Kamis, 21 Februari 2013

Ulah Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuno


Boechari
(ringkasan artikel dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)


Sumber penghasilan kerajaan kuno terdiri atas pajak, yaitu pajak tanah/hasil bumi, pajak perdagangan/penjualan, dan pajak atas usaha kerajinan dan denda-denda atas segala tindak pidana yang dijatuhkan di dalam sidang pengadilan. Semua itu disebut dengan istilah drawya haji, yang secara harfiah berarti “milik raja”.

Keterangan mengenai pajak perdagangan/penjualan (masamwya wahāra), usaha kerajinan (miśra) dan denda-denda atas segala tindak pidana (sukhaduḥka) dijumpai di dalam bagian prasasti yang menyebutkan status daerah sīma. Contoh ada dalam Prasasti Muñcaṅ (944 M).

Lain daripada drawya haji, kerajaan juga berhak atas buat haji, yaitu persembahan kepada raja yang dapat berupa tenaga kerja sukarela atau persembahan yang lain. Istilah lain untuk buat haji adalah gawai. Gawai sering dinyatakan dengan jumlah orang, tetapi ada kalanya dengan sejumlah uang. Orang-orang asing dan orang-orang yang mempunyai profesi tertentu juga dikenai pajak. Mereka itu disebut dengan isitilah warga kilalān yang hanya terdapat pada prasasti masa raja Dharmawaṃśa Airlaṅga.

Hal yang menarik perhatian adalah bahwa rupa-rupanya dahulu kala sudah ada catatan tentang perkiraan hasil sebidang tanah di dalam administrasi pemerintahan di tingkat pusat. Hal itu dapat pula disimpulkan dari berbagai prasasti yang menyebutkan bahwa sebidang tanah atau suatu desa yang akan ditetapkan menjadi sima berpenghasilan sekian, atau ditaksir berpenghasilan sekian. Pajak yang dihitung bukan hanya luas berbagai jenis tanah, namun juga jumlah penduduk atau sekurang-kurangnya jumlah kepala keluarga.

Demikianlah maka perumusan tentang status suatu daerah sīma di dalam pelbagai prasasti membayangkan kepada kita bahwa pajak dan pungutan-pungutan yang lain itu ditarik oleh para rāma (ketua desa) dari penduduk desa, kemudian para rama menyerahkan hasilnya kepada rakai atau pamgat yang membawahi desanya, setelah mengambil bagian masing-masing kemudian memberikan drawya haji dari daerah lungguhnya kepada raja, juga setelah menyisihkan bagian masing-masing.

Dalam pemungutan pajak pun ternyata ada banyak penyimpangan. Data tersebut dapat dilihat di Prasasti Palǝpaṅan (906 M), Prasasti Luītan (901 M), dan Prasasti Kinǝwu (907 M). Salah satu contoh yaitu Prasasti Kinǝwu memberikan kepada kita keterangan tambahan yang menarik, yaitu hierarki dalam pemerintahan dan prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja. Dapat dilihat bahwa pertama-tama para pejabat desa Kinǝwu mengajukan protes kepada penguasa daerah yang membawahi desanya, yaitu Rakryān i Raṇḍaman dengan membayar sejumlah uang. Protes tersebut tidak sempat diselesaikan karena penguasa tersebut telah meninggal. Tanpa menunggu sampai ada rakai pengganti di wilayah Raṇḍaman, para pejabat desa meneruskan protesnya kepada raja dengan perantaraan pratyaya dari wilayah Raṇḍaman. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak dari yang dibayarkannya di tingkat watak. Di ibu kota kerajan mereka diterima oleh Saṅ Pamgat Momahumah, yaitu Pamgat Mamrata. Pejabat itulah yang mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja.

Sebagai singkatnya, kasus-kasus dari ketiga prasasti tersebut menunjukkan adanya penyelewengan dalam penetapan pajak. Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi kesempatan untuk mengajukan protes, penarik pajak atau sang nāyaka akan memperoleh keuntungan sepertiga dari jumlah yang dibayarkan oleh rakyat, karena ia menggunakan satuan tampah yang luasnya hanya 2/3 tampah haji yang baku.

Dalam ketiga kasus tersebut sebenarnya masih perlu dipertanyakan apakah para nāyaka yang menggunakan satuan tampah yang lebih kecil dari tampah haji yang baku memang sengaja mau memperkaya diri atau karena salah pengertian. Rupa-rupanya dalam ketiga kasus tersebut, para nāyaka menghitung luas sawah para rāma dengan ukuran tampah tradisional Jawa yang luasnya kira-kira sama dengan 1 bahu sekarang, sedang semestinya ia menggunakan satuan tampah haji yang didasarkan atas satuan luas dari India, yang luasnya kira-kira sama dengan 1 hektar sekarang. Jika demikian halnya maka dalam ketiga kasus itu tidak terjadi penyelewengan yang disengaja, melainkan hanya salah pengertian. Apakah tidak disebutkannya sanksi hukum terhadap para nāyaka itu merupakan petunjuk tentang kebenaran dugaan ini? Tetapi tentu orang akan bertanya mengapa justru para pejabat desa yang tahu tentang peraturan pajak tanah yang benar, sedang sang nāyaka tidak???.




Penjelasan lebih lengkap dapat di baca di buku:


Boechari, 2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: KPG. hlm:291-306
Bisa diperoleh di toko buku Gramedia atau lainnya 
atau dipesan melalui fauzan.vernika@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar