Kamis, 28 November 2013

The Seals of Ancient Kingdom (India)

Foto: Emmanuel Francis


three seals above from the Karandai Inscription
(Foto: Emmanuel Francis)












Balakhrishnan Nayar, 1966, The Dowlaishweram hoard of eastern Calukhyan and Chola coins, Bulletin of The Madras Government Museum: Madras

Rabu, 06 November 2013

Makanan dan Minuman dalam Prasasti Abad 9-10 Masehi

Anita Swandayani

Sumber data diambil dari beberapa prasasti yang bertemakan penetapan sima, yaitu prasasti Taji 901 M, prasasti Paṅgumulan 902 M, prasasti Watukura I 902 M, prasasti Mantyasih I 907 M, prasasti Mantyasih III, prasasti Rukam 907 M, prasasti Lintakan 918 M, prasasti Saŋguran 928 M, prasasti Guluŋ guluŋ 929 M, prasasti Jeru jeru 930 M, prasasti Alasantan 939 M, dan prasasti Paradah 943 M.

Prasasti Taji 901 M, berisi hidangan yang disediakan untuk para hadirin mencapai 57 karung beras, 6 ekor kerbau, 100 ayam. Hidangan yang lain berupa aneka makanan yang diasinkan, daging asin yang dikeringkan, ikan kaḍiwas, ikan gurame, biluŋluŋ, telur dan rumahan. Untuk minum disuguhkan berbagai macam tuak yang berasal dari jnu, bunga campaga, bunga pandan dan bunga karamān.

Prasasti Paṅgumulan 902 M, berisi hidangan yang disediakan pada waktu upacara penetapan sima di desa Paṅgumulan, adalah nasi matiman, bertumpuk/banyak sekali makanan yang diasinkan, ikan kakap dan ikan kadawas yang dikeringkan, rumahan, layar-layar, udang, hala hala dan telur. Untuk dijadikan sayur disediakan dua ekor kerbau dan seekor kambing. Selain itu ada juga amwil lamwil, kasyan, kwĕlan yang dipiṅkā, dan sayuran yang berupa rumwarumwah, sayuran lalap matang, ḍuḍutan, tetis. Minuman keras yang disediakan adalah tuak, siddhu, yang lain adalah jātirasa dan air kelapa.

Prasasti Watukura I 902 M, memberikan keterangan bahwa semua yang hadir pada waktu upacara penetapan sima di desa Watukura disuguhi berbagai macam hidangan seperti ambil ambil, kasyan, let let, tahulan, ikan wagalan, haryyas, sayuran lalap matang, suṇḍa, rumbah, haraŋ haraŋ, ikan kakap kering, ikan kaḍiwas, tenggiri, cumi-cumi, udang dan biluŋluŋ. Sedang minuman yang disediakan adalah pāṇa, siddhu, mastawa, kiñca, kilaŋ, dan tuak.

Prasasti Mantyasih I 907 M, memberikan keterangan bahwa hidangan yang disediakan berupa masakan (dari daging) kerbau, babi, kijang dan kambing. Selain itu ada juga bermacam-macam makanan enak seperti haraŋ haraŋ, daging asin, daging hañaŋ, daging taruŋ serta udang, hala hala dan telur.

Prasasti Mantyasih III, berisikan keterangan berupa masakan (dari daging) kerbau, babi, kijang dan kambing dan berbagai macam haraŋ haraŋ.

Prasasti Rukam 907 M, memberikan keterangan mengenai hidangan yang disediakan pada upacara penetapan sima di desa Rukam berupa nasi paripūrṇna timan, melimpah ruah masakan haraŋ haraŋ, ikan kakap kering, ikan kadiwas, ikan ḍuri, daging hañaŋ yang dikeringkan, ikan gurame, rumahan, layar layar, hala hala, udang, dlag (ikan gabus) yang digoreng dengan telur, dan kepiting. Ada juga sayur yang terbuat dari daging kerbau, sapi dan babi. Semua makan yang disukai dibuat masakan serba lezat. Ada amwil amwil, atah atah, kasya kasyan, saṅasaṅān, ḍalamman, hinaryyasan, rumwarumwah, sayuran lalap matang, ḍuḍutan dan tetis. Minuman yang tersedia ialah tuak, siddhū, ciñca.

Prasasti Lintakan 919 M, keterangan mengenai makanan tidak di dapat, namun minuman yang tersedia berupa tuak, siddhu dan ciñca.

Prasasti Saŋguran 928 M, terdapat hidangan berupa nasi ḍaṇḍanani hiniru, ambilambil, kasyan, lit lit, masakan ranak, sangasangān, āryya, rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, berlimpah ruah daging asin, bilunglung, ikan kaḍiwas, udang, ikan gurame, layalayar, halahala dan telur yang dikeringkan. Selain itu masih ada sejumlah makanan atatmipihan dan sayur yang tidak diketahui bahan utamanya. Untuk minuman, disediakan siddhu, ciñca, kila. Pada prasasti ini diketahui juga bahwa selain makanan utama, para hadirin diberikan pula tambul dan dodol.

Prasasti Guluŋ guluŋ 929 M, bagian yang dapat diketahui hanya berupa nasi paripurṇna.

Prasasti Jeru jeru 930 M, dalam prasasti ini dapat diketahui bahwa hidangan upacara penetapan sima di desa Jeru jeru saat itu diletakkan di atas daun kawung (daun pohon enau). Hidangannya berupa nasi paripūrṇna, sangkab, wulu, kaṇḍari, ikan kaḍiwas, daging asin, daging..., slar, capacapa, rumahan, udang, bilulung, halahala, telur yang dikeringkan dan wuluninggangan (wulu yang dibuat sayur). Selain itu ada juga masakan kasyan dengan rasa manis, tĕwangān, masakan ranak, alap alap, sayuran lalap matang, tetis dan tambul. Minuman yang disuguhkan tidak diketahui.

Prasasti Alasantan 939 M, hidangan yang tersedia berupa dandanan hinirusan, masakan ambilambil, lit lit, masakan ranak, sangasangān, haryyas, rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, melimpah ruah daging hañaṅ, daging asin, ikan kakap, udang, bijañjan, ikan kadiwas, ikan gurame, layarlayar, halahala, telur yang dikeringkan, sunda, masakan atak pīhan, daging kerbau, berbagai macam ikan termasuk ikan praṅ paṅ paṅ, daging kijang, babi dan angsa. Minuman yang tersedia adalah siddhu, tuak dan kilaṅ, kemudian diberi hidangan tambul yang diañjap, kura, wuku, rih, hasam dan dodol.

Prasasti Paradah 943 M, dalam upacara penetapan sima desa Paradah menikmati hidangan berupa nasi dākdannan linirusan, masakan ambilambil, kasyan, lidlid, waragalan, rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, daging hañaŋ, daging asin, ikan kakap, rumahan, ikan kadiwas dan ikan gurame. Selain itu ada juga hidangan berupa masakan udang, kepiting, bilulung, layarlayar, halahala, telur yang dikeringkan, suṇḍa, atak pīhan, tahulan, dan sīnangannan, haryya, sayur, berbagai macam ikan dan daging kijang. Minuman yang tersedia berupa siddhu, ciñca, dan tuak. Kemudian diberikan hidangan tambul yang diañjap, kura, wuku, rima, asam dan dodol, kemudian memakan rujak setelah memakai bunga dan jnu.

Haryyas/hinaryyasan/āryya : sayur dari batang pisang
Atah atah/ḍuḍutan: lalap mentah
Kuluban/kulub: lalap matang
Tetis : makanan yang diremas
Rumwarumwah/rumbarumbah: lalapan
Atak pīhan: sejenis kacang-kacangan
Wuku: sejenis biji-bijian
Suṇḍa: akar-akaran/umbi-umbian
Skul/sgu: nasi
Kura/capacapa: kura kura
Hnus: cumi
Huraṅ: udang
Gtam: kepiting
Dlag : ikan gabus
Kawan: ikan gurame
Taṅiri: ikan tenggiri
Tahulan : tulang atau duri ikan
Biluŋluŋ/ bijañjan,halahala,duri,kaḍawas,kaḍiwas,kaṇḍari,layarlayar,prah,rumahan,slar,wagalan: sejenis ikan
Hangsa: angsa
Hayam: ayam
Hantiga/hantrīni/hantlu: telur
Celeṅ/wök: babi
Hadahan/kbo: kerbau
Kidaŋ/knas: kijang
Wḍus: kambing

Minuman biasanya berupa minuman keras, seperti:
Jātirasa, madya, mastawa, pāṇa, siddhu dan tuak/twak
Tuak: hasil sulingan dari semacam gula, selain berasal dari aren/kelapa juga dibuat dari:
Jnu, pandan (puḍak), bunga/skar campaga dan bunga/skar karamān.

Minuman lainnya:
Ciñca/kiñca: air asam jawa
Dūh ni nyūn: air kelapa
Kila/kilaṅ: hasil fermentasi gula tebu

SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA, 1989

Kamis, 24 Oktober 2013

Kajian Sebuah Peradaban yang Serumpun dengan Nusantara: Campa (Vietnam) Hasil Penelitian Baru dan Metodologi Ilmu Budaya

Prof.Dr.Arlo Griffiths
2009

Kajian ini untuk menjelaskan peranan potensial jurusan arkeologi, dan khususnya peminatan epigrafi, dalam hal pembentukkan kajian Asia Tenggara. Di negara inilah sampai sekarang tinggal satu suku minoritas berjumlah kira-kira 100.000 orang yang bernama Cam, hampir semuanya penduduk provinsi Ninh Thuan, beberapa ratus kilometer ke arah timur laut dari Kota Ho Chi Minh. Orang Cam ini yang sebagiannya beragama Islam dan yang bahasanya masih memuat banyak unsur kosa kata yang sangat mirip bahasa Melayu, merupakan ahli waris sebuah peradaban klasik beragama Hindu-Budhha, yang kemudian memeluk Islam, dan yang bahasanya sangat dekat, secara linguistis dengan bahasa Melayu Kuno. Sumber-sumber sejarah peradaban ini menyebutkan Negara Campa. Pada zaman kuno, negara tersebut menduduki luas wilayah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan wilayah yang diduduki orang Cam sekarang ini.

Negara tersebut juga saya katakan serumpun dengan peradaban Nusantara. Kemudian muncul istilah lain lagi, Indochina. Pada zaman kolonial istilah ini digunakan untuk jajahan Prancis di Asia Tenggara, yang kemudian menjadi negara merdeka Kamboja, Laos dan Vietnam. Hal menarik adalah bahwa istilah Indochina sekarang ini dianggap kurang cocok dan malah politically incorrect oleh para ilmuwan tingkat internasional. Di Malaysia, peradaban Campa dianggap serumpun dengan peradaban Melayu.

Mengenai istilah Nusantara, disini saya menggunakan dalam definisi sedikit kurang luas untuk merujuk pada wilayah itu yang bahasa pemerintahannya pada zaman kuno adalah Melayu atau Jawa di samping bhasa Sansekerta; yang dahulu beragama Hindu-Buddha kemudian memeluk Islam dan yang berbagi beberapa ciri budaya lainnya. Secara parentetis, saya mengakui bahwa saya merasa istilah Nusantara masih kurang sesuai dengan keperluan peristilahan kajian Asia Tenggara, baik dalam definisi luas maupun dalam hal yang lebih terbatas, akan tetapi disini saya tidak bermaksud membahas masalah ini.

Kajian ini berdasarkan penelitian epigrafi dalam rangka proyek Corpus of the Inscriptions of Campa yang terdiri atas beberapa ahli yaitu Dr. Thanh Phan (profesor antropologi Vietnam), Dr. William Southworth (arkeolog Inggris), Amandine Lepoutre (calon doktor dalam sejarah Campa), dan saya sendiri (EFEO) serta bekerjasama dengan Puslit Arkenas.

Sifat Dasar Korpus
Prasasti-prasasti Campa adalah teks yang diperintahkan untuk dipahatkan oleh penguasa atau anggota lain masyarakat elit Cam, sebagian besar untuk menandakan sebuah peristiwa seperti pembangunan satu patung pemujaan, pemberian sebuah obyek pemujaan atau sumbangan lahan tanah tertentu untuk menjamin pemujaan di salah satu candi. Yang khas adalah isi dokumen-dokumen ini melangkahi batas bidang duniawi dan religius dan penting bagi struktur kronologis kajian peradaban Campa, dokumen ini sangat sering dilengkapi dengan tanggal yang jelas dan nyata. Tanggal-tanggal tersebut berkisar dari abad ke-6 sampai abad ke-15 Masehi.

Kebanyakan teks-teks ini dipahatkan pada batu: dari batu besar alami sampai batu stela yang dipahat dengan sangat terperinci, hingga pilar pintu atau ambang atas yang dipasang pada pintu masuk candi. Ada sejumlah dinding batu bata atau elemen arsitektural terakota yang dipahat dengan aksara. Ada sejumlah kecil benda pemujaan dari logam yang mengandung prasasti, seperti pembawa dupa (seperti yang disebutkan dalam prasastinya, C.206). Khususnya, seperti dalam kasus epigrafi Kamboja, tidak ada lempeng tembaga atau perunggu bertulis, yaitu kelompok sumber epigrafis yang begitu umum dalam epigrafi India dan Jawa-Bali. Permukaan yang dipahat beragam ukirannya, mulai dari beberapa sentimeter persegi (MY SON E1) sampai beberapa meter persegi (C.17). Atau dari satu suku kata sampai puluhan baris.

Aksara yang digunakan adalah turunan dari apa yang disebut aksara brahmi yang berasal dari India masa sebelum Masehi. Pada abad-abad awal, benar-benar tidak dapat dibedakan tulisan yang ditemukan dalam inskripsi yang sezaman dari India Selatan, Kamboja atau Nusantara, akan tetapi menjelang abad ke-12 M, sistem tulisan ini berkembang menjadi baik sangat teratur bahkan cukup membingungkan, dengan tipe aksara yang sangat keriting. Namun demikian, meskipun perubahan-perubahan dalam bentuk huruf dari awal tulisan Campa sampai aksara-aksara yang masih digunakan. Orang Cam masa kini tulisannya tetap menggunakan sistem India sepenuhnya. Ini berarti bahwa ada banyak ragam vokal, diftong dan konsonan yang bisa direpresentasikan, yang merupakan keuntungan besar bagi pemahaman historis yang baik mengenai bahasa yang dipakai. Bahasa-bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Sansekerta dan bahasa Austronesia Cam Kuno.

Satu pengecualian dari aturan yang mengatakan bahwa prasasti-prasasti awal ditulis dalam bahasa Sansekerta, adalah inskripsi Dong Yen Chau, yang dianggap sebagai dokumen tertulis tertua dalam sebuah bahasa Austronesia dan sepertinya memang paling tidak satu abad lebih tua daripada dokumen tertua Melayu Kuno, yaitu prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan pulau-pulau sekitarnya. Prasasti Melayu Kuno tersebut merupakan sumber yang paling penting dalam rangka historiografi Nusantara Kuno, seandainya jumlahnya lebih banyak.

Sejarah penelitian epigrafi Campa
Abel Bergaigne adalah pioner dan yang tak terkalahkan untuk prasasti Campa berbahasa Sansekerta dan termasuk generasi pertama. Penelitiannya diterbitkan oleh August Barth pada 1893. Sedangkan studi mengenai prasasti berbahasa Cam Kuno diterbitkan oleh Etienne Aymonier pada 1891. Setelah para peneliti tersebut munculah Finot dan Coedes. Louis Finot (sebagai pendiri EFEO) yang menandatangani hampur seluruh publikasi mengenai prasasti baik dalam bahasa Sansekerta maupun Cam Kuno yang terbit pada dua dekade awal abad ke-20. Adapula Edouard Huber dan Paul Mus. George Coedes dan Henri Parmentier pada 1923 mengeluarkan satu jilid inventaris umum monumen dan prasasti Campa dan Kamboja, serta beberapa penambahan pada terbitan terakhir tahun 1942.

Selanjutnya, penelitian terbaru tahun 2009 yang mencakup mengidentifikasi prasasti yang sudah dan belum diinventariskan. Pertama, dimulai di Hanoi dengan koleksi penting di Museum Sejarah Nasional, kemudian menyusuri pesisir provinsi Quang Nam, Khan Hoa dan Ninh Thuan dan juga berhenti du museum Da Nang dan Kota Ho Chi Minh. Salah satu prasasti yang ditemukan paling penting yaitu prasasti stela yang dikeluarkan untuk memperingati peresmian lingga di menara pusat dari kompleks Candi Hoa Lai. Menara pusat ini sebenarnya sudah roboh pada saat ini, sedangkan dua menara yang sisanya baru saja diperbaiki. Prasasti situs ini memuat angka tahun persis di tahun Saka 700, yang bisa diterjemahkan hari Senin, 4 Juni tahun 778 Masehi (sama dengan dikeluarkannya prasasti Kalasan di Indonesia).

Salah satu alasan yang membuat prasasti tertua dari daerah Phan Rang ini menarik adalah kenyataan bahwa prasasti ini sangat jelas memberikan pernyataan tertua mengenai nama daerah ini. Tidak dalam versi bahasa Cam berbunyi Panrang dan juga tidak dalam versi yang sudah disansekertakan dari bahasa Cam yang banyak dipakai di abad-abad berikutnya, yaitu Panduranga, tetapi dalam bentuk Pandaranga tanpa u. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja yang berkuasa, Satyavarman yang dari masa pemerintahannya telah ditemukan prasasti lain yang memberikan informasi kepada kita bahwa musuh-musuh dari Jawa, apapun kesatuan geografis yang mungkin ditunjukkannya, menyerang Campa.

Kata vanyaaga yang terdapat pada salah satu prasasti yang telah diinventarisasikan oleh Coedes pada 1923, sering kali muncul dalam prasasti Jawa Kuno yang artinya sama dengan niaga, berniaga dan kata lain yang berhubungan. Kenyataan bahwa kami menemukan kata pinjaman India yang sama ini dalam korpus-korpus epigrafis Jawa Kuno dan Campa dan juga dalam teks Melayu Klasik, merupakan bukti yang kuat tentang jaringan perdagangan yang telah menyatukan Nusantara dan tetangga dekatnya sepanjang periode sejarah.

Situs tentang Korpus Prasasti Campa sudah dapat diakses sekarang, kunjungi di:
Corpus of the Inscriptions of Campa
http://pipsqueak.atlantides.org/cic/inscriptions/






Jumat, 11 Oktober 2013

List of Kings of Campā (Daftar Raja-Raja Campā)


List of Kings of Campā
(Daftar Raja-Raja Campā)


First Dynasty
ca.270                          : Phạm Hung
?-336                           : Phạm Dât

Second Dynasty
336-349                       : Phạm Văn
349-?                           : Phạm Phât
ca.399-ca.413              : Phạm Hodat
before 399-ca.413        : Phạm Tu-Dât (Bhadravarman I)
ca.413-415                  : Dich Cho’n

Third Dynasty (Capital: Campāpura)
4221-446                     : Phạm Duong Mai
ca.446-ca.454              : n.n
ca.454-ca.480              : Phạm Than Thánh
ca.480-ca.491              : Phạm Dang Tnánh
ca.492-500                  : Pham Chu Nong
ca.502                          : Pham Van Ton
ca. 510-ca.514             : Pham Thiên Kuoi (Devavarman)
526/27-529                  : Cao Thuc (Vijayavarman)

Fourth Dynasty (Capital: Siṃhapura)
529-580                       : Rudravarman (Cao-thuc)
ca.580-629                  : Śambhuvarman (Phạm Phan Chi)
ca. 629-after 640         : Kandarpadharma (Phạm Dau Le)
after 640-645               : Prabhāsadharma (Fan Zhenlong)
645-646                       : Bhadreśvavarman
646-647                       : f.
647-653                       : Bhadreśvaravarman II
653-after 687               : Prakāśadharman Vikrāntavarman I
after 687-after 700      : Naravāhanavarman
before 713-after 730   : Vikrāntavarman II
before 749-757            : Rudravarman II

Fifth Dynasty (Capital: Vīrapura, later Kauṭhāra)
before 758-after 770   : Pṛthivīndravarman
ca.774-after 785          : Satyavarman
after 787-820               : Indravarman I
ca. 820-854                 : Harivarman I
ca. 854-875                 : Vikrāntavarman III

Sixth Dynasty (Capital: Indrapura)
ca. 875-898                 : Indravarman II
ca. 898-after 903         : Jaya Siṃhavarman I
ca. 903                         : Jaya Śaktivarman
ca. 906-after 910         : Bhadravarman II
before 918-959            : Indravarman III
ca.960-971                  : Jaya Indravarman I
ca.971-982                  : Parameśvaravarman
982-983                       : Indravarman IV
983-986                       : Lu’u Ky Tông
ca.988                          : Indravarman  V

Seventh Dynasty (Capital: Indrapura, Vijaya)
989-998                       : Harivarman II
998-1007                     : Yan Po Ku Vijaya
1007-after 1015           : Harivarman III
before 1018-after 1020 : Parameśvaravarman II
before 1030-1041        : Vikrāntavarman IV
1041-1044                   : Jaya Siṃhavarman II

Eight Dynasty (Capital: Vijaya)
1044-1060                   : Jaya Parameśvaravarman I
1060-1061                   : Bhadravarman III
1061-1074                   : Rudravarman III

Ninth Dynasty (Capital: Vijaya)
1074-1080                   : Harivarman IV
1080                            : Jaya Indravarman II
1081-1086                   : Paramabodhisatva
1086-1113                   : Jaya Indravarman II
1113-1139                   : Harivarman V

Tenth Dynasty
1139-1145                   : Jaya Indravarman III
1145-1149                   : Occupied by Khmer Empire
1148-1149                   : Harideva

Eleventh Dynasty
1149-1166/67              : Jaya Harivarman I
1166/67                       : Jaya Harivarman II
1167-after 1185            : Jaya Indravarman IV
before 1190-1191        : Jaya Indravarman V
1191                            : conquest by Khmer Empire
1191-1192                   : Sūryajayavarmadeva
1192                            : Jaya Indravarmadeva Raṣupati
1192-1203                   : Sūryajayavarmadeva, prince Vidyānanda
1203-1220                   : Dhanapatigrāma
1220-1252                   : Jaya Parameśvaravarman VI
1257-after 1285            : Jaya Siṃhavarman II, Indravarman V
1283-1285                   : Occupation of Mongol
before 1288-1307        : Jaya Siṃhavarman III
1307-1311                   : Mahendravarman
1311-1318                   : Jaya Siṃhavarman IV

Twelfth Dynasty (Capital: Vijaya)
1318-1342                   : Chê A-nan
1342-1360                   : Tra Hoa
ca.1360-1390              : Chê Bông Nga

Thirteenth Dynasty (Capital: Vijaya)
1390-1400                   : Jaya Siṃhavarman IV
1400-1441                   : Brsu Viṣṇujāṭṭi Vīra Bhadravarman Indravarman VI
1441-1446                   : Mahā Bi-cai
1446-1449                   : Mahā Qui-lai
1449-1457/58              : Mahā Qui-do

Fourteenth Dynasty (Capital: Vijaya)
1458-1460                   : Mahā Ban-la Tra-Nguyêt
1460-1471                   : Mahā Ban-la Tra-toan
1471                            : Conquered by Annam



Karl-Heinz Golzio (Ed.),2004
Inscriptions of Campā, German:Shaker Verlag


Senin, 15 Juli 2013

STEMPEL DAN CAP; FUNGSI DAN SEJARAHNYA



Trigangga


            Arkeologi atau widyapurba adalah ilmu yang berupaya merekonstruksi kehidupan manusia masa lalu berdasarkan artefak-artefak yang ditinggalkannya. Artefak-artefak yang berasal dari periode prasejarah sampai periode sejarah ini diteliti oleh para ahli arkeologi dan sejarah. Beberapa di antaranya diteliti secara khusus menjadi ilmu-lmu bantu dalam arkeologi juga ilmu-ilmu dasar sejarah. Seperti iconography (= ilmu mengenai arca-arca); epigraphy (= lmu mengenai tulisan-tulisan pada batu, logam, dan bahan-bahan keras lain); numismatic (= ilmu mengenai mata uang); heraldry (= ilmu mengenai lambang-lambang dan maknanya), dan lain-lain.
            Ada satu ilmu yang barangkali belum banyak mendapat perhatian dari para ahli arkeologi dan sejarah, yaitu sigillography. Sigilografi berasal dari bahasa Latin, sigillum, yang artinya “patung/gambar kecil, ukiran timbul/relief, cap, meterai” (Poerwadarminta 1969: 791). Jadi, sigilografi adalah ilmu pengetahuan mengenai setempel/cap/meterai (The New Encyclopaedia Britanica, vol.16, 1983:741)[1].
Stempel, cap, dan meterai, sebenarnya ketiga kata itu merupakan sinonim. Tetapi, pada kenyataannya kata-kata itu ada sedikit perbedaan. Stempel berasal dari bahasa Belanda, stempel, adalah benda atau alat yang permukaannya berukir gambar, tulisan atau keduanya yang dapat menghasilkan cap. Cap, dari bahasa Hindi, capa (A. Hassan 1949:54) ditafsirkan sebagai hasil cetakan gambar, tulisan, atau keduanya pada suatu benda. Sedangkan meterai dari bahasa Tamil, muttirai (A. Hassan 1949:30). Pengertiannya hampir sama dengan cap tetapi dalam kenyataan sehari-hari orang cenderung menafsirkan sebagai benda semacam perangko yang dibubuhkan pada kertas-kertas berharga seperti kuitansi, ijasah, surat perjanjian, dan lain-lain.

Stempel
            Stempel dan cap adalah dua benda yang berhubungan erat. Kalau stempel adalah bagian “negatip”, maka cap adalah bagian “positip”. Sebagaimana telah disebutkan, stempel adalah alat yang permukaannya berukir gambar, tulisan atau keduanya yang dapat menghasilkan cap. Ada hal yang perlu diperhatikan jika stempel dibuat, yaitu ukiran pada permukaannya harus dibuat terbalik agar dihasilkan cap sesuai keinginan. Cara seperti itu terutama berlaku pada gambar dan tulisan yang tidak simetris. Jika ukiran gambar dan tulisan itu simetris (misalnya huruf-huruf A, M, T, V, dan sebagainya) maka hal itu tidak menjadi soal karena cap akan memperlihatkan gambar dan tulisan yang sama seperti ukiran pada stempel. Jadi, itulah perbedaan pokok antara.stempel dan cap.
            Stempel umumnya dibuat dari bahan-bahan yang keras. Misalnya dari logam atau batu semi permata. Bahan lain yang elastik misalnya karet dapat juga digunakan. Bentuk permukaan stempel umumnya bundar atau lonjong, tetapi ada juga yang segi empat panjang, bujur sangkar, segi delapan, dan lain-lain.
            Model stempel yang dikenal selama ini ada dua macam. “Stempel genggam” dan “stempel cincin”. Stempel genggam adalah stempel yang gagangnya biasa dipegang dengan kelima jari. Model ini sangat umum dijumpai sejak dulu sampai sekarang. Sedangkan stempel cincin (signet ring) adalah stempel berupa cincin. Biasanya dikenakan pada jari tengah atau jari manis. Model ini mungkin tidak dijumpai lagi pada masa sekarang. Dulu digunakan oleh raja-raja atau pejabat-pejabat tinggi kerajaan sekaligus menjadi perhiasan. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau stempel cincin umumnya dibuat dari emas dengan atau tanpa batu semi permata.

Cap
            Sebagaimana telah disebutkan cap adalah hasil cetakan gambar, tulisan, atau keduanya pada suatu benda. Tetapi, tidak semua yang dihasilkan dengan cara mencetak disebut cap. Pengertian cap terbatas sebagai tanda keabsahan sebuah dokumen.
            Dari hasil pengamatan dapat diketahui cara orang membuat cap; [a]  ditekan : permukaan stempel yang berukir ditekan dengan tangan pada bahan-bahan lunak seperti lak, tanah liat, lilin (beeswax). Bahan-bahan untuk cap ini sudah digunakan lama sejak awal abad ke-1 Masehi, dan mulai jarang digunakan hingga abad ke-19. Selain bahan-bahan lunak tersebut orang juga menggunakan bahan cair (tinta) untuk membuat cap, ini yang sangat umum digunakan pada masa sekarang. Cap yang dihasilkan dari bahan itu lazimnya dikenakan pada lembaran kertas; [b] ditempa: biasanya ini dikenakan pada bahan yang keras yaitu logam. Caranya stempel dihantam dengan palu sampai membekas pada kepingan logam (misalnya uang logam) dan menghasilkan sebuah cap; [c] selain kedua cara di atas, mungkin orang juga pernah membuat cap tanpa memerlukan stempel. Cara yang dimaksud adalah dengan memahat atau mengukir pada batu atau menggores pada logam. Contoh mengenai cap yang dibuat dengan cara ini akan diterangkan lebih lanjut.

Fungsi Stempel/Cap
            Stempel/cap adalah bentuk simbolis yang mewakili kehadiran seseorang (contohnya raja) atau kelompok (contohnya lembaga-lembaga pemerintah). Jika kedua pihak mengadakan perjanjian biasanya ada bukti berupa pernyataan tertulis yang isinya disepakati bersama. Agar isi perjanjian itu menjadi sah maka masing-masing pihak diminta membubuhkan “tanda pengenal” berupa tanda tangan atau cap, atau dapat juga keduanya (tidak jarang meterai juga digunakan untuk keperluan ini). Dengan demikian pihak-pihak yang telah membubuhkan tanda pengenal sepakat untuk memberlakukan isi perjanjian itu. Apabila salah satu pihak di kemudian hari melanggar isi perjanjian, yang bersangkutan dapat diajukan tuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Jelaslah, tanpa kehadiran stempel/cap di samping tanda tangan dari satu atau semua pihak yang bersangkutan perjanjian atau dokumen-dokumen penting lainnya dianggap tidak sah dan isinya tidak dapat diberlakukan atau dipertanggungjawabkan.
            Selain itu cap digunakan untuk memberikan jaminan atau keutuhan barang, misalnya cap (lebih sering disebut “segel”) pada lipatan amplop berisi dokumen penting atau rahasia. Jika segel (dengan sengaja) dirusak berarti barang itu telah diketahui isinya/digunakan.

Manfaat Pengetahuan Sigilografi
            Sigilografi tidak hanya pengetahuan mengenai bentuk fisik dan usia sebuah stempel. Melainkan juga mempelajari isi dokumen-dokumen yang dibubuhi cap dan meterai. Sebagaimana telah disebutkan bahwa stempel/cap adalah bentuk simbolis yang mewakili kehadiran seseorang atau kelompok. Stempel/cap yang dibuat oleh perseorangan atau kelompok tentu mempunyai ciri tersendiri yang dapat dibedakan. Oleh sebab itu, penelitian atas bentuk fisik benda-benda tersebut dapat mengungkapkan siapa pemiliknya. Demikian juga penelitian atas isi dokumen yang dibubuhi cap/meterai dapat mengungkapkan apakah dokumen-dokumen itu asli atau palsu.
            Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dari peranan stempel/cap. Untuk mengurus akte kelahiran, ijazah, sertifikat tanah, dan lain-lain kita memerlukan cap di samping tanda tangan. Tanpa pembubuhan cap dan/atau tanda tangan dokumen-dokumen itu belum sah. Begitu pentingnya arti sebuah cap dan tanda tangan sampai orang berani melakukan perbuatan tidak terpuji yaitu manipulasi dokumen-dokumen penting dengan cara memalsukan cap dan tanda tangan untuk memperoleh fasilitas atau memperkaya diri. Oleh karena fungsi cap sudah lama dikenal sejak abad ke-11 Masehi kasus penyalahgunaan seperti itu tentu pernah terjadi.
            Dahulu sebelum orang menerima tanda tangan sebagai bukti pengesahan sebuah dokumen orang hanya mengenal stempel/cap untuk maksud tersebut. Bukti bahwa bangsa Indonesia sejak abad ke-11 sudah mengenal kegunaan stempel/cap dapat ditelusuri dalam sumber-sumber tertulis.
            Dalam catatan sejarah Dinasti Song (906 – 1279) yang mencatat keadaan masyarakat Indonesia kuno, salah satu uraian menyatakan: “…mereka menulis dalam huruf Sanskrit dan raja mengenakan cincinnya sebagai stempel juga; mereka pun tahu huruf China dan kalau mengirim surat beserta upeti mereka menggunakan stempel cincin dalam huruf-huruf tersebut…” (Groeneveldt 1876:62-63). Dari uraian tadi jelas bahwa stempel sudah digunakan untuk mengesahkan surat-surat diplomatik pada waktu itu.
             Berita China di atas menyebut stempel cincin (signet ring) yang dikenakan oleh raja. Stempel cincin itu tentunya berhias tulisan yang dibuat terbalik. Contoh mengenai ini dapat dilihat di Museum Nasional Jakarta. Di sini tersimpan koleksi stempel cincin sekitar 15 buah. Benda-benda ini bertulisan aksara Jawa Kuno yang dibuat terbalik, sebagian besar berbunyi “śrīhana”. Ditinjau dari sudut paleografi cincin-cincin stempel ini dibuat sekitar abad ke-12 – 13 M.
            Sekarang, bagaimana menemukan bukti sebuah cap pada abad-abad yang lebih awal? Tampaknya usaha ini tidak mudah mengingat cap umumnya dibuat dari bahan yang rapuh dan mudah hilang. Cap sebagai tanda pengesahan keberadaannya harus dicari pada sebuah dokumen. Masalahnya tidak semua dokumen yang dibubuhi cap mampu bertahan mengarungi perjalanan waktu dari masa ke masa. Kebanyakan dokumen dari bahan yang rapuh sudah lebih dulu hancur ditelan zaman. Sedikit sekali dokumen yang kondisinya awet sampai sekarang. Dokumen yang dimaksud adalah prasasti dari batu dan logam.
            Prasasti adalah suatu keputusan resmi yang umumnya dikeluarkan oleh raja atau pejabat tinggi kerajaan, berisi anugerah, hak dan kewajiban yang dikukuhkan dengan berbagai upacara (Trigangga 1989/1990:31). Agar keputusan resmi ini sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis maka kehadiran cap sangat diperlukan. Kebutuhan akan cap untuk maksud tersebut sudah membudaya sejak abad ke-11. Pada abad itu banyak prasasti berisi keputusan raja yang dibubuhi cap kerajaan. Maksudnya untuk melindungi hak-hak penerima anugerah dari segala tuntutan yang mungkin terjadi di kemudian hari. Sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak abad-abad sebelumnya, tetapi sayang dokumen-dokumen yang sampai ke tangan kita berupa prasasti-prasasti tinulad, yaitu prasasti-prasasti yang disalin kembali pada zaman kemudian, isinya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, boleh dikatakan Raja Airlanggalah yang pertama kali “menanamkan kebiasan” membuat dokumen (prasasti) dengan cap kerajaan, yang kemudian diikuti oleh penerusnya dari kerajaan-kerajaan Janggala dan Panjalu (Kadiri).
              Petunjuk tentang adanya sebuah cap pada sebuah prasasti dinyatakan dengan istilah tinanda, artinya “bertanda” atau “ditandai” atau “diberi cap”. Sayangnya sebagian besar prasasti, khususnya prasasti logam (tāmra praśāsti), dibubuhi cap dalam ungkapan tulisan sehingga bentuk nyata dari cap itu tidak diketahui pasti. Contohnya prasasti Tuhanyaru tahun 1245 Saka atau 1323 M yang diberi cap “dua ekor ikan” (tinanda mīnadwaya). Di sini kita tidak tahu bagaimana wujud nyata  cap “dua ekor ikan” itu, apakah ikan-ikan itu dalam posisi berjajar kepala dengan kepala atau kepala dengan ekor? Hanya ada beberapa prasasti yang dibubuhi cap dalam bentuk nyata, dipahatkan pada batu berupa relief di atas tulisan.
Cap pada batu memang tidak menggunakan stempel mengingat bahan itu tidak memungkinkan untuk dibuatkan cap dengan cara ditekan atau ditempa seperti kita membuat cap pada selembar kertas atau sekeping logam. Caranya tentu saja harus diukir dengan menggunakan pahat hingga membentuk relief yang diinginkan.
            Sebuah contoh prasasti yang dibubuhi cap dalam wujud nyata adalah prasasti Baru tahun 952 Saka atau 1030 M (Brandes-Krom 1913: OJO, LX). Prasasti dari masa pemerintahan Raja Airlangga ini isinya berkenaan dengan anugerah raja kepada penduduk Desa Baru. Sebab, prasasti itu dikeluarkan begini: pada waktu itu Raja Airlangga dan segenap pasukannya dalam perjalanan memerangi musuh-musuhnya, salah satunya raja di Hasin. Di Desa Baru raja dan segenap pasukannya menginap. Pada malam hari raja mengucapkan janji di hadapan para pejabat Desa Baru dan segenap warganya. Apabila beliau memperoleh kemenangan dalam pertempuran dan berhasil menguasai musuhnya dari Hasin, kemudian menyatukan seluruh wilayah kerajaan, maka Desa Baru akan dijadikan desa perdikan dengan segala hak yang dapat dinikmati warganya. Mendengar itu semua warga Desa Baru serentak mendukung perjuangan Raja Airlangga untuk memerangi musuhnya. Ketika perang usai dan kemenangan berhasil diraih Raja Airlangga, dinasehatilah baginda oleh para penasehat kerajaan agar menepati janjinya, jangan sampai baginda dikatakan sebagai raja yang ingkar janji, apalagi para pejabat Desa Baru sudah “menagih janji”, memohon turunnya anugerah raja agar dinikmati mereka sampai ke anak cucu selama-lamanya. Raja Airlangga sebagai seorang ksatria yang pantang melanggar dharmanya (dalam ajaran Hindu) tentu saja mengindahkan nasehat dan permohonan itu. Akhirnya turunlah anugerah raja kepada warga Desa Baru berupa prasasti perunggu berisi perintah raja yang dibubuhi cap garudamukha. Isi perintah raja itu intinya adalah beberapa hak dan kewajiban yang dilimpahkan kepada penduduk Desa Baru.
            Jadi, prasasti Baru dapat dikatakan sebuah dokumen perjanjian, yaitu perjanjian antara raja dan rakyat. Raja memberikan anugerah berupa status perdikan bagi Desa Baru dengan segala hak istimewa yang dapat dinikmati penduduk Desa Baru, sedangkan rakyat punya kewajiban mentaati isi perintah raja mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku di desa perdikan itu. Agar isi dokumen perjanjian itu sah dan punya kekuatan hukum maka perlu dibubuhi cap, dalam hal ini adalah cap kerajaan berupa garudamukha. Sanksi bagi siapa yang melanggar semua ketentuan yang berlaku tadi akan terkena denda berupa sejumlah uang emas, juga karena dosanya itu bakal menerima hukuman di dunia dan akhirat (lewat kutukan-kutukan yang tertulis di prasasti itu juga).
            Apabila raja memberi anugerah, dokumen yang memuat anugerah itu dibuat dalam dua atau tiga rangkap. Dokumen asli, basanya prasasti batu didirikan dekat tempat yang menerima anugerah. Salinan-salinannya, dapat berupa prasasti logam (tāmra) atau prasasti lontar (ripta) disimpan oleh orang yang berkepentingan, dan yang lain disimpan dalam keraton sebagai arsip. Pada contoh prasasti Baru ini, prasasti dari batu yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta adalah dokumen asli, sedang “tembusan” berupa prasasti perunggu diberikan kepada penduduk desa Baru untuk disimpan sebagai pegangan, tetapi sayang hingga saat ini belum ditemukan kembali.
            Selama bukti anugerah dari raja itu masih ada, hak-hak mereka akan tetap diakui atau dihormati orang lain. Bahkan oleh raja-raja yang memerintah di masa yang akan datang. Mengenai hal ini ada satu contoh yaitu Prasasti Talan tahun 1058 Saka atau 1136 M (Brandes-Krom 1913: OJO, LXX dan Suhadi 1983: 899-914). Prasasti dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya ini isinya mengenai permohonan rakyat Desa Talan kepada raja. Disebutkan bahwa warga desa Talan menyimpan sebuah prasasti lontar (ripta), mungkin “tembusan” yang diterima dari Raja Airlangga 96 tahun sebelumnya. Prasasti lontar ini, karena kondisinya sudah rapuh, isinya perlu diselamatkan. Khawatir kalau hak-hak mereka juga hilang, mereka datang ke istana Raja Jayabhaya mengajukan permohonan. Melalui seorang perantara mereka mengutarakan maksudnya; memohon agar isi prasasti lontar itu dipindahkan dan dikukuhkan dalam prasasti batu (linggopala). Raja Jayabhaya setelah mendengar dan melihat bukti anugerah Raja Airlangga yang dibubuhi cap garudamukha, langsung mengabulkan permohonan itu. Maka dipindahkanlah isi anugerah Raja Airlangga ke dalam prasasti batu, bahkan Raja Jayabhaya menambahkan anugerah lain kepada warga Desa Talan. Perlu diketahui bahwa cap kerajaan Raja Jayabhaya adalah narasingha.
            Penyimpangan atau pemalsuan isi dokumen, disadari atau tidak, sudah ada pada zaman dahulu. Oleh karena prasasti memuat hak-hak yang amat diinginkan orang, kerap kali isinya disalin atau ditiru secara tidak benar. Prasasti demikian disebut prasasti tinulad, biasanya disalin sekian ratus tahun setelah prasasti aslinya dalam keadaan rusak atau hilang. Dalam prasasti tinulad kerapkali memuat penambahan anugerah asli; apa yang tidak tercantum dalam prasasti yang asli lalu ditambahkan dalam prasasti yang hendak disalin. Belum lagi kekeliruan dalam menyalin tanggal, nama orang, atau sesuatu yang anakronistik.
            Bagi orang-orang zaman dahulu mungkin sulit membedakan prasasti yang asli dengan yang tiruan/palsu. Tetapi, bagi ahli epigrafi yang meneliti secara kritis semua isi dokumen dari batu dan logam dapat mengetahui keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam prasasti tiruan. Prasasti Watukura contohnya, adalah sebuah prasasti Raja Balitung bertarikh 824 Saka atau 902 M yang disalin dalam tahun 1270 Saka atau 1348 M (van Naerssen 1941). Satu hal yang menarik di sini adalah penggunaan cap kerajaan jalasamuha atau “samudra/lautan” oleh Raja Balitung, padahal prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada zamannya tidak satu pun dibubuhi cap kerajaan tersebut. Dengan demikian isi prasasti Raja Balitung yang disalin itu keasliannya diragukan.
            Pada masa kolonial (abad ke-16 – 20) cap banyak dibubuhkan pada dokumen-dokumen perjanjian di atas kertas. Pada masa itu juga tanda tangan sudah mulai umum digunakan sebagai bukti keabsahan sebuah dokumen. Tetapi, tanpa dibubuhi cap rasanya belum cukup. Pada masa kesultanan Banten contohnya, penggunaan tanda tangan untuk maksud tersebut belum umum. Kalau pun ada namun belum digunakan secara luas oleh pejabat-pejabat kesultanan. Kompeni Belanda (VOC) pernah memanfaatkan kekurangpahaman para penguasa lokal di Indonesia dalam membubuhkan cap atau meterai pada setiap perjanjian untuk meruntuhkan kekuasaan setempat. Oleh karena itu, timbul dugaan bahwa pertumbuhan kekuasaan VOC di Pulau Jawa lebih merupakan hasil-hasil perjanjian daripada sebagai akibat penaklukan kekuasaan politik Jawa (Eri Sudewo 1985:20; 98).
            Lain daripada itu cap juga dibutuhkan dalam dunia moneter (keuangan). Bagi  seorang numismatis (ahli tentang mata uang) sudah tidak asing lagi melihat uang-uang lama, baik uang ketas maupun uang logam, yang dibubuhi cap. Pembubuhan cap pada mata uang ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah yang mengedarkan uang pada waktu itu. Kerap kali dijumpai uang-uang yang tidak berlaku lagi atau mata uang asing, karena suatu alasan tertentu dibubuhi cap oleh penguasa atau pemerintah agar diterima sebagai alat tukar yang sah dalam masyarakat. Contohnya seperti yang pernah dilakukan oleh penguasa di Kesultanan Sumenep (Madura) terhadap uang-uang Spanyol dan Belanda. Mata uang dari perak itu dibubuhi cap Kesultanan Sumenep, dan diberlakukan sebagai alat tukar yang sah di wilayahnya.
            Demikianlah sumbangan sigilografi bagi ilmu sejarah dan arkeologi, yang khusus menelaah obyek berupa stempel/cap/meterai. Fungsi obyek penelitian sigilografi dari dulu sampai sekarang tetap sama, yaitu sebagai tanda pengesahan. Seperti sekarang ini, dalam dunia perkantoran benda yang namanya stempel/cap/meterai itu harus ada. Semua lembaga pemerintah dan swasta pasti memiliki stempel/cap sendiri. Tanpa benda tersebut segala urusan lewat surat menyurat seperti surat dinas, surat keputusan surat edaran, surat kontrak, surat perjanjian dan lain-lain tidak dapat diberlakukan atau dipertanggungjawabkan isinya.

Referensi
Boechari, Prasasti Koleksi Museum Nasional (Jilid I). Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional, 1985.
Brandes, JLA. Oud-Javaansche Oorkonden: Nagelaten Transscripties van Wijlen JLA Brandes, uitgegeven door Dr. N.J Krom, VBG, LX., 1913
Eri Sudewo, Meterai Kesultanan Banten dan belanda; Sebuah Penelitian Pendahuluan pada Dokumen-dokumen Perjanjian, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (Skripsi Sarjana) Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 1985.
Groeneveldt, WP. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, VBG, XXXIX, 1876, hal. 1-220.
Hassan, A. Qamoes Persamaan IndonesiaIndia. Malang: Indian League | Bangil: Persatoean, 1949.
Naerssen, FH van,. Oudjavaansche Oorkonden in Duitsche en Deensche Verzamelingen (Disertasi). Leiden, 1941.
Notosusanto, Nugroho. Hubungan Erat antara Disiplin Archeologi dan Disiplin Sedjarah, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, 1963 (1) no.1 hal. 59-64.
Poerwadarminta, WJS (dkk). Kamus Latin-Indonesia. Semarang: Penerbit Jajasan Kanisius, 1969.
Suhadi, Machi. Desa Perdikan Tawangsari di Tulungagung. Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta: Proyek penelitian Purbakala, Depdikbud, 1985, hal. 899 – 914.
Trigangga, Heraldika Indonesia: Dari Garudamukha ke Garuda Pancasila, Museografia, XIX no.1. Jakarta: Direktorat Permuseuman, Depdikbud, 1989/1990, hal. 29-40.
(anonym). “Sigillography”, The New Encyclopaedia Britannica, vol.16 (15th edition). Encyclopaedia Britannica, Inc., 1983.
(anonym). “Seal”, The Encyclopaedia Americana, vol.24. USA: Americana Corporation, 1964.



[1]  Dalam istilah lain, ilmu pengetahuan mengenai setempel/cap/meterai juga disebut sphragistic.