Rabu, 10 April 2013

Airlaṅga: Sekilas tentang Masa Pemerintahannya



Ninie Susanti
(Judul Asli: Masa Pemerintahan Airlangga dalam Airlangga: Biografi Raja Pembaharu Jawa Abad XI Masehi)


Politik

Sejak menduduki tahta dapat diketahui bahwa Raja Airlaṅga mempunyai dua gelar abhiseka, yaitu gelar yang dipakainya selama memerintah dan gelar yang dipakainya setelah turun tahta mengundurkan diri sebagai raja untuk hidup sebagai pendeta. Pada waktu ia memerintah sebagai raja bergelar Śrī Mahārāja Rakai Halu Śrī Lokeśwara Dharmmawaṅśa Airlaṅga Anantawikramottuṅgadewa dan gelar setelah megundurkan diri sebagai raja adalah Aji Paduka Mpuṅku Saṅ Pinaka Chatra ning Bhuwana.

Śrī Mahārāja adalah sebutan jabatan yang disandangnya, yaitu sebagai raja, Rakai Halu sekaligus dapat diartikan sebagai gelar pejabat tinggi kerajaan setingkat lebih rendah dari putra mahkota (Rakai Hino). Gelar Rakai Halu yang disandang pada awal namanya menimbulkan pendapat bahwa sebenarnya ia bukanlah putra mahkota yang dipersiapkan untuk menduduki tahta kerajaan. Ia menjadi raja karena putra mahkota sebenarnya, yang sangat mungkin adalah putri Raja Dharmmawaṅśa Tguh, telah tewas pada saat peristiwa pralaya, yaitu pada saat perayaan perkawinannya dengan Airlaṅga (Soemadio (ed.),1984).

Śrī Lokeśwara adalah nama lain dari Avalokiteśvara sebutan penguasa dunia di dalam agama Buddha. Adapun penggunaan unsur ajaran Buddha di deretan nama abhiseka Airlaṅga, yaitu lokeśwara dapat dijelaskan bahwa Buddha adalah salah satu avatara dari dewa Wisnu yang mengemban tugas tertentu. Dalam mitologi Hindu, dewa-dewa mengirim Wisnu dalam bentuk Buddha untuk mengurangi dewa-dewa jahat “yang baik” serta membujuk mereka menyerahkan persembahan pada weda dalam bentuk “tidak menyakiti dan meditasi seperti di dalam ajaran Buddha”. Mereka melepas baju besi dengan kebaikan abadi dan roh-roh jahat akan dihancurkan oleh dewa-dewa, sedangkan roh-roh jahat yang masih selamat mempunyai kebaikan relatifnya untuk mengkontribusi keinginan jahat mereka untuk menyeimbangkan dunia (Eliade, 1987, vol.7: 187).

Dharmmawaṅśa Airlaṅga adalah nama diri. Dalam hal ini menjadi menarik karena nama depan Dharmmawaṅśa juga dipakai lima orang raja yang pernah memerintah di Jawa dan Bali. Raja-raja tersebut adalah Dharmmawaṅśa Tguh yang memerintah di Jawa Timur sebelum Airlaṅga, kemudian Dharmmawaṅśa Airlaṅga dan Dharmmawaṅśa Marakata Paṅkaja Sthanottuṅgadewa, yaitu adik dari Airlaṅga yang memerintah di Bali. Dharmmawaṅśa keempat adalah Rakai Halu Śrī Samarotsaha Karṇakeñcana Dharmmawaṅśa Kīrttisiṅhajāyanatakatuṅgadewa yang namanya tercantum di dalam Prasasti Batu dari Surabaya 982 Śaka, yang terakhir adalah Dharmmawaṅśa Kṛtawardhāna yang memerintah di Bali. Krom pernah beranggapan bahwa mereka itu terikat secara genealogis atau merupakan satu dinasti, namun hal ini harus diteliti lebih jauh.

Ananta berarti tidak berakhir. Nama ini  menjadi salah satu gelar Dewa Wisnu yang digambarkan sebagai satu-satunya manusia yang hidup setelah peristiwa prālaya (penghancuran) terjadi (Dowson,1968:361). Vikrāma berarti gagah berani, sedangkan ūtuṅgadewa berarti keturunan dewa yang maha tinggi (Zoetmulder,1992).

Gelar kedua adalah gelar yang dipakainya pada saat ia memutuskan mengundurkan diri dari tahtanya sebagai raja dan memutuskan mengundurkan diri dari tahtanya sebagai raja dan bermaksud menjadi pendeta yang tingga di luar keratonnya. Gelar tersebut dicantumkan di dalam Prasasti Gandhakuṭi 1042 M sebagai Aji Paduka Mpuṅku Saṅ Pinaka Chatra ning Bhuwana, yang berarti menjadi payung dunia. Keinginannya menjadi payung dunia setelah meletakan jabatan sebagai raja bisa saja diartikan bahwa ia tetap berambisi atas tahta tersebut atau belum merelakan sepenuhnya untuk meninggalkan kedudukannya. Sebab pada kenyataannya, tidak lebih dari sebulan ia mundur dari tahta, muncul Prasasti Pamwatan 964 Śaka yang menyebutkan tentang nama ibukota kerajaan yang baru Dahana. Ia kembali memangku jabatan sebagai raja. Pada tahun yang sama, ia menganugerahkan status sīma atas nama Desa Pandan yang merupakan hadiah pada para pejabat desa tersebut (Prasasti Pandan 1042 M).

Kedudukan sebagai payung dunia sebenarnya telah disebut-sebut Airlaṅga semasa ia memerintah, yaitu sebagaimana disebut di dalam prasasti Turunhyang A. Diuraikan dalam prasasti tersebut bahwa yang dimaksud dengan cakravarttin adalah bertindak sebagai payung dunia (tulusa chatra nin bhawana..baris 14). Jadi gelar kependetaannya sudah diawali dan dijelaskan di dalam Prasasti Turunhyang A yang diperkirakan dikeluarkan pada 958 Śaka.  Juga pada isi prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno lebih jelas menyebutkan bahwa Airlaṅga adalah penjelmaan dari Dewa Wisnu (sisi A baris 8) dan Prasasti Cane (sisi recto baris 27).

Ada kesejajaran yang tegas antara penekanan khusus yang awalnya terdapat dalam teks Veda mengenai tugas Wisnu sebagai pemelihara atau pelindung dan hubungan yang sangat dekat dengan institusi kerajaan. Fungsi pertama adalah memelihara dunia dan tanah tempat ia berdiam dan mempertahankan dharma serta menghukum siapa saja yang berbuat jahat. Wisnu, penguasa yang utama dan pelindung bumi, di dalam kaitan ini juga dianggap sebagai cakravarttin, yang seringkali memang mengarah kepada seorang pemegang mahkota kerajaan (Gonda, 1954:165). Cakravarttin mengarah pada pengertian seorang raja ideal yang memerintah dengan moral baik dan murah hati bagi seluruh dunia.

Pada masa pemerintahan Raja Airlaṅga, lambang kerajaan menggunakan Garuḍamukha yang seringkali digambarkan di bagian puncak prasasti batu yang dikeluarkannya. Apabila lambang tersebut tidak tergambar di bagian puncak prasasti, seringkali disebutkan di dalam isi prasasti sebagai saṅ hyaṅ ājña haji praśasti tinaṇḍa garuḍamukha “prasasti berisi perintah tertanda garuḍamukha”. Garuda disini dilambangkan sebagai kendaraan Wisnu. Tokoh Garuda sendiri mempunyai arti simbolis yang menggambarkan sifat ketangkasan, melayang tinggi dan kedahsyatan atau keganasannya.

Garuda di Thailand

Airlangga dan Garuda (simbol kerajaannya)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGJrvFZVIDxpK9kM6vMkfWUSDv9u8Ev3Jykz6FczvlGs2dPXXfKfDBWkrmlzkyzUZsbF3l4Jdv2HYa_ATHfC8B_ogmwsbsuWCbwJveQhi-A9uK7wZVdoFreP5qaS3w7uHZ_bGHDEqY9K0H/s1600/airlangga.jpg


Untuk mengerti lebih jauh mengenai langkah-langkah politik dan ekonomi Raja Airlaṅga di luar kerajaannya, barangkali harus diingat kembali konsep kekuasaan tradisional Jawa yang dianutnya. Selain unsur kekuasaan atau kuasa yang harus dijaga dan senantiasa ditambah oleh seorang pemimpin, harus juga dipusatkan pada dirinya. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempertahankan ketaatan yang lancar dan bertindak seperti besi berani yang mengatur bubuk besi yang berserakan menjadi bidang daya yang berpola.

Konsep kekuasaan Jawa mempunyai implikasi bagi konsepsi-konsepsi tentang kedaulatan, integritas teritorial dan hubungan-hubungan luar negeri. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh para raja untuk menghadapi ancaman yang datang dari tetangga dekatnya sebagai pemusatan kekuasaan, yaitu:
  1. Menghancurkannya
  2. Mengobrak-abrik dan kemudian menyerapnya, atau
  3. Kombinasi dari keduanya (Anderson, 1986:80-81).

Isi prasasti-prasasti Raja Airlaṅga jelas menyebutkan bahwa ia melakukan perang berkali-kali pada masa konsolidasi untuk menegakkan haegemoninya. Dari prasasti yang berasal dari Jawa Barat, yaitu Prasasti Sang Hyang Tapak 952 Śaka yang mempunyai ciri-ciri aksara maupun bahasa mirip dengan prasasti-prasasti Raja Airlaṅga, barangkali dapat dijadikan contoh antisipasi ancaman dari pemusatan kekuasaan lain pada kekuasaan Airlaṅga.

Seluruh masa pemerintahan Raja Airlaṅga dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu masa konsolidasi, keemasan dan akhir pemerintahan. Masa awal pemerintahan Raja Airlaṅga disebut masa konsolidasi, yaitu masa yang penuh dengan perjuangan untuk menegakkan hegemoni. Ia melakukan serangan-serangan terhadap kerajaan-kerajaan kecil atau wilayah-wilayah di sekelilingnya yang semula menjadi raja bawahan dari Raja Dharmmawaṅśa Tguh, tetapi kini berbalik menentang atau tidak mengakui kekuasaannya. Prasasti-prasasti yang isinya berkaitan dengan penaklukan Raja Airlaṅga terhadap wilayah-wilayah tersebut yaitu Prasasti Cane 943 Śaka, Prasasti Kakurugan 944 Śaka, Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno 963 Śaka dan yang berbahasa Sansekerta 959 Śaka, Prasasti Baru 952 Śaka.

Berbagai kebijakan bermuatan politis telah dicanangkan oleh Raja Airlaṅga sekaligus memperlihatkan tindakan perubahan terhadap sistem politik yang berlaku sebelumnya. Masa ini adalah masa puncak kejayaan dimana ia diperkirakan memerintah dengan damai. Tindakan-tindakannya antara lain memperbaiki pengairan, memperbaiki transportasi darat dan laut, mengembangkan perdagangan, memajukan kehidupan rohani, meraih simpati dan dukungan dari rakyatnya. Salah satu prasasti yang mengulas mengenai tindakan tersebut adalah Prasasti Kamalagyan 959 Śaka.

Tak lama kemudian terjadi kemelut politik di kerajaan Airlaṅga, yaitu perang saudara antara anaknya melawan seseorang yang sangat mungkin adalah anak Dharmmawaṅśa Tguh ataupun perebutan diantara anak-anak Raja Airlaṅga. Akhirnya ia membagi kerajaannya untuk menghindari perebutan kekuasaan. Sumber penting yang memuat peristiwa pembagian kerajaan ini adalah Prasasti Wurara, Prasasti Garaman 975 Śaka, Prasasti Turunhyang B 966 Śaka, Prasasti Malenga 974 Śaka, dan Prasasti Banjaran 974 Śaka, teks Nāgarakertāgama dan Calon Arang.


Agama

Dari keseluruhan isi prasasti-prasasti Raja Airlaṅga dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahannya berkembag agama-agama Buddha dan Hindu yang lebih menekankan pada pemujaan Śiwa, Rṣi dan Brahmāna (Prasasti Baru 952 Saka).

Pada masa pemerintahan Raja Airlaṅga untuk pertama kalinya agama Rṣi disebutkan di dalam prasasti dan disejajarkan dengan agama lainnya seperti Siwa dan Buddha. Menurut pengertian di India, Rṣi adalah kelompok pendeta yang sangat tinggi pengetahuannya dan menurut cerita suci, mereka adalah anak-anak dewa Brahmā. Selanjutnya, berdasarkan sumber lain yaitu kakawin Arjunawiwāha dan Sutāsoma disebutkan bahwa para petapa yang berpakaian kulit kayu itu adalah golongan Rṣi (Santiko, 1990:158). Dari berbagai keterangan yang diperoleh, diperkirakan bahwa Rṣi di Jawa adalah para wanaprastha, yaitu mereka yang telah mengundurkan diri ke hutan atau tempat sunyi untuk menjalankan tingkatan hidup ketiga. Adapun golongan mahābrahmāna yang disebut di dalam Prasasti Pucangan 963 Śaka diperkirakan adalah kelompok pendeta yang sangat mahir dalam ajaran Weda dan Brahmāna.


Ekonomi

Lima prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlaṅga memberikan keterangan mengenai kegiatan perekonomian yang tersurat di dalam bagian prasasti yang memuat ketentuan pajak perdagangan setelah suatu daerah dijadikan sima. Hal ini dapat menjelaskan pada kita mengenai jenis-jenis barang yang diperdagangkan, pelaku ekonomi dan sarana yang ada pada masa tersebut. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Cane 943 Śaka, Prasasti Patakan, Prasasti Baru 952 Śaka, Prasasti Turunhyang A dan Prasasti Gandhakuti 964 Śaka.

Selain dari bagian prasasti yang menyebut mengenai masambyawahara, adapula bagian yang disebut sebagai rincian wargga kilalaṅ, yaitu warga yang harus membayar pajak yang terdiri dari orang-orang asing dari berbagai negara dan juga para profesional (yang dikenai pajak karena profesinya) (Boechari, 1977).

Orang-orang asing yang tinggal di Jawa pada masa Raja Airlaṅga dicatat di dalam prasasti. Mereka adalah Kliṅ (keling), Aryya (suku asal India), Siṅhala (Srilanka), Pandikira (dari Asia Selatan), Drawida (dari Asia Selatan), Campa (Vietnam), Kmir (Khmer) dan Remen (Mon). Mereka dicatat dengan teliti karena harus membayar pajak yang khusus dikenakan pada orang asing yang menetap di suatu wilayah kerajaan. Sebagian besar mereka berprofesi sebagai perwakilan dagang negeri asalnya atau pedagang dan bisa juga kaum profesional atau pekerja seni.


Sosial

Pada masa pemerintahan Raja Airlaṅga diberikan hak istimewa kepada orang-orang tertentu. Hak istimewa yang dianugerahkan raja diberikan karena suatu alasan tertentu, dapat berbentuk macam-macam. Keterangan di dalam Prasasti Gandhakuṭi memperjelas keberadaan hak istimewa, yaitu hak-hak yang dirinci sebagai hak istimewa hanya boleh dimiliki oleh raja dan keluarganya, namun karena suatu alasan tertentu diperbolehkan dimiliki oleh seseorang atau sekeluarga yang dianugerahi hak tersebut. Hak-hak istimewa dapat berupa gaya hidup, misalnya diperbolehkan memakai jenis-jenis pakaian atau perhiasan tertentu, melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di depan umum, memiliki rumah dengan ciri-ciri tertentu, memakan makanan istimewa, memiliki tempat duduk, balai-balai, payung dan lain-lain yang istimewa (Sedyawati,1994: 297-301).

Rujukan:
Anderson, Benedict R.O.G. 1983. “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”, dalam Budiarjo (ed.), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta.
Boechari.1977.  “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuna Ditinjau dari segi Sejarah dan Arkeologi”, dalam M.A.Th. I No:1 September.
Eliade, Mircea.1987. The Encyclopedia of Religion. Macmillan and Free Press.
Gonda,J. 1954.Aspect of Wisnuism. N.V.A. Oosthoek’s Uitgevers Mij-Utrecht: 1954.
Santiko, Hariani. 1990. “Kehidupan Beragama Golongan Rsi di Jawa”, dalam Monumen:  Karya Persembahan untuk Prof.Dr.R.Soekmono. Depok: Lembaran Sastra. Seri Penerbitan Ilmiah No.11. Edidi Khusus FSUI.
Sedyawati, Edi,dkk.1990. dalam Monumen: Karya Persembahan untuk Prof.Dr.R.Soekmono. Depok: Lembaran Sastra. Seri Penerbitan Ilmiah No.11. Edidi Khusus FSUI.
Soemadio, Bambang (ed.), 1984. “Jaman Kuna” Sejarah Nasional Jilid II, Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder, P.J.1992. Old Javanese-English Dictionary. KILTV: Den Haag-Nijhoff.


Ninie Susanti, 2010
Airlangga: Biografi Raja Pembaharu Jawa Pada Abad XI M
Jakarta: Komunitas Bambu
hlm: 85-122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar