baccaurea racemosa M.A), kawista (Feronia elephantum), langsat (Lansium domesticum Corr), jamblang (Eugenia cumini Druse atau Syzygium cumini [L] Skeels), salak (Salacca edulis Reinw), cempedak (Artocarpus intege R), nangka (Artocarpus heterophylla Lamk), pelbagai jenis mangga (Mangifera foetida Loer), kemang (Mangifera caesia Jack), jambu mete (Anacardium occidentale L), jambu air (Eugenia aquea Burm f.), jambu bol (Eugenia malaccensis L), duku, nyamplung (Calophyllum inophyllum L), manggis, jeruk, pisang dan sukun (Artocarpus communis Forst) (Steinmann, 1934).

Jenis tanaman pangan lainnya yang disebutkan dalam berita Cina maupun teks Rāmāyaṇa yang mungkin telah menjadi komoditi perdagangan di pasar adalah hasil palawija seperti labu (famili Cucurbitaceae), ubi (Ipomea batatas Poir), talas atau keladi (Colocasia esculenta Schott), beligo (Benincasa hispida), kacang (famili Leguminoceae), jelai (Coix lacryma-jobi L), jewawut (Panicum italicum L), terong (Solanum melongana L), dan cabai.

Relief pasar di Candi Borobudur,

Pertenakan

Selain hasil bumi, komoditi yang diperdagangkan di pasar adalah hewan ternak seperti kerbau (Bos bubalus L), sapi (Bovidae), babi (Sus L), kambing (Capra hircus L), itik (Anas boscas L) dan ayam (Gallus gallus L), serta telurnya.

Dalam masamwyawahāra, hewan ternak yang diperdagangkan adalah hewan ternak yang masih hidup. Tapi karena dalam prasasti maupun naskah telah dikenal kata hajagal yang berarti pemotong hewan ternak atau tukang jagal, maka sangat besar kemungkinannya pada masa Mataram Kuna dijual daging eceran.

Relief pasar di Candi Borobudur,

Perikanan

Komoditi lainnya yang mungkin dijual di pasar adalah bermacam-macam hasil laut dan sungai seperti udang, kepiting dan ikan, baik yang segar maupun yang dikeringkan. Istilah ikan yang dikeringkan atau diasinkan disebut grih (ikan asin) dan ḍeng/ḍaing (dendeng/ikan yang dikeringkan). Ada dua macam rasa dendeng yang disebutkan dalam prasasti, yaitu ikan yang dikeringkan dengan rasa asin atau rasa tawar.

Keterangan mengenai jenis-jenis ikan asin dan dendeng ikan didapatkan dalam prasasti pada bagian yang menuliskan tentang aneka hidangan yang disuguhkan pada upacara penetapan sima. Umumnya pada bagian itu menyebutkan jenis-jenis ikan laut seperti ikan kembung, ikan duri, ikan kakap, ikan tenggiri, ikan bawal, ikan selar, ikan sotong/cumi-cumi, ikan layar/pari, ikan gabus, kepiting, dan udang. Keterangan tersebut ada dalam prasasti Paṅgumulan A dan prasasti Rukam (907 M).

Relief pasar di Candi Bayon, Thailand,

Peralatan rumah tangga

Disamping hasil bumi dan ternak, komoditi yang dijual di pasar adalah barang-barang hasil produksi para perajin. Dari bahan baku yang digunakan, para perajin dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perajin yang memproduksi bukan barang-barang logam dan kelompok perajin yang memproduksi barang-barang logam yang disebut paṇḍai. Hasil para perajin barang bukan logam adalah benang, kain, barang-barang anyaman, kajang, kepis, payung, sedangkan hasil kelompok barang logam adalah alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian, alat-alat pertukangan dan senjata yang terbuat dari perunggu, tembaga, dan besi. Selain itu ada juga hasil industri rumah tangga seperti minyak kelapa, minyak jarak, gula, kapur sirih, dan arang.

Pada umumnya kelompok para pandai disebutkan pada bagian yang memuat daftar maṅilala drawya haji atau yang memuat tentang masamwyawahāra, sedangkan benda-benda logam yang merupakan hasil produksi kelompok paṇḍai selalu dituliskan dalam bagian yang memuat daftar sesajen (saji-sajian) yang dipersembahkan dalam upacara penetapan sīma (saji ning manusuk sīma) atau pada bagian yang menyebutkan barang-barang perdagangan yang dikenai pajak. Selain itu data dari prasasti dapat diketahui bahwa barang-barang logam masuk ke dalam kelompok komoditi yang dipikul. Keterangan itu terdapat pada bagian yang menyebutkan tentang pajak perdagangan yang dikenakan kepada para pedagang yang berjualan di suatu daerah yang ditetapkan menjadi sīma. Pajak perdagangan baru dipungut dari pedagang jika barang yang dijual sudah melebihi jumlah minimal. Benda logam yang menjadi komoditi perdagangan di pasar hanya disebut tembaga dan perunggu saja tanpa disebutkan jenisnya, mungkin yang dimaksud adalah benda-benda keperluan sehari-hari yang dibuat dari tembaga dan perunggu.

Arca emas Hapsari, Abad ke-14 M,
http://wilwatiktamuseum.files.wordpress.com/2011/12/arca-emas-10.jpg
Disamping benda-benda logam yang digunakan sebagai alat-alat pertanian, alat-alat pertukangan, alat-alat rumah tangga, dan senjata, masyarakat Mataram Kuna telah mengenal logam mulia dan perak yang sebagian besar dipakai sebagai bahan baku untuk membuat perhiasan. Pada masa itu perhiasan dipakai oleh semua lapisan masyarakat yang dibuktikan dengan adanya cincin emas sebagai pasek-pasek (hadiah) yang diberikan kepada orang-orang yang hadir dalam upacara penetapan sima, baik kaum bangsawan maupun penduduk desa.

Jenis komoditi lainnya yang mungkin dijual di pasar adalah benda-benda dari tanah liat. Pembuat barang-barang tanah liat atau gerabah dalam sumber tertulis disebut mangdyun.






Daftar Acuan:

A.Steinmann,1934, “De op Boroboedoer Afgebeelde Plantenwereld”, TBG 74:581-612.
Paul Wheatley,1959, “Geographical Notes some Commodities involved in Sung Maritime Trade”, dalam JMBRAS, vol.32, Singapore.



Titi Surti Nastiti,2003,Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.





Cincin dengan mata batu alam, abad ke-14 M
http://wilwatiktamuseum.files.wordpress.com/2012/01/cincin-majapahit-05.jpg


Selasa, 26 Februari 2013

Sumber Penghasilan Kerajaan



Titi Surti Nastiti
(ringkasan dalam buku Pasar di Jawa Kuna Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI M)

Dari data prasasti disimpulkan bahwa sumber penghasilan kerajaan antara lain ialah pajak (drawya haji), kerja bakti (buat haji), pajak perdagangan dan kerajinan, dan denda atas tindak pidana (sukha duḥkha). Pajak ditarik dari penduduk di desa-desa oleh pejabat di tingkat watak yang membawahi desa-desa itu. Pejabat pemungut pajak pada tingkat watak disebut pangurang atau pratyāya. Sedang pejabat pusat yang mengurusi semua pemasukan pajak disebut paṅkur, tawān, tirip.

Berbagai prasasti memberi keterangan bahwa pajak ditetapkan untuk tiap tahun. Misalnya pada prasasti Turyyān (de Casparis,1988:43) tercantum: A. (5) ... piṇḍa paṅguhan = ikang ri turyyān ing satahun mās ka 1 (6) sū 3 (=jumlah penghasilan Desa Turyyān setahunnya ialah 1 kāti dan 3 suwarṇa emas).

Pajak yang harus dibayar penduduk diserahkan ke kerajan setiap habis panen. Dari beberapa prasasti dapat diketahui bahwa waktu penyerahan pajak itu ialah setiap bulan Asuji (September-Oktober) dan bulan Kārttika (Oktober-November). Akan tetapi, adakalanya disebutkan nama bulan-bulan tertentu untuk menyerahkan pajak atau pungutan-pungutan lainnya (Boechari,1981:73).

Selain membayar pajak penduduk diwajibkan melakukan kerja bakti untuk raja atau kerajaan (buat haji). Kata lain untuk buat haji adalah gawai yang kadang-kadang dinyatakan dengan jumlah orang atau jumlah uang.

Dari keterangan tentang besarnya pajak dan berapa banyak orang yang harus melakukan kerja bakti setiap tahun untuk raja dan kerajaan, dapat digambarkan bahwa pada waktu itu pemerintah pusat mempunyai daftar catatan tentang luas dan berbagai macam tanah terdapat di seluruh wilayah kerajaan, dan berapa penghasilan pajak yang dapat diterima. Dari data prasasti diketahui bahwa di pusat kerajaan ada pejabat yang mengurusi jumlah desa dan jumlah tanah (wilang wanua, wilang thāni). Jumlah pajak yang harus dibayar rakyat umumnya ditetapkan oleh pejabat di tingkat watak yang disebut nāyaka. Tentunya wilang wanua dan wilang thāni mempunyai catatan tentang jumlah penduduk di setiap desa, karena setiap desa mempunyai kewajiban menunjuk berapa orang tiap tahun yang harus melaksanakan kerja bakti untuk raja atau kerajaan (Boechari,1986:8-9). Meskipun demikian ada saja pajak yang dibebankan terlalu tinggi sehingga menimbulkan protes rakyat yang dikenakan pajak. Hal ini terlihat dari beberapa prasasti yang menunjukkan adanya protes rakyat atas beban pajak yang ditetapkan itu. Penduduk desa yang diwakili oleh pejabat desanya mengajukan permohonan kepada raja melalui pemerintah daerahnya agar ketetapan pajak itu diubah. Biasanya permohonan seperti itu dikabulkan.

Sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti berapa besarnya pajak yang harus diserahkan penduduk kepada penguasa. Berita Dinasti Song menyebutkan bahwa penduduk harus membayar pajak sepersepuluh dari hasil tanahnya, sedangkan dalam prasasti Pelepaṅan (906 M) disebutkan bahwa setiap tampah tanah dikenai pajak sebesar 6 dhārana perak (Boechari dan A.S.Wibowo:125-6). Disamping pajak hasil bumi dan pajak tanah, rakyat pun harus membayar pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan. Pajak yang dikenakan kepada para pedagang dan perajin tidak diketahui besarnya, karena dalam prasasti hanya disebutkan batasan jumlah barang-barang yang diproduksi dan yang diperdagangkan. Jika jumlah barang dagangan lebih dari yang ditentukan maka sisanya itu dikenai pajak.

Dalam beberapa prasasti terdapat penjelasan tentang adanya pungutan-pungutan tertentu yang dikenakan pada setiap rumah (ring salawang-salawang) dan pungutan paṅrāga skar atau maṅrāga kamwang (persembahan bunga) yang harus diberikan pada setiap bulan purnama di bulan Jyeṣṭa (Juni) dan bulan Caitra (April) seperti dalam prasasti Watukura I (902 M) atau pada bulan Asujidan bulan Caitra dalam prasasi Kwak (879 M) dan prasasti Taji (901 M).

Selain pajak, kerja bakti dan pungutan-pungutan lainnya, sumber penghasilan kerajaan didapatkan dari denda atas tindak pidana (sukha duḥkha). Adapun jenis sukha duḥkha dari segala macam perbuatan jahat disebut dalam prasasti ialah mayang tan pawwaḥ (mayang/calon buah yang tidak menjadi buah), walū rumambat ning natar (labu merambat di halaman), wipati atau katiban waṅkay kabūnan (kejatuhan bangkai yang terkena embun), rah kasawur ning natar atau ning hawān (darah yang terhambur di halaman atau di jalan), dūhilaten (menuduh), hidu kasirat (meludahi), sāhasa (menganiaya), haṣṭacapala (memukul), wākcapala (memaki), mamijilaken wuri ning kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpang (melakukan tindakan kekerasan terhadap wanita), lūdan, tūtan, angśa pratyangśa (bunuh membunuh), daṇḍa kudaṇḍa (pukul memukul).

Jenis kejahatan yang disebut dalam sukha duḥkha hanya sebagian kecil dari aṣṭadaśawyawahāra yaitu 18 jenis kejahatan yang disebut dalam naskah Pūrwwādhigama yang meliputi tan kasahuraning pihutang (tidak membayar hutang), tan kawehaning patuwāwa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan dṛwya (menjual milik orang lain), tan kaduman ulihing kinabehan (tidak kebagian hasil kerja), karuddhaning huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawahening upahan (tidak memberi upah), adwa ring samaya (ingkar janji), alarambeknyan pamelinya (pembatalan transaksi jual beli), wiwādaning pinaṅwaken mwang maṅwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapaning wates (persengketaan mengenai batas tanah), daṇḍaning saharṣa wakparuṣya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawṛttining maling (pencurian), ulaḥ sāhasa (tindak kekerasan), ulaḥ tan yogya ring laki strī (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumaning dṛwya (pembagian warisan), totohan praṇi dan totohan tan praṇi (taruhan dan perjudian) (Boechari,1986:160-1). Sebagian besar dari jenis kejahatan yang disebut dalam sukha duḥkha adalah ulaḥ sāhasa atau tindak kekerasan (Sumadio,1984:231).

Daftar Acuan:
Bambang Sumadio,1984,”Jaman Kuna”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dkk.(ed.). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ke-4.
Boechari,1981,”Ulah Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuna”, dalam Majalah Arkeologi IV (1-2):67-87. Jakarta.
Boechari,1986,”Perbanditan di dalam Masyarakat Jawa Kuna”, dalam PIA IV:159-91.
Boechari dan A.S.Wibowo, 1985/1986, Prasasti Koleksi Museum Nasional. Jilid I. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.

Catatan:
Artikel Boechari 1981 dan 1986 telah masuk dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti,2012.Jakarta: KPG




Titi Surti Nastiti,2003,Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.


Pasar di Jawa Kuno




Titi Surti Nastiti
(ringkasan buku Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna abad VIII-XI Masehi)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasar pada masa Mataram Kuna mempunyai peranan penting dalam aktivitas masyarakat, baik di dalam aktivitas ekonomi maupun dalam aktivitas sosial. Pada masa itu, pasar tampak sebagai suatu sistem yang merupakan suatu kesatuan dari komponen-komponen yang mempunyai fungsi untuk mendukung fungsi secara keseluruhan. Adapun komponen pasar antara lain lokasi, bentuk fisik, komoditi, produksi, distribusi, transportasi, transaksi serta rotasi.

Lokasi pasar biasanya dipilih di tempat strategis, yaitu di tepi sungai, seperti yang disebutkan dalam prasasti Turyyan dan prasasti Muñcang atau berlokasi di tepi jalan besar. Pemilihan lokasi yang strategis itu, baik sengaja ataupun tidak memudahkan orang-orang untuk datanag ke pasar melalui jalur darat maupun jalur sungai.

Adapun bentuk fisik pasar, tempat dimana kegiatan jual beli berlangsung, ada yang berupa lapangan terbuka seperti pasar Turyyan. Pada hari-hari tertentu pasar Turyyan dipakai sebagai pasar dan pada hari-hari lainnya dipakai untuk berbagai macam kegiatan, yang dalam kasus ini dipergunakan untuk upacara penetapan sima. Selain lapangan terbuka, pasar dapat pula berupa bangunan semi permanen atau permanen seperti yang disebutkan dalam kakawin Nāgarakṛtāgama. Adanya perbedaan bentuk fisik pasar, mungkin karena perbedaan status dari pasar itu sendiri. Pasar dengan bangunan semi permanen maupun permanen adalah pasar kerajaan atau pasar besar, sedangkan pasar yang hanya berupa lapangan terbuka adalah pasar desa.

Jenis-jenis komoditi yang diperdagangkan di pasar berupa hasil bumi, hewan ternak dan ikan, telur serta hasil industri rumah tangga. Jenis-jenis komoditi tersebut dapat dibedakan atas hasil produksinya, yaitu hasil produksi primer dan hasil produksi sekunder. Bidang yang meliputi produksi primer antara lain pertanian, peternakan, dan perikanan; sedangkan produksi sekunder meliputi aktivitas industri kecil yang diusahakan oleh para perajin. Dari hasil tersebut dapat dilihat juga kemampuan masyarakat pada masa itu yang telah dapat mengubah materi yang tidak atau kurang ekonomis menjadi ekonomis, misalnya mereka telah memproduksi garam, ikan asin, minyak jarak, minyak kelapa, dll.

Untuk lancarnya transportasi, terutama jalur darat maka dibuat prasarana yang berupa jalan, jembatan dan keamanan. Keamanan di jalan merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas perdagangan, karena seperti disebutkan dalam prasasti Kaladi, banyak perampok yang beraksi pada siang hari maupun malam hari di jalan-jalan yang dilalui pedagang.

Alat angkut yang dipakai para pedagang untuk membawa komoditi ke pasar bermacam-macam jenisnya. Para pedagang yang melalui jalur sungai menggunakan perahu sebagai alat angkutnya, sedangkan untuk jalur darat sarananya lebih beragam tergantung jumlah barang yang dibawa. Apabila jumlah komoditi yang akan dijual tidak begitu banyak, maka akan dibawa sendiri oleh pedagangnya, baik dipikul maupun digendong dengan bakul atau dapat pula diangkut oleh kuda atau sapi. Jika tidak terangkut oleh kuda atau sapi, maka akan diangkut oleh pedati atau gerobak yang ditarik kerbau atau sapi. Pedagang yang memikul dagangannya yang ditempatkan dalam dua buah keranjang atau menggendong bakul masih berlanjut hingga kini, meskipun ada juga yang telah dimodifikasi yaitu kedua keranjangnya diletakkan di kiri-kanan boncengan sepeda yang dikenal dengan istilah rengkek. Adapun pedagang yang mengangkut barang dagangannya dengan kuda sudah tidak dijumpai lagi sekarang, sedangkan pedati meskipun masih ada, sudah jarang ditemukan karena peranannya sudah diganti oleh mobil angkutan.

Dalam melakukan transaksi perdagangan, pada masa Mataram Kuna telah dikenal barter dan transaksi yang menggunakan mata uang sebagai alat penukar. Bagaimana ketentuan yang berlaku dalam barter tidak diketahui, begitupula dengan mata uang yang dipakai sebagai alat transaksi yang khusus dipakai di pasar belum pasti benar. Salah satu kemungkinannya adalah memakai mata uang pisis sebagai alat tukar, karena mata uang emas dan perak yang disebutkan dalam prasasti terlalu tinggi nilainya jika dipakai untuk membeli barang keperluan sehari-hari.

Dari data prasasti dapat disimpulkan bahwa masyarakat Mataram Kuna menerapkan konsep pemukiman pañatur deśa dan paṅaṣṭa deśa yang dihubungkan dengan sistem pasar. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan adanya data prasasti yang menunjukkan keterkaitan antara konsep pemukiman dengan sistem pasar seperti yang ditulis dalam prasasti Garamān dan adanya perputaran para pedagang yang dtang ke pasar-pasar tertentu pada hari-hari tertentu seperti tertera dalam prasasti Pangumulan A. Simpulan tersebut diperkuat oleh data etnoarkeologi yang memperlihatkan hal yang sama, terutama dari penelitian etnoarleologi di Kabupaten Temanggung.

Sebagai tempat bertemunya masyarakat desa dari pelbagai kalangan, juga mempunyai peranan dalam interaksi di antara mereka, baik interaksi yang terjadi pada orang-orang yang berasal dari desa yang sama maupun interaksi yang terjadi antara orang-orang dari desa yang berlainan. Dalam interaksi yang terjadi di antara warga masyarakat, terdapat kontrak diadik yang sifatnya informal dan tidak dilandasi hukum. Kontrak diadik yang terjadi pada masa itu dapat bersifat simetris dan asimetris, dan hampir terjadi di seluruh lapisan masyarakat.

Disamping sebagai tempat interaksi antar warga masyarakat, pasar pun menjadi tempat orang-orang untuk mencari hiburan. Pasar sebagai pusat hiburan masih terjadi sampai sebelum PD II. Pada waktu itu masih ada pertunjukkan yang diadakan oleh rombongan penari, pelawak, dan penyanyi yang menarik sumbangan dari penonton.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini bahwa pasar pada masa Mataram Kuna telah memenuhi prasyarat yang harus ditawarkan suatu pasar di wilayah agraris sehingga dapat menarik para petani untuk melakukan transaksi perdagangan, yaitu keteraturan, kelayakan, dan keamanan yang mencerminkan bahwa di wilayah ini secara ekonomi, politik dan sosial telah terintegrasi. Pada masa itu, pasar yang merupakan tempat salah satu aktivitas yang dilakukan masyarakat, mempunyai peranan dalam kegiatan ekonomi maupun kegiatan sosial. Selain itu dari hasil penelitian ini pun dapat disimpulkan bahwa keadaan dan situasi pasar pada masa Mataram Kuna tidak jauh berbeda dengan keadaan pasar-pasar tradisional masa kini, terutama di pasar-pasar yang terdapat di Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah.


Titi Surti Nastiti, 2003,Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi,Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Minggu, 24 Februari 2013

Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Lahan Pada Jaman Indonesia Kuna di Bali


Arfian.S.
(dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III, Bali, 7-8 Oktober 1989, Kajian Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi, hlm:148-158)

Maju mundurnya suatu tingkat kehidupan dan kebudayaan bersangkutan langsung dengan cukup tidaknya usaha manusia mengembangkan dan memanfaatkan, serta menyelamatkan sumber daya air dan lahan, karena kedua sumber ini merupakan unsur yang sangat penting dalam rangka usaha meningkatkan taraf hidup manusia. Salah satu pemanfaatan sumberdaya air dan lahan oleh manusia, adalah dalam usaha pertanian.

Umumnya masyarakat Bali kuna telah mengenal beberapa jenis lahan pertanian, hal ini kita ketahui dari berita-berita di dalam prasasti yang antara lain menyebutkan adanya sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun) dan kasuwakan. Dalam prasasti “Songan Tambahan” yang bertarikh 1023 M, disebutkan bahwa pengolahan atau proses penanaman padi di sawah sebagai berikut:

Amabaki (menebang hutan, membuka lahan)
Amaluku (membajak)
Atanem (menanam)
Amatun (menyiangi)
Ahani (menuai padi)
Anutu (menumbuk beras) (Ketut Giarsa,1961).

Dalam usaha penyediaan air untuk sawah, dapat kita lihat pada prasasti-prasasti diantaranya prasasti “Tengkulak A”, yang bertarikh 945 śaka, prasasti “Pandak Bandung Tambanan” 1071 M dan prasasti “Timpak” yang diperkirakan dikeluarkan oleh raja Jaya Sakti (1055-1072 saka) dengan terjemahan sebagai berikut:

XII b.2. Segala macam air “padmak kmitan” mengairi sawahnya, “pagura-guranya”. Hendaknya memaklumkan pengairan sawahnya, tidak perlu minta ijin terlebih dahulu kepada penguasanya, terutama kepada “sangadmak kmitan”,
3 . maupun “aninggi”, tidak dikenakan pajak-pajak yang berkenaan dengan masa air serta “drwyahaji”, tidak menimbulkan hukuman. Mereka diperkenankan menebang segala macam kayu larangan,
4. yang jatuh ke kali dan merintangi sawahnya. Lebih-lebih jika sampai menimbulkan kebocoran, begitupula perbaikan jalan (Budiastra, 1980).

Dalam proses menanam padi seperti yang dijelaskan pada prasasti Raja Marakatapangkaja (prasasti Songan Tambahan) ada proses amabaki dan amaluku. Kedua proses ini merupakan usaha dalam mempersiapkan lahan persawahan. Amabaki (menebang hutan atau kayu-kayuan) kemungkinan dilakukan pada musim kemarau, sehingga tanah dapat menunjukkan sifatnya yang membajak diri sendiri, hal ini sangat membantu petani dalam melakukan amaluku dikala musim hujan tiba. Untuk menghindari terjadinya erosi dibuatlah perigi atau pematang.

Untuk mencapai hasil padi yang baik, raja pun mengijinkan para petani untuk mengalirkan air sungai atau kali ke sawahnya tanpa melapor dahulu kepada pejabat pengelola bahkan jika ada kayu larangan yang menghalangi jalan air, atau sampai menimbulkan kebocoran, petanipun diijinkan untuk menebangnya. Sebagaimana di depan telah disampaikan bahwa bahan makanan utama padi tergantung pada air pengairan dan lumpur yang diendapkan. Jadi jelaslah bahwa masyarakat petani di jaman Bali kuna telah mengetahui akan fungsi air dalam pertanian padi sawah.

Supaya ada pengaturan pembagian air ke sawah-sawah dibentuklah kasuwakan-kasuwakan, sebagaimana yang disebutkan dalam prasasti “Pangotan Bangli”. Menurut Budiastra (1978) istilah kasuwakan sama sepeti subak sekarang. Suatu organisasi subak tidak terikat sebagai bagian dari organisasi satu perkampungan yang di Bali dikenal dengan sebutan Banjar, tetapi selalu terikat kepada suatu kompleks atau sistem bendungan-bendungan yang tertentu. Bendungan-bendungan ini memberi air melalui suatu sistem saluran dan pipa-pipa yang luas, kepada sejumlah sawah-sawah tertentu juga, sedangkan pemilik sawah tadi tidak terdiri dari warga satu banjar, namun dalam beberapa banjar.

Salah satu kemungkinan mengapa persawahan mendapatkan perhatian dari masyarakat dikarenakan tipe tubuh tanah Bali yang tergolong “Margalit”. Begitupula dalam hal pemanfaatan air sungai atau kali, maupun dalam pengaturan pembagian air ke sawah-sawah, semuanya diatur dan diundangkan oleh raja dalam prasasti, dan adanya kasuwakan-kasuwakan menunjukkan bahwa teknologi persawahan masyarakat Bali kuna telah maju.


Daftar acuan:

Putu Budiastra, 1978, “Prasasti Pangotan Bali”, Musium Bali. Denpasar: Direktorat Museum, Ditjenbud, Depdikbut. 1980, “Prasasti Timpak”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21—25 Februari 1977. Jakarta: Puat Penelitian Arkeologi Nasional.
Ketut Ginarsa, 1961, “Prasasti Baru Raja Marakata”, Bahasa dan Budaya thIX. Jakarta: Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Depdikbud.

Pedagang dan Orang Asing dalam Prasasti Masa Jawa Kuna




Supratikno Rahardjo
(ringkasan buku Peradaban Jawa dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir, hlm: 261-265 dalam sub-bab Pedagang)


Pengelompokan pedagang dapat juga dilakukan berdasarkan tempat asal dari pedagang yang bersangkutan. Kelompok pedagang dapat dibagi menjadi dua, yakni pedagang setempat dan pedagang asing. Pedagang setempat adalah mereka yang memiliki profesi dagang dan menjadi warga masyarakat Jawa. Mereka adalah warga suatu desa atau kota tertentu dengan jangkauan wilayah dagangnya terbatas di wilayahnya sendiri (pedagang lokal) ataupun di sejumlah wilayah desa atau kota sekaligus (pedagang regional) atau bahkan hingga ke luar wilayah kerajaan (pedagang internasional). Pedagang setempat yang melakukan aktivitas dalam skala lokal mungkin menyediakan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari, misalnya beras, sayuran, buah-buahan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang cenderung tidak tahan lama.

Sedangkan para pedagang dengan wilayah jangkauan meliputi sejumlah desa tertentu mungkin menyediakan kebutuhan akan barang-barang lebih tahan lama dan yang tidak selalu tersedia di setiap wilayah, misalnya garam, alat-alat rumah tangga (wadah tanah liat, alat-alat logam, perabot kayu) dan pakaian. Sedangkan pedagang internasional, terutama menjual barang-barang setempat atau dari tempat lain (yang diekspor lagi) yang memiliki nilai tinggi dan tidak dihasilkan atau tidak tersedia dalam jumlah yang mencukupi di negeri yang hendak dituju (misalnya beras, pakaian, barang-barang kerajinan tertentu, rempah-rempah, satwa unik, mutiara, tumbuhan obat-obatan dan lain-lain). Pedagang setempat yang melakukan aktivitasnya hingga ke luar wilayah kerajaan mungkin kembali dengan membawa barang-barang dengan kualitas tinggi yang banyak dibutuhkan di negerinya sendiri.

Adapun mereka yang tergolong pedagang asing adalah para pedagang yang menjadi warga negara asing dan melakukan aktivitas perdagangan hingga ke wilayah Jawa. Kelompok pedagang asing dapat dibagi menjadi dua, yakni mereka yang berasal dari wilayah nusantara dan mereka yang berasal dari daratan Asia.

Para pedagang dari wilayah nusantara pada umumnya tidak disebutkan secara eksplisit asal daerahnya. Kehadiran mereka di Jawa hanya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari sumber-sumber prasasti. Sebuah prasasti berbahasa Melayu kuna, yakni Gondosuli II (827 saka) menyebutkan seorang tokoh dengan nama daṅ puhawaṅ glis. Sebutan puhawaṅ yang berarti ‘nahkoda’ atau ‘kapten kapal dagang’ (Zoetmulder, 1982:205) mengindikasikan bahwa sejak awal abad ke-9 M telah ada komunitas pedagang Melayu yang tinggal di pedalaman Jawa Tengah (Temanggung). Keterangan berikutnya berasal dari masa Airlangga, yakni prasasti Kamalagyan (1037 saka). Di dalam prasasti ini dituliskan perasaan para nahkoda dan pedagang dari wilayah nusantara (parapuhawaṅ prabanyaga sangkāring dwīpāntara) “yang bersukaria karena perjalanan mereka melalui Sungai Brantas telah kembali lancar (de Casparis, 1958).

Berbeda dengan pedagang nusantara, pedagang dari daratan Asia umumnya disebut secara eksplisit asal wilayahnya. Sumber prasasti tertua yang menyebutkan adanya pedagang asing ini adalah prasasti Kuti (804 saka). Namun sayang prasasti ini merupakan salinan dengan banyak kesalahan. Di dalamnya disebutkan nama-nama pedagang asing yang disebut menurut asalnya, yakni Cempa (Campa), Kling (Keling), Haryya, Singha (Singhala), Gola (Gauda/Benggala), Cwalika, Malyala, Karnnake, Remon/Ramman (Mons), Kmir (Khmer). Sebagian dari orang-orang tersebut ditemukan lagi pada prasasti-prasasti masa berikutnya, yakni Kaladi (909 saka) dan  Palebuhan (927 saka). Dari dua prasasti ini muncul nama lain, yaitu drawiḍa dan  panḍikira.

Semua prasasti tersebut ditemukan di wilayah Jawa Timur. Dari susunan orang-orangnya, mereka terutama berasal dari Asia Selatan dan dua dari Asia Timur, yaitu Campa dan Khmer. Pada masa Sindok tidak ada prasasti yang menyebutkan keberadaan orang asing, baru pada masa Airlangga muncul lagi di dalam prasasti Cane (1020 s), Patakan dan OJO LXIV. Ditemukannya istilah juru kliṅ (pemimpin orang Keling) di beberapa prasasti (Barsahan, 908, OJO LXIV dan Cane 1021) mungkin merupakan pertanda bahwa kelompok ini menduduki persentase terbesar. Sementara itu orang Cina tidak disebut-sebut dalam prasasti tersebut, tetapi nama juru cina disebut dalam prasasti Kañcana (860 saka). Namun sayangnya prasasti ini juga merupakan salinan (tinulad) yang ditulis pada masa kemudian (Jones,1984:23-25).

Hal menarik yang dapat dikemukakan disini adalah bahwa penyebutan orang-orang asing secara eksplisit dalam prasasti hanya berlangsung hingga masa Airlangga (Cane 1021 s). Sesudah itu penyebutan orang asing terutama kita ketahui dari sumber sastra, khususnya kakawin Nāgarakṛtāgama (1365 m). Kitab ini menyebutkan nama-nama bangsa asing yang datang menghadiri perayaan tahunan di ibukota Majapahit. Mereka datang dengan menggunakan kapal (potra) bersama para pedagang dalam jumlah besar. Bangsa-bangsa tersebut disebutkan berasal dari wilayah Siam (Syangka, Ayodhyapura, Dharmanagarī, Rājapura), Mianmar (Marutma), Campa (Campā, Singhanagarī), Kambojā, Annam (Yawana), India Utara (Jambhudwīpa), India Timur (Goda), India Selatan (Kāñcipuri, Karnataka) dan Cina (Robson, 1981:263).

Daftar Acuan:

S.O.Robson,1981, “Java at the Crossroads: aspects of Javanese Cultural History in the 14th and 15th Centuries”, dalam BKI,137:259-292.
Antoinette.M.Barett Jones,1984. Early Teenth Century Java from the Inscriptions: A Study of Economic, Social, and Administrative Conditions in the First Quarter of the Century. Dordrecht/Holland/Chinnaminson-USA.
J.G.de Casparis,1958. Short Inscriptions from Tjandi Plaosan-Lor. Dalam Berita Dinas Purbakala, No.4. Djakarta.
P.J Zoetmulder,1982,Old-Javanese-English Dictionary.KITLV.Den Haag:Nijhoff



Supratikno Rahardjo, 2011,Peradaban Jawa dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir,Cetakan Kedua. Depok: Komunitas Bambu.

Kamis, 21 Februari 2013

Ulah Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuno


Boechari
(ringkasan artikel dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)


Sumber penghasilan kerajaan kuno terdiri atas pajak, yaitu pajak tanah/hasil bumi, pajak perdagangan/penjualan, dan pajak atas usaha kerajinan dan denda-denda atas segala tindak pidana yang dijatuhkan di dalam sidang pengadilan. Semua itu disebut dengan istilah drawya haji, yang secara harfiah berarti “milik raja”.

Keterangan mengenai pajak perdagangan/penjualan (masamwya wahāra), usaha kerajinan (miśra) dan denda-denda atas segala tindak pidana (sukhaduḥka) dijumpai di dalam bagian prasasti yang menyebutkan status daerah sīma. Contoh ada dalam Prasasti Muñcaṅ (944 M).

Lain daripada drawya haji, kerajaan juga berhak atas buat haji, yaitu persembahan kepada raja yang dapat berupa tenaga kerja sukarela atau persembahan yang lain. Istilah lain untuk buat haji adalah gawai. Gawai sering dinyatakan dengan jumlah orang, tetapi ada kalanya dengan sejumlah uang. Orang-orang asing dan orang-orang yang mempunyai profesi tertentu juga dikenai pajak. Mereka itu disebut dengan isitilah warga kilalān yang hanya terdapat pada prasasti masa raja Dharmawaṃśa Airlaṅga.

Hal yang menarik perhatian adalah bahwa rupa-rupanya dahulu kala sudah ada catatan tentang perkiraan hasil sebidang tanah di dalam administrasi pemerintahan di tingkat pusat. Hal itu dapat pula disimpulkan dari berbagai prasasti yang menyebutkan bahwa sebidang tanah atau suatu desa yang akan ditetapkan menjadi sima berpenghasilan sekian, atau ditaksir berpenghasilan sekian. Pajak yang dihitung bukan hanya luas berbagai jenis tanah, namun juga jumlah penduduk atau sekurang-kurangnya jumlah kepala keluarga.

Demikianlah maka perumusan tentang status suatu daerah sīma di dalam pelbagai prasasti membayangkan kepada kita bahwa pajak dan pungutan-pungutan yang lain itu ditarik oleh para rāma (ketua desa) dari penduduk desa, kemudian para rama menyerahkan hasilnya kepada rakai atau pamgat yang membawahi desanya, setelah mengambil bagian masing-masing kemudian memberikan drawya haji dari daerah lungguhnya kepada raja, juga setelah menyisihkan bagian masing-masing.

Dalam pemungutan pajak pun ternyata ada banyak penyimpangan. Data tersebut dapat dilihat di Prasasti Palǝpaṅan (906 M), Prasasti Luītan (901 M), dan Prasasti Kinǝwu (907 M). Salah satu contoh yaitu Prasasti Kinǝwu memberikan kepada kita keterangan tambahan yang menarik, yaitu hierarki dalam pemerintahan dan prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja. Dapat dilihat bahwa pertama-tama para pejabat desa Kinǝwu mengajukan protes kepada penguasa daerah yang membawahi desanya, yaitu Rakryān i Raṇḍaman dengan membayar sejumlah uang. Protes tersebut tidak sempat diselesaikan karena penguasa tersebut telah meninggal. Tanpa menunggu sampai ada rakai pengganti di wilayah Raṇḍaman, para pejabat desa meneruskan protesnya kepada raja dengan perantaraan pratyaya dari wilayah Raṇḍaman. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak dari yang dibayarkannya di tingkat watak. Di ibu kota kerajan mereka diterima oleh Saṅ Pamgat Momahumah, yaitu Pamgat Mamrata. Pejabat itulah yang mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja.

Sebagai singkatnya, kasus-kasus dari ketiga prasasti tersebut menunjukkan adanya penyelewengan dalam penetapan pajak. Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi kesempatan untuk mengajukan protes, penarik pajak atau sang nāyaka akan memperoleh keuntungan sepertiga dari jumlah yang dibayarkan oleh rakyat, karena ia menggunakan satuan tampah yang luasnya hanya 2/3 tampah haji yang baku.

Dalam ketiga kasus tersebut sebenarnya masih perlu dipertanyakan apakah para nāyaka yang menggunakan satuan tampah yang lebih kecil dari tampah haji yang baku memang sengaja mau memperkaya diri atau karena salah pengertian. Rupa-rupanya dalam ketiga kasus tersebut, para nāyaka menghitung luas sawah para rāma dengan ukuran tampah tradisional Jawa yang luasnya kira-kira sama dengan 1 bahu sekarang, sedang semestinya ia menggunakan satuan tampah haji yang didasarkan atas satuan luas dari India, yang luasnya kira-kira sama dengan 1 hektar sekarang. Jika demikian halnya maka dalam ketiga kasus itu tidak terjadi penyelewengan yang disengaja, melainkan hanya salah pengertian. Apakah tidak disebutkannya sanksi hukum terhadap para nāyaka itu merupakan petunjuk tentang kebenaran dugaan ini? Tetapi tentu orang akan bertanya mengapa justru para pejabat desa yang tahu tentang peraturan pajak tanah yang benar, sedang sang nāyaka tidak???.




Penjelasan lebih lengkap dapat di baca di buku:


Boechari, 2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: KPG. hlm:291-306
Bisa diperoleh di toko buku Gramedia atau lainnya 
atau dipesan melalui fauzan.vernika@gmail.com

Rabu, 20 Februari 2013

Jayapattra: Sekelumit tentang Pelaksanaan Hukum dalam Masyarakat Jawa Kuno


Boechari
(ringkasan artikel dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)


Menurut teori, unsur kerajaan ada tujuh (saptāṅga), yaitu raja, wilayah kerajaan, birokrasi, rakyat, perbendaharaan negara, angkatan bersenjata dan negara-negara sahabat. Termasuk unsur birokrasi adalah administrasi kehakiman. Selain naskah kuno, prasasti juga memberikan keterangan sedikit tentang pejabat-pejabat kehakiman, adapula yang merupakan keputusan pengadilan yang memberikan gambaran tentang proses peradilan. Keterangan tentang pejabat-pejabat kehakiman terutama didapatkan di dalam prasasti dari zaman Singhasari dan Majapahit. Salah satu julukan bagi hakim dalam prasasti adalah saṅ prāgwiwākawyawahāranyāyānyāyawicchedaka (hakim yang dapat membedakan antara yang benar dan yang tidak benar di dalam persengketaan). Pendapatnya tentang hal-hal tersebut harus tegas karena pengetahuannya yang mendalam akan semua kitab-kitab śāstra. Ia harus mampu memberi keputusan dalam pengadilan atas persengketaan yang terjadi antara rakyat di seluruh kerajaan. Beberapa prasasti menyebutkan juga bahwa ia juga mahir atau ahli dalam salah satu atau berbagai cabang ilmu.

Ada sekitar 12 prasasti mengenai proses pengadilan atau pelaksanaan hukum dan keputusan hukum. Diantaranya empat berisi utang-piutang, satu berisi keputusan peninjauan kembali jumlah pajak tanah, satu tentang status kewarganegaraan seseorang, satu tentang gadai tanah, dan lima tentang sengketa atas tanah. Diantara ke-12 prasasti, dua disebut jayapattra (Prasasti Guntur 907 M dan Prasasti Warudu Kidul 922 M) berisi tentang kewarganegaraan Saṅ Dhanadī yang dikira orang Khmer. Dua lagi disebut jayasoṅ (Prasasti Bendosari masa Hayam Wuruk dan Prasasti Paruṅ mungkin sezaman), keduanya mengenai sengketa tanah. Prasasti Sarwadharma (1268 M) dan Prasasti Himad (abad ke-14 M) berisi tentang masalah tanah, disebut dengan rājapraśasti. Sebuah prasasti yang berisi tentang pelunasan utang disebut śuddhapatra. Prasasti Dhaṅ Nawī dan Prasasti Kuruṅan (885 M), tidak mengandung istilah sebutannya; tetapi di dalamnya dijumpai kata śuddha dan śuddha pariśuddha. Prasasti Palǝpaṅan (906 M) berisi ketetapan peninjauan kembali jumlah pajak tanah, disebut praśasti saja.

Dari beberapa data prasasti tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses peradilan terdapat pihak-pihak yang bersengketa, pejabat-pejabat hukum,dan saksi-saksi. Pada waktu itu belum ada pembedaan antara tugas jaksa dan hakim. Dapat dilihat pula bahwa dalam beberapa persoalan raja sendiri, atau putra mahkota atau pejabat-pejabat tinggi sipil di pusat kerajaan bertindak sebagai hakim.

Karena sebagian besar dari prasasti-prasasti tersebut berisi persengketaan yang tidak diatur undang-undang maka keputusan didasarkan pada kesaksian orang-orang yang dipercaya dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Dalam beberapa kasus kesaksian itu diperkuat oleh bukti tertulis.

Wilayah kerajaan terdiri atas wilayah pusat di mana terdapat istana raja, dan daerah-daerah yang diperintah oleh para rakryān (gelar kebangsawanan) dan para pamgat (gelar keagamaan) yang daerah kekuasaannya terdiri atas sejumlah besar desa yang mempunyai pemerintahannya sendiri. Masing-masing kesatuan wilayah itu mempunyai administrasi kehakimanya. Perkara-perkara yang dapat diselesaikan dalam pengadilan daerah, seperti soal utang-piutang dan kewarganegaraan saṅ Dhanadī, cukup diselesaikan di pengadilan tingkat daerah. Sedang persengketaan mengenai hak atas tanah, apalagi kalau mengenai tanah perdikan untuk bangunan suci dan masalah pajak, diselesaikan di pengadilan tingkat pusat, bahkan diselesaikan oleh raja sendiri.

Berdasarkan data prasasti tersebut, masa enam abad menunjukkan kuatnya tradisi hukum yang berlaku dalam kerajaan-kerajaan kuno. Bahkan oleh Mason C. Hoadley pernah ditunjukkan bahwa tradisi itu masih berlangsung di Kasultanan Cirebon hingga pertengahan abad XVIII.

Keterangan lengkap dapat dilihat dalam buku:
Boechari, 2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: KPG. hlm:237-248
Bisa diperoleh di toko buku Gramedia atau lainnya 
atau dipesan melalui fauzan.vernika@gmail.com