Pembahasan dalam Epigrafi



Unsur Penanggalan dalam Prasasti
Vernika Hapri Witasari, M.Hum

Prasasti-prasasti Jawa Kuno di wilayah Indonesia sebagian besar memiliki unsur penanggalan. Unsur penanggalan ini dapat dilihat pada bagian awal kalimat prasasti. Hal tersebut penting karena kita dapat mengetahui kapan pastinya prasasti tersebut dibuat. Dengan adanya unsur penanggalan, peneliti juga dapat mengklasifikasikan prasasti berdasarkan periodenya, dimasa kerajaan dan raja yang memerintah saat itu, serta dapat dengan akurat menyesuaikan peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah dicantumkan. Penentuan penanggalan harus dilakukan oleh ahli ilmu astronomi (perbintangan) yang disebut wariga, dengan mengikuti apa yang diajarkan dalam kitab Bhāskarācārya atau Sūryasiddhānta (Bakker, 1972:16).

Awal digunakannya unsur penanggalan hanya berupa beberapa unsur saja, hingga seluruh unsur yang berjumlah lima belas unsur penanggalan telah dicatatkan dalam prasassti-prasasti masa Majapahit. Unsur penanggalan sesuai dengan yang dikenal di sistem penanggalan India meliputi lima unsur yaitu wāra, tithi, nakṣatra, yoga, dan karaṇa (Sewell & Dikshit, 1995: 2). Pada prasasti masa Jawa Kuno dikenal paling sedikit lima unsur yaitu warṣa atau tahun, māsa atau bulan, tithi atau tanggal, pakṣa atau paruh bulan, dan wāra atau hari. Format penanggalan seperti ini terus berlanjut hingga muncul satu demi satu kemajuan dalam ilmu astronomi yang mengukur secara pasti jika hari tersebut ada rasi bintang apa, hari, bulan, tahun, tanggal, planet apa yang melintas, dalam bentuk apa bulan waktu itu, dsb. Unsur yang berkembang lebih lanjut yaitu karaṇa, wuku, muhūrta, yoga, nakṣatra, dewatā, grahacāra, parweśa, maṇḍala, rāśi.

Karaṇa merupakan satuan waktu yang lebih kecil dari hari. Satu karaṇa sama dengan setengah tithi atau lebih tepatnya 0,492 hari. Dalam satu hari ada dua karaṇa atau 60 karaṇa dalam satu bulan. Nama karaṇa pertama dari tiap bulan adalah kimstughna, wawa, walawa, kolawa, taithila, garadi, wanija, wiṣṭi, sesudahnya kembali ke wava dan seterusnya, hingga tiga karaṇa terakhir yakni sakun, naga, dan catuspada (de Casparis, 1978: 23).

Wuku adalah periode yang terdiri dari tujuh hari, 30 wuku, masing-masing dengan namanya sendiri, jadi setahun terdiri dari 210 hari. Masing-masing vuku adalah sinta, landěp, wukir, krantil, tolu, gumbreg, wariga ning wariga, wariga, julung, julung sungsang, duṅulan, kuniṅan, laṅkir, maḍasidha, julung pujut, pahang, kuru wlut, marakih, tambir, madaṅkuṅan, maha tāl, wuyai, manahil, prang bakat, bala (muki), wugu-wugu, wayang-wayang, kulawu, dukut dan watu gunung (de Casparis, 1978: 57).

Muhūrta adalah saat tertentu untuk memulai upacara, bepergian dan lain-lainNama-nama muhūrta tidak semua diketahui. Dalam prasasti Jawa Kuno hanya 12 nama yakni bago, somya, śweta, baruṇa, wairājya, wijaya, sawitri, rudra, sakrāgni, bhojya, neriti, lagnaśweta. Nama-nama itu belum jelas posisinya dan urutannya dalam jam sekarang. Namun dapat diperkirakan bahwa rudra, śweta dan wairājya berada pada waktu pagi, sedangkan wijaya dan soma berada pada waktu sore hari (de Casparis, 1978: 54).

Yoga adalah waktu selama gerak bersamaan antara bulan dan matahari pada posisi 13º20’. Dalam satu putaran bulan mengelilingi bumi ada 360º : 13º 20’= 27 yoga. Satu yoga lamanya 0,941 hari, jadi ke 27 yoga membutuhkan 25,420 hari (de Casparis 1978: 22). Nama-nama yoga antara lain wiṣkambha, prīti, āyuṣman, sobhāgya, śobana, atigaṇḍa, sukarman, dhṛti, śūla, gaṇda, wṛddhi, dhruwa, wyatigata, harṣana, bajra, sidhi, wyatipati, wariyan, parigha, śiwa, sidha, sadya, śubha, śukla, brahma, indra, waidhṛti.

Nakṣatra adalah bintang atau sesuatu benda padat di angkasa, perbintangan atau konstelasi yang dilalui bulan, ruang bulan (Zoetmulder, 1982:688). Ada 27 nakṣatra dalam satu siklus yaitu aświni, bharaṇi, kṛtikkā, rohiṇi, mṛgasiras, ārdrā, purnnawaśu, puśya, aślesa, magha, pūrwa phalguni, uttara phalguni, hasta, citrā, śwati, wiśakha, anurādhā, jyeṣṭha, mūla, pūrwāṣāḍha, uttarāsāḍha, srāwaṇa, dhaniṣṭhā, satabhiṣaj, pūrwabhadrawāda, uttarabhadrāwāda, dan rewatī (de Casparis, 1978:52).

Nama-nama dewata yang sering digunakan dalam prasasti berhubungan dengan nakṣatra yang digunakan. Dewata adalah penguasa dari waktu yang ditunjukan dengan nakṣatranya. Nama-nama dewata adalah Aświnau, Yama, Agni, Prajāpati, Soma, Rudra, Aditi, Bṛhaspati, Sarpāḥ, Pitaroaḥ, Bhaga, Aryaman, Sawitṛ, Twastṛ, Wāyu, Śakra, Mitra, Indra, Ᾱpah, Wiśwedewah, Wiṣṇu, Wasawaḥ, Ajapāda, Ahirbudhnya, dan Pūsan (de Casparis, 1978:52).

Grahacāra adalah perjalanan planet-planet (posisi dalam zodiak) (Zoetmulder, 1982: 307). Menurut penanggalan India terdapat tujuh planet yaitu nairitistha, sunyasthana, agneyastha, uttarasthana, purwwasthana, adityasthana, anggarasthana, daksinatha, aisanyastha, pascimastha dan boyabyastha.

Parwesa adalah nama dari suatu kelompok perbintangan. Tetapi tidak ada keterangan yang lebih lanjut mengenai kelompok bintang mana yang dimaksudkan disini. Dalam pertanggalan India unsur ini tidak pernah disinggung. Dari prasasti Jawa Kuno diperoleh parwesa saśi, brahma, kuwera, nairituya, yama, agni, baruṇa, kala dan indra.

Mandala adalah garis edar atau orbit benda angkasa (Zoetmulder, 1982: 642). Mandala adalah “tiap-tiap daerah dari delapan pembagian langit tempat nakṣatra berada”. Nama-nama mandala adalah Mahendra: penguasa timur, Kuwera: penguasa utara, Baruṇa: penguasa barat, Yama: penguasa selatan, Agni: penguasa tenggara, Naiṛṛti: penguasa barat daya, Wayu: penguasa barat laut dan Śiwa: penguasa timur laut. Pembagian ini sama dengan pembagian dewa penjaga mata angin atau astadikpalaka (Damais, 1995:115).

Rasi atau zodiak adalah pembagian langit secara geometris yang dapat diidentifikasi secara visual dengan bintang penanda. Nama-nama rasi adalah mesa: aries, wṛsabhataurusmithuna: geminikarkaṭacancersiṅhaleokanyavirgotulalibra, wṛscikascorpiodhanus: sagitariusmakaracapricornkumbha: aquariusminapisces (de Casparis, 1978:54).

Pada varṣa (angka tahun) pada beberapa prasasti digunakan dua jenis penyebutan angka tahun, dengan angka ataupun dengan kata-kata. Di Jawa penyebutan angka tahun dengan kata-kata disebut candrasengkala atau sengkalan.  Dalam sengkalan pun terdiri dari dua jenis yaitu sengkalan mĕmĕt dan sĕngkalan lamba. Sengkalan memet adalah angka tahun yang terdiri dari gambar, ukiran, relief, patung, atau bentuk ;ainnya yang memiliki makna dengan konotasi angka. Sedangkan sengkalan lamba adalah angka tahun yang berupa kalimat (Bratakesawa, 1968: 6).

Untuk lebih lengkapnya, penelitian mengenai penggunaan sengkalan dalam prasasti-prasasti di wilayah Indonesia serta Asia lainnya telah dibahas oleh Anissa dalam tesis Magister Humaniora di Universitas Indonesia dengan judul Penggunaan Kronogram di Indonesia, Vietnam, dan Kamboja Abad VII-XIV M: Pendekatan Arkeologis dan Epigrafis.  

Pada makalah Trigangga yang dipublikasikan dalam Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuna di Universitas Indonesia waktu lalu juga membahas mengenai hal ini dengan makalah yang berjudul Prasasti di Petirtaan Belahan; Catatan Peristiwa Gerhana Bulan?.


Daftar Acuan:
J.G de Casparis, 1975. Indonesian Chronology. Leiden/Koln: Brill (Handbuch der Orientalistik, III.i.i).
J.W.M. Bakker S.J, 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Djurusan Sedjarah Budaya IKIP Sanatha Dharma: Yogyakarta.
Bratakeswara, 1968. Katrangan Tjandrasengkala, Djakarta: Balai Pustaka.
L.C.Damais, 1952. “Le Calendrier de l’ancienne Java”. “Penanggalan Jawa Kuno” dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis Charles Damais. Jakarta: EFEO.
Robert Sewell & S.B.Dikshit, 1995. The Indian Calendar (With Tables for the Conversion of Hindu and Muhammadan into A. D. Dates and Vice Versa). Motilal Banarsidass. 



P.J.Zoetmulder dan S.O.Robson, 1982. Kamus Jawa Kuna Indonesia, penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Prayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Sambandha pada Prasasti
Vernika Hapri Witasari, M.Hum

Sebagai sumber sejarah, khususnya sejarah kuno, prasasti mempunyai kedudukan yang penting karena sebagai sumber yang aktual, valid, karena berisi ketetapan atau keputusan dari seorang raja atau pejabat kerajaan. Diuraikan dengan teliti baik perhitungan waktu kala itu hingga rincian keputusan dan peristiwa yang terjadi. Apabila diteliti dengan seksama di dalam prasasti terdapat format penulisan yang terus diulang pada prasasti masa Hindu-Buddha. Menurut Boechari, pada isi prasasti pula didapatkan gambaran mengenai struktur kerajaan, struktur birokrasi, struktur kemasyarakatan, struktur perekonomian, agama, kepercayaan dan adat istiadat di dalam masyarakat Indonesia kuno [1]. Salah satu Epigraf Indonesia, Hasan Djafar berpendapat bahwa sebuah prasasti yang lengkap biasanya terdiri dari bagian-bagian berikut: (khusus prasasti Hindu Buddha masa Jawa kuno)

1.     seruan pembukaan, berupa seruan selamat atau seruan hormat untuk dewa.
2.     unsur-unsur penanggalan, yang menyebutkan hari,tanggal,bulan dan tahun, dan kadang-kadang dilengkapi pula dengan unsur-unsur astronomiknya.
3.     nama raja atau pejabat pemberi perintah.
4.     nama pejabat tinggi yang mengiringi, meneruskan dan menerima perintah.
5.     peristiwa pokok, yaitu penetapan suatu desa atau daerah menjadi sima.
6.     sambandha, berisi alasan atau sebab-sebab mengapa suatu desa atau daerah itu dijadikan sima.
7.     upacara jalannya penetapan sima.
8.     daftar para saksi atau pejabat yang hadir pada upacara penetapan sima.
9.     sumpah atau kutuk bagi siapa yang elanggar atau tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
10. penutup [2].


Pada sejumlah prasasti sering didapati bagian sambandha ditulis dengan panjang lebar, memuat uraian mengenai peristiwa-peristiwa politik yang dialami oleh raja-raja atau pejanat tinggi yang memberi anugerah sima. Kadang-kadang ada pula prasasti yang berisi uraian mgenealogi atau asal-usul seorang tokoh, serta peristiwa kesejarahan pada bagian sambandha-nya. Menurut Djafar, sambandha prasasti yang berisi genealogi dan peristiwa kesejarahan yaitu:

  • Prasasti Mulawarmman dari Kutei, Kalimantan Timur (pertengahan abad ke-5 M).
  • Prasasti Dapunta Selendra, Sojomerto, Jawa Tengah (awal abad ke-7 M).
  • Prasasti Pucangan dari Raja Airlangga tahun 1041.
  • Prasasti Mula-Malurung yang berasal dari tahun 1255.
  • Prasasti Sukamrta dari raja Majapahit pertama, Kertarajasa Jayawardhana tahun 1296.
  • Prasasti Bungur B, sebuah prasasti tinulad (turunan) yang dibuat pada masa Hayam Wuruk, tahun 1367.
  • Prasasti Kebantenan dari daerah Bekasi, Jawa Barat, pertengahan abad ke-14. 
  • Prasasti Batutulis, Bogor, Jawa Barat, tahun 1533.

                                   
Silsilah atau asal-usul keturunan mempunyai kedudukan yang penting dalam historiografi. Sejumlah silsilah dari beberapa prasasti menunjukkan fungsinya sebagai salah satu cara untuk memberikan pengesahan atau pengukuhan terhadap kedudukan seseorang. Sehingga dengan cara demikian ia dapat menempatkan dirinya dalam suatu dinasti tertentu dan secara sah mempunyai hak atas tahta kerajaan yang diwarisinya dari raja sebelumnya.

Sedangkan prasasti-prasasti yang berisi perisitiwa kesejarahan, khususnya peristiwa politik menurut Djafar yaitu prasasti:

  • Prasasti Wanua Tengah III dari Rakai Watukura Dyah Balitung, tahun 908.
  • Prasasti Pucangan, dari Raja Airlangga, tahun 1041.
  • Prasasti Mula Malurung tahun 1255.
  • Prasasti Kudadu tahun 1294 dari Raja Krtarajasa Jayawarddhana.
  • Prasasti Sukamrta tahun 1296 dari Raja Krtarajasa Jayawarddhana.


spesimen aksara Kawi, Prasasti Kudadu, reproduksi Raffles


Ringkasan Prasasti yang disebutkan diatas:
1.     Prasasti Mulawarman; prasasti ini berisi mengenai asal-usul Raja Mulawarman yang diketahui bahwa ia adalah anak Sang Aswawarman dan cucu dari Raja Kudungga.
2.     Prasasti Dapunta Selendra; prasasti ini memberikan penjelasan mengenai asal-usul Dapunta Selendra. Pada baris ke-6 sampai ke-10 disebutkan bahwa ayah Dapunta Selendra bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati dan istrinya bernama Sampula.
3.     Prasasti Pucangan; atau dikenal dengan prasasti Calcutta (karena disimpan di Kalkuta, India) merupakan salah satu prasasti yang memuat silsilah raja-raja Mataram yang berkuasa di wilayah Jawa Timur.Uraian genealogi ini telah menempatkan Raja Airlangga dalam wangsa Isana yang didirikan oleh Mpu Sindok Sri Isanatungga. Penempatan ini dalam wangsa Isana erat kaitannya dengan pewarisan tahta kerajaan Dharmawangsa Teguh. Dengan pembuatan silsilah ini raja Airlangga ingin memperkokoh dan sekaligus melegalisasi kedudukannya sebagai pewaris yang sah atas tahta kerajaan Dharmawangsa tersebut. Banyak peristiwa kesejarahan yang diceritakan di prasasti ini. Isi utama menyebutkan perintah agar daerah Pucangan, Barahem, Bapuri dijadikan daerah perdikan (sima) untuk kepentingan pendirian sebuah bangunan pertapaan bagi kepentingan pendirian sebuah bangunan pertapaan bagi para resi (dharmma karsyan). Setelah itu menceritakan mengenai peristiwa peperangan yang berkobar hingga disebut dengan pralaya.
4.     Prasasti Mula-Malurung; prasasti ini sehubungan dengan peresmian desa Mula dan desa malurung menjadi sima. Di dalamnya terdapat penjelasan yang cukup jelas mengenai raja-raja yang memerintah di Tumapel dan negara-negara wilayah kekuasaannya. Disebutkan pula istilah-istilah kekerabatan seperti: buyut (yuyut), kakek (kaki), ayah (bapa), paman (paman), mertua (ramatuha), kakak (kaka), adik misan (aryyamisan, ari wwang sanak amisan), anak (ranak, atmaja, putri), "yang dianggap anak" (saksat kapwa anak, saksat atmaja). Peristiwa kesejarahan yang termuat dalam prasasti ini ialah tentang meninggal dan dimakamkannya para raja pendahulu, kemudian penobatan para raja-raja setelahnya di beberapa tempat yang juga disebutkan. 
5.     Prasasti Sukamerta; prasasti ini menyebutkan bahwa Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana beristrikan empat putri Krtanagara, yaitu Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Dyah Dewi Narendraduhita, Dyah Dewi Prajnaparamita, Dyah Dewi Gayatri. Selanjutnya menyebutkan pula bahwa dari parameswari baginda memperoleh seorang putra bernama Sri Jayanagara. Dikisahkan pula mengenai sebab diberikannya prasasti ini yang berisi keputusan mengenai penetapan kembali kedudukan desa Sukamerta sebagai sima untuk Sang Apanji Pati-pati pu Kapat yang telah menunjukkan bakti dan kesetiaannya yang luar biasa kepada Sri Maharaja. Kemudian diceritakanlah kisahnya. 
6.     Prasasti Bungur B; prasasti ini memberikan keterangan mengenai hubungan genealogi Sri Rajasawarddhani dan suaminya Ranamanggala dengan raja Hayam Wuruk.
7.     Prasasti Kebantenan; berasal dari masa kerajaan Sunda sekitar pertengahan abad ke-16 M yang berisi keterangan silsilah raja-raja Sunda. Kini disimpan di Museum Nasional (E 42a). Silsilah tersebut menyebutkan bahwa Rahyang Niskala Wastukancana berputra Rahyang Ningrat Kancana.
8.     Prasasti Batutulis, Bogor; prasasti ini kini masih di tempat semula (in loco) berangka tahun 1455 Saka yang menyebutkan candrasangkala "panca-pandawa-ngemban-bumi". Menyebutkan bahwa Prabu Ratu Purana anak dari Rahyang Dewaniskala dan cucu dari Rahyang Niskala Wastukancana.
9.     Prasasti Wanua Tengah III; prasasti yang ditulis dengan bahasa Jawa Kuno ini isinya amat penting karena tidak hanya berupa hal-hal yang berhubungan dengan penetapan sima, tetapi juga menyebutkan tokoh-tokoh penting di kerajaan Mataram, diantaranya 12 orang raja disertai tahun penobatannya dan beberapa peristiwa yang menyertainya.
10. Prasasti Kudadu; prasasti yang dikeluarkan oleh raja Majapahit pertama, Sri Kertarajasa Jayawarddhana ini dalam rangka penetapan desa Kudadu menjadi sima untuk kepala desa Kudadu karena telah memberikan perlindungan dan bantuannya bagi Sri Maharaja ketika belum menjadi raja olehkarena dikejar-kejar musuh. Kemudian diceritakanlah kisahnya. 

[1]. Boechari, 1965, "Epigraphy and Indonesian Historiography", dalam Soedjatmoko et.al (eds.), An Introduction to Indonesian Historiography. Ithaca/New York: Cornell University Press, hlm: 47-73.
[2]. Hasan Djafar, 1991, "Prasasti dan Historiografi" dalam Seminar Sejarah Nasional IV: Sub Tema Historiografi. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm: 177-216.


1 komentar:

  1. Kalau tidak keberatan, saya ingin sekali adanya tulisan yang membahas secara khusus tentang PRASASTI KUDADU, PRASASTI SUKAMERTA dan PRASASTI BALAWI. Kalau bisa dicantumkan pula isi lengkap dari ketiga prasati tersebut. Semoga harapan saya di atas mendapatkan tanggapan yang positif. Terimakasih.

    Hormat saya,

    Duwan Wongsorejo Kromosemito
    Email : wongsokromosemito@ymail.com

    BalasHapus