Rabu, 13 Februari 2013

Unsur Penanggalan dalam Prasasti



Unsur Penanggalan dalam Prasasti
Vernika Hapri

Prasasti-prasasti Jawa Kuno di wilayah Indonesia sebagian besar memiliki unsur penanggalan. Unsur penanggalan ini dapat dilihat pada bagian awal kalimat prasasti. Hal tersebut penting karena kita dapat mengetahui kapan pastinya prasasti tersebut dibuat. Dengan adanya unsur penanggalan, peneliti juga dapat mengklasifikasikan prasasti berdasarkan periodenya, dimasa kerajaan dan raja yang memerintah saat itu, serta dapat dengan akurat menyesuaikan peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah dicantumkan. Penentuan penanggalan harus dilakukan oleh ahli ilmu astronomi (perbintangan) yang disebut wariga, dengan mengikuti apa yang diajarkan dalam kitab Bhāskarācārya atau Sūryasiddhānta (Bakker, 1972:16).

Awal digunakannya unsur penanggalan hanya berupa beberapa unsur saja, hingga seluruh unsur yang berjumlah lima belas unsur penanggalan telah dicatatkan dalam prasassti-prasasti masa Majapahit. Unsur penanggalan sesuai dengan yang dikenal di sistem penanggalan India meliputi lima unsur yaitu wāra, tithi, nakṣatra, yoga, dan karaṇa (Sewell & Dikshit, 1995: 2). Pada prasasti masa Jawa Kuno dikenal paling sedikit lima unsur yaitu warṣa atau tahun, māsa atau bulan, tithi atau tanggal, pakṣa atau paruh bulan, dan wāra atau hari. Format penanggalan seperti ini terus berlanjut hingga muncul satu demi satu kemajuan dalam ilmu astronomi yang mengukur secara pasti jika hari tersebut ada rasi bintang apa, hari, bulan, tahun, tanggal, planet apa yang melintas, dalam bentuk apa bulan waktu itu, dsb. Unsur yang berkembang lebih lanjut yaitu karaṇa, wuku, muhūrta, yoga, nakṣatra, dewatā, grahacāra, parweśa, maṇḍala, rāśi.

Karaṇa merupakan satuan waktu yang lebih kecil dari hari. Satu karaṇa sama dengan setengah tithi atau lebih tepatnya 0,492 hari. Dalam satu hari ada dua karaṇa atau 60 karaṇa dalam satu bulan. Nama karaṇa pertama dari tiap bulan adalah kimstughna, wawa, walawa, kolawa, taithila, garadi, wanija, wiṣṭi, sesudahnya kembali ke wava dan seterusnya, hingga tiga karaṇa terakhir yakni sakun, naga, dan catuspada (de Casparis, 1978: 23).

Wuku adalah periode yang terdiri dari tujuh hari, 30 wuku, masing-masing dengan namanya sendiri, jadi setahun terdiri dari 210 hari. Masing-masing vuku adalah sinta, landěp, wukir, krantil, tolu, gumbreg, wariga ning wariga, wariga, julung, julung sungsang, duṅulan, kuniṅan, laṅkir, maḍasidha, julung pujut, pahang, kuru wlut, marakih, tambir, madaṅkuṅan, maha tāl, wuyai, manahil, prang bakat, bala (muki), wugu-wugu, wayang-wayang, kulawu, dukut dan watu gunung (de Casparis, 1978: 57).

Muhūrta adalah saat tertentu untuk memulai upacara, bepergian dan lain-lainNama-nama muhūrta tidak semua diketahui. Dalam prasasti Jawa Kuno hanya 12 nama yakni bago, somya, śweta, baruṇa, wairājya, wijaya, sawitri, rudra, sakrāgni, bhojya, neriti, lagnaśweta. Nama-nama itu belum jelas posisinya dan urutannya dalam jam sekarang. Namun dapat diperkirakan bahwa rudra, śweta dan wairājya berada pada waktu pagi, sedangkan wijaya dan soma berada pada waktu sore hari (de Casparis, 1978: 54).

Yoga adalah waktu selama gerak bersamaan antara bulan dan matahari pada posisi 13º20’. Dalam satu putaran bulan mengelilingi bumi ada 360º : 13º 20’= 27 yoga. Satu yoga lamanya 0,941 hari, jadi ke 27 yoga membutuhkan 25,420 hari (de Casparis 1978: 22). Nama-nama yoga antara lain wiṣkambha, prīti, āyuṣman, sobhāgya, śobana, atigaṇḍa, sukarman, dhṛti, śūla, gaṇda, wṛddhi, dhruwa, wyatigata, harṣana, bajra, sidhi, wyatipati, wariyan, parigha, śiwa, sidha, sadya, śubha, śukla, brahma, indra, waidhṛti.

Nakṣatra adalah bintang atau sesuatu benda padat di angkasa, perbintangan atau konstelasi yang dilalui bulan, ruang bulan (Zoetmulder, 1982:688). Ada 27 nakṣatra dalam satu siklus yaitu aświni, bharaṇi, kṛtikkā, rohiṇi, mṛgasiras, ārdrā, purnnawaśu, puśya, aślesa, magha, pūrwa phalguni, uttara phalguni, hasta, citrā, śwati, wiśakha, anurādhā, jyeṣṭha, mūla, pūrwāṣāḍha, uttarāsāḍha, srāwaṇa, dhaniṣṭhā, satabhiṣaj, pūrwabhadrawāda, uttarabhadrāwāda, dan rewatī (de Casparis, 1978:52).

Nama-nama dewata yang sering digunakan dalam prasasti berhubungan dengan nakṣatra yang digunakan. Dewata adalah penguasa dari waktu yang ditunjukan dengan nakṣatranya. Nama-nama dewata adalah Aświnau, Yama, Agni, Prajāpati, Soma, Rudra, Aditi, Bṛhaspati, Sarpāḥ, Pitaroaḥ, Bhaga, Aryaman, Sawitṛ, Twastṛ, Wāyu, Śakra, Mitra, Indra, Ᾱpah, Wiśwedewah, Wiṣṇu, Wasawaḥ, Ajapāda, Ahirbudhnya, dan Pūsan (de Casparis, 1978:52).

Grahacāra adalah perjalanan planet-planet (posisi dalam zodiak) (Zoetmulder, 1982: 307). Menurut penanggalan India terdapat tujuh planet yaitu nairitistha, sunyasthana, agneyastha, uttarasthana, purwwasthana, adityasthana, anggarasthana, daksinatha, aisanyastha, pascimastha dan boyabyastha.

Parwesa adalah nama dari suatu kelompok perbintangan. Tetapi tidak ada keterangan yang lebih lanjut mengenai kelompok bintang mana yang dimaksudkan disini. Dalam pertanggalan India unsur ini tidak pernah disinggung. Dari prasasti Jawa Kuno diperoleh parwesa saśi, brahma, kuwera, nairituya, yama, agni, baruṇa, kala dan indra.

Mandala adalah garis edar atau orbit benda angkasa (Zoetmulder, 1982: 642). Mandala adalah “tiap-tiap daerah dari delapan pembagian langit tempat nakṣatra berada”. Nama-nama mandala adalah Mahendra: penguasa timur, Kuwera: penguasa utara, Baruṇa: penguasa barat, Yama: penguasa selatan, Agni: penguasa tenggara, Naiṛṛti: penguasa barat daya, Wayu: penguasa barat laut dan Śiwa: penguasa timur laut. Pembagian ini sama dengan pembagian dewa penjaga mata angin atau astadikpalaka (Damais, 1995:115).

Rasi atau zodiak adalah pembagian langit secara geometris yang dapat diidentifikasi secara visual dengan bintang penanda. Nama-nama rasi adalah mesa: aries, wṛsabhataurusmithuna: geminikarkaṭacancersiṅhaleokanyavirgotulalibra, wṛscikascorpiodhanus: sagitariusmakaracapricornkumbha: aquariusminapisces (de Casparis, 1978:54).

Pada varṣa (angka tahun) pada beberapa prasasti digunakan dua jenis penyebutan angka tahun, dengan angka ataupun dengan kata-kata. Di Jawa penyebutan angka tahun dengan kata-kata disebut candrasengkala atau sengkalan.  Dalam sengkalan pun terdiri dari dua jenis yaitu sengkalan mĕmĕt dan sĕngkalan lamba. Sengkalan memet adalah angka tahun yang terdiri dari gambar, ukiran, relief, patung, atau bentuk ;ainnya yang memiliki makna dengan konotasi angka. Sedangkan sengkalan lamba adalah angka tahun yang berupa kalimat (Bratakesawa, 1968: 6).

Untuk lebih lengkapnya, penelitian mengenai penggunaan sengkalan dalam prasasti-prasasti di wilayah Indonesia serta Asia lainnya telah dibahas oleh Anissa dalam tesis Magister Humaniora di Universitas Indonesia dengan judul Penggunaan Kronogram di Indonesia, Vietnam, dan Kamboja Abad VII-XIV M: Pendekatan Arkeologis dan Epigrafis.  

Skripsi Tinia Budianti (Universitas Indonesia), juga membahas secara lengkap mengenai unsur penanggalan pada prasasti masa Sindok hingga Airlangga dalam judul "Prasasti-Prasasti Masa Sindok sampai dengan Airlangga: Sebuah Kajian Unsur Penanggalan". 

Pada makalah Trigangga yang dipublikasikan dalam Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuna di Universitas Indonesia waktu lalu juga membahas mengenai hal ini dengan makalah yang berjudul Prasasti di Petirtaan Belahan; Catatan Peristiwa Gerhana Bulan?. Juga pada buku 9 Windu Edi Sedyawati, 2010 dengan judul "Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan Unsur-Unsur Penanggalan Prasasti"


Daftar Acuan:
J.G de Casparis, 1975. Indonesian Chronology. Leiden/Koln: Brill (Handbuch der Orientalistik, III.i.i).
J.W.M. Bakker S.J, 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Djurusan Sedjarah Budaya IKIP Sanatha Dharma: Yogyakarta.
Bratakeswara, 1968. Katrangan Tjandrasengkala, Djakarta: Balai Pustaka.
L.C.Damais, 1952. “Le Calendrier de l’ancienne Java”. “Penanggalan Jawa Kuno” dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis Charles Damais. Jakarta: EFEO.
Robert Sewell & S.B.Dikshit, 1995. The Indian Calendar (With Tables for the Conversion of Hindu and Muhammadan into A. D. Dates and Vice Versa). Motilal Banarsidass. 
P.J.Zoetmulder dan S.O.Robson, 1982. Kamus Jawa Kuna Indonesia, penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Prayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar