Senin, 25 Maret 2013

Sistem Keamanan Lingkungan Masyarakat Jawa Kuno



Boechari
(sekelumit ringkasan dalam artikel Perbanditan di Jawa Kuno dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)




Sepanjang sejarah Tanah Air kita di zaman klasik tidak dikenal kekuasaan terpusat. Kerajaan-kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Panjalu, Jaṅgala, Kadiri, Singhasari dan Majapahit terbagi ke dalam apa yang di dalam zaman Mataram Islam disebut nagaragung atau nagari ageng dan wilayah mancanagara dan wilayah pesisir (Soemarsid Moertono,1968). Wilayah nagaragung dibagi sebagai ‘daerah lungguh’ bagi putra mahkota dan putra-putra raja yang lain, terutama yang aktif di dalam pemerintahan dan bagi para pejabat tinggi kerajaan. Sedang daerah mancanegara dikuasai oleh para rakai, pamgat dan para samya haji yang merupakan penguasa-penguasa daerah secara turun temurun dan tidak harus kerabat dekat sri maharaja sendiri.

Putra mahkota, para pangeran yang lain dan para pejabat tinggi kerajaan hampir selalu ada di ibu kota kerajaan, karena memang mempunyai dalem di sana. Pengurusan daerah lungguhnya diserahkan kepada aparat pemerintah daerah yang terdiri atas patiḥ, wahuta, para juru atau tūhan, parujar dan paṅuran. Sedang para penguasa daerah selalu ada di daerah kekuasaaan masing-masing dan hanya sekali atau dua kali dalam setahun mereka itu menghadap śrī mahārāja untuk menyerahkan hasil pajak. Mungkin juga jika ada masalah yang tidak dapat dipecahkannya sendiri, ia datang ke pusat kerajaan menghadap raja atau pejabat yang diberi wewenang oleh raja. Di wilayah kekuasaannya mereka juga dibantu oleh aparat pemerintahan daerah yang terdiri atas patiḥ, wahuta, para juru atau tūhan, parujar dan paṅuran.

Kesatuan teritorial terkecil adalah desa (wanua karaman) dan mungkin juga dukuh (anak in wanua). Pemerintahan desa dilakukan oleh para rama atau kabayan, yang rupa-rupanya dipilih untuk masa tertentu. Gambaran itu kami simpulkan dari adanya istilah rāma mageman atau managam kon dan rāma marata; menurut hemat kami yang terakhir itu ialah para rāma yang berakhir masa jabatannya dan tidak dipilih lagi, tetapi masih diikutsertakan dalam kerapatan desa. Para rāma itu mendapat tanah ‘bengkok’ (lmaḥ karaman atau sawaḥ karaman). Di antara para rāma itu mungkin sekali tūha wanua dianggap sebagai primus inter pares. Pendapat kami yang terakhir itu baru kami dasarkan atas arti istilah tūha wanua saja, yaitu ‘tua-tua desa’. Jenis jabatan rāma di desa yang satu tidak sama dengan desa yang lain, tergantung dari keadaan geografi dan ekologi desa yang bersangkutan. Desa yang tidak mempunyai wilayah hutan tentu tidak mempunyai seorang tūha alas dan tūha buru; desa yang tidak dilalui sungai dan karenanya tidak perlu mengurusi jembatan tentu tidak mempunyai hulu wuattan; sedang desa di dataran rendah yang luas daerah persawahannya dan tergantung dari pengairan sering mempunyai lebih dari seorang hulu air. Jumlah rāma di suatu desa juga tidak sama dengan di desa yang lain; tergantung dari luas desanya dan jumlah penduduknya.

Berita Cina dari zaman dinasti Song (Songshi) mengatakan bahwa “panglima angkatan perang mendapat gaji sepulah tail emas tiap setengah tahun; ada 30.000 prajurit yang juga menerima gaji setengah tahun sekali, sesuai dengan pangkat masing-masing” (Groveneveldt, 1960:17). Menurut hemat kami yang dimaksud di dalam berita Songshi itu adalah pasukan yang ada di dalam pusat kerajaan; yang terdiri atas “pasukan pengawal’ raja, pasukan putra mahkota dan pangeran-pangeran lain dan pasukan para pejabat tinggi kerajaan. Di dalam prasasti-parasasti pasukan pengawal raja itu dimasukkan ke dalam kelompok maṅilāla drawya haji, yang terdiri atas para magalah (pasukan yang bersenjatakan tombak), mamanah (pasukan yang bersenjatakan panah) dan magaṇḍi (pasukan yang bersenjatakan gaṇḍi, yaitu semacam palu godam?). Dalam cerita Songshi dikatakan bahwa mereka mendapat gaji setengah tahun sekali, keterangan itu sesuai dengan pengelompokkan yang menurut hemat kami bukan kelompok ‘pemungut pajak’, melainkan ‘abdi dalem yang menikmati kekayaan raja’, dalam arti ‘menerima gaji pada waktu-waktu tertentu’ (Boechari,1977 [2]).

Jika kemudian berita Mingshi mengatakan bahwa sewaktu menghadapi pasukan Monggol dan pasukan Wijaya, raja Kalang (=Gelaṅ-gelaṅ= Jayakatwaṅ) di Daha dapat mengerahkan lebih dari seratus ribu tentara (Groneveldt,1960:24), jumlah itu meliputi pula pasukan-pasukan para sāmya haji di sekitar bhūmi Kadiri yang sengaja datang mengikuti ‘tuan’nya para penguasa daerah (para rakai, pamgat, sāmya haji dan para bhaṭṭāra) mempunyai tentara masing-masing.

Berdasarkan hasil penelitian sementara atas pola-pola pemukiman di zaman klasik berdasarkan adanya berbagai macam tinggalan arkeologis yang pernah dilakukan oleh Sdr. Bambang Budi Utomo,S.S dan Sdr. Moendardjito,S.S. di daerah Jawa Tengah. Terlihat bahwa daerah yang padat penduduknya ialah daerah-daerah aliran sungai, terutama di daerah Tempuran. Dari peta pola pemukiman sebagai hasil penelitian tersebut dan mengingat kepadatan penduduk di Jawa pada zaman klasik, kami dapat membayangkan bahwa ada daerah yang relatif padat penduduknya yang terpisah dari daerah lain yang juga padat penduduknya oleh suatu daerah hutan belantara. Sekalipun mungkin sekali ada jalan yang menghubungkan daerah-daerah itu seperti yang terungkap dari prasasti Baliṅawan, Kaladi, dan Mantyāsih, tetapi karena jarang terpakai maka mungkin sekali pada waktu-waktu tertentu telah penuh dengan semak belukar lagi.

Keadaan semacam itu, ditambah dengan otonomi yang amat luas yang dinikmati oleh para penguasa daerah dan imobilitas ‘tentara kerajaan di Pusat’, serta perumusan istilah katiban waṅkai kabunan, yaitu “[jika ada] mayat diletakan oleh penjahat yang membunuh orang di desa lain di waktu malam, sedang pemilik tanah tempat mayat itu diletakkan tidak mengetahuinya, maka si pemilik tanah itu harus dikenai denda; jika ia melihat orang meletakkan mayat di tanahnya, padahal ia diam saja dan mayat itu tergeletak di situ sampai pagi hari, ia dikenai denda dua laksa oleh raja; semua penduduk desa ikut dikenai denda, itulah yang namanya katmu waṅkay kābunan” (Jonker,1885:49), membayangkan kepada kita bahwa setiap pejabat desa (rāma) bertanggungjwab atas keamanan di desanya masing-masing.

Jadi, para rama (pejabat) itulah yang memimpin dan mengatur giliran warganya untuk melakukan ronda malam dan penjagaan demi keamanan desanya. Kejahatan-kejahatan mulai dari yang kecil seperti pencurian sampai kepada yang lebih berat seperti pembegalan dan perampokan harus dapat diatasi oleh para rāma dan segenap warga desanya. Jika ada gerombolan rampok, garong atau kecu yang masuk desa maka para penjaga keamanan yang bertugas pada malam itu tentunya membunyikan kentongan untuk membangunkan semua laki-laki dewasa di desa itu unuk siap siaga menghalau gerombolan yang menyerbu desa itu. Mungkin juga bunyi kentongan itu dimaksudkan untuk menarik perhatian desa-desa tetangga (wanua i tpi siriṅ) untuk datang membantu.
Tetapi ada kalanya para rama dan penduduk suatu desa merasa tidak sanggup menghadapi gerombolan bandit-bandit karena mungkin pemimpin gerombolan itu terkenal sebagai orang yang sakti karena memiliki azimat, senjata khusus atau ilmu kebatinan yang ampuh. Dalam  hal semacam ini para rama dapat minta bantuan pejabat desa tetangga atau aparat pemerintah daerah yang membawahi desa yang bersangkutan tanpa perlu minta bantuan pemerintah pusat, seperti yang terungkap dari prasasti Baliṅawan dan prasasti Mantyāsih.

Sistem keamanan lingkungan yang berlaku seperti diatas tidak saja ditujukan untuk menanggulangi masalah perbanditan, tetapi juga untuk menghadapi ‘pemberontak-pemberontak terhadap kekuasaan pemerintah pusat’. Kasus semacam itu ternyata banyak kita jumpai dari masa pemerintahan raja Dharmawaṃśa Airlaṅga dan masa Kadiri, suatu masa di mana kepemimpinan śrī mahārāja tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari semua sāmya haji. Penetapan desa-desa tertentu sebagai sīma karena telah berjasa menghalau musuh dan berhasil sebagai ‘desa peyangga’ di perbatasan diperingati antara lain di dalam prasasti Cane tahun 943 Śaka (OJO,LVIII), Baru tahun 952 Śaka (OJO,LX), Turun Hyaṅ A tahun [9]58 Śaka (OJO,LXIV), Maleṅa tahun 974 Śaka, Garaman tahun 975 Śaka, Turun Hyaṅ B tahun [97]6 Śaka, Sukun tahun 1083 Śaka, Jariṅ tahun 1103 Śaka (OJO,LXXI), Kemulan tahun 1116 Śaka (OJO,LXXIII) dan Horren (Stutterheim,1933a). Di dalam prasasti Horren itu, yang hanya ditemukan lempengan keduanya saja di daerah Campurdarat (Kediri), disebutkan datangnya śatru suṇḍa. Apakah yang dimaksudkan dengan śatru suṇḍa itu musuh dari Jawa Barat dan jika benar demikian apakah pasukan Sunda itu pernah menyerbu sampai ke daerah Kediri atau selempengan prasasti Horren itu mengalami transformasi yaitu terbawa dari daerah Banyumas, Pekalongan atau Kedu sampai ke daerah Kediri, hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

Jadi jelaslah bahwa kerajaan-kerajaan kuno mempunyai institusi pengadilan. Memang para petugas ‘siskamling’ tidak boleh main hakim sendiri apabila mereka itu menangkap seorang pencuri atau perampok. Para penjahat itu harus dihadapkan ke sidang pengadilan dan di situ diputuskan apakah mereka itu cukup dikenai denda atau harus dijatuhi hukuman mati. Banyak istilah-istilah di dalam naskah-naskah hukum itu yang berkenaan dengan masalah perbanditan. Sebagai contoh dapat disebut añjarah (merampok), yang dapat dilakukan seorang diri atau bermai-ramai. Jika hanya seorang yang menjarah ia dikenai denda 20.000, tetapi jika orang banyak yang menjarah, masing-masing dikenai denda maksimum, yaitu 160.000 (tiban wekasin denda 160.000). Istilah yang lain adalah anumpu, yaitu membunuh sepasang suami-istri di waktu malam untuk dirampas harta bendanya. Ambaranaṅ ialah membakar rumah-rumah disuatu desa dan penghuninya yang lari keluar dibunuh, jika ada harta titipan yang ikut terbakar lalu dilaporkan kepada penguasa dengan bukti-bukti pemilikannya, semua orang yang ikut ambaranaṅ masing-masing dikenakan denda 48.000 dan mengembalikan harta titipan yang terbakar itu lima kali lipat nilainya.

Contoh-contoh diatas diambil dari naskah Adhigama saja, yang meliputi tindakan ambaraṅan, dimasukan ke dalam kelompok aṣṭaduṣṭa, yang terdiri atas aṅrañcab, aṅremak, ambegal, aṅetal, aṅgampol, aṅamuk, ambaranaṅ dan aṅrampas. Tetapi dalam naskah Kuṭāra Mānawa yang telah diterbitkan sebagai disertasi oleh J.C.G Jonker (Jonker,1885, Slamet Muljana,1967) lain lagi yang disebut aṣṭaduṣṭa itu, yaitu: membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa, melukai orang yang tidak berdosa, makan bersama seorang pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat persembunyian kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh.

Naskah-naskah hukum dan sejenisnya, seperti naskah-naskah tentang ketatanegaraan dan kedudukan raja, tingkah laku para rokhaniawan, hak dan kewajiban kawula, hukum perkawinan (Nawa Śāsaniṅ Ratu, Rṣiśāsasna, Śewaśāsana, Śewakadharma, Kramaniṅ Alakirabi), dll. Dapat menambah banyak sekali pengetahuan kita tentang berbagai segi kehidupan nenek moyang kita, yang akan melengkapi gambaran yang kita peroleh dari prasasti-prasasti dan artefak-artefak lain yang biasa kita garap hingga sekarang.


Acuan:
Groeneveldt,1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya compiled from Chinese Source. Jakarta: Bhatara. [Terbitan ulang berdasarkan edisi 1880 dengan perubahan judul.]
J.C.G.Jonker,1885. Een Oud-Javaansch Wetboek. Vergeleken met Indische Rechtbronnen. Disertasi Leiden.
Slamet Muljana,1967. Perundang-Undangan Madjapahit. Djakarta: Bhatara.
Soemarsaid Moertono,1968. State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Periode, 16th to 19th Century. Ithaca, New York, Southest Asia Program Departement of Asian Studies, Cornell University. [Monograph Series no.43, Modern Indonesia Project.] Cetakan ulang tahun 1974 dan 2009.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar