Para Perintis Epigrafi Indonesia

Para Epigraf yang menekuni prasasti-prasasti Indonesia cukup banyak, dari masa kolonial hingga sekarang. Di masa Kolonial, banyak para ahli yang semula menjabat sebagai pejabat tinggi pemerintah Belanda mulai tertarik dengan peninggalan yang ada di Indonesia, mulai candi, arca hingga prasasti, sehingga seluruh tenaga ahli maupun lokal dikerahkan demi mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu benda antik. Contohnya saja, Gubernur Jendaral Inggris T.S.Raffles, yang semula menjadi pejabat yang diperintahkan pemerintah Inggris di Indonesia mulai tertarik hingga mempelajari bahasa Jawa Kuno yang kemudian dibantu oleh Ronggowarsito.

Disadur dari Riwayat Penelitian Prasasti di Indonesia karya A.S.Wibowo, 1977 [1], inilah para ahli Epigrafi dengan beberapa penyelidikan prasasti yang telah dilakukan:

Sir Thomas Stamford Bingley Raffles; atau yang dikenal sebagai Raffles mulanya sebagai Gubernur Jendral Inggris di Indonesia. Setelah beberapa lama di Indonesia, ia memiliki keinginan untuk mengetahui kebudayaan Indonesia. Ia adalah perintis dalam bidang epigrafi Indonesia, ia telah berusaha mengumpulkan beberapa prasasti yang kemudian berusaha untuk menerjemahkannya dengan beberapa bantuan pihak lain. Hal ini yang sebenarnya menyebabkan Raffles terjerumus ke dalam tafsiran-tafsiran yang keliru mengenai fakta-fakta yang disebutkan dalam prasasti-prasasti. Namun usahanya tidak bisa kita abaikan begitu saja, dengan apa yang dilakukannya, maka pintu penelitian epigrafi mulai terbuka lebar.  Penelitian beberapa prasasti dan benda-benda arkeologi yang ditemukan dikumpulkannya dalam buku The History of Java, Raffles dapat bantuan dari Panembahan Sumenep serta orang-orang Bali untuk menerjemahkan prasasti-prasasti. Ia berusaha untuk mengelompokkan prasasti-prasasti kedalam empat kelompok berdasarkan ciri-ciri huruf yang dipakai, yaitu: prasasti-prasasti yang memakai huruf Dewanagari, prasasti yang hurufnya memiliki hubungan dengan huruf Jawa dan dipakai di daerah Jawa Barat, prasasti-prasasti yang mempergunakan huruf yang tidak ada hubungan dengan Dewanagari dan Jawa dan belum terbaca oleh Raffles, serta prasasti-prasasti dengan huruf Kawi atau Jawa Kuno. Tentang huruf Jawa Baru, menurut Raffles dasarnya diambil dari huruf Dewanagari yang juga menjadi dasar huruf-huruf di Sumatra dan Sulawesi.



C.J. van der Vlis; pertama kali ia mengadakan penelitian atas prasasti ialah ketika menguraikan peninggalan-peninggalan purbakala di kelompok percandian Sukuh dan Ceto. Ia menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dibuat Raffles. Metode penelitian prasasti yang digunakan van der Vlis yaitu dengan mempertanggungjawabkan kata demi kata dalam prasasti yang dianggapnya perlu. Namun ia juga mendapatkan bantuan besar dalam menerjemahkan dari R.Ng. Ronggowarsito.



R.H.Theodore Friederich; cara kerjanya dalam meneliti prasasti sangat jauh dibandingkan pendahulunya. Ia menggunakan sistematika yang kelak akan digunakan oleh penyelidik prasasti dikemudian hari, seperti Kern dan Cohen. Sistematika yang diterapkannya, yaitu:

  • Kata pengantar; beirisi riwayat penemuan prasasti dan ulasan para ahli terdahulu apabila telah dibahas sebelumnya.
  • Transkripsi dan terjemahan.
  • Comentarius; berisi pertanggungjawaban bacaan, terjemahan serta perbaikan atas kemungkinan adanya kesalahan dari pemahat prasasti atau sandhi (dalam kasus bahasa Sansekerta). Jadi ia membuat duatranskripsi, yaitu transkripsi sesuai prasasti dan transkripsi setelah dilakukan perbaikan.
  • Aanmerkingen; tinjauan mengenai isi prasasti, dengan mengupas fakta-fakta yang ada di dalamnya. 

Johan Hendrik Caspar Kern; atau lebih dikenal H.Kern memiliki pengetahuan Linguistik Indo-Eropa, Filologi Sansekerta dan Buddhologi. Uraian sistematika yang digunakan mengikuti rintisan Friederich, namun karena keahlian yang dimilikinya adalah ilmu bahasa maka hampir semua kata yang disebutkan pada prasasti mendapat kupasan yang mendalam. Karena ia pun Buddhologi, maka prasasti-prasasti yang bernuansa Buddha dikupas secara mendalam dan diberi uraian-uraian serta perbandingan mendalam dari sudut pandang agama Buddha. Dua hal yang menjadi bagian terpenting dalam penyelidikan epigrafi Indonesia adalah, penjelasan mengenai bagian kutukan dalam suatu prasasti dan usaha untuk mencari letak tempat-tempat yang disebutkan dalam suatu prasasti. Selain itu ia juga melakukan perbandingan huruf yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Tak luput juga usahanya untuk menentukan usia candi Borobudur dengan meneliti bentuk huruf-huruf yang terdapat pada candi tersebut. Kern yang mula-mula mengadakan penelitian terhadap huruf Kawi dan memperbandingkannya dengan beberapa huruf yang terdapat di Indonesia berkesimpulan bahwa huruf Jawa, (Sunda,Madura) dan Bali merupakan perkembangan yang langsung dari huruf Kawi. Demikian pula huruf Kawi ini pun lalu berkembang menjadi huruf-huruf yang terdapat di Lampung, Rejang, batak dan Makasar. Beberapa karyanya dapat dilihat di link berikut: 




Karel Frederik Holle; usaha besar yang dilakukan K.F.Holle adalah menyusun suatu daftar abjad/huruf-huruf yang terdapat di Indonesia sebagai suatu pengantar kearah Palaeografi Indonesia. Dalam daftarnya itu ia mengerjakan huruf-huruf yang terdapat pada prasasti-prasasti, huruf-huruf yang masih dipakai di daerah-daerah Indonesia, serta mencoba mencari bentuk asal dari pada huruf-huruf itu dalam beberapa abjad yang ada di India. Ia menggolongkan berdasarkan bentuk-bentuk huruf. Dasar pengelompokkan yang digunakan Holle tidak jauh berbeda dengan Kern. Kelompok pertama Kern (Kawi-Kamboja-Pali) oleh Holle disebut corak Kamboja, kelompok kedua Kern (Wenggi-Cera) oleh Holle disebut corak Calukya atau Wenggi, kecuali itu masih ada satu corak lagi, yaitu corak Nagari. 




A.B.Cohen Stuart; awalnya ia melakukan penelitian terhadap naskah-naskah susastra Kawi dan menuliskan hasil penelitiannya itu, kemudian barulah ia tertarik pada prasasti. Bersama J.J.van Limburg Brouwer ia mulai meneliti empat prasasti, yaitu prasasti Wukiran (Pereng), Kandangan, Wayuku (Dieng) dan Kinewu. Keempat prasasti ini diterbitkan hanya dalam bentuk pengantar tafsiran kata-kata tanpa terjemahan isi prasasti. Usaha yang dilakukannya yaitu perbaikan terhadap penerbitan prasasti yang telah ada, pendaftaran kembali prasasti yang pernah ditemukan berserta daftar acuan kertasnya, usul untuk menerbitkan prasasti-prasasti secara lengkap dan menyeluruh unttuk kepentingan yang lebih seksama. Akhirnya, ia menerbitkan buku yang berisi kumpulan prasasti-prasasti dalam bentuk facsimile dan transkripsi.

Jan Laurens Andries Brandes; Hasil penelitian epigrafinya yang pertama adalah prasasti Kalasan dan prasasti Guntur. Dari kedua prasasti tersebut ia mengambil kesimpulan bahwa ketika orang-orang India tersebut datang ke Indonesia, mereka menemukan suatu masyarakat yang telah memiliki kebudayaan yang tinggi dan juga susunan pemerintahan yang berlandaskan hukum sudah mulai teratur di Indonesia, proses hukum dan pengambilan keputusan seperti itu tidak ada di India. Berkaitan dengan penggunaan kata-kata Sansekerta yang digunakan dalam prasasti dan juga naskah-naskah lainnya ia berpendapat bahwa:
  • Kata-kata Sansekerta yang dipergunakan dalam prasasti-prasasti yang berbahasa Kawi semakin lama semakin banyak jumlahnya.
  • Ejaan, kasus dan lain-lainnya yang mengikuti tata bahasa Sansekerta makin lama makin diperhatikan.
  • Akhirnya ejaan kata-kata Sansekerta itu malah diselaraskan dengan ejaan bahasa-bahasa di Indonesia.
Menurutnya, memang jelas bahwa unsur-unsur kebudayaan India telah memperkaya kebudayaan Indonesia, akan tetapi suatu kebudayaan seperti kebudayaan India yang meluas di Indonesia ini tidak mungkin dapat diterima dan berkembang, andaikata bangsa Indonesia sendiri belum memiliki kebudayaan yang tinggi. Landasan pikiran seperti itu yang selalu menyertai Brandes dalam mengadakan penelitian prasasti-prasasti serta bahan-bahan perbandingan lainnya telah menyebabkan Brandes sampai pada kesimpulannya bahwa sebelum pengaruh Hindu datang di Indonesia, bangsa Indonesia telah memiliki sepuluh unsur-unsur kebudayaan yang tinggi nilainya, yaitu: mengenal permainan wayang, mengenal seni musik/gamelan, mengenal seni syair atau metrik, mengenal seni batik, mengenal cara pengecoran logam, mengenal mata uang untuk perdagangan, mengenal pelayaran di lautan, mengenal ilmu perbintangan, mengenal cara menanam padi dengan sistem irigasi dan memiliki susunan tata negara atau pemerintahan yang teratur. Hasil penelitian Brandes lainnya yang penting bagi epigrafi ialah kupasannya mengenal kitab Pararaton. Segala bahan-bahan perbandingan telah digunakan termasuk prasasti, yaitu prasasti Kudadu yang telah diterbitkan dan diterjemahkan seluruhnya. Usahanya yang tidak hanya menggunakan sumber prasasti untuk memecahkan persoalan sejarah raja-raja saja, namun juga membahas keadaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia kuno.

N.J.Krom; usaha awal yang dilakukan Krom dalam bidang epigrafi adalah meneliti kembali penerbitan-penerbitan prasasti yang pernah ada, meneruskan atau mengolah kembali pekerjaan Brandes yang belum selesai dan membuat inventarisasi prasasti-prasasti yang berangka tahun yang pernah ditemukan. ia menulis karangan singkat yang disebutnya Epigraphische Aanteekeningen dan Epigraphische Bijdragen. Pendekatan Krom terhadap Sejarah Kebudayaan Indonesia pada umumnya dan prasasti pada khususnya tercermin dalam kitab Hindoe Javaansche Geschiedenis. Istilah Djawa-Hindu yang digunakannya jelas menggambarkan pangkal pikiran Krom tentang pengaruh kebudayaan India di Indonesia, yaitu; bukan suatu kebudayaan yang dipindahkan dari India ke Indonesia. Hal ini hanya mungkin terjadi karena usaha dari orang-orang Indonesia yang telah mengikuti tradisi-tradisi India dan orang-orang ini mungkin merupakan keturunan dari para imigran India yang menikah dengan wanita-wanita Indonesia.

F.D.K.Bosh; penelitiannya terhadap prasasti-prasasti yaitu Kelurak, Kalasan, dan Ratuboko ditujukan untuk mencari gambaran kebudayaan yang menjadi latar belakang segala aktivitas kesenian pada waktu tersebut khususnya gambaran kehidupan keagamaan. Prasasti Nalanda ia memperoleh keterangan bahwa orang-orang Indonesia sendiri yang mengunjungi India untuk mempelajari serta memilih unsur-unsur kebudayaan India dan kemudian dibawanya ke Indonesia, juga meneliti prasasti Ligor. Bosch telah berhasil memberikan tafsiran baru mengenai rajakula Sailendra di Indonesia. Juga nama-nama yang pada saat masa Krom masih gelap, yaitu nama-nama raja Sriwijaya, Sailendra dan Sanjaya



W.F.Stutterheim; konsep pemikiran yang dikeluarkannya ialah kebudayaan Indonesia kuno harus dianggap sebagai kebudayaan Indonesia, sedangkan pengaruh India yang betapa pun besarnya hanyalah merupakan tambahan saja. Hal tersebut menyebabkannya mempunyai cara pandang berbeda dalam pembahasan mengenai prasasti. Seperti pada prasasti Cunggrang ia menyebutkan hal-hal yang selama ini tidak diperhatikan, seperti kupasan mengenai para pejabat pemerintahan, hal yang menyangkut tindak pidana, benda-benda kerajinan, benda-benda perdagangan dsb. Kemudian ia juga menerbitkan prasasti Mantyasih, prasasti Telang yang dengan itu ia mengetengahkan hal penting bahwa hadiah dari raja Balitung pada penduduk desa Telang dan sekitarnya berupa pembebasan pajak, dengan ketentuan bahwa penduduk harus mengusahakan pengangkutan perahu dari tepi yang satu ke tepi lainnya dari sungai Solo, tanpa kewajiban membayar dari para penumpangnya. Kemudian prasasti Warudu Kidul dan prasasti Randusari I (Poh) dan II. Pembahasannya mengenai alat-alat pertanian, pejabat-pejabat kerajaan, saji-sajian, benda-benda perdagangan, mata uang, peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan tindak pidana dsb., adalah usaha awal ke arah penelitian susunan masyarakat Indonesia kuno.



R.M.Ng. Poerbatjaraka; pengetahuan yang dimiliki Poerbatjaraka atas bahasa Kawi-lah yang menuntunnya berkenalan dengan prasasti. Karya yang dihasilkan berupa transkripsi prasasti Kamban dan sebuah prasasti yang berasal dari desa Pengging, Boyolali, kupasan mengenai prasasti yang ditemukan di desa Batutulis dekat Bogor, pembahasan mengenai prasasti yang dipahatkan pada arca Aksobhya di Simpang dan transkripsi prasasti yang disimpan di Museum Solo. Dalam disertasinya juga berisi penelitian terhadap prasasti Canggal, Dinaya, Wukiran (Pereng), salah satu prasasti raja Mulawarman dari Kutei dan prasasti Pintang Mas. Tujuannya ialah membantu menambah bukti-bukti adanya penyembahan terhadap tokoh-tokoh Agastya di Indonesia. Selain itu ia terbitkan prasasti Balawi dan Sukamerta berikut kupasannya, perbaikan pembacaan prasasti Pucangan bait ke-14, membuahkan tafsiran lain prasasti Hampran (Plumpungan), prasasti-prasasti kerajan Tarumanagara, prasasti Tuk Mas, dan beberapa prasasti Sriwijaya. Yang menarik pula ialah usahanya dalam melokalisasi nama-nama tempat yang disebutkan dalam prasasti, misalnya Chandrabhaga (saluran air kerajaan Tarumanagara) dengan Bekasi dan nama Minanga Tamwan (prasasti Kedukan Bukit) dengan Minangkabau. 

P.V. van Stein Callenfels; ia berjasa dalam membuka jalan pengetahuan mengenai prasasti-prasasti Bali, yang sebelumnya juga pernah dibicarakan oleh van der Tuuk dan Brandes. Sebelumnya ia juga pernah menerbitkan beberapa prasasti dan menulis karangan yang berhubungan dengan epigrafi. Setelah perhatiannya tertuju kepada prasasti Bali, disusunlah prasasti-prasasti tersebut secara kronologis dengan disertai keterangan-keterangan tentang lokasi penemuan serta nama raja yang disebutkan di dalamnya. Akhirnya, munculah kumpulan transkripsi prasasti-prasasti Bali sebagai suatu monografi prasasti-prasasti Bali yang pertama-tama diterbitkan.



Rudolf Goris; penelitiannya khusus pada epigrafi Bali dan mencurahkan perhatian pada prasasti yang berbahasa Bali kuno. Hasil penelitiannya berupa keadaan pemerintahan dan masyarakat Bali  antara tahun 804 Saka hingga 994 Saka ketika pengaruh Jawa amat kuat di Bali sebagai akibat pernikahan Mahendradatta dengan Udayana. Uraian ini masih pula ditambah dengan penjelasan serba singkat mengenai bahasa Bali kuno serta struktur ataupun corak prasasti-prasasti yang berbahasa Bali kuno, sehingga cukup sebagai pengantar penelitian prasasti Bali kuno. Kemudian ia juga menerbitkan urut-urutan pemerintahan raja-raja Bali, lokalisasi tempat-tempat pemakaman mereka, sejauh hal itu disebutkan, susunan para pejabat kerajaan dan keadaan masyarakat Bali. Terbitlah dua jilid bukunya berjudul Prasasti Bali, yang jilid pertamanya berisi kumpulan transkripsi semua prasasti-prasasti yang pernah ditemukan, baik berbahasa Bali kuno, Sansekerta maupun bahasa Kawi. Jilid keduanya merupakan terjemahan prasasti-prasasti ke dalam bahasa Belanda.

Johannes Gijsbertus (Hans) de Casparis; Hasil-hasil penelitiannya penuh dengan kupasan fakta-fakta yang menarik disertai hipotesis yang menarik pula. Ia menekankan pentingnya meneliti bagian-bagian dalam prasasti yang dapat memberikan gambaran kehidupan masyarakat Indonesia kuno. Hasil penelitian pertama adalah prasasti yang berasal dari zaman Majapahit, mengenai desa-desa Himad dan Walandit. Hasil penelitian yang patut dibanggakan adalah seri penerbitan Prasasti Indonesia yang terdiri atas dua jilid. Jilid pertama mengenai persoalan rajakula Sailendra, sedangkan jiid kedua merupakan kumpulan prasasti-prasasti yang berasal dari abad VII sampai abad IX M. Jilid pertama, ia mengupas secara mendalam prasasti Hampran (Plumpungan), prasasti Ratabaka, prasasti Kayumwungan (Karangtengah), prasasti Gondosuli II dan dua buah prasasti Tri Tepusan yang menyebutkan nama Sri Kahulunan. Kesemuanya itu digunakannya untuk menyusun kembali tiga hal: sejarah rajakula Sailendra secara menyeluruh, pertumbuhan agama Budha pada zaman pemerintahan rajakula Sailendra dan melokalisasikan bangunan-bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti-prasasti itu. Hasil lain yang membanggakan adalah penelitian yang khusus mengenai masyarakat Indonesia kuno dan tentang masa pemerintahan raja Airlangga.

Louis Charles Damais: Sumbangan Damais yang terpenting bagi epigrafi Indonesia adalah metodenya untuk menentukan perhitungan yang tepat mengenai unsur-unsur hari, tanggal, bulan dan tahun dalam tarikh Indonesia kuno yang biasa ditemukan dalam prasasti-prasasti ataupun naskah-naskah laiinya. Penanggalan tersebut dapat pula dipindahkan ke dalam tarikh Masehi. Pada tahun 1952, Damais menerbitkan suatu daftar prasasti-prasasti yang berangka tahun ditambah pula dengan beberapa naskah kesusastraan yang memuat angka tahun. Daftar ini lengkap disertai semua keterangan mengenai prasasti (media pahat; batu/tembaga/belakang arca,lontar,dsb., tempat temuan, pembacaan yang betul mengenai angka tahunnya, pembacaan dari penyelidik sebelumnya mengenai angka tahun tersebut disertai literaturnya, jatuhnya unsur-unsur penanggalan itu dalam perhitungan tarikh Masehi dan pejabat atau raja yang mengeluarkan prasasti itu; kemudian masih pula ditambah catatan-catatan atau tafsiran mengenai isi yang penting dari prasasti tersebut. 


Boechari; Boechari lahir di kota Rembang, Jawa Tengah. Berkat dorongan para gurunya diantaranya Prof.Dr.R.M.Ng.Poerbatjaraka, ia menerjunkan diri dalam bidang keahlian epigrafi. Boechari pun ikut aktif melaksanakan berbagai penelitian dalam bidang arkeologi, epigrafi dan sejarah kuno Indonesia. Sumbangan yang terutama tertuang dalam hasil studi epigrafinya berupa kumpulan transliterasi prasasti-prasasti dan tulisan-tulisan yang membahas mengenai berbagai aspek arkeologi dan kesejarahan, khususnya mengenai sistem administrasi dan birokrasi kerajaan, sistem hukum, dan sistem perpajakan pada masa Jawa Kuno. Hasil penelitian Boechari telah memberikan arti yang penting dalam detil pemaparan prosesual sejarah kuno Indonesia, diantaranya adalah tentang; (1). kesatuan dinasti raja-raja Mataram, bahwa hanya ada satu dinasti yang memerintah di kerajaan Mataram yaitu dinasti Sailendra yang raja-rajanya menganut agama Buddha dan Hindu, (2). perpindahan pusat pemerintahan kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada masa pemerintahan Mpu Sindok yang disebabkan letusan Gunung Merapi, (3). tentang sebab-sebab kehancuran (pralaya) ibukota kerajaan Dharmawangsa Tguh karena serangan Haji Wura-Wari, (4). tentang pembagian kerajaan Airlangga menjadi dua bukan untuk anak-anaknya, melainkan untuk anaknya dan Samarawijaya anak raja Dharmawangsa Tguh yang merupakan adik iparnya, (5). tentang asal-usul Ken Angrok sebagai anak Tunggul Ametung dan (6). tentang candi dan lingkungannya yang memberikan gambaran tentang adanya hierarki dan pengelolaan bangunan-bangunan candi di wilayah kerajaan [2]. 


Para peneliti lainnya yang termasuk perintis Epigrafi Indonesia ialah; M.M.Soekarto K.Atmojo, J.Ph.Vogel, Chabbra, K.A.Nilakanta Sastri, R.C. Majumdar, H.B.Sarkar, G.Coedes, G.Ferrand, F.H. van Nearssen, yang akan dilengkapi mendatang.


--------
[1]. A.S.Wibowo, 1977 "Riwayat Penyelidikan Prasasti di Indonesia", dalam 50 tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional 1913-1963, Satyawati Suleiman,et.al. (ed.), Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, hlm: 63-105.

[2].Boechari,2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti :Kumpulan Tulisan Boechari, Jakarta: KPG, hlm:XIII-XXXI.


1 komentar:

  1. Benar-benar membantu saya dalam mengerjakan tugas tentang epigrafi...terima kasih banyak...

    BalasHapus