Rabu, 15 Mei 2013

Candi dan Lingkungannya



Boechari


Prasasti tidak semata-mata memberikan data historis kepada kita, tetapi lebih banyak lagi data kemasyarakatan, keekonomian dan keagamaan (Boechari,1977:1). Begitupula keterangan tentang percanadian di dalam prasasti-prasasti yang belum dimanfaatkan oleh para ahli arkeologi. Bahwa di dalam prasasti terdapat bermacam-macam istilah untuk menyebut bangunan suci memang sudah pernah dikemukakan, meskipun belum diketahui dengan pasti bangunan suci sejenis apa yang dimaksudkan dengan masing-masing istilah itu (Soekmono,1974; Boechari,1976:10). Tetapi bahwa ada beberapa prasasti yang menyebut kelompok empat atau lima bangunan suci yang harus dipuja oleh satu desa atau satu daerah, belum pernah ada arkeolog yang menelaahnya.

Di dalam prasasti Mantyasih (829 Saka) disebutkan bahwa lima orang patih di Mantyāsih mendapat anugerah sīma dari raja Rakai Watukura Dyah Balituṅ. Adapun sebabnya karena mereka itu memperoleh anugerah raja, antara lain karena mereka tidak melalaikan pemujaan di bangunan suci di Malaṅkuśeśwara, Pūteśwara, Kutusan, Śilābhedeśwara dan Tuleśwara setiap tahunnya. Jadi ada lima bangunan suci yang menjadi tanggungan para patih di Mantyāsih. Begitupula dalam prasasti Kanuruhan I dan II (865 Śaka) ada empat bangunan suci di Wuraṇḍuṅan yang disebut dharma kahyaṅan, yaitu saṅ hyaṅ mahulun, saṅ hyaṅ paṅawan, saṅ hyaṅ kaswaban dan saṅ hyaṅ kagotran. Di dalam prasasti Baru (952 Śaka) juga disebutkan ada empat bangunan suci di mana para pejabat desa Baru harus mengadakan kebaktian, yaitu saṅ hyaṅ huwān, saṅ hyaṅ ḍepur, saṅ hyaṅ kawyĕlan dan saṅ hyaṅ roh.

Dari keterangan-keterangan di atas dapat kiranya disimpulkan bahwa masyarakat Bali sampai sekarang mengenal suatu sistem perpuraan. Menurut R.Goris di tiap desa dan tiap kerajaan lama di Bali terdapat tiga pura pokok, yaitu pura puseh, pura bale agung dan pura dalem dan beberapa macam pura lagi (Goris, 1960). Dari data prasasti dapat diungkapkan apa saja yang diharapkan ada disekitar suatu candi.

Di dalam berbagai prasasti terdapat istilah punpunan dan aṅśa untuk menyebut sīma. Dari prasasti Tuhañaru (1245 Saka) dapat disimpulkan bahwa punpunan ialah sīma yang letaknya dekat dengan bangunan sucinya, sedangkan aṅśa adalah sīma yang letaknya jauh dari bangunan sucinya. Dari prasasti Tuhañaru jelas bahwa pulau Jawa yang ada di sekitar pusat kerajaan atau keraton Majapahit disebut punpunan, sedang pulau-pulau yang lain yang jauh dari pusat kerajaan disebut aṅśa. Baik punpunan maupun aṅśa mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap bangunan suci, antara lain menghasilkan biaya-biaya bagi pelaksanaan upacara-upacara keagamaan di dalamnya.

Penjelasan dari beberapa prasasti seperti prasasti Kwak I (801 Śaka), Prasasti Taji (823 Śaka), prasasti Sugih Manek (837 Śaka), prasasti Gulung-gulung (851 Śaka), prasasti Cuṅgraṅ (851 Śaka), prasasti Kudadu (1216 Śaka), prasasti Sukamṛta (1218 Śaka) menunjukkan bahwa suatu sīma tidak bebas sama sekali dari bermacam-macam pungutan. Bedanya dengan tanah-tanah biasa ialah bahwa hasil pungutan atau pajak dan denda-denda dari tanah biasa masuk ke perbendaharaan kerajaan, sedang hasil berbagai macam pungutan atau pajak dan denda-denda dari tanah sīma digunakan untuk berbagai macam keperluan bagi bangunan suci, antara lain untuk biaya pelaksanaan berbagai macam saji-sajian dan upacara pemujaan terhadap bhaṭāra di dalamnya dan untuk pemeliharaan bangunan.

Dari beberapa prasasti tersebut yang berisi keterangan mengenai kewajiban-kewajiban sima terhadap bangunan suci dan sumber-sumber penghasilan sima itu terbayang adanya organisasi keagamaan dan organisasi sipil yang mengelola suatu bangunan suci dan simanya. Memang ada prasasti yang menyebut adanya orang-orang yang harus mengelola suatu bangunan suci dan bertempat tinggal di dekatnya. Sebagai contoh pada prasasti Kañcana (782 Śaka), prasasti Taji (823 Śaka) dan prasasti Gandhakuti (964 Śaka). Diantara bangunan-bangunan suci yang disebut dalam tiga prasasti itu yang jelas merupakan candi adalah bangunan yang disebut dalam prasasti Kañcana. Prasasti Taji menyebut kabikuan, tempat tinggal para bhikṣu, tanpa gambaran bahwa kabikuan itu berdekatan dengan candi. Sedang dharma Gandhakuṭi di Kambang Śrī tidak jelas jenis bangunannya. Dan dari keetrangan di dalam tiga prasasti itu ternyata bahwa yang ditempatkan di dalam lingkungan bangunan suci dan berkewajiban mengelolanya, bukanlah orang-orang dari kasta brāhmaṇa. Paduka Mpunku i Boddhimimba yang anaknya ditempatkan di dalam lingkungan prasāda di Bunur Lor, sekalipun ia seorang pendeta, disebut kṣatriya. Demikian pula halnya dengan mereka yang ditempatkan di dalam kabikuan di Taji dan di dharma Gandhakuṭi di Kambang Śrī (Boechari,1962:5).

Keterangan bahwa adanya pendeta di dalam lingkungan suatu candi berasal dari prasasti Palah (1119 Śaka) dan bangunan suci di Palah diidentifikasikan dengan candi Panataran. Kemudian prasasti Kalasan (700 Śaka) mengandung keterangan yang samar-samar tentang adanya bhikṣu-bhikṣu yang bertempat tinggal di sekitar candi. Di dalam prasasti Śaṅkara juga disebutkan anugerah tanah kepada bhikṣusaṃgha setelah raja membangun prasāda untuk melepas nazarnya. Ada lagi yang diharapkan bertempat tinggal di dekat bangunan suci yaitu budak atau hamba yang dijelaskan dalam prasasti Kāñjuruhan (682 Śaka) yang menyebutkan persembahan raja Dewasiṃha kepada bangunan suci untuk pemujaan Agastya berupa sejumlah laki-laki dan perempuan dan juga prasasti yang mungkin berasal dari Dieng menyebutkan antara lain duapuluh orang hamba dan sepuluh ekor kerbau.

candi Prambanan

candi Panataran



Dari uraian tersebut tergambar bahwa suatu candi biasanya mempunyai tanah-tanah perdikan, berupa sawah, ladang, kebun, pagagan, taman, padang rumput, bukit dan lembah, rawa-rawa dan tepian. Juga bahwa di suatu candi biasa dipersembahkan saji-sajian dan dilakukan upacara-upacara keagamaan setiap hari, setiap bulan, dua kali setahun dan setahun sekali. Dari gambaran tersebut dapatlah diharapkan adanya pemukiman di sekitar candi, baik pemukiman penduduk biasa yang bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah perdikan dan mereka yang berkewajiban mengelolanya, maupun tempat tinggal para pendeta yang mengurus dan memimpin upacara-upacara keagamaan dan tempat tinggal budak-budak yang mungkin berkewajiban untuk merawat bangunan candi dan apa yang ada di sekitarnya. Dan dapat pula diharapkan adanya tempat-tempat melakukan upacara keagamaan dengan segenap persiapannya.

Dari beberapa ekskavasi yang telah dilakukan di sekitar candi Borobudur, Bowongan, Kalasan, Prambanan, Ratu Baka, dan sekitar Candi Jawi membenarkan gambaran yang diperoleh dari data epigrafis. Yang ada di dalam prasasti dan yang mungkin berguna dalam hubungan ini ialah keterangan bahwa pada waktu suatu daerah atau desa atau sebidang tanah ditetapkan menjadi sīma, maka desa-desa sekelilingnya mengirimkan wakil-wakil untuk hadir sebagai saksi pada upacara peresmiannya. Disini kami menemukan dua pola pemukiman pokok dengan dijumpainya istilah pañaturdeśa dan paṅaṣṭadeśa, yaitu bahwa suatu desa dikelilingi oleh empat desa yang tentunya terletak di arah empat penjuru mata angin atau oleh delapan desa yang terletak di arah delapan penjuru mata angin. Ada juga yang desa sekelilingnya tiga, lima, enam atau kelipatannya. Tetapi untuk jumlah itu tidak dijumpai istilahnya di dalam prasasti.


Akhirnya perlu juga dipertimbangkan pengembangan palinologi. Mungkin ilmu ini dapat membantu kita menemukan lokasi sawah, ladang, kebun dan taman-taman dari suatu candi dan menemukan jenis-jenis tanaman apa yang ditanam di kebun dan bunga-bunga apa saja yang merupakan pilihan  utama untuk ditanam di tanam-tanam di sekitar candi.


Boechari, 2012
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. 
Jakarta: KPG
hlm: 273-290

Tidak ada komentar:

Posting Komentar