Kamis, 11 April 2013

Epigrafi dan Sejarah Indonesia


Boechari


Prasasti adalah sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di atas batu atau logam. Sebagian besar dari prasasti-prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah di berbagai kepulauan Indonesia sejak abad V Masehi. Sejumlah kecil daripadanya merupakan keputusan pengadilan, yang biasa disebut dengan istilah jayapattra. Sebagian dari prasasti-prasasti itu memuat sebuah naskah yang panjang, tetapi ada juga di antaranya yang hanya memuat angka tahun atau nama seseorang pejabat kerajaan (de Casparis, 1952: 21-23). Prasasti-prasasti dari zaman Islam yang sebagian besar tertulis pada batu nisan, biasanya berisi keterangan tentang nama orang yang dimakamkan di situ, tanggal kematiannya, dan kutipan ayat-ayat suci Al Quran.

Pada waktu ini pemeliharaan dan penelitian atas sumber sejarah yang berupa prasasti itu menjadi tugas dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, suatu instansi dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam instansi tersebut tersimpan sekitar tiga ribu cetakan kertas prasasti-prasasti batu dan logam yang tersebar di seluruh kepulauan. Prasasti-prasasti itu tertulis dalam bahasa Sansekerta, Melayu Kuna, Sunda Kuna, Jawa Kuna, Bali Kuna, Tamil dan Arab. Sebagian besar dari prasasti-prasasti itu masih harus diteliti dengan seksama, sebab sekalipun sudah banyak yang dibaca dan diterbitkan, kebanyakan baru terbit dalam bentuk transkripsi sementara, seperti kumpulan transkripsi dari J.L.A.Brandes yang berisi 125 prasasti.

Tugas seorang epigrafi sekarang ini tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga meneliti kembali prasasti-prasasti yang baru terbit dalam transkripsi sementara. Kemudian ia harus menerjemahkan prasasti-prasasti tersebut ke dalam bahasa modern sehingga sarjana-sarjana yang lain, terutama ahli-ahli sejarah dapat menggunakan keterangan-keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu.

Dalam menunaikan tugas tersebut ahli epigrafi banyak menjumpai kesulitan. Pertama karena banyak prasasti, terutama prasasti batu, yang sudah sedemikian usang sehingga amat sulit untuk membacanya. Ia harus membaca bagian-bagian yang usang itu berkali-kali sampai mendapatkan pembacaan yang memuaskan. Dengan menguasai bentuk huruf kuno dengan segala lekuk likunya, dan dengan senantiasa membanding-bandingkan huruf-hurufnya yang usang itu dengan huruf-huruf yang masih jelas, seorang ahli epigrafi berusaha untuk memperoleh pembacaan yang selengkap-lengkapnya. Dalam hubungan ini prasasti-prasasti yang tertulis dalam bahasa Sanskerta memberikan keuntungan karena tertulis dalam bentuk mantra, yang memungkinkan ahli epigrafi menggunakan hukum guru laghu untuk membantu memperoleh pembacaan yang lengkap dari bagian-bagian yang meragukan. Tetapi sekalipun dengan penuh kesabaran dan ketekunan, sering ahli epigrafi tidak mungkin lagi membaca bagian-bagian prasasti yang sudah terlalu rusak.

Prof.Dr.Arlo Griffiths, prasasti di Blitar.
Kesulitan yang kedua dihadapi pada waktu menerjemahkan prasasti-prasasti itu. Pengetahuan kita tentang bahasa kuno yang digunakan di dalam prasasti-prasasti itu masih belum cukup untuk memahami sepenuhnya makna yang terkandung di dalam naskah-naskah itu. Dalam menghadapi prasasti-prasasti yang tertulis dalam bahasa Jawa Kuna kita memang mempunyai bahan perbandingan dalam bentuk naskah-naskah kesusastraan. Tetapi penerbitan naskah-naskah tersebut, sekalipun sering disertai dengan daftar kata-kata, tidak memberikan bantuan sebagaimana yang diharapkan, karena prasasti-prasasti menggunakan istilah-istilah dan susunan kalimat yang berbeda dengan yang digunakan di dalam naskah-naskah kesusastraan. Banyak istilah tentang pengaturan hak-hak atas tanah, tentang bermacam-macam jenis pajak tanah dan bermacam-macam nama jabatan yang tidak pernah dijumpai di dalam kakawin Jawa Kuna. Mungkin penerbitan naskah-naskah hukum Jawa Kuna lebih banyak memberi bantuan kepada ahli epigrafi. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa dengan kemajuan pengetahuan kita akan bahasa-bahasa kuno terjemahan yang telah ada perlu ditinjau kembali, dengan akibat bahwa kesimpulan-kesimpulan yang telah ada yang didasarkan atas terjemahan yang lama harus ditinggalkan.

Di dalam prasasti sering dijumpai keterangan panjang lebar tentang hari, bulan, tahun, dan unsur-unsur penanggalan yang lain, yaitu waktu suatu daerah ditetapkan menjadi sīma, juga keterangan tentang orang yang menetapkan daerah itu menjadi sima, tentang orang-orang yang melaksanakan upacara, tentang bermacam-macam upacara yang dilakukan, dan sebagainya. Bagian yang memuat sumpah atau kutuan yang diancamkan terhadap orang yang berani melanggar ketentuan-ketentuan di dalam prasasti itu mengambil tempat yang amat penting. Sering pula dijumpai keterangan tentang batas-batas dari daerah perdikan tersebut. Dalam hal seorang raja memberi anugerah sīma kepada seorang pejabat yang berjasa, pejabat tersebut sering mendapat tambahan hak-hak istimewa yang juga disebutkan di dalam prasasti. Kebanyakan penetapan daerah perdikan itu dilakukan oleh seorang raja atau atas perintah seorang raja. Dalam hal yang demikian sering dijumpai daftar pejabat-pejabat tinggi kerajaan yang melaksanakan perintah raja. Tetapi ada juga anugerah sīma yang diberikan oleh pejabat-pejabat kerajaan (Krom, 1931:2).

Unsur-unsur penanggalan yang biasa ditulis dengan lengkap dan tepat, disusul dengan nama raja dan nama pejabat kerajaan, memberikan kerangka kronologi bagi penulisan sejarah kuno. Berdasarkan keterangan-keterangan itu kita dapat mengetahui masa pemerintahan seorang raja, sedang tempat-tempat penemuan prasasti dapat memberikan gambaran tentang luasnya kekuasaaan raja.

Setelah menyebut angka tahun dan unsur-unsur penanggalan yang lain, prasasti biasanya menyebutkan bahwa perintah seorang raja diturunkan kepada sekelompok pejabat kerajaan, yang kemudian meneruskannya lagi kepada sekelompok pejabat-pejabat yang lebih rendah. Berdasarkan keterangan-keterangan itu dapat untuk sementara ditarik kesimpulan bahwa pemerintah pusat terdiri atas sekurang-kurangnya dua kelompok pejabat kerajaan.

Sesudah menyebut pejabat-pejabat kerajaan yang menerima perintah raja, prasasti menyebutkan peristiwa pokoknya, yaitu penetapan suatu daerah menjadi sīma. Penetapan suatu daerah menjadi sīma dapat merupakan anugerah raja kepada seorang pejabat yang telah berjasa atau untuk pemeliharaan suatu bangunan suci. Tetapi fakta sejarah yang pada zaman dahulu hal ini dianggap amat penting, sehingga diperingati dengan suatu prasasti, namun kurang mendapat perhatian dari para ahli sejarah zaman sekarang. Mereka lebih memperhatikan bagian prasasti yang menyebutkan apa sebab-sebabnya (sambandha) suatu daerah tersebut dijadikan sīma. Bagian ini memang sering memuat fakta-fakta yang dapat dicari dalam cerita sejarah.

Kelemahan keterangan yang dimuat dalam prasasti yaitu minimnya informasi yang ditulis oleh sang penulis prasasti. Memang harus disadari bahwa penulis prasasti tidak bermaksud untuk mewariskan keterangan-keterangan kepada generasi yang akan datang, termasuk kita yang hidup pada masa kini. Ia tidak memandang perlu untuk memberikan keterangan-keterangan kepada generasi yang akan datang, termasuk kita yang hidup pada masa kini. Ia tidak memandang perlu untuk memberikan keterangan-keterangan yang sejelas-jelasnya, sebab bagi mereka yang hidup sezaman dengannya sudah jelas perkawinan raja yang mana yang dimaksudkan di dalam prasasti itu, dan jelas juga apakah yang menyebabkan (misalnya) suatu penduduk merasa ketakutan. Yang terpenting untuk diketahui oleh generasi yang akan datang hanyalah bahwa daerah-daerah yang disebutkan di dalam prasasti itu telah ditetapkan menjadi sima untuk suatu kepentingan tertentu.



Keterangan-keterangan yang terdapat di dalam prasasti-prasasti tersebut akan sangat penting artinya bagi para ahli sejarah andaikata disebutkan juga dengan siapa raja-raja tersebut berperang dan peperangan apa yang dimaksudkan di dalam prasasti-prasasti tersebut. Tetapi sayang sekali bahwa tidak ada sumber-sumber yang lain yang dapat menjelaskan masalah-masalah itu. Dapatlah dipahami mengapa sejarah Indonesia masih penuh dengan episode-episode yang tidak jelas dan tidak pasti. Bukan saja karena sumber-sumbernya yang tidak lengkap, tetapi juga karena sumber yang ada tidak memberi keterangan seperti yang diharapkan.

Seorang ahli sejarah tidak dapat mengharapkan semua prasasti berisi keterangan yang lengkap. Ia harus menjalin ceritanya di sekitar sejumlah fakta yang tersebar dari berbagai prasasti seperti seekor laba-laba yang harus menjalin sarangnya di antara ranting-ranting pohon. Tetapi di dalam menulis ceritanya itu seorang ahli sejarah harus mempunyai pengetahuan tentang struktur masyarakat zaman kuno yang harus digunakannya sebagai landasan untuk merekonstruksikan fakta-fakta sejarah. Prasasti-prasasti banyak berisi keterangan-keterangan tentang keadaan masyarakat, tetapi justru bagian-bagian itu sering diabaikan oleh ahli sejarah. Apa yang diuraikan di atas baru merupakan sebagian dari isi prasasti, dan dalam bagian-bagian berikut inilah dijumpai keterangan-keterangan yang sering amat terperinci tentang keadaan masyarakat Jawa Kuno.

Di dalam bagian prasasti secara tidak langsung diperoleh juga keterangan tentang kegiatan perdagangan dan usaha kerajinan. Keterangan itu diperoleh dari ketentuan-ketentuan mengenai pajak perdagangan dan pajak usaha. Juga dijumpai keterangan tentang ketentuan mengenai denda-denda dari berbagai macam kejahatan. Sering juga dikatakan bahwa seorang pejabat yang memperoleh anugerah sīma karena jasa-jasanya terhadap raja dan kerajaan mendapat tambahan berupa berbagai hak istimewa. Kalau keterangan tentang hak-hak istimewa itu diteliti dengan seksama mungkin akan diperoleh gambaran tentang perbedaan antara rakyat biasa dan kaum bangsawan.

Sesudah bagian yang menyebutkan ketetapan mengenai kedudukan daerah perdikan itu didapatkan daftar para pejabat, dari pejabat tinggi kerajaan sampai pejabat desa yang hadir sebagai saksi pada upacara penetapan sima dan menerima persembahan. Besar kecilnya persembahan yang mereka terima membayangkan kedudukan masing-masing di dalam hierarki pemerintahan. Penelitian atas bagian ini akan memberikan gambaran tentang struktur birokrasi kerajaan-kerajaan Jawa Kuno.

Kemudian menyusul bagian yang terpenting, yaitu upacara penyumpahan yang dipimpin oleh seorang pejabat keagamaan yang bergelar saṅ (pamgat) makudur. Bagian ini dimulai dengan disebutkannya bermacam-macam saji-sajian, terdiri antara lain atas kepala kerbau, seekor ayam jantan, sebutir telur, air (argha), jarum, pemotong kuku, dandang, seperangkat alat-alat untuk makan dan minum, dan sejumlah alat-alat yang digunakan dalam pembukaan tanah dan persawahan (Stutterheim, 1940: 21-23).

Sebagai penutup upacara itu dan sebagai bukti bahwa penetapan sima itu telah dikukuhkan (cihnanyan mapageh ikanaṅ susukan sīma) para hadirin ‘menambah daun’ masing-masing (umuwahi ronya). Mungkin yang dimaksudkan dengan ungkapan tersebut ialah bahwa para hadirin membungkus apa yang masih tersisa dari hidangan-hidangan yang disuguhkan untuk di bawa pulang (mbrekat, bhs.Jawa). Di dalam berbagai prasasti sering terdapat keterangan bahwa di dalam upacara penetapan sīma itu ada juga pertunjukkan gamelan, tari-tarian, nyanyian, dagelan, pembacaan naskah yang mungkin dapat disamakan dengan mabasan di Bali dan lain-lain (van Naerssen, 1937).

Prof.Dr. Boechari, ahli Epigrafi Indonesia
http://nationalgeographic.co.id/media/daily/300/0/201212060944460/n/preview.jpg


Keterangan-keterangan di dalam bagian-bagian prasasti tersebut apabila diteliti dengan seksama, dapat memberikan gambaran yang amat menarik tentang struktur kerajaan, struktur birokrasi, struktur kemasyarakatan, struktur perekonomian, agama, kepercayaan dan adat-istiadat di dalam masyarakat Indonesia kuno. Pengetahuan akan segisegi struktural itu akan menghindarkan kita dari bahaya anakronisme, karena tanpa landasan pengetahuan tersebut orang mudah sekali cenderung untuk memproyeksikan fakta-fakta sejarah dari masa lampau di atas keadaan masyarakat zaman sekarang, yang mungkin sekali berpegang kepada norma-norma yang berbeda dari masyarakat zaman dahulu.


Rujukan:
de Casparis, 1952. “Penjelidikan Prasasti: Tugas ahli epigrafi Dinas Purbakala”, dalam Amerta 1 (1952), hlm: 21-23, terbit kembali (1985), hlm: 25-29.
Krom, N.J.1931. Hindoe-Javaansche Geschiedenis. Tweede, herziene druk. ‘s-Gravenhage:M.Nijhoff.
van Naerssen, F.H. 1937. “Twee koperen oorkonden van Balitung in het Koloniaal Instituut te Amsterdam.”, BKI 95, hlm: 441-461.
Stutterheim, W.F.1940. “Oorkonde van Balitung uit 905 A.D. (Randoesari I).” INI, hlm: 3-28.


Boechari, 2012
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti
Jakarta: KPG
hlm: 3-28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar